Referat Cedera Kepala

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

REFERAT
CEDERA KEPALA
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian IlmuPenyakitSaraf
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Diajukan Kepada :
Pembimbing :dr. Noorjannah Sp.S
Disusun Oleh :
Auliana Putri Wijayanti

H2A011011

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN


ILMU PENYAKIT SARAF

Presentasi referat dengan judul :


CEDERA KEPALA
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo
Disusun Oleh:
Auliana Putri Wijayanti

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing

TandaTangan

dr. Noorjannah Sp.S

.............................

Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf

Pembimbing :dr. Noorjannah Sp.S

BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.

Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi,

bahkan merupakan kasus yang hampir selalu dijumpai dalam berbagai tingkat
kegawatdaruratan ; yaitu dari yang tidak bersifat gawat darurat, yang memiliki
risiko keselamatan yang serius, dan bahkan sifatnya sangat fatal. 2
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping
kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat
kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif non
konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral yang menyebabkan
kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososialbaik sementara atau
permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian /kelumpuhan pada usia
dini. 3
Dari data berbagai sumber, hampir selalu menunjukkan bahwa cedera
merupakan penyebab utama kematian pada pasien berusia kurang dari 45 tahun.
Dari berbagai kasus cedera ini, ternyata hampir 50% nya merupakan cedera
kepala;atau cedera bagian tubuh lainnya yang disertai pula oleh cedera kepala. 2
Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak
ibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan

yang terlambat. 4berdasarkan kelompok umur, beberapa sumber menunjukkan


bahwa usia yang paling banyak mengalami cedera kepala adalah 15-24 tahun yang
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Sedangkan pada kelompok usia diatas 65
tahun, penyebab utamanya adalah jatuh. Untuk anak kurang dari 2 tahun, cedera
terutama disebabkan karena jatuh dari kursi, meja, dan sebagainya. Anak usia 1015 tahun umumnya mengalami cedera kepala akibat kecelakaan olahraga atau
permainan sehari-hari.2
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).3 Insiden cedera kepala terutama terjadi
pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya
karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga
dan rekreasi. Sedangkan di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit ,
80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang
dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
B. KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera
kepala, dan morfologinya.2
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul
dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.
Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :
1. Cedera kepala berat memiliki nilai GCS <=8
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

Glasgow Coma Scale

nilai ai

Respon membuka mata (E)


Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5


Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye

sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea,


otorrhea) dan paresis nervus fasialis5
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya
tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien
untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan5
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri
berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering
terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya
dianggap

berasal

arterial,

namun

mungkin

sekunder

dari

perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma

epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietaloksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
pendarahan epidural dapat menunjukan adanya lucid interval
yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tibatiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli
bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex,
melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi
kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan
dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas

b. Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi

dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan


cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga
dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak.
Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural


akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk
dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut
dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan
sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi.
Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium
juga menunjukan adanya hematom subdural
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan,
oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak
area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada

prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,


yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi
isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens
c. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut.
Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau
dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak
jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi
dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam
beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.

d. Cedera Difus

Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera


akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.
Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung
dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa
gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan
keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad
Komosio

cerebri

klasik

adalah

cedera

yang

mengakibatkan

menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai


dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul
defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu
misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi
serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat.
C. ANATOMI
a. Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:

Skin atau kulit


Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan

langsung dengan tengkorak


Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan


merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi
kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anakanak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu Lama untuk mengeluarkannya7
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum7
c.

Meningens
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu :
1)

Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan


endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. 7
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. 7
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).7
2)

Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala
3)

Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak


juga diliputi oleh pia mater 7

d.Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
e.

Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari
f.

Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial


(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
g.

Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis

D. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu 3 benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan


tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan. 6

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses


patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.6
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Padapemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi
batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks.2
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan

lateral.7Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk


pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin
dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus
(tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan
kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto
kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya
fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.2
Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit
kepala hebat.
Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :5
1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
5. sakit kepala yang hebat
6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala


tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang,
atau berat8
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan mencegah homeostasis otak8
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)


Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktura tengkorak
Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:5

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial


b.
c.
d.
e.
f.

atau lebih
dari 20 cc di daerah infratentorial
kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
tanda fokal neurologis semakin berat
terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.


h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

F. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya
mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera
kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma
juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita5
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan
cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul
sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala,
dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga
termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan
penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap
seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas

(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area
yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI Cabang Pekanbaru, 2007, Simposium trauma kranio-serebral,
Pekanbaru
2. Wahjoepramono, Eka, 2005, Cedera Kepala, Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan, Jakarta
3. Osborn, 2003, Head and Neck Brain, Spine : Diagnostic and surgical
Imaging Anatomy Series, Lippincont William
4. Smeltzer, S & Bare, 2002, Keperawatan Medical Bedah edisi 8, alih
bahasa, Kuncara H, Hartono A, Ester M & Asih Y; Editor Bahasa
Indonesia, Jakarta : EGC
5. Irfani, Imma Q, 2010. Cedera Kepala, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
6. Irwana, Olva, 2009. Cedera Kepala Faculty Of Medicine- University Of
Riau
7. Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press

8. Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.


Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai