Teori Konsumsi
Teori Konsumsi
Teori Konsumsi
konsumsi, inflasi, pertumbuhan ekonomi, investasi, kebijakan ekonomi dan tingkat pengangguran.
1. Teori Konsumsi
a. Teori Keynes ( Keynesian Consumption Model )
Hubungan Pendapatan Diposable dan Konsumsi
Keynes menjelaskan bahwa konsumsi saat ini (current consumption) sangat dipengaruhi oleh
pendapatan diposabel saat ini (current diposable income). Jika pendapatan disposabel meningkat, maka
konsumsi juga akan meningkat. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan
pendapatan diposabel.
C = Co + bYd
Ket : C = konsumsi
Co = konsumsi otonomus
b = marginal propensity to consume (MPC)
Yd = pendapatan diposable
0 < b < 1
Kecenderungan Mengonsumsi Marjinal
Kecenderungan mengonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume, disingkat MPC) adalah konsep
yang memberikan gambaran tentang berapa konsumsi akan bertambah bila pendapatan disposabel
bertambah satu unit.
0 < MPC < 1
Kecenderungan Mengonsumsi Rata-Rata
Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (Average Propensity to Consum, disingkat APC) adalah rasio
antara konsumsi total dengan pendapatan disposabel total.
Karena besarnya MPC < 1, maka APC < 1
Hubungan Konsumsi dan Tabungan
Pendapatan disposabel yang diterima rumah tangga sebagian besar digunakan untuk konsumsi,
sedangkan sisanya ditabung. Kita juga dapat mengatakan setiap tambahan penghasilan disposabel akan
dialokasikan untuk menambah konsumsi dan tabungan. Besarnya tambahan pendapatan disposabel
yang menjadi tambahan tabungan disebut kecenderungan menabung marginal (Marginal Propensity to
Save/MPS). Sedangkan rasio antara tingkat tabungan dengan pendapatan disposabel disebut
kecenderungan menabung rata-rata (Avarage Propensity to Save/APS)
Rumus :
Yd = C + S (saving)
MPS = 1 - MPC
APS = 1 APC
b. Karl Mark
Bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebutuhan masyarakat. Barang produksi
adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian,
masyarakat merupakan obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada
subordinat produksi, di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat.
c. Weber
Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya Weber muncul dengan
ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik Weber bahwa, etika Protestan bukan
hanya menghabiskan barang konsumsi sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun,
pada investasi dan kerja keras. Weber tampak ingin semakin memperjelas dan memperkokoh
kapitalisme dengan bentuk investasi kembali keuntungan produksi. Meskipun masyarakat kental dengan
semangat Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai sadar akan
kesenangan berkat kemajuan industri.
Sebelum berbicara mengenai budaya konsumen dan gaya hidup, terlebih dahulu kita harus juga
memahami konsumsi yang merupakan suatu kegiatan utama dalam budaya konsumen dan gaya hidup
tersebut, yang merupakan konsekuensi dari modernitas terhadap kehidupan sosial. Menurut Don Slater
(Damsar,2009), konsumsi adalah tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Artinya konsumsi
berkaitan dengan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dan terpuaskan atau menemui
kepuasan hidup. Tindakan-tindakan manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan pencapaian
kepuasan hidup itu berkaitan pula dengan material, simbol, jasa dan pengalaman. Seluruh rangkaian
inilah yang dimaknai sebagai tindakan konsumsi.
Bagi Marx, konsumsi adalah perluasan kekuatan produksi yang diorganisir. Jadi konsumen dari sebuah
produk adalah objek yang diorganisir oleh tatanan produksi. Konsumsi juga dimaknai sebagai sistem
makna yang menjadi pembeda antara seseorang dengan orang lain. Contohnya ketika seseorang
memilih mengkonsumsi ayam goreng di KFC di banding ayam goreng di pinggir jalan. Pilihan itu
mengandung makna dan menggambarkan sebuah fenomena sosial tertentu.
Sementara bagi Weber, konsumsi merupakan tindakan manusia yang dilandasi oleh rasionalitas. Jadi
secara umum, konsumsi juga dipandang sebagai suatu proses budaya yang tercermin dalam aktifitas,
tindakan , prilaku, perbuatan sosial yang mencirikan kehidupan seseorang (identitas). Pengertian ini
dikonstruksi dari konsep yang dikemukakan oleh beberapa ahli sosiologi ekonomi; Don Slater, Karl
Marx, Max Weber, dan Thorstein Veblein. (Damsar, 2009)
d. George Simmel
Munculnya uang sebagai alat tukar dan munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam
mengkonsumsi. Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa
dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai barang konsumsi muncul
dari penilaian terhadap barang konsumsi. Puncak imajinasi itu bergantung dan berperan pada
munculnya masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006: 55).
Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan menimbulkan
budaya baru masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society)
menjadi budaya konsumen (consumer culture).
e. Pierre Bourdieu
Seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang menurut buku ini mempelopori kemunculan
periode sosiologi konsumsi. Bourdieu menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam
masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial
seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas).
Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak
menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan
standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi
politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi.
f. Baudrillard
Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul posmodernisme. Posmodernitas
menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi.
Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas
barang tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya pusat perbelanjaan (super)modern,
kapitalisme neoliberal, dan pasar bebas. Melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi
kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih
pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin
hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik
konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru)
masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket,
hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan
pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme
tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme.
g. Featherstone
Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe Chaney, 2006: 67);
pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi
merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status.
Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Tipe kedua dari
konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub
motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga,
Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi
konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup.
