Penatalaksanaan Anestesi Spinal Pada Hernioraphy
Penatalaksanaan Anestesi Spinal Pada Hernioraphy
Penatalaksanaan Anestesi Spinal Pada Hernioraphy
A. IDENTITAS
Nama : Sdr. Sulaiman
No CM : 818734
Umur : 21 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
BB : 52
Agama : Islam
Alamat : Tonjong RT 3/RW 3
Tanggal masuk : 5 Oktober 2010
B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit
1. Keluhan utama : Benjolan di selangkangan kanan
2. Keluhan tambahan :-
3. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 3 OKtober 2010
dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kanan. Benjolan ini tidak balik lagi
dalam 6 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan sedikit nyeri apabila melakukan posisi
jongkok saat buang air besar, buang air kecil lancar. Tidak ada gangguan lain yang
menyangkut keluhan pasien.
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit alergi obat disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
Riwayat penyakit hipertensi disangkal
Riwayat operasi dan pembiusan disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis; GCS: E4 V5 M6
Vital sign : TD 120/70 mmhg
Nadi 92 x/menit reguler, isi dan tegangan cukup
RR 28 x/menit
Suhu 36, 8 C
Primary survey :
A : clear, MP I
B : spontan, SD vesikuler Rbk -/-, Rbh -/-, Wh -/-, RR 28 x/menit
C : N : 92 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, TD : 120/70 mmHg, S1>S2 murmur
(-) gallop (-)
D : GCS E4M6V5
3. Pemeriksaan leher : Simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran KGB (-)
Tiroid : Tidak Ada Kelainan
4. Pemeriksaan dada
Paru : SD.vesikuler , wheezing -/- , rhonki -/-
Jantung : S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )
Dinding dada : simetris , destruksi ( - )
5. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : Supel, datar
Hepar/lien : Tidak teraba
Usus : Bising usus ( + ) Normal
6. Pemeriksaan punggung
Columna vertebra : Tidak Ada Kelainan
Ginjal : Tidak Ada Kelainan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium tanggal :
Darah lengkap
Hb : 17,0 gr/dl
Leukosit : 10730 /l
Hematokrit : 49 %
Trombosit : 230000 / mm³
PT : 13 dtk
APTT : 32 dtk
GDS : 121 uI/L
H. PEMANTAUAN ANESTESI
1. Preoperatif
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan pada selangkangan kanan.
Benjolan ini tidak balik lagi dalam 6 bulan yang lalu. Pasien diputuskan dirawat di
bangsal Kenanga. Setelah keadaan umum pasien membaik, pasien dipersiapkan untuk
operasi tanggal 05 Oktober 2010.
Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
ASA & risk. Diputuskan kondisi fisik pasien termasuk ASA I, serta ditentukan rencana
jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik SubArachoid Block.
Jenis anastesi yang dipilih adalah regional anastesi cara spinal. Anastesi
regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi L3-L4 memberikan
efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi Hernioraphy.
Dibanding dengan general anastesi, regional anastesi dapat menurunkan insidens
terjadinya post-operative venous trombosis.
2. Durante operatif
Teknik anastesi yang digunakan adalah spinal anastesi dengan alasan operasi
yang dilakukan pada bagian tubuh inferior, sehingga cukup memblok bagian tubuh
inferior saja.
Obat anastesi yang diberikan pada pasien ini adalah Buvanest spinal 20 mg
(berisi bupivakain Hcl 20 mg), Buvanest spinal dipilih karena durasi kerja yang lama.
Bupivakain Hcl merupakan anastesi lokal golongan amida. Bupivakain Hcl mencegah
konduksi rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang eksitasi
elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan kenaikan potensial
aksi. Durasi analgetik pada L3-L4 selama 2-3 jam, dan Bupivakain Hcl spinal
menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas bawah selama 2- 2,5
jam. Selain itu Bupivakain Hcl juga dapat ditoleransi dengan baik pada semua jaringan
yang terkena.
Sebagai analgetik digunakan torasic (berisi 30 mg/ml ketorolac tromethamine)
sebanyak 1 ampul (1 ml) disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi
(AINS) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek. Torasic 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta
lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas pada
clinicaal trial pemberian ketorolac dosis pakai ketorolac untuk pasien giatri (> 65 tahun)
adalah titik lebih dari 60 mg/hari dipakai 30 mg karena ternyata bahwa 30 mg mrp dosis
yang tepat dan memberikan terapeutik index yang lebih baik.
Semua pasien yang menghadapi pembedahan harus dimonitor secara ketat 4 aspek
yakni : monitoring tanda vital, monitoring tanda anestesi, monitoring lapangan operasi,
dan monitoring lingkungan operasi.
