Studi Kasus Integumen - Kusta, Morbus Hanse
Studi Kasus Integumen - Kusta, Morbus Hanse
Studi Kasus Integumen - Kusta, Morbus Hanse
JAWABAN
1. Berdasarkan kasus tersebut diketahui bahwa Ny. Y menderita penyakit
Morbus Hansen (kusta/Lepra), merupakan suatu penyakit kronis yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae (M. Leprae) yang
menyerang susunan saraf tepi pertama kalinya dan selanjutnya menyerang
kulit, mukosa(mulut), saluran nafas bagian atas sistem retikulo endotelial,
mata, otot, tulang dan testis.
KLASIFIKASI
Klasifikasi Morbus Hansen menurut Ridley-Jopling :
Tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT)
Lesinya mengenaikuliut maupun saraf bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula, berbatas jelas dan permukaan lesinya
Bercak kusta
Pausibasiler
Multibasiler
(PB)
(MB)
Jumlah 1 -5
Jumlah >5
(gangguan
fungsi
hasil
tahan
ETIOLOGI
Penyebabnya Morbus Hansen adalah Mycobakterium Leprae yang
merupakan bakteri tahan asam. Masa membelah diri M. Leprae memerlukan
waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12-21 hari dan
masa tunasnya antara 40 hari-40tahun.
Morbus Hansen dapat menyerang semua umur tetapi frekuensi
tertingginya terjadi pada usia 30-50 tahun.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda khas yang terdapat pada penyakit Morbus Hansen ini adalah :
Bercak-bercak keputihan pada kulit (hypopigmentasi) atau kemerahan yang
disertai mati rasa
Adanya penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsinya berupa : gangguan
fungsi sensoris yaitu mati rasa
Gangguan fungsi motoris yaitu kelemahan otot tangan, kaki dan mata(parese)
Gangguan fungsi otonom : kulit kering
Ditemukannya M. Leprae pada pemeriksaan bakteriologis(positif)
Apabila salah satu dari 3 tanda diatas ada, tanda tersebut sudah cukup
untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta.
KOMPLIKASI
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
TEST DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa
hidung
yang
diwarnai
dengan pewarnaan
BTA
ZIEHL
Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat
tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Pemeriksaan Serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes
serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul
manifestasi klinis.
Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya antibodi spesifik
terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika
dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah
penularan penyakit sedini mungkin.
Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan
yang meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas.
Karena yang diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila
ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka
patutlah dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae.
Pada kusta subklinis seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta
namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta
dalam kadar yang cukup tinggi.
Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik
dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara
terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka,
bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau alat
bantu lainnya, serta terapi okupasi.
Penting pula diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi
sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap kembali ke
masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban
kerusakan
saraf,
sehingga
terhindar
pula
dari
PERAWATAN UMUM
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik
karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b) Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda
luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
Data objektif
Ditemukan
Klien
mengatakan
adanya
bercak-
jari-jari
susah digerakkan
Keringat)
Klien
Tambahan
tidak
(Tes uji
merasakan
Klien
mengatakan
kulitnya
mengatakan
tidak
berkeringat
Tampak hipopigmentasi
Rambut
kondisinya
daerah lesi
Klien
mengatakan
kesulitan
rontok
pada
otot
klien
Kekuatan
menurun
dibantu
oleh
keluarganya
3. Analisa Data
Data
Etiologi
Data Subyektif :
Masalah
Klien
kulitnya
juga
menebal
Klien
mengatakan
tidak berkeringat
Data Obyektif :
Ditemukan
bercak-bercak
putih
dan
pada
lesi
pemeriksaan kulit
Ditemukan perubahan
warna
antara
kulit
Data Subyektif :
dan
susah
digerakkan
Klien juga mengeluh
mati rasa pada tangan
dan kaki.
Klien
mengatakan
kesulitan
dalam
Data Obyektif :
Jari-jari
tangan
dan
kaki
tampak
kaku
Intoleransi aktifitas
(kontraktur).
Kekuatan
otot
klien
menurun
Dalam memenuhi ADL
nya klien dibantu oleh
keluarganya
Data Subyektif :
Klien
merasa
tidak
percaya
diri
dengan kondisinya
Data Obyektif :
Ditemukan
adanya
bercak-bercak
putih
dan lesi.
Tampak
hipopigmentasi
Rambut rontok pada
daerah lesi
4. Diagnosa
1. Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi pada kulit
Tujuan : Setelah memberikan asuhan keperawatn selama 3x24 jam
diharapkan integritas kulit klien terjaga
Intervensi :
1) Kaji dan catat warna lesi, kedalaman dan jaringan nekrotik serta
kondisi sekitar lesi
R/Dengan melakukan pengkajian kondisi sekitar lesi maka
sirkulasi daerah lesi dapat diketahui
2) Lakukan perawatan luka setiap hari secara tepat
R/Dengan membersihkan, membuang jaringan yang mati dapat
mengurangi penebalan pada kulit
3) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
R/ Tekanan pad lesi bisa menghambat proses penyembuhan
4) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan luka dan cara
pencegahan penularan
R/ dengan mengajarakan, meningkatkan kemandirian pasien dan
keluarga serta mencegah penularan pada keluarga lain.
5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi TKTP
R/ diet TKTP dapat membantu dalam proses pembentukan
jaringan dan sel baru
2. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan otot
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik
dapat teratasi
Intervensi :
1) Kaji tingkat kemampuan klien
R/ Denagan mengkaji
4) Jadwalkan
pengobatan
dan
aktifitas
perawatan
uintuk
seseorang
terhadap
dirinya
sendiri
akan
dorongan
kepada
klien
dan
keluarganya
untuk
mengungkapkan perasaannya
R/ Pasien membutuhkan orang yang dapat mendengarkan dan
memahami masalahnya
4) Berikan motivasi dan harapan kepada klien
R/ Dengan memberikan motivasi dapat menumbuhkan
semangat dan harapan bagi pasien serta membuat pasien
menerima keadaan dirinya.
5) Jaga privasi dan lingkungan individu
R/ Lingkungan yang privasi dan bersih membuat pasien merasa
nyaman ketika berhubungan sosoal dengan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA