Maitreyanisme

Agama Tiongkok populer yang muncul sejak abad ke-6

Maitreyanisme (Hanzi: 弥勒教; Pinyin: Mílèjiào), Ajaran Maitreya, atau Sekte Maitreya mengacu pada kepercayaan yang berhubungan dengan Maitreya (彌勒 Mílè dalam bahasa Tionghoa) yang dipraktikkan di Tiongkok bersama dengan Buddhisme dan Maniisme,[1] dan dikembangkan dengan cara yang berbeda dalam aliran-aliran Buddhis Tionghoa maupun dalam tradisi sekte keselamatan dari agama tradisional Tionghoa.

Gerakan-gerakan aliran kepercayaan bercorak Buddhis yang memuja dan menantikan Maitreya tercatat setidaknya sudah ada sejak tahun 509 hingga 515 (abad ke-6).[2] Peristiwa yang paling terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh biksu Faqing dari Kota Jizhou, yang saat itu bernama Wei Utara, dengan nama "Buddha baru".[2] Kemudian, kepercayaan terhadap Maitreya berkembang secara mencolok di luar batas-batas ajaran Buddhisme.[3] Pada tahun 715, sebagaimana dibuktikan oleh sebuah dekrit, tradisi penggunaan pakaian serbaputih, yang awalnya merupakan praktik umum bagi umat awam Buddhis, kemudian menjadi ciri khas sekte-sekte Maitreya.[3]

Keyakinan

sunting

Umumnya keyakinan dari sekte-sekte Maitreya ini meyakini bahwa Maitreya, sebagai Bodhisatwa, telah turun dari Surga Tusita dan telah datang di dunia dan mencapai Kebudhaan.[4] Dengan telah turunnya Buddha Maitreya, mereka meyakini bahwa masa Buddha Sakyamuni telah lewat dan dimulainya masa Buddha Maitreya dan mengharapkan dunia akan berubah menjadi dunia yang dipenuhi dengan kebahagiaan dan kemakmuran di mana-mana.

Maitreya adalah sosok utama yang dipuja oleh agama-agama rahasia kepercayaan rakyat Tionghoa pada masa awal terbentuknya, namun, dalam perkembangannya, peran tersebut digantikan oleh Ibu Mulia Yang Abadi (無生老母 Wúshēng Lǎomǔ) secara bertahap,[5] meskipun eskatologi Maitreya tetap diteruskan dalam doktrin-doktrin mereka. Lao Mu ditempatkan sebagai dewa tertinggi yang mengatur turunnya Tiga Buddha di tiga masa pancaran untuk menyelamatkan dunia.[6]

Sejarah

sunting

Keyakinan mengenai Maitreya dimulai pada era akhir Dinasti Han. Teks ajaran Buddhisme tentang Maitreya di China berasal dari hasil terjemahan oleh biksu An Shi Gao (安世高), Lokaksema pada abad ke-2, Dharmaraksa (竺法護) pada abad ke-3, Dao'an (道安) pada abad ke-4, dan Kumarajiva pada abad ke-5.[7] Keyakinan akan terlahir kembali di tempat Maitreya berada, yaitu alam Tusita berasal dari teks-teks hasil terjemahan ini.[7] Buddhisme aliran Mahayana memiliki dua konsep tanah suci, yaitu tanah murni Amitabha dan tanah suci Maitreya. Konsep tanah suci Maitreya sangat populer sehingga pada abad ke-4 sampai ke-6, muncullah keyakinan terhadap Maitreya di seluruh Tiongkok. Kepopuleran tanah suci Maitreya bahkan lebih populer dari tanah murni Amitabha, terbukti dari fakta bahwa jumlah patung Buddha Maitreya saat itu jauh melebihi patung Buddha Amitabha.[8] Keyakinan ini bercampur dengan keyakinan rakyat akan surga Xi Wang Mu yang sudah diyakini sejak sebelum masehi.

 
Patung Maitreya Duduk di Sichuan, China
 
Patung Maitreya di Bingling Temple, China

Di masa Dinasti Utara dan Selatan (420-589), sejumlah besar “kitab-kitab palsu” Maitreya muncul.[9] Kitab-kitab ini umumnya menguraikan sutra Buddha resmi dengan penafsiran tertentu dan dijadikan kitab-kitab baru seolah-olah isi kitab tersebut adalah ajaran sang Buddha.[9] Kemunculan kitab-kitab palsu itu terkait erat dengan kondisi masyarakat yang sulit saat itu. Dengan kata lain, ketika kondisi kehidupan yang sulit melanda dan para penjahat merajalela di masyarakat, orang-orang pada umumnya benar-benar mendambakan hadirnya seorang “mesias”, seperti Maitreya, yang dapat menaklukkan semua penjahat dan menstabilkan dunia ini.[10] Di saat itu, mulai ada banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai titisan Buddha Maitreya yang akan menjadi juru selamat dan mengubah dunia ini.

Pada masa pemerintahan Kaisar Wu dari Liang, Fu Dashi (傅大士), seorang penduduk asli Yiwu di Wuzhou, adalah seorang biksu Buddhis terkenal yang menyebut dirinya sebagai “Guru Bijak dan Berkebajikan yang telah tercerahkan di bawah Pohon Shuanglin”, dan yang telah mencapai Samadhi Shurangama dan Anasravajnana, mulai menyebarkan keyakinan terhadap Buddha Maitreya, yang mengimplikasikan bahwa dia sendiri adalah inkarnasi Maitreya. Inilah salah satu jejak awal dari sekte Maitreya (彌勒教).[11][12]

Pada masa pemerintahan Kaisar Xuanwu dari Dinasti Wei Utara, Fa Qing (法庆), seorang biksu dari Jizhou, memproklamirkan dirinya sendiri sebagai “Buddha Baru” (新佛), dengan Li Gueibe (李歸伯) sebagai “Bodhisatwa Tingkat ke-Sepuluh” (十住菩薩), mengaku mencapai Kebuddhaan melalui jalur Bodhisatwa sehingga menyebut dirinya “Buddha Kendaraan Besar” (大乘佛) dan mendirikan sekte Mahayana (大乘教) atau juga dikenal dengan nama sekte Mahayana Maitreya (彌勒大乘教).[13][2][7] Dia mengutip dari kitab-kitab suci agama Buddha yang mengatakan bahwa Maitreya adalah Buddha selanjutnya dan menyatakan bahwa “Buddha Maitreya telah turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia sebagai pengganti dari Buddha Sakyamuni". Bertolak belakang dengan ajaran Buddha, dia menciptakan doktrin “membunuh orang untuk menciptakan kekacauan” dan menyakini bahwa membunuh satu orang akan menjadi Bodhisatwa tingkat pertama, membunuh sepuluh orang akan menjadi Bodhisatwa tingkat ke-sepuluh. Dia bersama pengikutnya menghancurkan kuil-kuil Buddha, memenggal kepala biksu dan biksuni, dan membakar sutra dan patung sambil menyatakan "Buddha baru telah hadir dan akan melenyapkan iblis-iblis lama."[2] Dia juga menggunakan obat-obatan terlarang dan membuat orang yang meminumnya menjadi gila sehingga antara orang tua, anak dan saudara tidak mengenal satu sama lain, dan hanya akan membunuh dan melukai satu sama lain.[2] Pemberontakan ini kemudian dikenal sebagai ”Pemberontakan Faqing” (法慶之亂), yang kemudian ditumpas oleh Yuan Yao (元遙).[14]

Sejak saat itu, ada banyak pemberontakan dengan slogan "Buddha Maitreya telah turun ke dunia" sebagai slogan utamanya. Pada tahun kesembilan pemerintahan Kaisar Yang, sekte Maitreya kembali muncul saat Song Zixian (宋子賢), seorang penduduk asli Gao Yang (sekarang Gao Yang, Provinsi Hebei), yang merupakan ahli ilmu sihir terampil yang “dapat merubah diri menjadi Buddha” dan mengaku sebagai “titisan dari Buddha Maitreya”, dan mengumpulkan orang untuk memulai pemberontakan.[15][16][17] Menurut Kitab Sui (隋书), dua pemberontakan lagi terjadi pada tahun 613 dengan dalih kelahiran Maitreya. Dalam kedua pemberontakan tersebut, jumlah orang yang terlibat mencapai puluhan ribu, dan Maitreya bahkan lebih intens.[18] Pada Dinasti Tang, ada banyak gerakan yang muncul di masyarakat bawah dengan konsep Maitreya tentang keselamatan untuk kehidupan berikutnya, seperti pemberontakan pengikut sekte Maitreya berpakaian serba putih yang dipimpin oleh Xiang Haiming (向海明) pada tahun 613[19] dan kekacauan yang diprakarsai oleh Wang Huaigu (王怀古), penduduk asli Beizhou, pada tahun-tahun awal Dinasti Tang (713) dengan slogan "Masa Sakyamuni telah berakhir, Buddha baru telah lahir".[20]

Di abad ke 10, ada seorang biksu eksentrik bernama Qici (契此), yang hidup pada masa Dinasti Liang (907–923 M) di Tiongkok. Biksu ini dikenal dengan Budai, yang sering disebut sebagai Hotei dalam budaya Jepang. Sosoknya kemudian menjadi tokoh populer dalam tradisi Buddha, terutama dalam Buddhisme Mahayana dan budaya Asia Timur. Budai sering diasosiasikan dengan Maitreya Buddha (Buddha masa depan) dalam beberapa tradisi Buddhis. Sejak itu sosok Budai sering dijadikan figur oleh mereka-mereka yang percaya bahwa Maitreya telah lahir.

 
Patung Budai dan para muridnya di Lingyin Temple, Hangzhou, China

Pada tahun ketujuh masa pemerintahan Qingli dari Dinasti Song Utara (1047), Wang Ze (王則), seorang petani dari Beizhou (sekarang Qinghe, Hebei), yang berasal dari Zhuozhou pergi ke Beizhou untuk bekerja sebagai penggembala domba untuk seorang pemilik tanah, memberontak melawan pemerintah dan mengklaim diri sebagai penguasa Dongping (东平郡主), dengan slogan, “Masa Buddha Sakyamuni telah berlalu, sekarang Buddha Maitreya yang berkuasa”.[12][21] Selain itu, Gao Tancheng (高曇晟), seorang biksu Buddha dari Huaizhou, dan Liu Ningjing (劉凝靜), seorang wanita dari Kabupaten Wannian di Sichuan, semuanya mengklaim bahwa Maitreya telah turun ke dunia dan memberontak.[22] Sebuah novel berjudul Tiga Sui Membasmi Pemberontakan Siluman (三遂平妖傳) karya Luo Guanzhong isinya mencerminkan pandangan masyarakat umum tentang Maitreya di masa itu.

Dari Dinasti Wei Utara hingga akhir Dinasti Tang hingga Dinasti Song, kerusuhan populer berdasarkan kepercayaan pada Maitreya dan dengan slogan inkarnasi Maitreya mencerminkan keinginan yang kuat dari masyarakat untuk kedatangan dan keselamatan juru selamat di dunia ini. Keinginan ini berakar pada struktur internal masyarakat, dan dimanifestasikan dalam bentuk keyakinan Maitreya, yang menjadi ekspresi ideologis dan panduan tindakan untuk konflik antara kelas sosial masyarakat.[12] Sejak Dinasti Song dan seterusnya, ada kecenderungan adanya perpaduan antara Maitreya dan Maniisme. Cerita legenda bahwa Buddha Maitreya telah turun untuk menyelamatkan dunia tersebar luas di tengah masyarakat, dan Sekte Teratai Putih adalah yang paling terkenal. Sekte Teratai Putih menyerap keyakinan atas Maitreya dan menyerukan penyelamatan dunia dengan mengklaim bahwa Buddha Maitreya akan lahir dan memulai pemberontakan, yang secara alami mengarah pada dimulainya pemberontakan terhadap kekuasaan Dinasti Yuan.[23] Pada musim semi tahun ke-17 pemerintahan Kubilai Khan, Du Keyong (杜可用) dari Duchang, provinsi Jiangxi, yang menyebut dirinya “Du Shengren (杜聖人)”, memulai pemberontakan bersama kelompok Teratai Putih dan kemudian menyebut dirinya “Raja Langit (天王)”, dan mengganti namanya menjadi “Wanshan (萬乘)”.[24] Ini adalah pemberontakan sipil pertama yang dipicu oleh Sekte Teratai Putih setelah pembentukannya; namun, karena perbedaan historis antara Kelompok Teratai Putih (白蓮宗) dan Sekte Teratai Putih (白蓮教) tidak jelas, ini juga bisa dianggap sebagai pemberontakan sipil pertama Sekte Teratai Putih.

Pada masa pemerintahan Dinasti Yuan, Külüg Khan melarang kelompok Teratai Putih dan Sekte Maitreya.[25] Pada saat itu, ada seorang pria bernama Shi Pudu (釋普度) dari Kuil Donglin di Lushan, yang telah mewarisi ajaran seribu tahun yang ditinggalkan oleh Huiyuan (慧遠), dan berkomitmen untuk membangkitkan kelompok Teratai Putih. Hasilnya, kelompok Teratai Putih bangkit pada tahun 1312, di masa pemerintahan Kaisar Renzong.[17] Pudu ditunjuk menjadi kepala sekte, dan dikenal sebagai You Tan Zhongzu (優曇宗主).[26] Selama periode saat kebijakan tentang kelompok agama dilonggarkan, kelompok Teratai Putih berkembang dengan bebas, Sekte Teratai Putih mengkhotbahkan “Kelahiran Buddha Maitreya” dan “Kelahiran Raja Ming”, dan menyebar sampai ke Henan, Jianghuai, dan daerah Lembah Sungai Yangtze. Namun, kondisi dari kelompok ini saat itu belum terlalu baik, dan karena ada beberapa gejolak sosial, sekte ini dilarang lagi setelah tahun kedua pemerintahan Kaisar Yingzong (1322).

Setelah itu, para biksu dari kelompok Teratai Putih secara bertahap meninggalkan “Kelompok Teratai Putih” dan kembali ke agama Buddha ortodoks, sementara itu masih banyak juga anggota kelompok yang diam-diam menyebarkan ajaran. Kelompok Teratai Putih (白蓮宗) di kala itu mulai bergabung dengan Sekte Maitreya (彌勒教) dan Sekte Ming (明教 ) dan menyebut kelompok mereka sebagai Sekte Teratai Putih (白蓮教), dan menjadi agama rahasia yang menyebarkan ajaran secara diam-diam. Pada tahun kedua era Taiding (1325), Zhao Chousi (趙丑廝) dan Guo Pusa (郭菩薩) dari Sekte Teratai Putih di Xizhou, Provinsi Henan, mengkhotbahkan bahwa “Buddha Maitreya akan menguasai dunia” dan mengumpulkan banyak orang untuk memberontak.[27] Pada tahun ketiga pemerintahan Kaisar Shun (1337), Sekte Teratai Putih di Chenzhou, Provinsi Henan, mengklaim bahwa Buddha Maitreya telah lahir dan berkumpul untuk membakar dupa. Pada tahun keempat pemerintahan Kaisar Shun (1338), Peng Yingyu (彭瑩玉) yang merupakan ketua dari Sekte Maitreya[25] dan Zhou Ziwang (周子旺), biksu dari Yuanzhou, Provinsi Jiangxi (sekarang Yichun, Provinsi Hubei), membujuk masyarakat untuk melafalkan nama Buddha Maitreya, membakar obor dan dupa pada malam hari, dan mengadakan ritual, dan mengorganisir sebuah pemberontakan Sekte Teratai Putih, yang didasarkan pada keyakinan Maniisme atas "Keyakinan pada Cahaya Pemujaan" (崇尚光亮信仰).[28][29]

