Perang Saudara Caesar

Konflik Besar dalam Republik Romawi (49 - 45 SM)

Perang Saudara Caesar adalah konflik besar yang terjadi dari tahun 49 SM hingga 45 SM antara Julius Caesar, seorang jenderal Romawi yang terkenal, dengan Senat Romawi yang dipimpin oleh Pompeius Magnus. Konflik ini merupakan salah satu perang saudara terbesar dalam sejarah Romawi yang akhirnya membawa perubahan besar dalam struktur politik Romawi, mengakhiri masa Republik Romawi dan membuka jalan bagi Kekaisaran Romawi di bawah kendali Caesar.

'Perang Saudara Caesar
Tanggal10 Januari 49–17 Maret 45 SM
LokasiHispania, Italia, Graecia, Aegyptus, Africa
Hasil Kemenangan Caesar
Pihak terlibat
Julius Caesar dan pendukungnya, Populares Senat Romawi, Optimat
Tokoh dan pemimpin
Julius Caesar,
Curio†,
Marc Antony,
Decimus Brutus,
Publius Sulla,
Calvinus
Pompey†,
Titus Labienus†,
Metellus Scipio†,
Cato the Younger†,
Gnaeus Pompeius
Sextus Pompeius
Dunia Romawi pada tahun 56 SM, ketika Caesar, Crassus, dan Pompeius bertemu di Luca untuk sebuah konferensi di mana mereka memutuskan untuk menambahkan lima tahun lagi pada masa prokonsulat Caesar di Galia, serta memberikan provinsi Suriah kepada Crassus dan kedua provinsi Spanyol serta Afrika kepada Pompeius.

Latar Belakang

sunting

Latar belakang perang ini terkait dengan meningkatnya ketegangan politik di Roma selama dekade terakhir sebelum pecahnya konflik. Setelah berakhirnya perang Galia, Caesar menjadi sangat populer dan berpengaruh berkat kemenangannya yang gemilang dalam memperluas wilayah Romawi di wilayah Galia (sekarang Prancis). Namun, pengaruhnya yang semakin besar dianggap mengancam oleh Senat Romawi, terutama oleh Pompeius, mantan sekutu Caesar yang menjadi musuh politiknya.

Pada tahun 60 SM, Caesar, Pompeius, dan Crassus membentuk aliansi politik informal yang dikenal sebagai Triumvirat Pertama. Aliansi ini memberikan kekuasaan besar bagi ketiga tokoh ini di Republik Romawi. Namun, kematian Crassus dalam Pertempuran Carrhae pada 53 SM dan meningkatnya rivalitas antara Caesar dan Pompeius menyebabkan keretakan dalam triumvirat tersebut. Pompeius mendukung Senat dan akhirnya berbalik melawan Caesar.

Pemicu Perang

sunting

Konflik antara Caesar dan Senat memuncak ketika Senat, yang berada di bawah pengaruh Pompeius, memerintahkan Caesar untuk membubarkan pasukannya dan kembali ke Roma sebagai warga negara biasa setelah masa jabatan Caesar sebagai gubernur Galia berakhir pada 50 SM. Senat berusaha mengurangi pengaruh Caesar, yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap Republik.

Caesar menolak perintah ini dan pada 10 Januari 49 SM, ia menyeberangi Sungai Rubicon dengan pasukannya—sebuah tindakan yang dianggap sebagai deklarasi perang terhadap Roma. Frasa "Alea iacta est" (dadu telah dilempar) yang dikatakan Caesar saat menyeberangi Rubicon menjadi simbol dari keputusannya yang tidak dapat dibatalkan. Dengan langkah ini, perang saudara antara Caesar dan Senat dimulai.

Jalannya Perang

sunting

Fase Awal (49 SM)

sunting

Caesar bergerak cepat ke Italia dengan pasukannya dan menduduki kota-kota penting tanpa perlawanan berarti. Pompeius, yang tidak siap menghadapi kecepatan serangan Caesar, memutuskan untuk meninggalkan Italia dan mundur ke Yunani untuk menyusun kekuatan baru. Caesar kemudian menguasai Italia dalam waktu singkat, tetapi ia menghadapi tugas yang lebih besar untuk mengalahkan Pompeius dan sekutu-sekutunya yang melarikan diri.

Setelah merebut kekuasaan di Italia, Caesar berusaha mengamankan provinsi-provinsi Romawi lainnya. Ia menaklukkan Hispania (Spanyol) yang merupakan salah satu benteng kekuatan Pompeius, sebelum kembali fokus pada pengejaran Pompeius di Yunani.

Pertempuran Pharsalus (48 SM)

sunting

Salah satu pertempuran terpenting dalam Perang Saudara Caesar adalah Pertempuran Pharsalus yang terjadi pada 9 Agustus 48 SM di Thessalia, Yunani. Meskipun pasukan Pompeius lebih besar, strategi militer Caesar yang superior memastikan kemenangannya. Pompeius melarikan diri ke Mesir setelah kekalahan ini, di mana ia dibunuh oleh faksi Mesir yang berharap mendapatkan dukungan Caesar.

Fase Pertengahan (47-46 SM)

sunting

Setelah kemenangan di Pharsalus, Caesar masih harus menghadapi tantangan dari sisa-sisa pendukung Pompeius yang tersebar di seluruh kekaisaran Romawi. Salah satu lawan utamanya adalah Raja Ptolemaios XIII dari Mesir, yang menyebabkan keterlibatan Caesar dalam konflik Mesir. Caesar akhirnya memenangkan perang di Mesir dan mendukung Kleopatra VII sebagai penguasa Mesir.

Setelah menyelesaikan masalah di Mesir, Caesar melanjutkan kampanyenya ke wilayah Afrika Utara di mana sekutu Pompeius berkumpul. Pada tahun 46 SM, Caesar berhasil mengalahkan pasukan Pompeius di Pertempuran Thapsus.

Pertempuran Munda (45 SM)

sunting

Pertempuran besar terakhir dalam perang ini adalah Pertempuran Munda yang terjadi di Hispania pada 17 Maret 45 SM. Di sini, Caesar menghadapi pasukan terakhir yang dipimpin oleh putra Pompeius. Caesar kembali meraih kemenangan yang memastikan akhir dari perang saudara ini.

Akibat dan Dampak

sunting

Dengan berakhirnya perang saudara, Caesar menjadi penguasa tertinggi Romawi, meskipun ia tidak secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai raja. Setelah perang, ia diangkat sebagai dictator perpetuo (diktator seumur hidup), yang memberikan Caesar kekuasaan mutlak atas Roma. Meskipun ia memperkenalkan berbagai reformasi, pemerintahannya yang otoriter menyebabkan ketidakpuasan di kalangan anggota Senat yang setia pada prinsip-prinsip republik.

Ketidakpuasan ini memuncak pada 15 Maret 44 SM ketika Julius Caesar dibunuh oleh sekelompok senator dalam peristiwa yang dikenal sebagai Ides of March. Kematian Caesar menandai berakhirnya perang saudara, tetapi memicu serangkaian konflik baru yang akhirnya mengakhiri Republik Romawi dan membuka jalan bagi Kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan Octavianus, yang kemudian dikenal sebagai Kaisar Augustus.

Referensi

sunting
  • Goldsworthy, Adrian. Caesar: Life of a Colossus. Yale University Press, 2006.
  • Holland, Tom. Rubicon: The Last Years of the Roman Republic. Doubleday, 2003.
  • Syme, Ronald. The Roman Revolution. Oxford University Press, 1939.