...menakzimi kenangan, menghentikan waktu...
Friday, January 11, 2008
Tuesday, February 13, 2007
kala bayang
keakraban kita dulu alangkah
tanpa batas. keakraban yang kita pintal dulu
alangkah seumpama rama-rama yang bebas
sungguh seumpama rama-rama dan
musim bunga, musim bunga dan
rama-rama, dan bunga-bunga...*

cantik, masih ingat kamu dengan semua percakapan kita? hari ini, aku membaca ulang semua bincang kita. entah kenapa, aku kangen banget sama kamu, dan aku malu. ini kejadian yang langka; aku kembali ke muasalku, mengedepankan rasa, bertungku dan hangat dengannya.
membaca ulang ucap-riang itu, senyum dan rasa bahagia mendatangiku lagi. aku takjub pada kebersamaan kita dulu --alir cerita yang dahsyat, alur yang begitu lena, pembagian tawa dan luka yang mahasempurna-- yang kini, aduh, entah kemana? aku takjub dengan keberanianku dulu, yang demikian nyaman mengungkapkan betapa aku kangen kamu, sayang kamu, dan ingin --suatu waktu-- menikmati malam dan hujan denganmu. aku takjub dengan magnit dan segala suasana, yang membuatku terhubung denganmu, salut dengan diriku yang begitu ikhlas terbuai dengan rasa itu, tanpa takut kehilangan apa pun dari harap yang jelas tak bersandar pada sebuah nisbat tentang kebersatuan.
kukira, dulu, aku jatuh cinta padamu. sekarang, aku tahu, aku memang pernah mencintaimu. dan mungkin akan mencintaimu lagi, jika kau satukan ruang-waktu untuk kembali menyapaku.
ah, sudahlah. aku menyapamu, hanya mengabarkan, betapa aku memutar ulang kembali apa pun tentang kita; semuanya, tanpa sisa, memamahnya, mencoba mengerti, mencari lagi, semoga magnit itu, masih memberi kesempatan untuk menautkan kita, membuat kenangan yang lebih banyak, lebih panjang, lebih melenakan, lebih ngalir, meski tak kita bebankan pada tujuan.
aku mengenangmu, cantik: mengenangmu, sama seperti ketika kali pertama kita berbaku sapa, kala aku membayangkan kamu, dalam bingkai yang tak tercemari apa pun, sampai kini.
maafkan, jika kekangenan ini, sekarang, mengganggumu.
*) dikutip dari ingatan pasase pertama dari novel segi empat patah sisi
tanpa batas. keakraban yang kita pintal dulu
alangkah seumpama rama-rama yang bebas
sungguh seumpama rama-rama dan
musim bunga, musim bunga dan
rama-rama, dan bunga-bunga...*

cantik, masih ingat kamu dengan semua percakapan kita? hari ini, aku membaca ulang semua bincang kita. entah kenapa, aku kangen banget sama kamu, dan aku malu. ini kejadian yang langka; aku kembali ke muasalku, mengedepankan rasa, bertungku dan hangat dengannya.
membaca ulang ucap-riang itu, senyum dan rasa bahagia mendatangiku lagi. aku takjub pada kebersamaan kita dulu --alir cerita yang dahsyat, alur yang begitu lena, pembagian tawa dan luka yang mahasempurna-- yang kini, aduh, entah kemana? aku takjub dengan keberanianku dulu, yang demikian nyaman mengungkapkan betapa aku kangen kamu, sayang kamu, dan ingin --suatu waktu-- menikmati malam dan hujan denganmu. aku takjub dengan magnit dan segala suasana, yang membuatku terhubung denganmu, salut dengan diriku yang begitu ikhlas terbuai dengan rasa itu, tanpa takut kehilangan apa pun dari harap yang jelas tak bersandar pada sebuah nisbat tentang kebersatuan.
kukira, dulu, aku jatuh cinta padamu. sekarang, aku tahu, aku memang pernah mencintaimu. dan mungkin akan mencintaimu lagi, jika kau satukan ruang-waktu untuk kembali menyapaku.
ah, sudahlah. aku menyapamu, hanya mengabarkan, betapa aku memutar ulang kembali apa pun tentang kita; semuanya, tanpa sisa, memamahnya, mencoba mengerti, mencari lagi, semoga magnit itu, masih memberi kesempatan untuk menautkan kita, membuat kenangan yang lebih banyak, lebih panjang, lebih melenakan, lebih ngalir, meski tak kita bebankan pada tujuan.
aku mengenangmu, cantik: mengenangmu, sama seperti ketika kali pertama kita berbaku sapa, kala aku membayangkan kamu, dalam bingkai yang tak tercemari apa pun, sampai kini.
maafkan, jika kekangenan ini, sekarang, mengganggumu.
*) dikutip dari ingatan pasase pertama dari novel segi empat patah sisi
Thursday, August 03, 2006
rahim kemarau
kulupakan hari-hari yang lewat
agar aku dapat hidup kembali di hari ini
kubuang puing waktu ke kuburannya yang paling rahasia
barangkali serahasia mimpi
yang ada kemudian hanyalah kesamaran
semakin samar
dan... hilang*