Pada tahun ke-11 pemerintahan Kaisar Shun (1351), Dinasti Yuan memblokir Sungai Kuning, yang memicu Pemberontakan Sorban Merah di seluruh negeri. Turban Merah terkait erat dengan Teratai Putih, dan pada akhir Dinasti Yuan, masa pemerintahan Kaisar Hongwu, setelah Pemberontakan Han Shantong (韓山童) dari Sekte Teratai Putih, memproklamirkan bahwa “kegelapan akan segera berlalu, dan cahaya akan segera tiba.”[12] Pada titik ini, sekte Maitreya secara resmi telah berbaur dan bergabung ke dalam Sekte Teratai Putih dan memadukan ajaran-ajarannya dengan tradisi Maniisme dan Konfusius.[30] Gerakan Sorban Merah berawal dari Peng Yingyu yang memimpin pemberontakan di Yuanzhou (sekarang Jiangxi) pada tahun 1338. Zhou Ziwang diproklamirkan sebagai kaisar, tetapi dia dengan cepat ditangkap oleh pihak berwenang setempat dan dieksekusi. Peng melarikan diri ke utara dan menyebarkan ajaran tentang kedatangan Maitreya, Buddha yang penuh rejeki dan sinar cahayanya yang menerangi seluruh umat manusia, yang akan mengakhiri penderitaan. Pengaruh Sorban Merah muncul di banyak tempat di sepanjang Sungai Huai dari tahun 1340 dan seterusnya.[31]

Pada tahun 1362, Ming Yuzhen (明玉珍) mendirikan negara Daxia (明夏; 1363–1371), di Sichuan, yang melarang Taoisme dan agama Buddha ortodoks, dan menetapkan agama Buddha Maitreya sebagai agama negara dengan membangun berbagai macam Kuil Buddha Maitreya.[32] Sejak akhir dinasti Yuan, laporan-laporan mengenai sekte Maitreya sering muncul dan didokumentasikan dengan baik pada masa dinasti Ming dan Qing hingga saat ini.[21]

Pemberontakan Teratai Putih Kedua pecah pada tahun 1796 di antara para pemukim miskin di wilayah pegunungan yang memisahkan Sichuan dari Hubei dan Shaanxi sebagai protes terhadap pajak yang tinggi yang diberlakukan oleh para penguasa Manchu dari Dinasti Qing.[33] Pada awalnya, pemberontakan ini merupakan protes terhadap pemungutan pajak, namun dengan cepat berkembang menjadi pemberontakan bersenjata yang meluas. Para pemberontak menggunakan taktik gerilya, mengeksploitasi daerah pegunungan untuk menghindari pasukan Qing. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas pada tahun 1804.

Di tahun 1813, terjadi pemberontakan besar di akhir Dinasti Qing yang dimulai oleh sekte keagamaan sekte Tianli (天理教) yang dikenal dengan Pemberontakan Delapan Trigram (八卦教). Gerakan ini memiliki keterkaitan erat dengan ajaran sekte Maitreya, terutama karena keyakinan ideologis para pengikutnya yang percaya pada kedatangan Maitreya sebagai penyelamat dunia dan menciptakan zaman dan dunia baru. Lin Qing yang menjadi salah satu pemimpin pemberontakan menyatakan dirinya sebagai reinkarnasi Maitreya, Buddha masa depan yang diramalkan dalam agama Buddha, dengan menggunakan spanduk bertuliskan “Dipercayakan oleh Surga untuk Mempersiapkan Jalan”, yang merujuk pada novel populer Water Margin.[34]

Di abad 20, sekte Maitreya dalam bentuk aslinya sudah banyak mengalami perubahan atau penurunan popularitas, terutama di Tiongkok Daratan akibat penindasan terhadap banyak sekte-sekte keagamaan pada tahun 1949. Namun, ajaran sekte Maitreya atau unsur-unsurnya masih hidup dan memengaruhi beberapa gerakan keagamaan atau spiritual hingga hari ini. Taiwan menjadi tempat berkembangnya berbagai tradisi keagamaan yang memiliki unsur sekte Maitreya. Salah satu agama populer yang dianggap mempunyai ideologi dan ciri khas yang sama dengan sekte Maitreya adalah Xiantiandao (先天道) dan I Kuan Tao (一貫道), yang memadukan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme.[35]

