0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
150 tayangan18 halaman

LAPORAN PENDAHULUAN Cks

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 18

LAPORAN PENDAHULUAN

CIDERA KEPALA SEDANG


Disusun untuk Melengkapi Tugas Individu Blok Clinical Study 2
Departemen Emergency

Disusun oleh :
ARINI NUR HIDAYATI
115070201111004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
CIDERA KEPALA SEDANG

1. Definisi Cidera Kepala Sedang


Cedera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit
kepala tulang tengkorak, duramater, pembuluh darah serta otaknya mengalami cedera
baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus (Satyanegara, 2010). Cedera Kepala
juga dapat didefinisikan sebagai kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial (Smeltzer, 2000). Sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak. (Fearnside, 1997).
Sedangkan yang dimaksud dengan cidera kepala sedang merupakan trauma
yang melibatkan seluruh bagian kepala mulai bagian terluar kepala (kulit kepala) sampai
bagian terdalam kepala (otak) yang menyebabkan individu mengalami penurunan
kesadaran ( konfusi, latergi, atau stupor ) dengan GCS 9-14, mengalami amnesia
pasca trauma dan menunjukkan tanda terjadinya fraktur kranium (George dkk, 2009).
2. Etiologi dan Faktor Resiko Cidera Kepala Sedang
Etiologi atau penyebab dari trauma kepala ini antara lain :
a) Kecelakaan lalu lintas/industri
Dari kebanyakan kasus trauma yang terjadi, kecalakaan lalu lintas adalah
b)
c)
d)
e)

penyebab terbanyak. Baik itu kecelakaan lalu lintas darat, air dan udara.
Jatuh dari suatu ketinggian
Benturan benda tajam/ tumpul
Trauma pada saat kelahiran
Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
Kejadian yang termasuk cedera akselerasi adalah ketika seseorang berjalan,
kemudian tiba tiba tertabrak mobil dari belakang. Pada kejadian akselerasi
jantung akan bekerja dengan kecepatan yang telah dipercepat ( kerja jantung

f)

semakin cepat ) sehingga dapat berakibat fatal pada penderita.


Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
Kejadian yang termasuk cedera deselerasi adalah ketika sebuah mobil
menabrak pohon. Pada kejadian deselerasi, sebuah benda yang memiliki
kecepatan akan dihentikan secara mendadak. Sehingga jantung yang pada
awalnya bekerja sesuai dengan kecepatan sebelumnya, akan tiba tiba
dihentikan secara mendadak. Hal ini akan dapat mempengaruhi hemodinamik
pasien (Tarwoto dkk, 2007).

Faktor Risiko Cedera Kepala


a. Usia
Usia muda atau remaja dan dewasa lebih berisiko terkena cedera kepala karena
aktivitas yang dilakukannya.
b. Gaya hidup
Gaya hidup seperti kebiasaan mengonsumsi alkohol berisiko terhadap terjadinya
cedera kepala berhubungan dengan risiko terjatuh atau terbentur.
c. Aktivitas yang tidak baik

Aktivitas yang tidak baik misalnya kebut-kebutan di jalanan dan tidak menggunakan
alat proteksi diri seperti helm meningkatkan risiko keparahan cedera kepala.
d. Penggunaan senjata yang tidak semestinya
e. Mengantuk dan kelelahan
f. Jenis kelamin
Risiko laki-laki terkena cedera kepala lebih besar karena aktivitas laki-laki lebih
berisiko terhadap cedera kepala, seperti kecelakaan di jalanan, kebut-kebutan, dan
lain-lain.
g. Cara berjalan yang tidak stabil (Tarwoto dkk, 2007)
3. Klasifikasi Cidera Kepala
Menurut GCS ( Glasgow Coma Scale)
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS > 13
Tidak terdapat kelainan pada CT Scan Otak
Tidak memerlukan tindakan operasi
Lama dirawat di RS< 48 jam
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang 30 menit
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit
b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
Ditemukan kelainan pada CT scan
Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
Dirawat di RS setidaknya 48 jam
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24

jam
Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea ( keluar

cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ).


c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Terjadi 48 jam setelah trauma
GCS < 9 (koma)
Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial (George
dkk, 2009)
Berdasarkan Kerusakan Jaringan Otak
a. Komosio Serebri (geger otak)
Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau
menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak , termasuk
kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada
kepala. Tanda-tanda/gejala geger otak, yaitu : hilang kesadaran, sakit kepala berat,
hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio serebri (memar otak)

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan
atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada
otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada
keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat
amnesia retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis,
tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi:

Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intracranial

yang dapat menyebabkan kematian.


Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil
mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai

kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi)
Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada,
gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan

kaku dalam sikap ekstensi).


c. Konfusio Serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial (Wahjoepramono,
2005).
d. Laceratio Cerebri (trauma kapitis berat)
Sobekan pada jaringan otak karena tekanan atau fraktur dan luka tusukan.
Dapat terjadi perdarahan, hematoma dan edema cerebral. Akibat perdarahan dapat
terjadi ketidaksadaran, hemiplegi dan dilatasi pupil, cerebral laceratio diklasifikasikan
berdasarkan lokasi benturan yaitu : Coup, counter coup lesi tidak langsung terjadi pada
tempat pukulan melainkan terlihat pada bagian belakangnya (George dkk, 2009)
Berdasarkan Tipe Trauma
a. Cidera Kepala Terbuka
Trauma ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi durameter, dan
kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.
b. Cidera kepala Tertutup
Trauma kepala tertutup terbagi menjadi 2 macam, yaitu komusio serebri/gegar otak
dan kontusio serebri/memar otak (Wahjoepramono, 2005).
Berdasarkan Lokasi Hematoma
a. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi
karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media,
robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini

sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai
adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga
kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin
bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi
anisokori pupil.
b. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya
arakhnoid. Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit
kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita
semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis, epilepsy, dan
edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :

Hematoma Subdural Akut


Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat
kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.

Hematoma Subdural Kronik


Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula
jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung pembuluhpembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Pembuluh
darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya

hematoma.

Darah

di

dalam

kapsula

akan

terurai

membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan


subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti
tumor serebri.
c. Hematoma Sub Araknoid
Hematoma subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang
subaraknoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak
(Wahjoepramono, 2005).
d. Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam
jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Gejala-gejala yang
ditemukan adalah :

Hemiplegi

Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat.


Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri
perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri

media yang tidak normal.


e. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran
yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung
beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrigad dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya :

Fraktur fossa anterior


Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran biru (Brill Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya
Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

Fraktur fossa media


Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan
arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

Fraktur fossa posterior


Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas
oramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat
mati seketika (George dkk, 2009).

4. Manifestasi Klinis Cidera Kepala Sedang


a. GCS 9-13 (konfusi, letargi atau stupor)
b. Ditemukan kelainan pada CT scan
c. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
d. Dapat mengalami fraktur tengkorak (tanda Battle,hemotimpanum, otorea ( keluar
cairan dari telinga ) atau rinorea ( keluar cairan dari hidung ) (George dkk, 2009).
Menurut Ginsberg (2005), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah :

Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid)

Hemotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga)

Periorbital eccymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan

Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh

Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan

Mual atau muntah

Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun

Perubahan kepribadian diri

Letargi

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat

Symptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak


menurun atau meningkat

Perubahan ukuran pupil (anisokoria)

Triad Chusing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi


abnormal ekstrimitas

Tanda dan gejala cidera kepala menurut letak yang ditemukan antara lain
(Muttaqin, 2009) :
Epidural Hematoma
Terdapatnya pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan durameter
akibat pecahnya pembuluh darah / cabang-cabang arteri meningeal media yang
terdapat durameter, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu
sangat berbahaya. Gejala-gejala yang terjadi :

Penurunan tingkat kesadaran

Nyeri kepala

Muntah

Hemiparesis

Dilatasi pupil ipsilateral

Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular

Penurunan nadi

Peningkatan suhu

Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara durameter, perdarahan lambat dan sedikit. Tandatanda dan gejalanya adalah :

Nyeri kepala

Bingung

Mengantuk

Menarik diri

Berfikir lambat

Kejang

Oedem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena

pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejalanya :

Nyeri kepala

Penurunan kesadaran

Komplikasi pernapasan

Hemiplegia kontra lateral

Dilatasi pupil

Perubahan tanda-tanda vital

Perdarahan Subarachnoid
Perubahan di dalam rongga subarchnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hamper selalu ada pada cedera kepala yang hebat. Tanda
dan gejala :

Nyeri kepala

Penurunan kesadaran

Hemiparese

Dilatasi pupil ipsilateral

Kaku kuduk

Tanda-tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)


Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan atau hubungan volume di antara kranium
dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah, jaringan otak, dan cairan
serebrospinal (CSS). Peningkatan tekanan intrakranial merupakan peningkatan CSS
lebih dari 15 mmHg. Fakor yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk dapat
menstabilkan tekanan intrakranial adalah tekanan darah sistemik, ventilasi dan oksigen,
jumlah metabolik dan kebutuhan oksigen (demam, aktifitas, perubahan), vasopasme area
serebral, dan saturasi oksigen serta hematokrit.
Gejala klinis terjadinya peningkatan TIK :
1. Perubahan tingkat kesadaran disebabkan oleh tekanan serebral.
a. Tingkat kesadaran atau ada tidaknya respon.
b. Amati letargi, respon verbal yang lambat, berbicara pelan.
c. Adanya perubahan kondisi yang mendadak : sulit istirahat, gangguan orientasi,
stupor, mengantuk.
d. Keadaan memburuk.
2. Perubahan tanda vital
a. Peningkatan tekanan darah atau tekanan nadi membesar.

