Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih
Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung [Al-Ushul min Ilmil-Ushuloleh
Ibnu Utsaimin hal. 49 Maktabah Al-Misykah. Definisi yang serupa dikatakan pula oleh Asy-
Syinqithi dalam Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 305 Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].
Adapun secara istilah (syariat) taqliid bermakna :
Menerima satu perkataan tanpa mengetahui dalilnya [Mudzakaratu Ushuulil-Fiqh hal. 306
Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].
Mengikuti orang yang perkataannya bukan hujjah [Al-Ushul min Ilmil-Ushul oleh Ibnu Utsaimin
hal. 49 Maktabah Al-Misykah].
Satu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah [Irsyaadul-Fuhuul oleh Asy-
Syaukani juz 2 hal. 51 Maktabah Al-Misykah].
Al-Amidy mendefinisikan hal yang mirip dengan Asy-Syaukani [Ihkaamul-Ahkaam 4/220].
Apakah taqlid itu terpuji dalam ilmu ?
Al-Hafidh Ibnu Abdil-Barr rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur : Jamiu Bayanil-Ilmi wa
Fadhlihi juz 2 hal. 36-37 mengatakan :
Definisi ilmu menurut ulama adalah : Sesuatu yang kamu perdalami dan kamu pahami, dan
setiap orang yang mendalami sesuatu dan memahaminya maka sesungguhnya dia mengetahui.
Atas dasar ini, maka orang yang tidak mendalami sesuatu, lalu ia mengatakannya karena taqlid,
maka dia tidak mengetahuinya. Sedangkan taqlid menurut ulama adalah bukan ittiba
(mengikuti). Sebab ittiba adalah bila kamu mengikuti orang yang berpendapat tentang sesuatu
yang telah kamu ketahui keshahihan (kebenaran) pendapatnya. Sedangkan taqlid adalah bila
kamu mengatakan pendapat seseorang dan kamu tidak mengetahui arah dan arti pendapat
tersebut [selesai].
Bahkan Ibnu Abdil-Barr menulis dalam kitabnya tersebut satu bab khusus yang berjudul :
Kerusakan Taqlid dan Penafikannya; Serta Perbedaan Antara Taqlid dan Ittiba [
]. Pada bab tersebut beliau menukil perkataan salah
seorang pembesar ulama Malikiyyah yang bernama : Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri
Al-Maliki :
Dan berkata Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki : Makna taqlid dalam syariat
adalah merujuk suatu pendapat yang tidak memiliki hujjah, dan yang demikian itu adalah
dilarang dalam syariat. Sedangkan ittiba adalah (merujuk) pada satu pendapat yang disertai
hujjah (dalil). Dan beliau berkata di tempat yang lain : Setiap orang yang Engkau ikuti
perkataannya tanpa ada dalil yang mengharuskan hal itu, maka Engkau adalah orang yang
taqlid kepadanya. Sementara taqlid tidaklah dibenarkan dalam agama Allah. Setiap orang yang
Engkau ikuti karena adanya dalil yang mengharuskan Engkau mengikuti pendapatnya, maka
Engkau dianggap ittiba (mengikutinya). Ittiba adalah hal yang diperkenankan dalam agama
sedangkan taqlid adalah hal yang dilarang [selesai lihat Jamiu Bayanil-Ilmi wa Fadhlihi2/117].
Imam As-Suyuthi berkata : Sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak dinamakan orang yang
berilmu [Dinukil As-Sindi dalam hasyiyah-nya/ terhadap Sunan Ibni Majah 1/7 dan dia
menetapkannya].
Bagaimana bisa seorang yang taqlid (muqallid) dinamakan sebagai orang yang berilmu padahal
ia hanya mendasarkan perkataan dan perbuatannya hanya dengan konsep ikut-ikutan ?
Hakekat seorang muqallid , tidaklah membangun amalnya dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan
pengetahuan ijma.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/07/taqlid-dan-sedikit-penjelasan-tentang.html
Pengantar Fiqih (bagian ke-4): Sejarah Perkembangan Fiqih Islam, Taqlid, dan Talfiq
Rubrik: Tarikh Tasyri', Ushul Fiqih | Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah - 02/03/12 | 08:30 | 09 Rabbi al-Thanni
1433 H
Belum ada komentar
3.666 Hits
Ilustrasi (muxlim.com)
4. Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah Sampai Hari Ini
dakwatuna.com - Fase ini ditandai dengan semakin luasnya perbedaan antara dua madrasah fiqih:
1. Al Madrasah Al Madzhabiyyah: yaitu madrasah pengikut empat mazhab yang menganggap telah
tertutupnya pintu ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten dengan salah satu dari empat
mazhab.
2. Al Madrasah as Salafiyah, yaitu madrasah yang menghendaki kembali langsung kepada Al Quran dan As
Sunnah, melarang seorang muslim taqlid dalam masalah furu, mewajibkannya berijtihad, mengkaji dan
mengambil langsung dari teks Al Quran dan Sunnah.
Memang pertarungan ini sudah ada sejak fase sebelumnya, akan tetapi pada fase ini pertarungan itu semakin
tajam dan meluas, dan menjadi tema penting dalam diskusi-diskusi antara para ulama dan pencari ilmu, bahkan di
kalangan awam. Pendukung masing-masing madrasah menulis buku, menyebarkan artikel untuk mendukung
pandangannya.
Luasnya ruang dialog berdampak luas bagi mundurnya masing-masing pendukung madrasah itu dari sikap
sektariannya, dan dapat mempersempit ruang perbedaan, dan bahkan terjadi pencairan, kalau saja tidak ada
orang-orang yang taashshub/fanatik terhadap masing-masing madrasah, yang terus mempertahankan sikap
sektariannya yang mengundang reaksi pihak lainnya.
Kami akan berusaha untuk mengambil batas-batas qaidah syari, yang memungkinkan dua madrasah itu bertemu,
dan jauh dari sikap sektarian dan fanatik, yaitu:
a. Masyruiyyah (disyariatkannya) Taqlid
Taqlid artinya mengikuti pendapat seorang ulama tanpa mengetahui dalil kebenaran pendapat itu. Hal ini
disyariatkan bagi kaum muslimin yang awam dalam masalah-masalah fiqih. Dalilnya antara lain:
1. Firman Allah: maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui, (QS. An Nahl: 43)
Perintah Allah ini pada orang yang tidak mengetahui hokum agama untuk bertanya kepada ahludz dzikr, yaitu
orang-orang yang mengetahuinya. Dan yang terendah dalam perintah ini adalah al ibahah/boleh. Kesimpulannya:
diperbolehkan bagi orang awam untuk bertanya kepada ulama dan mengikuti pendapatnya.
2. Firman Allah: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At Taubah: 122)
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa tidak mungkin seluruh kaum muslimin mempelajari fiqih, akan tetapi
ada sekelompok orang yang focus, kemudian mengajarkannya kepada saudara-saudaranya. Jika memungkinkan
atau semua umat Islam disuruh mendalami fiqih dalam setiap masalah furuiyah maka Allah tidak memberikan
larangan di atas.
Realitas sahabat RA yang merupakan generasi terbaik, hanya terdapat sedikit fuqaha, dan mayoritas mereka
meruju kepada para fuqaha yang minoritas itu untuk mendapatkan fatwa masalah-masalah agamanya. Menerima
fatwanya tanpa menanyakan apa dalilnya, kecuali dalam kondisi tertentu.
Rasulullah saw mengutus seorang ulama, atau qari (pembaca Al Quran) dari kalangan sahabat ke satu qabilah
untuk mengajarkan Islam dan Al Quran. Kabilah itu menerima saja dari sahabat itu tanpa menanyakan apa
dalilnya.