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Ma 2011, hlm. 19.
  2. ^ a b c d e Seiwert, 2003. p. 111
  3. ^ a b Seiwert 2003, hlm. 154.
  4. ^ Ma 2011, hlm. 21.
  5. ^ Ma, Meng. 2011. p. 319
  6. ^ Ma 2011, hlm. 319.
  7. ^ a b c Yu Min, Lee (1983). The Maitreya Cult and Its Art in Early China. Michigan: University Microfilms International. 
  8. ^ Ma 2011, hlm. 20.
  9. ^ a b Ma 2011, hlm. 22.
  10. ^ Ma, Meng. 2011. p. 23
  11. ^ "傅大士研究". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-04-10. Diakses tanggal 2024-11-09. 
  12. ^ a b c d 星如, 侯 (2023). "简析弥勒信仰在中国民间信仰史的表现及发展变化". 国学. 11 (1). doi:10.12677/CnC.2023.111009. 
  13. ^ Ma 2011, hlm. 23.
  14. ^ 崇智, 李 (2001). 中國歷代年號考. 中華書局. ISBN 7101025129. 
  15. ^ Seiwert 2003, hlm. 120.
  16. ^ 方田, 华 (2008-02-07). "隋朝的弥勒信仰——以弥勒信仰的兴衰为主线". 学佛网. Diakses tanggal 2024-11-09. 
  17. ^ a b "彌勒上生、下生經". 星雲大師全集. Diakses tanggal 2024-11-11. 
  18. ^ 魏征, 唐 (1973). 隋书. 北京: 中华书局. 
  19. ^ Ma 2011, hlm. 35.
  20. ^ 王钦若, 宋 (1960). 册府元龟. 北京: 中华书局. 
  21. ^ a b Seiwert 2003, hlm. 123.
  22. ^ 馬光, 司 (1084). 資治通鑑. 
  23. ^ J. Ter Haar, Barend (March 1, 1992). The White Lotus Teachings in Chinese Religions History. Brill Academic Pub. ISBN 9789004094147. 
  24. ^ 劭忞, 柯. 新元史. 上海古籍出版社. ISBN 9787532583805. 
  25. ^ a b Shouyi, Bai (2002). An Outline History of China. Foreign Languages Pr. ISBN 9787119023472. 
  26. ^ 東風, 邢 (2013). "北京廣通寺小考". 北京聯合大學學報(人文社會科學版). 
  27. ^ 沅, 毕 (2018). 续资治通鉴. 艺雅出版社. 
  28. ^ 清淮, 王 (2007). 中國邪教史. 群眾出版社. ISBN 9787501438310. 
  29. ^ "谁为徐寿辉的后台老板". 故乡. 2003-07-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2004-01-08. 
  30. ^ Kung Chuang, Tsu. "I-Kuan Tao 一貫道 (The Way of Unity): The Emerging Folk Buddhism In China and Taiwan". Diakses tanggal 2024-11-12. 
  31. ^ Mote, Frederick W. (1988). The Cambridge History of China, Volume 7: The Ming Dynasty, 1368–1644, Part 1. Cambridge University Press. ISBN 9780521243322. 
  32. ^ Farmer, Edward L., ed. (1995). Zhu Yuanzhang and Early Ming Legislation: The Reordering of Chinese Society Following the Era of Mongol Rule. BRILL. ISBN 9004103910. 
  33. ^ "White Lotus Rebellion". The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. May 2001. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-25. 
  34. ^ Perkins, Dorothy (2013). Encyclopedia of China: History and Culture. Routledge. ISBN 9781135935627. 
  35. ^ Seiwert 2003, hlm. 260.

Daftar pustaka

sunting