Teori Konsumsi
Persoalan penghasilan bulanan selalu saja habis terkonsumsi, sementara tabungan tidak
bertambah, bukan hanya persoalan mereka yang bergaji kecil, tapi juga bergaji besar dan
sangat besar. Jika ada dua opsi penggunaan pendapatan yaitu konsumsi dan tabungan, maka
setelah semua kebutuhan konsumsi terpenuhi, sisa pendapatan akan masuk tabungan. Logis
kita berpikir mereka yang berpenghasilan besar, tentu punya sisa pendapatan (tabungan) yang
besar pula. Benarkah demikian? Dari setiap anda tentu punya jawaban. Boleh jadi Anda dan
teman Anda punya jawaban berbeda. Ada yang jumlah tabungannya menggunung seiring
meningkatnya tabungan. Ada juga yang tetap saja kehabisan uang sebelum akhir bulan,
padahal, gaji saat itu sudah hampir dua kali lipat dua tahun lalu. Dan, bisa jadi dengan besar
gaji yang sama, keuangan mereka yang masih single justru tertatih di paruh akhir bulan,
sementara mereka yang sudah berkeluarga justru masih tenang saja. Semua itu serba
mungkin.
Kenyataan seperti ini kadang tampak tidak masuk akal. Dan sepertinya banyak dari kita yang
mengalami ketidak masuk akalan ini. Saya masih ingat di masa awal bekerja. Gaji yang tidak
seberapa besar itu dapat saya kelola dengan baik, bahkan sempat saya sisihkan menjadi
tabungan. Rupanya ini hanya berlaku pada satu dua bulan awal saja. Ketika bulan berjalan,
konsumsi meningkat, selera menignkat, dan saya mulai tekor. Ketika gaji mulai naik, sempat
kodisi keuangan membaik. Tapi lagi-lagi itu hanya berlaku beberapa bulan, selanjutnya kembali
terperangkap dalam ketidak berimbangan pendapatan dan pengeluaran.
Seharusnya, ketika pendapatan naik, maka tabungan juga naik. Ini baru masuk akal. Dan
seperti ini pulalah prediksi teori konsumsi dari ekonom terkenal John Maynard Keynes, 1936:
konsumsi akan meningkat ketika pendapatan meningkat, tetapi tidak sebanyak kenaikan
pendapatan. Teori ini sangat logis, jika pendapatan meningkat Rp1 juta, maka konsumsi juga
akan meningkat, tetapi hanya sebesar misal, Rp600.000,00. Sehingga tabungan meningkat
Rp400.000,00.
Sekali lagi pada kenyataannya tidak semua dari kita mampu berpikir logis sebagaimana prediksi
teori konsumsi tersebut. Yang banyak terjadi, ketika gaji meningkat Rp1 juta, tabungan
meningkat Rp0. Apa penyebabnya? Pola konsumsi. Ketika pendapatan seseorang
meningkat, sebenarnya dia sudah merencanakan dengan rapi untuk mengerem konsumsi,
sehingga terbayang tabungan meningkat dalam beberapa bulan ke depan. Rencana tinggal
rencana, program promo dari suatu pusat perbelanjaan bisa-bisa dengan mudah mengacaukan
rencana. Mumpung lagi murah, sekalian juga belanja untuk suami dan anak, sambil berjanji
dalam hati setelah ini dan beberapa bulan ke depan tidak akan berbelanja lagi.
Penelitian konsumsi oleh Profesor David Laibson dari Harvard (1997) mengindikasikan bahwa
perilaku seperti ini dialami banyak orang. Beliau mengistilahkan dorongan gratifikasi instan
(instant gratification). Dorongan ini telah menyebabkan keputusan seseorang menjadi tidak
konsisten dengan waktu (time-inconsistent). Akibat dari gratifikasi instan tadi, besar
kemungkinan kawan kita yang berjanji tidak berbelanja lagi beberapa bulan ke depan tadi, saat
ini tengah kembali sibuk berbelanja.
Begitulah, sepertinya memang keputusan konsumsi tidak dibuat oleh homo economicus yang
ultrarasional tetapi oleh manusia yang tindakannya bisa jauh dari rasional. Oleh karena itu saya
harus mengakui keberhasilgunaan cara unik teman saya agar tidak semua penghasilan
bulanannya habis terkonsumsi. Beberapa waktu lalu dia mengajukan pinjaman ke sebuah bank
Rp50 juta. Bukan karena beliau butuh uang atau butuh modal. Ternyata uang Rp50 juta itu
didepositokan! Kini, selama dua tahun ke depan, gajinya harus dipotong Rp2,5 juta untuk
membayar angsuran dan bunga. Aneh memang, meminjam uang untuk ditabung lagi. Bagi
Anda yang biasa berpikir rasional, tentu mengkritik cara teman saya ini. Bunga pinjaman pasti
lebih tinggi dari bunga deposito, secara matematik cara ini tentu tidak menguntungkan, dia
tombok.
Keputusan kawan saya ini tidak rasional, tetapi realistis. Dengan meminjam ke bank, maka dia
dipaksa untuk konsisten membayar setiap bulan. Dengan begitu konsumsi dapat ditekan pada
level terendah, dan gratifikasi instan dengan mudah tertolak karena uang di dompet memang
sudah kosong. Hasilnya, dua tahun ke depan pada rekening depositonya tersimpan Rp57 juta.
Butuh perjuangan mengendalikan hasrat konsumsi.
Kenapa tidak kita sisihkan saja setiap bulan Rp2,5 juta lalu kita tabung? Tentu akan lebih
menguntungkan. Cara ini rasional, tetapi sering tidak realistis. Jika Anda yakin mampu
konsisten, cara ini lebih menguntungkan. Masalahnya, berapa banyak dari kita yang mampu
konsisten untuk ini?