Demikianlah ijma (kesepakatan) sahabat tentang diperbolehkannya orang awam mengikuti seorang mujtahid. [1]
Logis dan riilnya: Apa yang bias dilakukan oleh seorang muslim yang awam, dan tersibukkan dengan urusan
pekerjaan? Apa yang bisa dilakukan seorang arsitek, dokter, dll jika menghadapi masalah agama? Apakah kita
mengharuskannya untuk mengkaji buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak? Lalu jika
tidak menemukan maka harus merujuk kepada buku-buku bahasa, agar memahaminya. Jika menemukan lebih dari
satu nash maka harus mentarjih salah satunya. Dan ini tidak akan terjadi kecuali setelah melakukan kajian
panjang, mengetahui nasakh mansukh, dll. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan berijtihad. Sementara
seseorang tidak akan bisa berijtihad jika tidak memiliki kemampuan ijtihad.
Dan ketika kita perketat syarat ijtihad maka kebanyakan orang tak akan mampu, sebagaimana yang terjadi
sekarang ini, atau akan terjadi ijtihad tanpa batasan syari, tanpa ilmu. Dan ini lebih berbahaya daripada
mengembalikan mereka kepada ulama yang telah menfokuskan diri untuk menggali hukum.
Realitas madrasah salafiyah sendiri sudah tidak rahasia lagi- bahwa ulama madrasah ini banyak berbeda
pendapat satu dengan yang lainnya dalam masalah hukum Islam, bisa karena perbedaan penafsiran, atau
mentashih hadits, atau dalam menggali hukum, dan setiap ulama itu memiliki pengikut pendapatnya.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini bukan taqlid tetapi ittiba karena pengikut itu mengetahui dalilnya dan
menerimanya. Kami katakana: Mengapa para ulama itu tidak mengenali dalil ulama lain dan menerimanya? Apakah
ketika seseorang menerima dalil salah seorang ulama dianggap tidak ada nilainya karena berbeda dengan ulama
lainnya? Apa bedanya hal ini dengan para pengikut yang menerima dalil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
yang benar, dengan para pengikut taqlid tanpa bertanya tentang dalilnya, karena dia menyadari
ketidakmampuannya untuk menerima atau menolak dalil?
Terakhir, telah berlangsung ijma tentang diperbolehkannya taqlid sejak abad pertama, meskipun ada sebagian
sectarian pengikut madrasah salafiyah yang berbeda pendapat. Pada kenyataannya mereka menerima taqlid itu
dengan bentuk lain.
b. Taqlid bukanlah kewajiban
Di antara kesalahan populis pada fase fanatic mazhab adalah terbaginya kaum muslimin pada mujtahid dan
muqallid, lalu tertutupnya pintu ijtihad, sehingga setiap orang menjadi muqallid termasuk para ulama dan pencari
ilmu. Karena itulah melemah atau hilang semangat untuk mengkaji, diskusi, dan pendalaman. Obsesi para ulama
muqallid hanya terbatas pada pembelaan pendapat mazhabnya meskipun dengan dalil yang lemah, meskipun
mereka tidak berhak karena statusnya sebagai muqallid, untuk berbeda dengan mazhab. Al Iz ibn Abdussalam
dalam kitabnya: Qawaidul Ahkam mengkritik para fuqaha yang menyikapi kelemahan dalil imamnya, lalu
berusaha mencari pembenarannya, dan tidak menemukan pembelaan kelemahannya, tetapi masih saja
mengikutinya dengan meninggalkan Al Kitab, As Sunnah dan qiyas yang shahih, karena mempertahankan
kejumudan taqlid imamnya.