b. Perubahan nadi : perubahan bradikardia ke takikardi sebagai peningkatan tekanan


intrakranial.
c. Pernapasan tidak teratur, takipnea ( gejala awal adanya peningkatan tekanan
intrakranial), pernapasan lambat dengan periode apnea yang memanjang,
pernapasan Cheyne-stokes atau Kussmaul.
d. Peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi (sedang)
3. Perubahan papiler disebabkan oleh tekanan pada optik dan saraf okulomotor
4. Perubahan lain
a. Sakit kepala : peningkatan intensitas, keadaan memburuk melalui gerakan atau
tegang.
b. Muntah : dengan sedikit mual, mungkin proyektil
c. Perubahan : istirahat, sakit kepala, berusaha bernapas, pergerakan tidak terarah,
ganggan mental.
5. Trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)

5. Patofisiologi

6. Pemeriksaan Diagnostik Cidera Kepala Sedang


a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. MRI (magnetic resonance imaging) : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan
atau tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
f.

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.


BAER (Brain Auditori Evoked Respons ): Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak
kecil

g. PET (POSITRON EMISSION TOMOGRAPHY): Mendeteksi perubahan aktivitas


metabolisme otak
h. Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
i. ABGs (Artery Blood Gases Analysis ): Mendeteksi keberadaan ventilasi atau
masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
(Smeltzer, 2000)
7. Penatalaksanaan Medis Cidera Kepala Sedang
Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal
a) Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir, jika
cedera orofasial mengganggu jalan nafas, bila pasien harus diintubasi.
b) Menilai penafasan: tentukan apakah pasien bernafas sepontan atau

tidak.

Jika tidak beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernafas
spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks,
pneumotoraks

tensif, hemopneumotoraks. Pasang

oksimeter

nadi,jika

tersedia, dengan tujuan menjaga satutasi oksigen minimum 95%. Jika jalan
nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh oksigen
yang adekuat ( PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2
> 95 % ) atau muntah maka pasien harus diintubasi oleh ahli anestesi.
c) Menilai sirkulasi: Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya
cedera intraabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut
dan

tekanan darah,

pasang

alat

pemantau

dan

EKG

bila

jantung
tersedia.

Pasang alur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah
arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid ( dekstrosa atau
dekstrosa dalam salin)
pascacedera kepala.

menimbulkan

Keadaan

hipotensi,

eksaserbasi
hipoksia,

edema
dan

otak

hiperkapnia

memperburuk cedera kepala.


d) Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan
harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan
dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat
diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberika intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
e) Menilai tingkat keparahan dengan menggunakan GCS
Skala Koma Glasgow ( Glasgow Coma Scale, GCS )

Pedoman Penatalaksanaan
a) Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto
tulang belakang servikal ( proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid ),
kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal
C1-C7 normal.
b) Pada semua pasien

dengan cedera

kepalasedang

dan berat, lakukan

prosedur berikut :
Pasang jalur interavena dengan larutan salin normal ( NaCl 0,9% ) atau
larutan Ringer laktat: cairan isotonis lebih

efektif

mengganti

volume

intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan larutan lain tidak menambah

edema serebri.
Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit,
kimia darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa

tromboplastin parsial skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.


c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepada tidak diperlukan
jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi
fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, berat, harus dievaluasi
adanya :
Hematoma epidural
Darah dalam subaranoid dan intraventrikel
Kontusio dan perdarahan jaringan otak
Edema serebri
Obliterasi sisterna perimesensefalik
Pergeseran garis tengah
Fraktur cranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
d) Pada pasien yang koma ( skor GCS < 8 ) atau pasien dengan tanda-tanda
herniasi, lakukan tindakan sebagai berikut:
Elevasi kepala 30 derajat
Hiperventilasi: intubasi dan berikan

ventilasi mandatorik

intermiten

dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg.

Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg.Hipokapnia berat ( pCO2 < 25


mmHg ) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan
iskemia serebri.
Berikan manitol 20 % 1 g/kg interavena dalam 20-30 menit. Dosis

ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar dosis semula
setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
Pasang kateter Foley
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural

yang besar, hematoma, cedera kepala terbuka, dan faktur impresi > 1
diploe).
Penatalaksanaan Khusus
a) Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat
dipulangkan

kerumah

tanpa

perlu

dilakukan pemerikasaan CT Scan bila

memenuhi kreteria berikut:


Hasil pemeriksaan neurologis ( terutama status mini mental dan gaya
berjalan ) dalam batas normal.
Foto servikal jelas normal.
Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama

24 jam pertama, dengan intruksi untuk segera kembali

kebagian

gawat

darurat jika timbul gejala perburukan.