tapi dia tidak sepenuhnya hilang. gerimis yang tiba-tiba merintih pagi ini, yang lahir dari rahim kemarau, datang seperti sapa, memintaku mengingatnya. kepedihan, entah kenapa, selalu punya jalan untuk tetap bertandang.
"ia, aku senang kok sempat jadi hujanmu. makasih juga telah dibuatkan tulisan seperti itu."
aku hanya bisa menulis, debar. dengan itulah aku mengobati semuanya. membuat yang "sempat" bisa jadi abadi, yang sementara dapat bertahan masa. siapa tahu, tulisanku dapat membuat hujan mau tercurah selamanya.
"hujan akan selalu ada, ia. meski bukan aku lagi. bukan aku lagi..."
******
"kamu bisa ikhlas kan, ia?"
bukan bisa. tapi harus, debar. hanya dengan ikhlas aku bisa menerima apa pun yang terjadi sebagai jalan yang mesti dilalui. menyadari diri hanya lintasan-lintasan dari apa pun. jika yang memintas itu mau berlabuh, menetap, atau hanya lewat, semua sudah ada garisnya. semua harus berjalan...
"iya ya, bener banget."
setiap sahabat adalah rahmat. setiap rahmat adalah harap, debar...
"dan setiap harap pasti berjawab, kan?"
dan harap itu cintaku, tidak bicara tentang keabadian, tapi kebersaatan, keterkejutan, nikmat kejap, syukur dalam keterbatasan.
"bagaimana syukur dalam keterbatasan, ya?"
iya, dengan meyakini, memang kebersaatan itulah yang menjadi hakku. singgahmu yang sebentar itulah milikku. aku tak boleh berharap lebih. aku harus mampu berterimakasih dengan meski....
*******
alam memang contoh terbaik dari keajaiban. jika hujan bisa lahir dari rahim kemarau, tawa pun pasti bisa terbit dari fajar airmata. pelan-pelan, aku patrikan hal itu di benakku. aku ikhlaskan dia pergi, tanpa sesal, tanpa pedih. aku kenang semuanya dengan tawa, ucap syukur, dan rasa lega, seperti keleluasaan rasa yang hinggap saat pertamakali kukecup matanya.
berjalanlah, kasih. aku tak memberatimu lagi. karena seperti katamu, engkau tetap akan pergi, kini atau nanti. bergeraklah, raihlah kegembiraanmu. yakinlah, dari tiap sujud sempurnaku, akan tetap lahir doa-doa terbaik tempaan ribuan tahun, yang memanteraimu, menjagamu, agar tetap bahagia, seperti saat sebelum engkau denganku berjumpa. bergegaslah....
*) dikutip dari ingatan, satu pasase dalam novel segi empat patah kaki
agar aku dapat hidup kembali di hari ini
kubuang puing waktu ke kuburannya yang paling rahasia
barangkali serahasia mimpi
yang ada kemudian hanyalah kesamaran
semakin samar
dan... hilang*