Kalimat ini tidak kami maksudkan untuk membuka pintu ijtihad yang bisa dimasuki siapa saja tanpa kemampuan
yang cukup. Kami hanya bertujuan untuk mengatakan bahwa taqlid dan urgensinya adalah dalam batas mubah
dan boleh, tidak akan berubah menjadi wajib, kecuali pada orang awam yang sama sekali tidak memiliki
kemampuan pengkajian dan penelitian. Sedangkan bagi orang yang mampu mempelajari dan meneliti, atau
mumpuni untuk berpindah dari taqlid (mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya) kepada ittiba
(mengikuti pendapat ulama setelah mengetahui dalilnya). Mengetahui dalil dan menerimanya tidak berarti
melegitimasinya menjadi ahli ijtihad, hanya memperbolehkannya, bisa jadi dalam satu masalah ketika
mempelajari dalil-dalil mazhabnya kemudian menemukan kelemahan dalil itu mengharuskannya untuk mengambil
pendapat mazhab lain yang lebih kuat. Posisi ini dapat disebut sebagaimana Imam Hasan Al Banna- menyebutnya:
Level mengkaji hukum agama atau level orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama, memahaminya,
mengenali dalilnya, dan merujuk kepada sumber utama untuk menilainya.
c. Taqlid tidak terbatas pada empat Mazhab
Masalah populer yang ada di masa fanatic mazhab adalah pembatasan taqlid pada empat mazhab saja. Hal ini
tidak berdasar pada dalil syari yang melarang taqlid ulama lainnya.
Dasarnya hanyalah bahwa mazhab empat itu telah lengkap pembukuan dan penjelasannya, yang dapat diperoleh
dengan berurutan, terbagi menurut bab yang rapi, dan tersedia para ulama yang mengajarkan, sehingga bisa
dengan mudah meyakinkan dan menisbatkan pendapat itu kepada aslinya, imamnya atau mazhabnya.
Sedangkan mazhab lainnya maka sangat sulit untuk menemukan nisbat pendapat itu kepada yang berhak. Kalau
toh bisa ditemukan nisbatnya, pendapat-pendapat itu tidak didukung oleh para pengikut mazhab yang
menjelaskannya ketika membutuhkan penjelasan.
Atas dasar sebab-sebab teknis di atas itulah kemudian para ulama membatasi taqlid hanya pada empat mazhab
saja.
Akan tetapi pada zaman sekarang ini, ketika buku-buku klasik Islam telah dicetak dan telah berada di tangan
kaum muslimin, dan pendapat para sahabat dan tabiin serta para mujtahid -baik fase sebelum era empat mazhab,
atau yang semasa mereka, atau sesudahnya- telah tersebar dan sangat mudah untuk menisbatkan kepada pemilik
aslinya. Maka tidak ada lagi halangan untuk bertaqlid kepada mereka dalam satu masalah atau yang lainnya jika
berkemampuan untuk mengkaji dalil-dalilnya. Apalagi jika ditemukan bahwa dalil-dalil mereka lebih kuat dari
dalil yang sedang diamalkan sekarang ini.
Al Izz bin Abdussalam berkata: .. Maka ketika ada mazhab yang menurutnya lebih kuat, maka bagi orang yang
taqlid itu diperbolehkan mengikutinya meskipun di luar empat mazhab.
d. Diperbolehkan iltizam/konsisten dengan satu mazhab bagi orang awam
Di antara kesalahan yang menyebar di kalangan kaum muslimin pada masa taashshub mazhab adalah kewajiban
iltizam dengan satu mazhab saja, dan haram intiqal/berpindah ke mazhab lainnya. Dan jawaban dari pandangan
yang sektarian ini adalah larangan iltizam dengan satu mazhab. Kedua pendapat ini tanpa dalil.
Kewajiban iltizam dengan satu mazhab dan larangan intiqal mazhab lain baik secara umum maupun dalam
masalah tertentu, baik sebelum atau sesudah mengamalkannya, tidak ada dalil syarinya. Sebab yang wajib adalah
yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu iltizam dengan hukum syari, dan memperbolehkan kita jika tidak
mengetahuinya langsung dari Al Quran dan As Sunnah untuk bertanya kepada ahludzdzikri tanpa ada pembatasan
satu persatunya. Para sahabat bertanya kepada para fuqahanya, adan fuqaha menjawab pertanyaan mereka, dan
tidak seorang pun dari sahabat yang ditanya itu mewajibkannya untuk tidak bertanya lagi kepada yang lain baik
dalam masalah itu maupun masalah yang lainnya. Demikianlah kaum muslimin di sepanjang masa, sampai di masa
empat imam mazhab itu sendiri. Tidak ada seorang pun dari mereka yang melarang muridnya mengambil pendapat
ulama lain, tidak pernah ada pemikiran yang mewajibkan iltizam dan melarang intiqal kecuali pada masa
belakangan saja.
