Pengujian Antiseptik Atau Desinfekta1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

PENGUJIAN ANTISEPTIK ATAU DESINFEKTAN

I.

Tujuan
- Dapat menjelaskan perbedaam antara antiseptik, desinfektan, dan
-

II.

antibiotik.
Dapat menjelaskan perbedaan prinsip pengujian antiseptik
Menjelaskan perbedaan prinsip dan kegunaan pengujian metode
jontak ( koefisien fenol) dengan metode difusi agar.
Teori Dasar

2.1 Desinfektan
Desinfektan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mencegah
terjadinya infeksi dengan membunuh jasad renik (bakterisid), terutama pada
benda mati. Proses desinfeksi dapat menghilangkan 60% - 90% jasad renik.
Desinfektan digunakan secara luas untuk sanitasi baik di rumah tangga,
laboratorium, dan rumah sakit. Kriteria suatu desinfektan yang ideal adalah
bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar,
berspektrum luas, aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH,
temperatur, dan kelembaban, tidak toksik pada hewan dan manusia, tidak bersifat
korosif, bersifat biodegradable, memiliki kemampuan menghilangkan bau yang
kurang sedap, tidak meninggalkan noda, stabil, mudah digunakan, dan ekonomis
(Siswandono, 1995; Butcher and Ulaeto, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan antiseptik atau desinfektan
yang digunakan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme adalah:
1. Jenis organisme yang digunakan.
2. Jumlah mikroorganisme yang digunakan.
3. Umur dan sejarah dari mikroorganisme.
4. Jaringan atau unsur-unsur yang ada dalam mikrorganisme.
5. Efek-efek dari zat kimia terhadap jaringan.

6. Efek-efek dari jaringan terhadap zat kimia.


7. Jenis racun dari zat kimia (jika diambil secara internal).
8. Waktu bagi zat kimia untuk bekerja dan konsentrasi yang dipakai.
9. Temperatur pada zat kimia dan pada jaringan atau unsur-unsur yang
terlibat (Melnick, 1996).
2.2 Mekanisme Kerja Desinfektan
a. Mengubah permeabilitas membran sel bakteri
Membran sel berguna sebagai penghalang selektif terhadap zat terlarut dan
menahan zat yang tidak larut. Beberapa zat diangkut secara aktif melalui
membran, sehingga konsentrasinya dalam sel tinggi. Zat-zat yang terkonsentrasi
pada permukaan sel akan mengubah sifat-sifat fisiknya sehingga membunuh dan
menghambat sel (Ghanem, et al., 2012).
Perubahan permeabilitas membran sel bakteri merupakan mekanisme kerja
fenol, dan senyawa amonium kuartener. Terjadinya perubahan permeabilitas
membran sel menyebabkan kebocoran kostituen sel yang esensial sehingga bakteri
mengalami kematian (Siswandono, 1995; Butcher and Ulaeto, 2010). Senyawa
kation aktif seperti klorheksidin dapat berinteraksi dengan gugus-gugus yang
bermuatan negatif pada dinding sel bakteri. Interaksi ini menyebabkan netralisasi
muatan yang memfasilitasi adsorpsi zat aktif sehingga terjadi kerusakan dinding
sel bakteri. Selain itu, klorheksidin juga menyebabkan presipitasi protein plasma
sel bakteri (Loughlin, et al., 2002; Steven, 2011).
b.

Interkalasi dalam asam deoksiribo nukleat (ADN)


Senyawa Turunan trifenilmetan seperti gentian violet dan akridin seperti

akriflavin bekerja sebagai antibakteri dengan mengikat secara kuat asam nukleat.
Ikatan ini akan menghambat sintesis ADN sehingga sintesis protein tidak terjadi.
Turunan trifenilmetan dan turunan akridin merupakankation aktif yang dapat

membentuk ikatan hidrogen menghasilkan kompleks dengan gugus bermuatan


negatif dari konstituen sel. Hal ini menyebabkan penghambatan proses biologi
yang penting untuk kehidupan bakteri sehingga bakteri mengalami kematian
(Stevens, 2011).
c.