Kriteria perawatan di rumah sakit :

Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan


Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
Adanya tanda atau dan gejala neurologis fokal
Intoksikasi obat atau alcohol
Adanya penyakti medis komorbid yang nyata
Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien

dirumah.
b) Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio),
dengan

skala

koma

Glasgow

15

sadar

penuh, orientasi

baik

dan

mengikuti perintah ) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini
dapat dipulangkan untuk observasi dirumah. meskipun terdapat nyeri kepala,
mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intracranial lanjut
yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
Cedera kepala berat: setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital
keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi
bedah saraf segera ( hematoma intracranial yang berat ). Jika ada
indikasi, harus segera dikonsulkan

ke bedah saraf untuk tindakan

operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan

diunit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan


untuk

kerusakan

primer

akibat cedera, tetapi setidaknya dapat

mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau


tekanan intracranial yang meningkat.
o Penilaian
ulang jalan nafas dan ventilasi: umumnya, pasien
dengan stupor atau koma ( tidak dapat mengikuti perintah karena
derajat kesadaran menurun ) harus diintubasi untuk proteksi jalan
nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter
ventilasi harus diatur sampai pCO2 40 mmHg dan pO2 90-100
o

mmHg.
Monitor

tekanan

ketidakstabilan

darah:

jika

hemodinamik

pasien
(

memperlihatkan tanda

hipotensi

atau hipertensi ),

pemantauan paling baik dilakukan dengan keteter arteri. Karena


autoregulasi sering terganggu pada cedera kepal akut, maka
tekanan arteri rata-rata harus dipertahankan untuk menghindarkan
hipotensi ( < 70 mmHg ) hipertensi ( > 130 mmHg ). Hipotensi
dapat menyebabkan

iskemia otak sedangkan hipertensi dapat

mengeksaserbasi serebri.
Pemasangan alat monitor tekanan intracranial pada pasien dengan

skor GCS < 8, bila memungkinkan.


Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis ( salin normal
atau Ringer laktat ) yang diberikan kepada pasien dengan cedera
kepala karena air bebas tambahan dalam

salain

0,45%

atau

dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dalam menimbulkan eksaserbasi


o

edema serebri.
Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik
dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Pemberian makanan enteral melalui

pipa

nasogastrik

atau

nasoduodenal harus
diberikan sesegera mungkin ( biasanya hari ke 2 perawatan ).
Temperatur badan: demam ( temperature > 101 derajat F)
mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab

(antibiotik) diberikan bila perlu.


Anti kejang: fenitoin 15-20 mgkg BB bolus intravena, kemudian 300
mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini ( minggu
pertama ) dari 14 % menjadi 4 % pada pasien dengan perdarahan
intracranial traumatik.

Pemberian

fenitoin

tidak mencegah timbulnya

epilepsi pascatrauma dikemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang,

fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau

ketat karean kadar subtrapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.


Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien
dengan

cedera

kepala

dan

dapat meningkatkan

resiko

infeksi,

hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai


sebagai pengobatan terahir pada herniasi serebri akut (deksametason 10

mg interavena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam ).


Profilaksis thrombosis vena dalam: sepatu bot komprensif pneumatic
dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya
thrombosis vena dalam pada ekstremitas bawah dan resiko yang
berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit
setiap 12 jam dapat deberikan

subkutan

setelah cedera kepala pasien dengan

imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intracranial (Arif


Mansjoer, 2000 ).
8. Komplikasi Cidera kepala Sedang
a. Hemorrhagie.(Pecahnya / keluarnya darah dari pembuluhnya)
b. Infeksi. (invasi dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh, terutama yang
menyebabkan cedera seluler lokal )
c. Edema.( pengumpulan cairan secara abnormal dalam ruang jaringan intraseluler
tubuh)
d. Herniasi (penonjolan abnormal organ / struktur tubuh lainya melalui cacat / lubang
alamiah dalam selaput pembungkus , membran otot , atau tulang) (Arif Mansjoer,
2000 ).
Daftar Pustaka
Arif Mansjoer dkk, 2000. Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi
Ketiga jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Fearnside, 1997 dalam Smeltzer and Brenda. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
George Dkk. 2009. Panduan Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Syaraf. EGC : Jakarta
Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes: Neurology Edisi Kedelapan. Jakarta : Erlangga.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperwatan Klien Dengan Gangguan Sistem Saraf Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Smeltzer and Brenda. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Tarwoto, et all. 2007. Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Sagung Seto.
Wahjoepramono, Eka. (2005). Cedera Kepala. Lippokarawaci : Universitas Pelita Harapan.

Anda mungkin juga menyukai