Demikian juga pendapat yang mengharamkan iltizam dengan satu mazhab dan menganggapnya sebagai syirik,
juga tidak ada dalilnya. Jika ada seseorang yang merasa cocok dengan salah satu ulama karena ketaqwaannya,
dan selalu lebih ia sukai fatwanya, maka dalam Islam juga tidak ada dalil yang melarangnya, baik ulama itu dari
kalangan empat mazhab atau selainnya. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa iltizam itu hukumnya wajib
syari. Kemudian jika suatu saat ingin intiqal ke mazhab lain, maka tidak ada yang menghalanginya, (dengan
memperhatikan penjelasan berikut tentang talfiq).
e. Kewajiban mengikuti dalil bagi pengikut yang mampu mengkaji
Sedangkan seorang muslim pengikut mazhab yang sudah mampu mempelajari hukum syari maka kewajibannya
adalah mencari dalil setiap masalah yang dikajinya, mendalaminya, memahami pendapat yang berbeda dan dalil-
dalilnya, kemudian memilih yang paling dekat dengan Kitabullah dan As Sunnah, meskipun sikap ini membuatnya
mengambil mazhab ini dan itu, bahkan jika mengharuskannya untuk berijtihad sendiri dalam masalah-masalah
baru yang belum dibahas oleh ulama sebelumnya.
Walau demikian, tidak ada larangan syari bagi seorang muslim pengikut mazhab untuk mengikuti satu mazhab
sehingga dia mampu mempelajari seluruh masalah dengan keharusan mengikuti dalil yang lebih kuat dan bertahan
pada dasar mazhab pilihannya dalam masalah lain. Karena Allah tidak pernah memberikan taklif kepada seseorang
kecuali sebatas kemampuannya. Terkadang seorang muslim harus berbulan-bulan tafarrugh (menfokuskan diri)
untuk mempelajari satu masalah sehingga dapat menemukan dalil yang lebih kuat yang memuaskannya. Maka
tidak salah kalau dia masih menjadi muqallid (taqlid) dengan salah satu imam, sehingga ia mampu mempelajari
masalah. Lalu ketika telah menemukan dalilnya masih bersama dengan imam yang diikutinya, ia bisa bertahan di
situ. Dan jika mendapatkan dalil yang kuat ada pada imam lain, maka ia akan pindah ke pendapat lain.
f. Diperbolehkan Talfiq
Talfiq artinya mengambil dari berbagai mazhab untuk satu masalah dan sampai kepada cara mazhab itu
berpendapat. Akan kami jelaskan masalah talfiq dengan singkat berikut ini:
Mengambil satu masalah dari satu mazhab, dan mengambil masalah lain dari mazhab lain yang tidak berhubungan
dengan masalah pertama diperbolehkan menurut jumhurul ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu
mazhab dan memperbolehkan intiqal ke mazhab lain. Seperti seorang muslim yang shalat dengan mazhab Syafiiy,
kemudian zakatnya dengan mazhab Hanafi, atau puasa dengan mazhab Maliki.
Iltizam tentang satu masalah syari dengan satu mazhab, lalu intiqal ke mazhab lain dalam masalah yang sama.
Seperti shalat Zhuhur dengan satu mazhab, kemudian shalat Ashar dengan mazhab lain. Hal ini juga diperbolehkan
oleh Jumhurul Ulama yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu mazhab.