tapi dia tidak sepenuhnya hilang. gerimis yang tiba-tiba merintih pagi ini, yang lahir dari rahim kemarau, datang seperti sapa, memintaku mengingatnya. kepedihan, entah kenapa, selalu punya jalan untuk tetap bertandang.
"ia, aku senang kok sempat jadi hujanmu. makasih juga telah dibuatkan tulisan seperti itu."
aku hanya bisa menulis, debar. dengan itulah aku mengobati semuanya. membuat yang "sempat" bisa jadi abadi, yang sementara dapat bertahan masa. siapa tahu, tulisanku dapat membuat hujan mau tercurah selamanya.
"hujan akan selalu ada, ia. meski bukan aku lagi. bukan aku lagi..."
"kamu bisa ikhlas kan, ia?"
bukan bisa. tapi harus, debar. hanya dengan ikhlas aku bisa menerima apa pun yang terjadi sebagai jalan yang mesti dilalui. menyadari diri hanya lintasan-lintasan dari apa pun. jika yang memintas itu mau berlabuh, menetap, atau hanya lewat, semua sudah ada garisnya. semua harus berjalan...
"iya ya, bener banget."
setiap sahabat adalah rahmat. setiap rahmat adalah harap, debar...
"dan setiap harap pasti berjawab, kan?"
dan harap itu cintaku, tidak bicara tentang keabadian, tapi kebersaatan, keterkejutan, nikmat kejap, syukur dalam keterbatasan.
"bagaimana syukur dalam keterbatasan, ya?"
iya, dengan meyakini, memang kebersaatan itulah yang menjadi hakku. singgahmu yang sebentar itulah milikku. aku tak boleh berharap lebih. aku harus mampu berterimakasih dengan meski....
alam memang contoh terbaik dari keajaiban. jika hujan bisa lahir dari rahim kemarau, tawa pun pasti bisa terbit dari fajar airmata. pelan-pelan, aku patrikan hal itu di benakku. aku ikhlaskan dia pergi, tanpa sesal, tanpa pedih. aku kenang semuanya dengan tawa, ucap syukur, dan rasa lega, seperti keleluasaan rasa yang hinggap saat pertamakali kukecup matanya.
berjalanlah, kasih. aku tak memberatimu lagi. karena seperti katamu, engkau tetap akan pergi, kini atau nanti. bergeraklah, raihlah kegembiraanmu. yakinlah, dari tiap sujud sempurnaku, akan tetap lahir doa-doa terbaik tempaan ribuan tahun, yang memanteraimu, menjagamu, agar tetap bahagia, seperti saat sebelum engkau denganku berjumpa. bergegaslah....
*) dikutip dari ingatan, satu pasase dalam novel segi empat patah kaki
Monday, July 03, 2006
hujan itu indah
engkaukah yang datang bersama hujan ini, ann?
gerimisnya yang rintik membangunkan tidurku. pukul 01.32 dini hari. dan aku seperti mendengar ketukan di pintu belakang, juga guman, "ia, ia... bangun."

benarkah itu engkau, ann? sungguhkah engkau datang? tapi, gegasku membuka pintu tak menemukan parasmu. hanya dingin yang menyambar, juga lengang. mataku yang mencari, menangkap tirisan air menciprati pinggiran teras, sisi keramik kotor, rumput basah, dan harum tanah. engkau tak ada.
ann, kekasih batinku, kamu di mana?
biasanya, tiap kali hujan, engkau pasti datang. aku merasakan; dingin yang semula bertandang, meredup, lalu hangat merayap. ya ann, aku menandaimu lewat hangat yang menjalari tubuhku. setiap kali tanganku menerima hujan, arus hangat merambati sel darahku. dan jika senja kamu datang, kubugili diriku segera, dan menerima pecahan dirimu menyakiti tubuhku. merasakan jarummu menitiki lembut rongga poriku. sampai aku merasa penuh, penuh...
tapi malam ini, aku merasai dingin. dan kosong. di mana engkau sembunyi, ann? di mana?
****
"datanglah ke sini, ia. hujan di kota ini indah."
"oh ya? seindah siapa?"
"aku."
tapi ann, tak kutemukan hujan di sini. hari-hari di kotamu seperti menanam kemarau dalam diriku. kering. keindahan yang kau janjikan, tak dapat kulihat. debu ini ann, menyakitkan. sepi itu ann, melebarkan kemarauku. apakah kau memang ingin aku tandus? tak hanya haus?
"ia, barangkali aku hujan di salah musim."
tidak sayang, engkaulah hujan yang tak kenal musim. kuinginkan kau begitu. aku bukan kemarau, juga semi, atau salju, yang bisa memanggil atau menampikmu. aku hanya rindu pecahan dirimu mencecah tubuhku, sebagai sapa, sebagai arus dalam darahku. aku butuh kamu lebih dari kemarau di mana pun. jadi sayang, jangan hiraukan musim. datanglah, seperti yang aku pinta. musim hanya membuat jarak. musim hanya menegaskan kedatanganmu sebagai tugas. engkau itu rindu. dan rindu sayang, tak harus menunggu musim, juga waktu. bergegaslah. basahi aku. lumat aku dalam ribuan jarummu. dan kita bergelut dalam tarian purba, seperti ketika norma belum tercipta.
"tidak ia, kita hanya bisa bersisihan. memandang. kita wakafkan saja rindu pada alam. kita tebarkan kangen pada lengang. kita titipkan cinta pada harap. kita ludeskan hasrat pada senyap. aku tak bisa beranjak. waktu mengikatku pada masa lalu. engkau musimku yang kemudian, ia..."
barangkali, aku memang bukan takdirmu.
"aku tak bisa berjalan di dua takdir, ia. tak bisa."
dan hujan itu akan pergi?
"hujan akan tetap datang."
dan tetap indah?
"hujan itu akan selalu indah, ia. bagimu, bagiku. karena ada diri kita di dalamnya, yang jatuh serupa garis, mungkin serupa tangis."
*****
ann kekasih, di mana kamu sembunyi? apakah aku tak harus lagi menanti? katakan padaku, kapan hujan penghabisanmu. biar kuserap pecahan dirimu, kusimpan. agar ketika engkau tak lagi datang, bisa kutumbuhkan hujan di dalam diriku. sehingga, seperti pesanmu, tetap bisa kukatakan: hujan itu indah. hujan itu indah. bahkan, ketika kau tak ada, ketika kamu mulai enggan menyapa. karena hatiku mulai percaya, kamu telah merasa aku adalah musimmu yang salah....
gerimisnya yang rintik membangunkan tidurku. pukul 01.32 dini hari. dan aku seperti mendengar ketukan di pintu belakang, juga guman, "ia, ia... bangun."

