0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
142 tayangan18 halaman

Intubasi Dan Perforasi Esofagus Skripsi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 18

2.7 Intubasi Endotrakeal 2.7.1 Pengertian Intubasi Endotrakheal.

Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002). 2.7.2 Tujuan Intubasi Endotrakhea. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal : Mempermudah pemberian anestesia. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. Mengatasi obstruksi laring akut.

2.7.3 Indikasi dan Kontraindikasi. Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain : Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan

karbondioksida di arteri. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Dalam sumber lain (Anonim, 1986) disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain : Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan.

Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.

Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme. Tracheostomi. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords. Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada

beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain: Asfiksia neonatorum yang berat. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi. Pada post operative respiratory insufficiency. Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :

Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah

cricothyrotomy pada beberapa kasus. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi

2.7.4 Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.

Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.

Posisi Untuk Intubasi

2.7.5 Alat-alat Untuk Intubasi Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1989) antara lain : Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop yaitu : Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa. Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade lurus lebih sering terjadi.

Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus : Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.

Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

Alat pengisap atau suction.

2.7.6 Tindakan Intubasi. Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan (Anonim, 1989) antara lain : a. Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus. b. Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan. c. Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. d. Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat

tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. e. Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup. f. Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan. 2.7.7 Langkah-langkah pemasangan Langkah-langkah pemasangan untuk intubasi : 1. Siapkan alat dan pasien 2. Cuci tangan

3. Pakai masker penutup hidung dan mulut dan sarung tangan 4. Atur posisi pasien,kepala ekstensi,leher fleksi 5. Tangan kanan memegang kedua bibir lalu buka mulut pasien 6. Tangan kiri memegang laringoscope,masukkan blade dari sebelah kanan mulut sambil membawa bagian lidah ke arah kiri sampai terlihat uvula dan epiglottis. 7. Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis 8. Masukkan endotracheal tube dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah 9. Isi balon endotracheal dengan spuit kosong 10. Sambungkan endotracheal dengan ventilator/bag 11. Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop masuk ke esophagus, terlalu kanan atau terlalu kiri dari bronchus 12. Fiksasi menggunakan plester

2.7.8 Langkah-langkah intubasi

1.

6 2.7.9 Obat-Obatan yang Dipakai. Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986), antara lain : Suxamethonim (Succinil Choline) short acting muscle relaxant merupakan obat yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan barbiturat I.V.

dengan dosis 20 100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M. Bila I.V. sukar misalnya pada bayi. Thiophentone non depolarizing relaxant metode yang bagus untuk direct vision intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2 dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak. Cyclopropane mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar. Barbiturat Barbiturat secara IV sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat mendepresi pernafasan. N2O/O2 Tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi. Halotan (Fluothane)

agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi. Analgesi Analgesi secara lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut : Menghisap lozenges anagesik. Spray mulut, faring, cord. Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior. Suntikan trans tracheal.

Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus dapat diintubai tanpa anestesi. 2.7.10 Komplikasi Intubasi Endotrakheal. 1. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989) Malposisi berupa intubasi esofagus yang dapat mengakibatkan perforasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

2. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.

Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff.

Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung

Malfungsi tuba berupa obstruksi.

3. Komplikasi setelah ekstubasi. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring. Gangguan refleks berupa spasme laring.

2.8 Perforasi esophagus 2.8.1 Definisi Perforasi esophagus adalah pecahnya dinding esophagus yang biasanya disebabkan oleh benda asing, traumatic atau iatrogenic, yang biasanya diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau pembedahan. Dalam beberapatahun ini perforasi esophagus yang disebabkan oleh iatrogenic terjadi setelah intubasi endotracheal, hal ini dapat mengakibatkan peningkatan kematian 6-34% kasus (jougon J,2001). Sebagian besar kasus perforasi esophagus terjadi pada bagian posterolateral kiri dan meluas sampai beberapa sentimeter kea rah distal esophagus. Keadaan ini

dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi danberakibat fatal pada ketiadaan terapi. Terkadang gejala non-spesifik dapatmenyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan dapat memberikan hasil yang buruk. Penyakit esophagus yang sudah ada sebelumnya bukan merupakan penyebab perforasi esophagus tetapi memberikan kontribusi pada peningkatan angka kematian perforasi esophagus tersebut ( Cantini O, 2001) 2.8.2 Etiologi Dalam kebanyakan kasus belakangan ini ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perforasi esophagus, diantaranya seperti leheryang pendek, gerakan dari leher yang tidak luas, dan pembukaan mulut terbatas dikarenakan vertebra servikalis yang pendek. Kondisi-kondisi seperti ini yang sering mengakibatkan kecelakaan pada saat melakukan tindakan intubasi endotrakeal (Delcambre, 2001). Penilaian yang dilakukan selama kunjungan sebelum pembedahan menjadi suatu hal penting untuk dilakukannya intubasi endotrakeal. Selain itu penggunaan kekuatan yang berlebih pada saat dilakukan intubasi, kurangnya relaksasi otot, terdapat kelainan anatomi pada leher dan kurangnya pengalaman melakukannya tindakan intubasi adalah penyebab utama kesalahan yang dapat mengakibatkan perforasi esophagus (Jougon J, 2001). 2.8.3 Gejala klinis Infeksi yang terjadi pada perforasi esophagus ini dapat menyebar ke

mediastinum,emfisema akut subkutan muncul pada saat yang memungkinkan pada

diagnosis dini seperti halnya yang terjadi pada salah satu contoh kasus di amerika. Sakit punggung, demam, dan emfisema subkutan menjadi gambaran klinis yang menyiratkan terjadi kecelakaan intubasi setelah pembedahan (Jougon J, 2001). 2.8.4 Diagnosis Sebuah pemeriksaan bronkoskopi memungkinkan untuk menyingkirkan terjadinya rupture pada trakeobronkial. Sebuah kontras dilarutkan dan dilakukan pemeriksaan CT-Scan pun memiliki kepekaan yang sama untuk menyingkirkan suatu perforasi esophagus. Dalam penilaian pasien sadar yang dapat dilihat secara klinisi ialah terjadinya sepsis, dan ini merupakan suatu kedaruratan yang harus memulai pengobatan (Jougon J, 2001). Pengobatan medis dilakukan setelah ditegakan diagnosis dini. Pengobatan ini terdiri dari antibiotic spectrum luas dan nutrisi parenteral selama 7-10 hari. Namun tidak dianjurkan pengobatan media pada kasus Dubost yaitu suatu perforasi esophagus yang sudah meluas yang terjadi karena ujung endotrakeal terjadi inokulasi besar (Jougon J, 2001). Suatu perforasi harus dijahit dalam dua lapisan dengan buttressing sebanyak mungkin. Pengobatan bedah konservatif harus diterapkan, kecuali dalam kasus perforasi stenosis yang ganas dari kerongkongan. Pengobatandapat ditunda untuk kasus yang mengalami infeksi mediastinum tidak dapat dikeringkan (Jougon J, 2001).

Anda mungkin juga menyukai