Pembentukan khelat
Beberapa turunan fenol, seperti heksaklorofen dan oksikuinolin dapat

membentuk khelat dengan ion Fe dan Cu masuk ke dalam sel bakteri, kemudian
bentuk khelat tersebut masuk ke dalam sel bakteri. Kadar yang tinggi dari ion-ion
logam di dalam sel menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim sehingga jasad
renik mengalami kematian (Siswandono, 1995; Somani, et al., 2011).
2.3 Penggolongan Desinfektan
Menurut Siswandono (1995), desinfektan dapat dibagi menjadi enam
kelompok, yaitu:
a.

Turunan aldehida

Senyawa turunan aldehid memiliki gugus aldehid (COH) pada struktur


kimianya, misalnya formaldehid, paraformaldehid, dan glutaraldehid. Turunan
aldehid umumnya digunakan dalam campuran air dengan konsentrasi 0,5% - 5%
dan bekerja dengan mendenaturasi protein sel bakteri (Siswandono, 1995;
Somani, et al., 2011). Larutan formaldehid (formalin), mengandung formaldehid
(HCOH) 37% yang mempunyai aktivitas antibakteri dengan kerja yang lambat.
Larutan formaldehid digunakan untuk pengawetan mayat, desinfektan ruangan,
alat-alat, dan baju dengan kadar 1:5000. Larutan formaldehid dalam air atau
alkohol digunakan untuk mendesinfeksi tangan dengan konsentrasi maksimum 0,5
mg/L (Somani, et al., 2011). Struktur kimia formaldehid dapat dilihat pada
Gambar 2.4(a).
Paraformaldehid diperoleh dengan menguapkan larutan formaldehid.
Senyawa ini serupa dengan formalin. Paraformaldehid mempunyai bau kurang
menyenangkan. Paraformaldehid bekerja pada konsentrasi maksimum 0,1 mg/L

(Ghanem, et al., 2012). Struktur kimia paraformaldehid dapat dilihat pada Gambar
2.4(b).

Gambar 2.4 Struktur Kimia Formaldehid (a) dan Paraformaldehid (b)


Glutaraldehid digunakan untuk mensterilkan bahan cair dan peralatan
bedah yang tidak dapat disterilkan dengan pemanasan. Senyawa ini mempunyai
keuntungan karena tidak berbau dan efek iritasi terhadap kulit dan mata lebih
rendah dibanding formalin. Larutan glutaraldehid 2% efektif sebagai antibakteri
dan spora pada pH 7,5 8,5 (Fazlara and Ekhtelat, 2012). Glutaraldehid
mempunyai lebih efektif daripada Formaldehid dan tidak berpotensi karsinogenik
sehingga lebih banyak dipilih dalam bidang virologi (Siswandono, 1995; Brewer,
2010). Mekanisme reaksinya dijelaskan pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Glutaraldehid


Pada prinsipnya, turunan aldehida ini dapat digunakan dengan spektrum
luas. Misalnya, formaldehid membunuh jasad renik dalam ruangan, peralatan, dan
lantai. Sedangkan glutaraldehid digunakan untuk membunuh virus. Keunggulan
turunan aldehid adalah sifatnya stabil, persisten, dapat dibiodegradasi, dan cocok
dengan

beberapa

material

peralatan.

Namun

senyawa

tersebut

dapat

mengakibatkan resistensi jasad renik, berpotensi sebagai karsinogen dan


mengakibatkan iritasi pada sistem mukosa (Kahrs, 1995; Larson, 2013).

b. Turunan alkohol
Turunan alkohol merupakan bahan yang banyak digunakan selain turunan
aldehid, misalnya etanol (C2H5OH), isopropanol (C3H7OH). Alkohol bekerja
dengan mendenaturasi protein dari sel bakteri dan umumnya dibuat dalam
campuran air pada konsentrasi 70% - 90%. Etanol bersifat bakterisid yang cepat,
digunakan sebagai antiseptik kulit dan sebagai pengawet. Aktivitas bakterisidnya
optimal pada kadar 70%. Isopropanol mempunyai aktivitas bakterisid lebih kuat
dibandingkan etanol karena lebih efektif dalam menurunkan tegangan permukaan
sel bakteri dan denaturasi bakteri (Elisabeth, dkk., 2012).
c.

Senyawa pengoksidasi

Senyawa pengoksidasi yang umum digunakan sebagai desinfektan adalah


hidrogen peroksida, benzoil peroksida, karbanid peroksida, kalium permanganat,
dan natrium perborat (Siswandono, 1995; Aboh, et al., 2013). Hidrogen peroksida
adalah senyawa pengoksidasi yang sering digunakan sebagai antimikroba.
Senyawa ini diurai oleh enzim katalase menghasilkan oksigen yang aktif sebagai
antiseptik. Hidrogen peroksida digunakan untuk mencuci luka dan penghilang bau
badan dengan kadar 1-3% (Siswandono, 1995; Ghanem, et al., 2012).
Benzoil peroksida dalam air melepaskan hidrogen peroksida dan asam
benzoat. Benzoil peroksida pada konsentrasi 5-10% digunakan sebagai antiseptik
dan keratolitik untuk pengobatan jerawat (Stampi, et al., 2002; Aboh, et al., 2013).
Karbanid peroksida disebut juga urea peroksida, mengandung hidrogen peroksida
(34%) dan oksigen (16%). Larutan karbamid peroksida dalam air secara perlahanlahan melepaskan hidrogen peroksida, dan digunakan untuk antiseptik pada
telinga dan pada luka (Siswandono, 1995; Elisabeth, dkk., 2012). Kalium
permanganat dan natrium perborat digunakan sebagai desinfektan dan antiseptik
karena bersifat oksidatif. Pada umumnya, kedua senyawa tersebut digunakan
untuk pemakaian lokal dalam bentuk larutan dalam air (Siswandono, 1995;
Larson, 2013).
d. Turunan fenol

Fenol sendiri mempunyai efek antiseptik dan desinfektan. Golongan fenol


diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat bakterisid namun tidak
bersifat sporisid. Senyawa turunan fenol yang dikenal sebagai senyawa fenolik
mengandung molekul fenol yang secara kimiawi dapat diubah. Perubahan struktur
kimia tersebut bertujuan untuk mengurangi efek iritasi kulit dan meningkatkan
aktivitas antibakteri (Brewer, 2010).
Senyawa fenolik seringkali digunakan dalam campuran sabun dan
deterjen. Aktivitas antimikroba senyawa fenolik disebabkan kemampuannya
merusak lipid pada membran plasma mikroorganisme sehingga menyebabkan isi
sel keluar. Peningkatan sifat lipofil turunan fenol akan meningkatkan aktivitas
desinfektannya. Salah satu senyawa fenolik yang paling sering digunakan adalah
kresol (Siswandono, 1995; Kahrs, 1995). Fenol digunakan sebagai senyawa baku
dalam pengujian desinfektan karena memiliki mekanisme kerja yang luas. Fenol
dapat merusak dinding sel dan membran sel, mengkoagulasi protein, merusak
ATPase, merusak sulfohidri dari protein, dan merusak DNA sehingga efektif
membunuh bakteri (Siswandono, 1995; Fazlara and Ekhtelat, 2012).
Mekanisme kerja dan sasaran utama dari senyawa fenol dijelaskan pada
Gambar 2.6 menurut Russel and Chopra (1987).

Gambar 2.6 Mekanisme kerja dan sasaran utama desinfektan


Pemasukan gugus halogen, seperti klorin dan bromin ke inti fenol akan
meningkatkan aktivitas antiseptik. Aktivitas ini lebih meningkat bila jumlah
halogen yang dimasukkan bertambah. Polihalogenisasi fenol akan membentuk
senyawa yang mempunyai kelarutan dalam air sangat kecil. Ikatannya dengan
reseptor inti fenol lemah, sehingga aktivitasnya rendah. Pemasukan gugus nitro
dapat meningkatkan aktivitas antimikroba. Sedangkan pemasukan gugus asam
karboksilat dan asam sulfonat menurunkan aktivitas antimikroba karena
menurunkan kelarutan dalam lemak sehingga penembusan ke membran sel bakteri
menurun (Pratiwi, 2008; Ghanem, et al., 2012).
Fenol, fenol terhalogenisasi, dan alkilfenol meskipun efek antibakterinya
besar tetapi tidak dapat digunakan secara sistemik karena toksisitasnya tinggi.
Senyawa-senyawa tersebut hanya digunakan untuk antiseptik kulit, mulut, dan
desinfektan. Contoh: timol, kresol, klorokresol, klorosilenol, dan betanaftol
(Pratiwi, 2008).

e.

Turunan ammonium kuartener

Turunan amonium kuartener seperti benzalkonium klorida, benzetonium


klorida, setrimid, dequalinium klorida, dan domifen bromida. Turunan ini
mempunyai efek bakterisid dan bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif dan
Gram negatif, jamur, dan protozoa. Tetapi, turunan ini tidak aktif terhadap bakteri
pembentuk spora, seperti Mycobacterim tuberculosis dan virus (Loughlin, et al.,
2002; Ghanem, et al., 2012).
Keuntungan penggunaan turunan amonium kuartener sebagai desinfektan
antara lain adalah toksisitasnya rendah, kelarutan dalam air besar, stabil dalam
larutan air, tidak berwarna, dan tidak menimbulkan korosi pada alat logam.
Kerugiannya adalah senyawa ini tidak efektif dengan adanya sabun dan surfaktan
anionik dan non ionik, ion Ca dan Mg, serum darah, makanan, dan senyawa
kompleks organik (Fazlara dan Ekhtelat, 2012).

f.

Turunan halogen dan halogenofor

Turunan halogen yang umum digunakan adalah berbasis iodium seperti


larutan iodium, iodofor, dan povidon iodium. Kompleks klorin dengan senyawa
organik disebut klorofor, sedangkan kompleks iodin dengan senyawa organik
disebut iodofor. Halogen dan halogenofor digunakan sebagai antiseptik dan
desinfektan. Klorin dan klorofor terutama digunakan untuk mendesinfeksi air,
seperti air minum dan air kolam renang. Contohnya, klorin dioksida, natrium
hipoklorit, kalsium hipoklorit, dan triklosan. Sedang iodin dan iodofor digunakan
untuk antiseptik kulit sebelum pembedahan dan antiseptik luka. Turunan ini
umumnya digunakan dalam larutan air dengan konsentrasi 1 - 5% dan mampu
mengoksidasi dalam rentang waktu 10 - 30 menit. Contohnya, povidon iodium
(Brewer, 2010).
2.4 Koefisien Fenol

