Perjanjian Britania Raya–Belanda 1824

perjanjian tahun 1824

Pada tanggal 17 Maret 1824, di London, antara Perserikatan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia dengan Perserikatan Kerajaan Belanda menandatangani Perjanjian Britania Raya-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Perjanjian London. Perjanjian ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang mulai muncul yang diakibatkan oleh Perjanjian Britania Raya-Belanda 1814.[1]

Perjanjian Britania Raya-Belanda 1824
JenisPerjanjian bilateral
Ditandatangani17 Maret 1824 (1824-03-17)
LokasiLondon, Inggris, Perserikatan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia
Penanda tangan
asal
 Perserikatan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia
Templat:Country data Perserikatan Kerajaan Belanda
RatifikasiBritania Raya
Belanda

Penyebab

sunting

Pada tahun 1811, Sir Thomas Stamford Raffles yang telah dilantik menjadi gubernur di koloni Britania Raya di Bengkulu (Bencoolen), Sumatra, masih meyakini bahwa Britania Raya perlu mencari cara untuk menjadi penguasa dominan di Asia Tenggara. Salah satunya dengan membangun sebuah pelabuhan baru di Selat Malaka. Pelabuhan Britania Raya yang sudah ada, seperti Pulau Pinang terlalu jauh dari Selat Malaka, sedangkan Bengkulu menghadap ke Samudra Hindia dan Selat Sunda. Raffles kemudian berhasil meyakinkan East India Company (EIC) untuk mencari pelabuhan baru, dan salah satu yang dilirik adalah Pulau Temasek (sekarang menjadi Singapura).

Raffles tiba di Temasek pada 29 Januari 1819. Dia menemukan sebuah perkampungan Melayu kecil di muara Sungai Singapura yang diketuai oleh seorang tumenggung dari Kesultanan Johor. Pulau itu dikelola oleh Kesultanan Johor tetapi keadaan politiknya tidak stabil. Pewaris Sultan Johor, Tengku Abdul Rahman dikuasai oleh Belanda dan Bugis. Raffles kemudian mengetahui bahwa Tengku Abdul Rahman menjadi sultan hanya karena saudaranya, yaitu Tengku Hussein tidak berada di tempat sewaktu ayahnya meninggal dunia. Menurut adat Melayu, calon sultan perlu berada di sisi sultan sekiranya ingin dilantik menjadi sultan.

Sadar bahwa ia dapat memanipulasi keadaan ini, Raffles telah mendukung Tengku Hussein untuk menjadi Sultan sekiranya Tengku Hussein memberikan izin kepada Britania Raya untuk membuka pelabuhan di Temasek dan sebagai balasan Britania Raya akan membayar uang tahunan kepada Tengku Hussein. Perjanjian ini menjadi sah pada 6 Februari 1819 dan nama Temasek diganti menjadi Singapura. Raffles kembali ke Bengkulu tidak lama setelah menandatangani perjanjian dengan Johor. William Farquhar kemudian mengepalai koloni baru Britania Raya ini dengan bantuan sepasukan tentara Britania Raya.

Di balik masalah-masalah yang dihadapinya, Singapura berkembang pesat karena statusnya sebagai sebuah pelabuhan bebas. Pedagang-pedagang Arab, Tionghoa, dan India menjadikannya tempat persinggahan mereka. Pendirian koloni Singapura oleh Raffles mendapat masalah ketika Belanda menuduh Britania Raya mencampuri daerah kekuasaannya dan meminta agar Britania Raya pergi dari Singapura. Pada mulanya, Britania Raya dan East India Company (EIC) bersimpati dengan masalah ini, tetapi akhirnya mereka mengabaikannya demi kepentingan kemajuan di Singapura. Menjelang tahun 1822, sudah jelas niat Britania Raya bahwa mereka tidak akan menyerahkan Singapura kepada Belanda.

Peristiwa Singapura ini menimbulkan perselisihan antara Britania Raya dan Belanda dan akibatnya diadakanlah persetujuan dan penandatanganan Perjanjian London pada tahun 1824. Perjanjian Britania Raya-Belanda pada tanggal 17 Maret 1824 di London (Perjanjian London).

Di kota London pada tanggal 17 Maret 1824, Britania Raya dan Belanda menandatangani Perjanjian Britania Raya-Belanda 1824, yang juga dikenal dengan Perjanjian London. Perjanjian ini ditujukan untuk mengatasi konflik yang bermunculan akibat pemberlakuan Perjanjian Britania Raya-Belanda 1814. Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania Raya diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn.

Perjanjian ini menjelaskan, bahwa kedua negara diijinkan untuk tukar menukar wilayah pada India Britania Raya, Ceylon (Sri Lanka) dan Indonesia, berdasarkan kepada negara yang paling diinginkan, dengan pertimbangan masing-masing negara harus mematuhi peraturan yang ditetapkan secara lokal. Antara lain:

  1. Pembatasan jumlah bayaran yang boleh dikenakan pada barang dan kapal dari negara lain.
  2. Tidak membuat perjanjian dengan negara bagian Timur yang tidak mengikutsertakan/membatasi perjanjian dagang dengan negara lain.
  3. Tidak menggunakan kekuatan militer dan sipil untuk menghambat perjanjian dagang.
  4. Melawan pembajakan dan tidak menyediakan tempat sembunyi atau perlindungan bagi pembajak atau mengizinkan penjualan dari barang-barang bajakan.
  5. Pejabat lokal masing-masing tidak dapat membuka kantor perwakilan baru di pulau-pulau Hindia Timur tanpa seizin dari pemerintah masing-masing di Eropa.

Pertimbangan-pertimbangan dalam perjanjian ini, juga turut mengikutsertakan :

  • Belanda menyerahkan semua dari perusahaan/bangunan yang telah didirikan pada wilayah India dan hak yang berkaitan dengan mereka.
  • Belanda menyerahkan kota dan benteng dari Melaka dan setuju untuk tidak membuka kantor perwakilan di semenanjung Melayu atau membuat perjanjian dengan penguasanya.
  • Belanda menarik mundur oposisinya dari kependudukan pulau Singapura oleh Britania.
  • Britania Raya meminta untuk diberikan akses perdagangan dengan kepulauan Maluku, terutama dengan Ambon, Banda dan Ternate.
  • Britania Raya menyerahkan pabriknya di Bengkulu (Fort Marlborough) dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatra kepada Belanda dan tidak akan mendirikan kantor perwakilan di pulau Sumatra atau membuat perjanjian dengan penguasanya.
  • Britania Raya menarik mundur oposisinya dari pendudukan pulau Biliton oleh Belanda.
  • Britania Raya setuju untuk tidak mendirikan kantor perwakilan pada kepulauan Karimun atau pada pulau-pulau Batam, Bintan, Lingga, atau pulau-pulau lain yang terletak sebelah selatan dari Selat Singapura atau membuat perjanjian dengan penguasa-penguasa daerah. Semua serah terima dari kepemilikan dan bangunan yang didirikan terjadi pada tanggal 1 Maret 1825. Hal ini di luar dari jumlah yang harus dibayarkan oleh Belanda sebesar 100.000 pound sterling sebelum akhir tahun 1825. Perjanjian ini disahkan pada tanggal 30 April 1824 oleh Britania Raya dan tanggal 2 Juni 1824 oleh pihak Belanda. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Britania Raya-Belanda 1814 ini maka kepulauan Hindia terbagi atas pengaruh dua kekuasaan tersebut, maka status Singapura, Malaka dan kawasan utara, termasuk Pulau Pinang, menjadi hak milik Britania Raya telah dikukuhkan. Sedangkan kawasan di sebelah selatan berada di bawah pengaruh Belanda. Pada tahun 1826, Singapura bersama-sama dengan Pulau Pinang dan Melaka digabungkan di bawah satu pemerintahan yaitu Pemerintahan Negeri-Negeri Selat.

Termasuk penyerahan Jawa kembali kepada Belanda, seperti yang dijelaskan pada Konvensi Jawa tanggal 24 Juni 1817.

Referensi

sunting
  1. ^ Reid, Anthony (2007). Asal Mula Konflik Aceh. Jakarta: Obor. ISBN 978-979-461-534-8.