0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1K tayangan9 halaman

Intoksikasi Organofosfat

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 9

BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.

1 Pendahuluan Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi : Insektisida (pembunuh insekta) Fungisida ( pembunuh jamur) Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu) Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga. Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida banyak digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan dinegara yang sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida adalah sebagai berikut Amerika Serikat 45% Eropa Barat 25% Jepang 12% Negara berkembang lainnya 18% Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.

1.2

Definisi Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat

digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.

Struktur umum organofosfat Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. 1.2 Patofisiologi

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.

Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.

Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. 1.4 Gejala Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat a. Efek muskarinik Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk: dan hipotensi. Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:

diare,

urinasi,

miosis

(tidak

pada

10%

kasus),

bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi

1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi 2. Respiratori bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan 3. Gastrointestinal hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensia alvi 4. Genitourinari Inkontinensia urin 5. Mata mata kabur, miosis 6. Kelenjar Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan

b. Efek Nikotinik Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat. c. Efek sistem saraf pusat Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah, bingung, cemas, depresi salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma. 1.5 Diagnosis
1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta

diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. 2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral, yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan.
3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal

ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan sebelumnya
4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai

indikasi.
1.6

Pemeriksaan penunjang 1) Laboratorium klinik analisa gas darah darah lengkap serum elektrolit pemeriksaan fungsi hati Pemeriksaan fungsi ginjal sedimen urin

2) EKG

Deteksi gangguan irama jantung Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.

3) Pemeriksaan radiologi

1.7

Penatalaksanaan 1) Stabilisasi Pasien Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum. 2) Dekontaminasi Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara. Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang

efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah. Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik. 3) Pemberian Antidotum a) Agen Antimuskarinik Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea. Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin. b) Oxime Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator. Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,
7

peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi organofosfat. 4) Diazepam Diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) . 1.8 Komplikasi 1.9 Gagal nafas kejang pneumonia aspirasi neuropati kematian dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan

Kesimpulan Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime. Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity. Medscape

eMedicine, 2011. Available on: http://emedicine.medscape.com/article/167726overview. Accessed: 4th May 2011.


2. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

I, edisi IV. 2006. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Page 214-16
3. Ooi S, Manning P. Guide to Essentials in Emergency Medicine. Singapore:

McGrawHill, 2004. Page: 369-71

Anda mungkin juga menyukai