Koefisien fenol merupakan kemampuan suatu desinfektan dalam


membunuh bakteri dibandingkan dengan fenol. Uji ini dilakukan untuk
membandingkan aktivitas suatu produk (desinfektan) dengan fenol baku dalam
kondisi uji yang sama. Fenol dijadikan standar dalam uji efektivitas desinfektan
karena kemampuannya dalam membunuh jasad renik sudah teruji. Penentuan
koefisien fenol adalah untuk mengevaluasi kekuatan anti mikroba suatu
desinfektan dengan memperkirakan efektivitasnya berdasarkan konsentrasi dan
lamanya kontak terhadap mikroorganisme tertentu (Dwijoseputro, 1982; Somani,
et al., 2011).
Pengujian desinfektan yang baik harus mampu memprediksikan
kekuatannya ketika digunakan. Desinfektan digunakan untuk pemeliharaan
permukaan, peralatan-peralatan, air, kain linen, obat-obatan, bidang pertanian, dan
industri makanan. Uji yang lebih spesifik telah dikembangkan untuk memberikan
gambaran keefektifan suatu desinfektan. Metode pengujian desinfektan meliputi
uji pembawa, uji suspensi, uji kapasitas, dan uji praktik (Cremieux dan Fleurette,
1991; Reybrouck, 1992).
2.4.1 Uji pembawa (carrier tests)
Uji pembawa merupakan metode yang telah lama digunakan. Pembawa
yang digunakan pada uji ini adalah sutera yang dikontaminasi dengan inokulum
mikroorganisme uji. Setelah dikeringkan, pembawa dimasukkan ke dalam larutan
desinfektan dengan waktu kontak tertentu, kemudian diinokulasi dalam media
pertumbuhan. Tidak adanya pertumbuhan mikroorganisme menunjukkan kekuatan
desinfektan uji (Borneff, et al., 1981; Jiang, et al., 2010).
Kelemahan uji pembawa adalah jumlah bakteri yang terdapat pada
pembawa sulit diperkirakan. Selain itu, bakteri yang bertahan hidup pada
pembawa selama pengeringan tidak konstan (Borneff, et al., 1981; Fazlara and
Ekhtelat, 2012).
2.4.2 Uji suspensi (suspension tests)

Uji suspensi merupakan metode pengujian desinfektan yang paling


sederhana. Metode ini dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Uji
suspensi secara kualitatif dilakukan dengan mengambil satu sengkelit suspensi
mikroorganisme dan dimasukkan ke dalam larutan desinfektan. Suspensi
kemudian

diinokulasi

pada

media

pertumbuhan.

Kekuatan

desinfektan

ditunjukkan dengan ada tidaknya pertumbuhan mikroorganisme (Reybrouck,


1992; Jiang, et al., 2010).
Koefisien fenol dihitung dengan membandingkan tingkat pengenceran
desinfektan dengan fenol yang mampu membunuh mikroorganisme dalam kondisi
yang sama (Rideal and Walker, 1903; Jiang, et al., 2010).
Uji suspensi secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan jumlah
mikroorganisme hidup sebelum dan sesudah kontak dengan desinfektan uji.
Kekuatan desinfektan dihitung berdasarkan nilai efek mikrobiosid, yaitu
perbandingan logaritma jumlah koloni mikroorganisme sesudah dan sebelum
kontak. Jika nilai efek mikrobiosid 1, menunjukkan desinfektan mampu
membunuh 90% koloni mikroorganisme. Jika nilai efek mikrobiosid 2,
menunjukkan 99% mikroorganisme terbunuh. Syarat umum yang ditentukan
adalah jika efek mikrobiosid > 5, maka 99,99% mikroorganisme terbunuh (CEN,
1996; Tafti, et al., 2012).
2.4.3 Uji kapasitas (capacity tests)
Uji kapasitas adalah metode yang dilakukan untuk mengukur kemampuan
desinfektan membunuh mikroorganisme tertentu dengan meningkatkan jumlah
mikroorganisme secara bertahap. Kapasitas desinfektan ditentukan berdasarkan
jumlah bakteri yang masih mampu dibunuh (Kelsy and Sykes, 1969; Tafti, et al.,
2012).
2.4.4 Uji praktek (practical tests)
Uji praktek dilakukan dengan mengukur hubungan waktu dan konsentrasi
desinfektan terhadap mikroorganisme yang terdapat pada peralatan rumah tangga.

Metode ini bertujuan untuk memastikan apakah efektivitas desinfektan memiliki


korelasi dengan hasil percobaan laboratorium. Uji ini umumnya digunakan untuk
desinfektan permukaan (Reybrouck, 1992b; Jiang et al., 2010).
Uji desinfeksi permukaan menggunakan sepotong polivinil klorida (PVC)
yang sudah dikontaminasi oleh inokulum bakteri baku. Setelah dikeringkan,
sejumlah larutan desinfektan kemudian disebar menutupi PVC dengan waktu
kontak tertentu dan dibilas dengan air suling steril. Air bilasan diinokulasi untuk
mengetahui ada tidaknya pertumbuhan bakteri (Reybrouck, 1992b; Tafti, et al.,
2012).

Daftar Pustaka
Aboh, M., Oladosu, P., dan Ibrahim, K. (2013). Antimicrobial Activities of Some
Brands of Households Disinfectants Marketed in Abuja Municipal Area
Council, Federal Capital Territory, Nigeria. American Journal of Research
Communication. 1(8): 172-183.
Aparecida, M., Tibana, M., and Nunes, P.M. (2000). Disinfectant and antibiotic
Activities: A Comparative Analysis in Brazilian Hospital Bacterial Isolates.
Brazilian Journal of Microbilogy. 31(1): 193-199.
Borneff, J., Eggers, and Grun, L. (1981). Richtlinien fur die Prufung und
Bewertung Chemischer Desinfektionsverfahren. Erster Teilabschnitt.
Stuttgart: Gustav Fischer Verlag. Hal. 67- 68.
Brewer, C. (2010). Variations in Phenol Coefficient Determinations of Certain
Disinfectants. American Journal of Public Health. 33(1): 261.

Butcher, W and Ulaeto, D. (2010). Contact Inactivation of Orthopoxviruses by


Household Disinfectants. Philadelphia: Department of Biomedical Sciences,
Dstl Porton Down. Hal. 279-283.
Comite Europeen de Normalisation. (1996). Chemical Disinfectants and
Antiseptics-Basic Bactericidal Activity-Test Method and Requirements. New
York: Europeisches Komitee fur Normung. Hal. 1040.
Cremieux, A., and Fleurette, J. (1991). Methods of Testing Disinfectants. In
Disinfection, Sterilization, and Preservation. Edisi empat. Philadelphia: Lea
dan Febiger. Hal. 1009-1027.
Depkes. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Depkes RI. Hal. 663.
Dwidjoseputro. (1982). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Hal. 102, 118-134.
Eka. (2006). Desinfektan dan Antimikroba. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia. Hal. 26, 49-65.
Elisabeth, R., Apriliana, E., dan Rukmono, P. (2012). Uji Efektivitas Pada
Antiseptik di Unit Perinatologi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Bandar
Lampung. Medical Journal of Lampung University. 14(1): 125- 126.
Fazlara, A and Ekhtelat, M. (2012). The Disinfectant Effects of Benzalkonium
Chloride on Some Important Foodborne Pathogens. American-Eurasian
Journal of Agricultural & Environment Scientifique. 12(1): 23-29.
Ghanem, K.M., Fassi, F.A., and Hazmi, N.M. (2012). Optimization of
Chloroxylenol Degradation by Aspergillus niger Using Plackett- Burman
Design and Response Surface Methodology. African Journal of
Biotechnology. 11(84): 144-156.

Jawetzet, E.J., Melnick, and Ornston, L.N. (1987). Mikrobiologi Kedokteran.


Edisi 20. Diterjemahkan Oleh Edi Nugroho. Jakarta: EGC. Hal. 47-51.
Jiang, L., Wang, J., and Qingchui, C. (2010). Determination of Phenolic
Disinfectants in Consumer Products by Capillary Electrophoresis With
Amperometric Detection. Journal of Chromatographic Science. 48(1): 584585.
Kahrs, R.F. (1995). Disinfectants, Antiseptics, Sanitizers, and Sterilizing Agents.
Revue Scientifique et Technique de L Office International Des Epizooties.
14(1): 105-122.
Kelsy, J.C., and Sykes, G. (1969). A New Test For The Assesment of Disinfectants
With Particular Reference to Their Use in Hospitals. Pharmaceutical
Journal. 13(2): 607-609.
Lamichhane, K.R., Riordan, J.T., and Delgado, A. (2008). Genetic Changes that
Correlate with the Pine-oil Disinfectant Reduced Susceptibility Mechanism
of Staphylococcus aureus. Mexico: New Mexico State University. Hal.
1973-1974.
Larson, E. (2013). Monitoring Hand Hygiene. American Journal of Infection
Control. 41(2): 43-45.
Loughlin, M.F., Jones, M.V., and Lambert, P.A. (2002). Pseudomonas aeruginosa
Cells Adapted to Benzalkonium Chloride Show Resistance to Other
Membran-active Agents But Not to Clinically Relevant Antibiotics.
Merseyside: Microbiology Research Group, School of Life and Health
Sciences, Aston University. Hal. 631-639.

Melnick, J & Aldelberg.(1996). Mikrobiologi Kedokteran.Jakarta : Buku


Kedokteran EGC.
Pelczar, J.R., and Chan, E.C.S. (1998). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan
oleh Hadioetomo, Imas, Tjitrosomoso, dan Lestari. Jakarta: Penerbit UI
Press. Hal. 132, 138-140, 144.
Pratiwi, S. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 17-18.
Purohit, S.S., Saliys, A.K, and Karkam, H.N. (2004). Pharmaceutical
Microbiology. Jodhpur, India: Agrobios India. Hal. 332. Reybrouck, G.
(1992). The Assesment of the Bactericidal Activity of Surface Disinfectants.
Edisi pertama. Oxford: Zentralblatt fur Hygiene und Umweltmedizin. Hal.
190, 479-491.
Reybrouck, G. (1992). Evaluation of the Antibacterial and Antifungal Activity of
Disinfectants. In Principles and Practice of Desinfection, Preservation, and
Sterilization. Edisi ke dua. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Hal.
114-133.
Reybrouck, G. (1992). The Assesment of the Bactericidal Activity of Surface
Disinfectants. Edisi kelima. Oxford: Zentralblatt fur Hygiene und
Umweltmedizin. Hal. 192, 438-446.
Rideal, S., and Walker, J.T. (1903). The Standardisation of Disinfectants. Journal
of The Royal Sanitary Institute. 13(1): 424-441.
Russel, A.D., and Chopra, I. (1987). Understanding Antibacterial Action and
Resistance. Cardiff: Welsh School of Pharmacy University of Wales College
of Cardiff. Hal. 101-111.

Shaffer, J.G. (1965). The Role of Laboratory in Infection Control in the Hospital.
Arbor: University of Michigan, School of Pulbic health. Hal. 354, 357.
Singleton, E. (2000). Disinfectan: Phenol Coefficient Methods. New York: AOAC
International. Hal. 240.
Siswandono. (1995). Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga University Press. Hal.
249-250.
Somani, S.B., Ingole, W.N., and Kulkarni, S.N. (2011). Disinfection of Water by
Using Sodiun Chloride (NaCl) and Sodium Hypochlorite (NaOCl).
Shegaon: Shri Sant Gajanan Maharaj College of Engineering. Hal. 40-43.

Stampi, S., De Luca, G., Onorato, M., Ambrogiano, E., and Zanetti, F. (2002).
Peracetic Acid as an Alternative Wastewater Disinfectant to Chlorine
Dioxide. Bologna: Department of Medicine and Public Health, Division of
Hygiene, University of Bologna. Hal. 725-731.
Stevens, M.P. (2011). Kimia Polimer. Edisi dua. Diterjemahkan oleh Sopyan.
Jakarta: Pradnya Paramita. Hal. 613.
Tafti, F., Jajari, A.A., and Kamran, M.H. (2012). Comparison Of The
Effectiveness Of Sodium Hypochlorite and Dentamize Tablet For Denture
Disinfection. World Journal of medical Sciences. 3(1): 10-14.
Wesley, A. (1986). Medical Microbiology. Edisi dua. Texas: Department of
Microbiology of University of Texas Medical Branch. Hal. 354-358.

Wright, S.E., and Mundy, A. (1960). Defined Medium For Phenol Coefficient
Tests With Salmonella typhosa and Staphylococcus aureus. Journal of
Bacteriology. 80(2): 279.

Anda mungkin juga menyukai