3. Postoperatif
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR, setelah dipastikan pasien pulih
dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran, serta vital sign stabil pasien dipindahkan
ke bangsal, dengan anjuran untuk bed rest 24 jam, tidur terlentang dengan 1 bantal,
minum banyak air putih serta tetap diawasi vital sign selama 24 jam post operasi.
BAB II
PENDAHULUAN
A. HERNIA
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris Resistentiae
(LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia, kantong hernia, leher hernia dan isi
hernia.
Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut melalui
annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti jalannya spermatid cord
di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus inguinalis subcutan (externus) sampai
scrotum. Hernia inguinalis disebut juga hernia scrotalis bila isi hernia sampai ke scrotum.
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan
hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti diafragma,
inguinal, umbilikal, femoral.
Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia dapat
keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga disebut
hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke luar melalui dinding
perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah tonjolan usus tanpa kantong hernia
melalui suatu lobang dalam rongga perut seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis
atau defek dapatan pada mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus.
Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit oleh
cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga
perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara klinis hernia
inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan pasase,
sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia strangulate.
Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan
mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus
inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum
Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis) adalah
hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis indirek (lateralis), di
mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus minoris resistence
(annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk (medialis), di mana isi hernia
masuk melalui titik yang lemah pada dinding belakang kanalis inguinalis. Hernia
inguinalis lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, sementara hernia femoralis
lebih sering terjadi pada wanita.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang
didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus vaginalis yang terbuka,
peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia.
Tekanan intra abdomen yang meninggi secara kronik seperti batuk kronik, hipertrofi
prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.
B. PENYEBAB
Masih menjadi kontroversi mengenai apa yang sesungguhnya menjadi penyebab
timbulnya hernia inguinalis. Disepakati adanya 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya
hernia inguinalis yaitu meliputi:
1. Processus vaginalis persistent
Hernia mungkin sudah tampak sejak bayi tapi kebanyakan baru terdiagnosis
sebelum pasien mencapai usia 50 tahun. Sebuah analisis dari statistik menunjukkan
bahwa 20% laki-laki yang masih mempunyai processus vaginalis hingga saat
dewasanya merupakan predisposisi hernia inguinalis
2. Naiknya tekanan intra abdominal secara berulang
Naiknya tekanan intra abdominal biasa disebabkan karena batuk atau tertawa
terbahak-bahak, partus, prostat hipertrofi, vesiculolitiasis, carcinoma kolon, sirosis
dengan asites, splenomegali massif merupakan factor resiko terjadinya hernia
inguinalis.
Pada asites, keganasan hepar, kegagalan fungsi jantung, penderita yang
menjalani peritoneal dialisa menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal
sehingga membuka kembali processus vaginalis sehingga terjadi hernia indirect.
3. Lemahnya otot-otot dinding abdomen
C. PEMERIKSAAN HERNIA
Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral
Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan viskus, atau
sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal, 90% dari semua hernia
ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls hernia lebih jelas dilihat daripada diraba.
Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau mengejan.
Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat timbulnya benjolan
mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan hernia. Jika terlihat benjolan
mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi dan bandingkan impuls ini dengan impuls
pada sisi lainnya. Jika pasien mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan
periksalah kembali daerah itu.
Pemeriksaan Hernia Inguinalis
Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa di dalam
skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam. Harus ada kulit skrotum
yang cukup banyak untuk mencapai cincin inguinal eksterna. Jari harus diletakkan
dengan kuku menghadap ke luar dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat
diletakkan pada pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik.
Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di lateral masuk ke
dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum inguinalis dan digerakkan ke atas ke
arah cincin inguinal eksterna, yang terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum.
Cincin eksterna dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.
Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di dalam kanalis
inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke samping dan batuk atau
mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung
atau bantal jari penderita. Jika ada hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan
perhatikanlah apakah hernia itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-
menerus pada massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-lahan,
tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.
Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai jari telunjuk
kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih suka memakai jari telunjuk
kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri
pasien. Cobalah kedua teknik ini dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman.
Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya, suatu hernia
inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi massa itu dapat dipakai untuk
menentukan apakah ada bunyi usus di dalam skrotum, suatu tanda yang berguna untuk
menegakkan diagnosis hernia inguinal indirek.
Transluminasi Massa Skrotum
Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi. Di dalam suatu
ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi pembesaran skrotum. Struktur
vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi
cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa,
seperti hidrokel atau spermatokel.
Tehnik operasi terbaru pada hernia inguinalis adalah menggunakan mesh, suatu
materi prostese yang digunakan untuk memperkuat otot-otot di region inguinalis sehingga
mengurangi timbulnya residif.
