Dasar Hukum
Dasar Hukum
Dasar Hukum
Dalam KUHAP pasal 186 dan 187. (adopsi: Ordonansi tahun 1937 nomor 350 pasal 1)
Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya.
Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam
KUHAP.
Melalui pendekatan yuridis visum et repertum di dalam Undang-Undang No 8 tahun 1981
tentang hukum acara pidana, menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu kedudukan visum et
repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat yang kedua alat bukti ini
sah menurut hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Berikut analisis yuridis peraturan perundangundangan pidana di indonesia :
1. Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi saksi yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
2. Pasal 180 KUHAP
1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar
diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim
memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2)
4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh
instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang
mempunyai wewenang untuk itu.
3. Pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b
1) Alat bukti yang sah ialah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
4. Pasal 186 KUHAP
Keterangan ahli sidang pengadilan ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
5. Pasal 187 KUHAP
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
daripadanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Berdasarkan analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia tersebut maka
kedudukan visum et repertum kendatipun isinya berupa keterangan ahli yang diberikan dibawah
sumpah dan diluar persidangan pengadilan, dan kualifikasinya termasuk sebagai alat bukti surat
dan bukan alat bukti keterangan ahli[7].
Akan tetapi apabila visum et repertum dihubungkan dengan Pasal 1 stb. 1937 No. 350 dapat juga
dianggap sebagai keterangan ahli dan keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah dalam pasal
184 KUHAP.
VeR jenazah
Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et
repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat
dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum[6] .
Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung
dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik
pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu
pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil
pemeriksaan, berisikan:
1. Jenis luka
2. Penyebab luka
3. Sebab kematian
4. Mayat
5. Luka
6. TKP
7. Penggalian jenazah
8. Barang bukti
9. Psikiatrik
Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et
repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan
mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana/KUHAP".
Fungsi VER :
Tujuan visum et repertum merupakan untuk memberikan kepada hakim suatu
kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti yang ada pada korban atas semua
keadaan sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar hakim dapat
mengambil putusan dengan tepat dengan dasar kenyataan atau fakta-fakta
tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung keyakinan hakim.
Konsekuensi dari paradigma usang kesehatan sebagai konsumsi itu antara lain berupa
pengabaian masalah kesehatan dalam prioritas anggaran pembangunan. Anggaran kesehatan di
Indonesia terbilang rendah dibanding sejumlah negara di kawasan Asia. Data alokasi anggaran
kesehatan regional yang dikeluarkan UNDP tahun 1994 menunjukkan, Indonesia sepanjang
dekade tahun 1990-an hanya menganggarkan dua persen belanja kesehatan dari Gross Domestik
Product (GDP)-nya. Ini amat rendah dibanding Thailand yang menganggarkan lima persen dari
GDP, India enam persen, Srilanka 3,7 persen, bahkan dibanding Vietnam yang menyediakan 2,1
persen dari GDP .[4]
Fakta dan data pengabaian masalah kesehatan di Indonesia seperti telah dipaparkan di atas
menunjukkan makin pentingnya kampanye paradigma kesehatan sebagai investasi dan HAM,
terhadap masyarakat dan terlebih bagi para pengambil kebijakan. Perkembangan wacana HAM
sendiri sebenarnya amat potensil digunakan mengadvokasi masalah kesehatan ini[5].
Saat ini penekanan wacana HAM telah beranjak dari HAM generasi pertama yakni HAM
di bidang sipil dan politik (Covenant on Civil and Political Rights), ke HAM generasi kedua
yang berupa HAM di bidang sosial-ekonomi dan kebudayaan (Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights). Masalah pendidikan dan kesehatan tertampung di dalam HAM generasi
kedua itu.
HAM generasi pertama lebih menekankan aspek HAM negatif (freedom from), yakni kebebasan
dari pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Sementara HAM generasi kedua lebih banyak
bertumpu pada aspek HAM positif (freedom for), yakni hak untuk mendapatkan kualitas
kehidupan, kesejahteraan termasuk kesehatan lebih baik.
Saat ini telah muncul pula wacana HAM generasi ketiga yang berupa hak asasi masyarakat untuk
dilayani pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab (good governance). Salah satu
konsekuensi HAM generasi ketiga ini adalah niscayanya tanggung jawab negara dan pemerintah
(state responsibility) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk bidang kesehatan,
dengan menyediakan pelayanan kesehatan preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif.
Pengabaian masalah kesehatan ini dengan sendirinya bisa dianggap sebagai pengabaian hak-hak
asasi masyarakat oleh negara (state neglect). Wacana HAM ini pun mengindikasikan, negara
yang abai terhadap HAM warganya adalah negara yang tidak kredibel bukan saja di mata
warganya, tetapi juga di mata masyarakat internasional.
Read more: http://yayannerz.blogspot.com/2011/04/pengaruh-globalisasi-terhadap-hamdalam.html#ixzz2gTmKL3PU