benarkah itu engkau, ann? sungguhkah engkau datang? tapi, gegasku membuka pintu tak menemukan parasmu. hanya dingin yang menyambar, juga lengang. mataku yang mencari, menangkap tirisan air menciprati pinggiran teras, sisi keramik kotor, rumput basah, dan harum tanah. engkau tak ada.
ann, kekasih batinku, kamu di mana?
biasanya, tiap kali hujan, engkau pasti datang. aku merasakan; dingin yang semula bertandang, meredup, lalu hangat merayap. ya ann, aku menandaimu lewat hangat yang menjalari tubuhku. setiap kali tanganku menerima hujan, arus hangat merambati sel darahku. dan jika senja kamu datang, kubugili diriku segera, dan menerima pecahan dirimu menyakiti tubuhku. merasakan jarummu menitiki lembut rongga poriku. sampai aku merasa penuh, penuh...
tapi malam ini, aku merasai dingin. dan kosong. di mana engkau sembunyi, ann? di mana?
"datanglah ke sini, ia. hujan di kota ini indah."
"oh ya? seindah siapa?"
"aku."
tapi ann, tak kutemukan hujan di sini. hari-hari di kotamu seperti menanam kemarau dalam diriku. kering. keindahan yang kau janjikan, tak dapat kulihat. debu ini ann, menyakitkan. sepi itu ann, melebarkan kemarauku. apakah kau memang ingin aku tandus? tak hanya haus?
"ia, barangkali aku hujan di salah musim."
tidak sayang, engkaulah hujan yang tak kenal musim. kuinginkan kau begitu. aku bukan kemarau, juga semi, atau salju, yang bisa memanggil atau menampikmu. aku hanya rindu pecahan dirimu mencecah tubuhku, sebagai sapa, sebagai arus dalam darahku. aku butuh kamu lebih dari kemarau di mana pun. jadi sayang, jangan hiraukan musim. datanglah, seperti yang aku pinta. musim hanya membuat jarak. musim hanya menegaskan kedatanganmu sebagai tugas. engkau itu rindu. dan rindu sayang, tak harus menunggu musim, juga waktu. bergegaslah. basahi aku. lumat aku dalam ribuan jarummu. dan kita bergelut dalam tarian purba, seperti ketika norma belum tercipta.
"tidak ia, kita hanya bisa bersisihan. memandang. kita wakafkan saja rindu pada alam. kita tebarkan kangen pada lengang. kita titipkan cinta pada harap. kita ludeskan hasrat pada senyap. aku tak bisa beranjak. waktu mengikatku pada masa lalu. engkau musimku yang kemudian, ia..."
barangkali, aku memang bukan takdirmu.
"aku tak bisa berjalan di dua takdir, ia. tak bisa."
dan hujan itu akan pergi?
"hujan akan tetap datang."
dan tetap indah?
"hujan itu akan selalu indah, ia. bagimu, bagiku. karena ada diri kita di dalamnya, yang jatuh serupa garis, mungkin serupa tangis."
ann kekasih, di mana kamu sembunyi? apakah aku tak harus lagi menanti? katakan padaku, kapan hujan penghabisanmu. biar kuserap pecahan dirimu, kusimpan. agar ketika engkau tak lagi datang, bisa kutumbuhkan hujan di dalam diriku. sehingga, seperti pesanmu, tetap bisa kukatakan: hujan itu indah. hujan itu indah. bahkan, ketika kau tak ada, ketika kamu mulai enggan menyapa. karena hatiku mulai percaya, kamu telah merasa aku adalah musimmu yang salah....
Tuesday, March 28, 2006
semesta sesal
ann, debar jantungku: pernah kamu merasakan kesenangan dan kepedihan berjalan dalam satu waktu? kalau pernah mengalaminya, kamu akan tahu, hidup ini sungguh-sungguh adil. tak ada yang dia berikan setengah-setengah, selalu semuanya. kini kian kurasakan benar, tak ada yang dianaktirikan oleh kehidupan, semua mendapat asuhan yang sama, susu yang sama. barangkali, cuma kedewasaan saja yang berbeda. karena ketika dewasa, hidup hanya menjaga kita, hanya memelihara, dan dewasa, adalah cara bagaimana mata kita terbuka atas sebagaian slide-slide pengalaman yang hidup berikan. itu saja.