Bentuk talfiq yang diperselisihkan boleh tidaknya adalah talfiq dalam satu masalah saja. Seperti seorang muslim
berwudhu mengusap sebagian kepala, sesuai dengan mazhab Syafiiy, kemudian menyentuh wanita dan merasa
tidak batal, taqlid imam Abu Hanifah dan imam Malik yang tidak menganggap bersentuhan wanita tidak
membatalkan wudhu, kemudian ia shalat. Para ulama mazhab belakangan mengatakan: wudhu ini sudah batal,
karena telah bersentuhan dengan wanita, dan tidak sah menurut Abu Hanifah karena mengusap kepalanya tidak
sampai seperempat, tidak sah menurut Imam Malik karena tidak mengusap seluruh kepala. Talfiq di sini menyeret
kepada cara yang tidak diajarkan oleh mazhab manapun. Inilah yang tidak diperbolehkan.
1. Sesungguhnya talfiq jika dilakukan dengan dalil yang kuat dari orang yang mampu mengkaji dalil-dalil
hukum syari, diperbolehkan. Karena kewajiban seorang muslim adalah berijtihad untuk dirinya sendiri.
Dan ini bukan sisi yang diperselisihkan.
2. Sedangkan talfiq yang dilakukan orang awam, diperbolehkan juga, karena mazhabnya orang awam
adalah mengikuti fatwa muftinya. Dan orang awam tidak ditugaskan untuk mengkaji mazhab dan
melihat sudut-sudut perbedaan, sebab jika dia mampu melakukan hal ini tentu dia menjadi muqallid,
bukan awam. Para sahabat RA ketika bertanya tentang satu masalah tidak menanyakan kepada seluruh
orang yang mengetahuinya, dan yang ditanya juga tidak mensyaratkan jika sudah mengambil
pendapatnya dalam masalah ini agar tidak bertanya kepada orang lain dalam masalah yang sama. Ini
artinya bahwa generasi terbaik telah melakukan talfiq, ketika mazhab dan pendapat para sahabat belum
dikumpulkan dan dibukukan. Setiap muslim dapat bertanya kepada siapa saja sahabat yang ditemui, lalu
bertanya ke sahabat lainnya, tanpa meneliti apakah dua pertanyaan itu berkaitan atau tidak.
3. Contoh tentang wudhu di atas, dapat kami jelaskan: Bahwa wudhu itu telah benar menurut mazhab
Syafiiy, sudah benar menurut pandangan Syari, karena mazhab Syafiiy bukan syariat yang berdiri
sendiri, tetapi pintu yang dipergunakan seorang muslim untuk sampai kepada syariah Allah. Ketika sudah
masuk ke mazhab itu ia sudah berada di ruang syariah, wudhunya benar dalam pandangan syariah, jika
dia menyentuh wanita dengan mengikuti mazhab Hanafi maka wudhunya tetap sah sesuai dengan
mazhab itu, artinya sesuai dengan syariat Islam, karena mazhab Hanafi juga bagian dari syariat Islam
4. Kemudian talfiq yang dilakukan dengan dalil yang kuat, oleh orang yang mumpuni, dan larangan bagi
orang awam, akan berkonotasi bahwa ada satu masalah yang haram atas seorang muslim dan halal bagi
muslim lainnya. Hal ini tidak bisa diterima dalam hukum Islam yang di antara karakteristiknya adalah
menyeluruh. Yang telah halal dalam syariah halal untuk semua, dan yang haram untuk dalam syariah
haram untuk semua.
5. Syeikh Ath Tharsusiy, Al Allamah Abus Suud, Al Allamah Ibnu Nujaim, Al Allamah Ibnu Arafah Al Malikiy,
Al Allamah Al Adawiy dll, telah memfatwakan diperbolehkannya hukum murakkab atau talfiq. [2]
Bersambung
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/02/19156/pengantar-fiqih-bagian-ke-4-sejarah-perkembangan-
fiqih-islam-taqlid-dan-talfiq/#ixzz3GE0lOekk
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
http://www.dakwatuna.com/2012/03/02/19156/pengantar-fiqih-bagian-ke-4-sejarah-
perkembangan-fiqih-islam-taqlid-dan-talfiq/#axzz3GDoETfMU