Keuntungan pemakaian mesh antara lain:
Aman, terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kronik
Efektif dan kuat
Penyembuhan berlangsung lebih cepat
Nyeri pasca operasi minimal
Jarang menimbulkan komplikasi
Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA I karena
penderita berusia 21 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan
biokimia. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi regional dengan blok
spinal.
Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron merupakan suatu
antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan
pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang
refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron
diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu bupivacaine sebanyak 1
ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat konduksi saraf yang menghantarkan impuls
dari saraf sensoris. Kebanyakan obat anestesi lokal tidak memiliki efek samping maupun efek
toksik secara berarti. Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi
yang akan dilakukan.
Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan
ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS) bekerja
pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara
perifer atau sentral. Juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi
rasa nyeri ringan sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek
analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding
opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek analgesic adalah
4-6 jam.
Pada pengelolaan cairan selama 1 jam operasi, pasien diberikan cairan sebanyak 1500 cc
yang terdiri dari 3 RL. Menurut perhitungan teoritis, pemberian cairan dilakukan berdasarkan
perhitungan pengeluaran cairan dan maintanance cairan. Berikut perincian pada 1 jam pertama :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 52 x 2 cc = 104 cc
2. Pengganti Puasa = 8 x 104 = 832 cc
3. Stress operasi 6 cc/kgBB/jam = 52 x 6 cc = 312 cc
Jadi kebutuhan cairan jam I : = ½x832 +104+312= 832 cc à2 flab RL
Operasi berlangsung selama 1 jam, sehingga kebutuhan cairan pasien adalah sebanyak
832 cc. Kemudian setelah dilakukan operasi diketahui jumlah perdarahan pada kasus ini yaitu
sebanyak 100 cc. Menurut perhitungan, perdarahan yang lebih dari 20 % Estimated Blood
Volume (EBV) harus dilakukan tindakan pemberian transfusi darah. Pada pasien ini, perkiraan
perdarahan adalah 100 cc, dimana EBV-nya adalah 3640 cc.
EBV laki-laki dewasa = 70 cc/kgBB
= 52 x 70 cc = 3640 cc
Sehingga didapatkan jumlah perdarahan (% EBV) adalah 2,75 %
% EBV = 100/3640 x 100 % = 6,6 %
Oleh karena perdarahan pada kasus ini kurang dari 20% EBV maka tidak diperlukan
tranfusi darah. Dengan pemberian cairan rumatan (koloid 1flab) sudah cukup untuk menangani
banyaknya perdarahan.
Untuk kebutuhan cairan di bangsal, perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Maintenance 2 cc/kgBB/jam = 52 x 2 cc = 104 cc/jam
2. Sehingga jumlah tetesan yang diperlukan jika mengunakan infuse 1 cc ~ 20 tetes adalah
104/60 x 20 tetes = 34,67 tetes/menit
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik.
Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang berarti, penderita
kemudian dibawa ke bangsal Kenanga untuk dirawat dengan lebih baik. Yang harus diperhatikan
adalah :
a. Pasien tidur terlentang dengan bantal tinggi selama minimal 12 jam pasca operasi
b. Jika pasien sadar penuh dan peristaltic (+) boleh minum / makan sedikit-sedikit setelah
operasi
c. Kontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi setiap 1 jam
d. O2 2 liter/menit dengan menggunakan canul O2
e. Cairan infuse RL 30 tetes/menit
f. Jika ada mual muntah diberikan ondansetron 4 mg intravena
g. Jika pasien kesakitan diberikan ketorolac 30 mg intravena
h. Jika nadi < 60 kali/menit diberikan sulfas atropine 0,25 mg intravena
i. Jika tekanan darah sistolik <90 mmHg diberikan efedrin 10 mg intravena
j. Monitor balance cairan
BAB IV
KESIMPULAN
1. Penderita usia tahun 21 tahun dengan Herni Inguinalis Lateralis Dextra dan kondisi pasien
tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia oleh karena itu digolongkan seagai
ASA I.
2. Premedikasi yang digunakan adalah ondansentron 1 ampul untuk mencegah mual dan
muntah
3. Induksi anestesi menggunakan buvanest dengan dosis 1 ampul diberikan secara bolus
intravena
4. Selama perjalanan anestesi, pasien diberikan analgetik berupa ketorolac sebagai anti nyeri
5. Pemberian cairan saat operasi berjumlah 832 cc dan cairan di bangsal diberikan 34
tetes/menit
6. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik dan
diberikan instruksi paska operasi, sebagai penanganan jika terjadi efek anestesi yang masih
tersisa.