maka, jika kamu pernah merasakan kesedihan dan kegembiraan dalam satu tarikan napas, kamu akan tahu, tak pernah ada yang harus disesali dari rencana takdir. (kamu percaya takdir kan, ann?). dan kamu tak akan pernah merasa menyesal kita pernah bertemu.
ketika aku bertemu kamu, sampai pertemuan kedua dan ketiga, itulah masa ketika kepedihan dan kesenangan bersatu dalam tarikan napas. kesenangan karena aku dapat bertemu kamu, juga kepedihan, karena pertemuan itu berlangsung dalam waktu kesementaraan. kepedihan karena aku jadi tahu betapa "nyatanya" kamu lebih daripada imajiku, dan kesenangan karena pernah merasakan kenyataan itu, walau sesaat. dua-duanya, kepedihan dan kesenangan itu, datang dalam tangan yang sama, diberikan ibu kehidupan, dan aku tak pernah menyesalinya. tak akan pernah menyesalinya. (tapi, aku menangkap matamu membias beda)
ann, jika kamu masih merasa pertemuan itu memberatimu, membuatmu tak nyaman, malam nanti, ketika tidur, baliklah bantalmu. percayalah, jarum waktu akan memutar mundur, dan kita akan kembali "bersama" ketika masih bertelepon dan mengharapkan bisa bertemu. kamu bisa tak datang ke semarang, atau datanglah, tanpa pernah memberitahuku. dan kamu harus terbangun, sesudah itu, untuk melanjutkan hidupmu.
kini, kamu hanya punya ingatan --atau semacam impian-- ada dua bulan dari masa depanmu yang telah kamu potong, dan itu akan lebih baik, daripada kamu menjalaninya, dengan semacam semesta sesal.
aku yakin, kamu akan lebih bahagia saat itu....

maka, jika kamu pernah merasakan kesedihan dan kegembiraan dalam satu tarikan napas, kamu akan tahu, tak pernah ada yang harus disesali dari rencana takdir. (kamu percaya takdir kan, ann?). dan kamu tak akan pernah merasa menyesal kita pernah bertemu.
ketika aku bertemu kamu, sampai pertemuan kedua dan ketiga, itulah masa ketika kepedihan dan kesenangan bersatu dalam tarikan napas. kesenangan karena aku dapat bertemu kamu, juga kepedihan, karena pertemuan itu berlangsung dalam waktu kesementaraan. kepedihan karena aku jadi tahu betapa "nyatanya" kamu lebih daripada imajiku, dan kesenangan karena pernah merasakan kenyataan itu, walau sesaat. dua-duanya, kepedihan dan kesenangan itu, datang dalam tangan yang sama, diberikan ibu kehidupan, dan aku tak pernah menyesalinya. tak akan pernah menyesalinya. (tapi, aku menangkap matamu membias beda)
ann, jika kamu masih merasa pertemuan itu memberatimu, membuatmu tak nyaman, malam nanti, ketika tidur, baliklah bantalmu. percayalah, jarum waktu akan memutar mundur, dan kita akan kembali "bersama" ketika masih bertelepon dan mengharapkan bisa bertemu. kamu bisa tak datang ke semarang, atau datanglah, tanpa pernah memberitahuku. dan kamu harus terbangun, sesudah itu, untuk melanjutkan hidupmu.
kini, kamu hanya punya ingatan --atau semacam impian-- ada dua bulan dari masa depanmu yang telah kamu potong, dan itu akan lebih baik, daripada kamu menjalaninya, dengan semacam semesta sesal.
aku yakin, kamu akan lebih bahagia saat itu....
Monday, March 20, 2006
sisian napas
ann, debar jantungku: aku kangen kamu, malam, subuh, dan siang ini. rasanya gerah sekali menunggu "pemberitahuanmu" kapan kerjamu berakhir. tapi aku cepat tersadarkan, waktu kamu bukan hanya untukku, bukan hanya untuk mendengarkan kebawelanku, atau kangen, yang masih hanya sebatas ucapan, bukan sentuhan apalagi dekap.

sering aku berandai, tentang jarak kita yang jika dekat, tentu engkau selalu luruh kala kudekap. tapi pengandaian, ann: seperti juga kenangan, adalah temali yang menjaraki harapan dan kenyataan, juga masa silam. dan kamu ann, engkau bukan masa silamku, tak akan pernah --semoga tuhan mengizinkan-- menjadi masa silamku. kamu kuinginkan menjadi kekinianku,
sisian tarikan napas, yang mengetahui apa pun, di sebalik tawa-tangisku.
ahh-, cukuplah kututup semua kalimat di atas dengan debar-debarku, yang kutak tahu, bagaimana lagi menerjemahkannya padamu.

sering aku berandai, tentang jarak kita yang jika dekat, tentu engkau selalu luruh kala kudekap. tapi pengandaian, ann: seperti juga kenangan, adalah temali yang menjaraki harapan dan kenyataan, juga masa silam. dan kamu ann, engkau bukan masa silamku, tak akan pernah --semoga tuhan mengizinkan-- menjadi masa silamku. kamu kuinginkan menjadi kekinianku,
sisian tarikan napas, yang mengetahui apa pun, di sebalik tawa-tangisku.
ahh-, cukuplah kututup semua kalimat di atas dengan debar-debarku, yang kutak tahu, bagaimana lagi menerjemahkannya padamu.
Wednesday, March 08, 2006
tangan utara
kian hari, kian sulit aku menemukan jejakmu. peta yang dulu begitu jelas, pelan-pelan mengabur, bahkan menguning, di sudut jendela itu, ditutupi tabir pasir yang kau kirimkan dari jauh. selatan, atau utara, barat dan tenggara, muara arah hatimu dulu, kini tak kuyakini lagi, begitu samar, begitu samar. masihkan jika kulangkahkan kaki ke utara, selatan atau barat, akan menemuimu? ataukah memang dirimu berada di daerah yang tak terpetakan, tak terjangkau oleh angin sehingga kabarmu pun hanya sayup menyampai. atau adalah "daratan" lain yang menahanmu untuk mengirim berita kemari, membetahkanmu, meminjamkan mimpi panjang yang indah, yang lena, membuat lupa, pada "keberseharianmu" dulu.

aku masih selalu di sini, dengan kesabaran sempurna, menunggu sesapu angin membersihkan peta itu, sehingga terang jalan dulu, terbentuk lagi, dan selatan atau utara, barat atau timur, juga tenggara, adalah semesta arah yang berujung pada hatimu.
ah, kapan tanganmu menyentuhku?

aku masih selalu di sini, dengan kesabaran sempurna, menunggu sesapu angin membersihkan peta itu, sehingga terang jalan dulu, terbentuk lagi, dan selatan atau utara, barat atau timur, juga tenggara, adalah semesta arah yang berujung pada hatimu.
ah, kapan tanganmu menyentuhku?