Tubex TF

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

TUGAS IMUNOSEROLOGI

Nama

NIM

Semester

: V (Lima)

PEMERIKSAAN TUBEX TF
Tanggal Praktikum
Tempat

I.

: Rabu, 21 September 2016

: Lab. Imunoserologi

Tujuan
a. Tujuan Umum
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan tifoid dengan Tubex TF Test pada
serum probandus.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan cara pemeriksaan tifoid dengan Tubex TF Test pada
serum probandus.
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat pemeriksaan tifoid dengan Tubex TF Test pada serum atau plasma
probandus.
2. Untuk mendeteksi tifoid primer (Antibodi Ig M) terhadap antigen Salmonella typhi
O9 Lipolisakarida secara semi kuantitatif.
3. Mahasiswa dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan tifoid dengan Tubex TF
Test pada serum probandus.

II.

Metode
Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI)

III.

Prinsip

Tubex TF mendeteksi antibodi anti- O9 pada sampel serum sesuai dengan mengukur
kemampuanya dalam menghambat reaksi antibodi yang dilapisi reagen biru dengan antigen
partikel latex magnetic pada reagen cokelat. Penghambat yang terjadi akan sebanding
dengan konsentrasi antibodi anti- O9 dalam sampel pemisahan diaktifkan oleh gaya
magnet. Hasil dibaca secara visiual terhadap skala warna.
IV.

Dasar Teori
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang masih menjadi masalah
kesehatan di negara-negara berkembang terutama bagi negara yang memiliki iklim tropis
dan sub tropis. Demam tifoid adalah penyakit demam berkepanjangan yang disebabkan
oleh bakteri serotype Salmonella tertentu sebagai agen etiologi termasuk Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Pada khasus
demam tifoid ini manusia menjadi satu-satunya tuan rumah reservoir. Penyakit ini dapat
ditularkan melalui air yang terkontaminasi oleh feses dan makanan yang terdapat di daerah
endemic dengan penanganan masakan yang diolah secara belum matang. (Ralte,
Lalremruata, dkk. 2014).
Demam tifoid telah dinggap sebagai salah satu penyakit menular yang bukan
disebabkan oleh virus. Demam tifoid adalah penyakit akibat infeksi sistemik yang ditandai
dengan penyakit akut yang memiliki manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala,
komplikasi fatal seperti perforasi usus, perdarahan gastrointestinal, ensefalitis neuritis
kranial, bradikardia, splenomegali dan leukopenia. Diagnosa demam tifoid atas dasar klinis
susah dilakukan karena memiliki gambaran klinis yang non-spesifik karena gejalanya yang
mirip dengan penyakit demam lainnya. Maka untuk menentukan hasil diagnosa yang pasti
harus dilakukannya pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
bahwa Demam typhoid memiliki masa inkubasi yang paling panjang. (Ayse, Willke, dkk.
2013).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 21 juta
khasus tifoid dengan angka kematian lebih dari 600.000 jiwa pada setiap tahunnya.
Khasus-khasus ini lebih di lihat dari beberapa negara seperti India, Amerika Selatan,
Amerika Tengah dan Afrika yang merupakan negara dengan pertumbuhan penduduk yang

cepat, peningkatan urbanisasi, infrastruktur, sistem kesehatan dan kertersediaan air bersih
yang terbatas. (Ralte, Lalremruata, dkk. 2014).
Organisme penyebab demam tifoid yaitu Salmonella Typhi ini dibedakan serotipe
yang dibedakan oleh antigen O dan antigen H yang ditemukan didalam
lipopolisakarida (LPS) dan flagella. Pada Salmonella Thyphi dengan serogrup D umumnya
memiliki antigen O9 dan O12. Untuk memudahkan melakukan diagnose penyakit tifoid,
saat ini telah banyak pemeriksaan yang dikembangkan untuk mendiagnosa penyakit tifoid.
(Yan, Meiying, dkk. 2011).
Salah satu pemeriksaan yang paling banyak digunakan dalam perangkat
diagnostic baru-baru ini adalah dengan melakukan pemeriksaan Tubex TF. Pada
pemeriksaan Tubex TF ini menggunakan antibody anti O9 untuk mendeteksi adanya
demam tifoid dan hasil yang muncul akan dibandingkan secara visual oleh skala warna
dengan skor 0 sampai 10. (Yan, Meiying, dkk. 2011).
Format inhibisi assay yang digunakan dalam pemeriksaan tubex TF adalah
menghinghindari terjadinya reaktivitas non spesifik potensial karena factor lingkungan
seperti pH atau zat pengganggu yang biasanya ditemukan pada tes aglutinasi. Selain itu,
penggunaan kekuatan magnet untuk memisahkan partikel yang akan terikat pada indicator
Tubex dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan dengan menggunakan
tes aglutinasi slide. (Nugraha, Jusak, dkk. 2012).
V.

Alat Dan Bahan


a. Alat :
Mikropipet 50 l dan 100 l
Yellow tip
Skala warna
Tape sealing
Tabung merah tanpa antikoagulan
Sentrifuge
b. Bahan:

Reagen biru

Reagen cokelat

Control postif

Control negative

Sealing tape

Tissue

c. Sampel:
Serum atau plasma heparin
(Bila tidak segera diperiksa maka serum dapat disimpan pada suhu 2-8 0C atau
suhu -180C. Sampel tidak dapat digunakan jika hemolisis, ikterik, limpemik dan
kontaminasi bakteri).
VI.

Cara Kerja
a. Secara Semi Kuantitatif:
1. Siapkan alat, bahan dan reagen yang digunakan pada meja praktikum (semua
komponen pemeriksaan disuhu kamarkan terlebih dahulu 30 menit).
2. Dipipet 45 l reagen cokelat ke dalam 3 sumur.
3. Ditambahkan 45 l sampel pada sumur 1, 45 l control positif pada sumur 2 dan 45
l control negative pada sumur 3.
4. Homogenkan 5- 10 kali secara perlahan menggunakan pipet baru setiap sampel.
(Jangan sampai ada busa)
5. Inkubasi 2 menit.
6. Ditambahkan 90 l reagen biru ke masing-masing sumur.
7. Ditutup sumur dengan sealing tape, tekan hingga erat.
8. Homogenkan dengan sudut 900 selama 2 menit.

9. Taruh sumur tersebut di skala warna diamkan 5 menit.


10. Baca hasilnya secara visual bandingkan dengan skala warna.
VII.

Interpretasi Hasil
a. Secara Semi Kuantitatif:
Score
0-2
2-4
4-10
Indeterminate

Interpretasi Hasil
Negative
Inconclusive score
Positif
Tidak ada score

VIII. Hasil Pengamatan


a. Bahan dan Sampel:
Gambar:
b. Data Probandus :
Nama Probandus

: B

Jenis Kelamin

:X

Sampel

: Serum

Secara Kualitatif:
Hasil:
Skor 10

: Terjadi perubahan warna menjadi biru pekat. (Terdapat Ig M Salmonella

dalam serum)
Gambar:

Control (+)

Serum B

Control (-)

Sumur
Sampel B

IX.

Pembahasan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang masih menjadi masalah
kesehatan di negara-negara berkembang terutama bagi negara yang memiliki iklim tropis
dan sub tropis. Demam tifoid adalah penyakit demam berkepanjangan yang disebabkan
oleh bakteri serotype Salmonella tertentu sebagai agen etiologi termasuk Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui air yang terkontaminasi oleh feses dan makanan yang terdapat di

daerah endemic dengan penanganan masakan yang diolah secara belum matang. (Ralte,
Lalremruata, dkk. 2014).
Diagnosa demam tifoid atas dasar klinis susah dilakukan karena memiliki
gambaran klinis yang non-spesifik karena gejalanya yang mirip dengan penyakit demam
lainnya. Maka untuk menentukan hasil diagnosa yang pasti harus dilakukannya
pemeriksaan laboratorium.
Diagnosa definitif demam tifoid membutuhkan isolasi Salmonella enterica
serotipe Typhi dari darah, feses, urin atau cairan tubuh lainnya dari pasien. Saat ini isolasi
Salmonella Typhi dari kultur mikrobiologis masih dianggap sebagai standar emas yang
digunakan untuk mengkonfirmasi pemeriksaan demam tifoid. Namun prosedur
pemeriksaan dengan kultur ini dinilai tidak praktis karena membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk memberikan hasil pemeriksaan. (Islam, Kamrul, dkk. 2016).
Untuk memudahkan melakukan diagnose penyakit tifoid, saat ini telah banyak
pemeriksaan yang dikembangkan untuk mendiagnosa penyakit tifoid. Salah satu
pemeriksaan yang paling banyak digunakan dalam perangkat diagnostic baru-baru ini
adalah dengan melakukan pemeriksaan Tubex TF yang merupakan tes diagnostic semi
kuantitatif yang digunakan untuk mendeteksi adanya demam tifoid primer akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. (Yan, Meiying, dkk. 2011).
Pemeriksaan dilakukan dengan metode IMBI (Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay), dimana prinsip yang digunakan untuk mendeteksi secara spesifik antibody
anti-O9 (IgM) dalam serum pasien sesuai dengan kemampuannya dalam menghambat
reaksi antibody yang terdapat pada reagen berwarna biru dengan antigen yang dilapisi
dengan reagen berwarna cokelat, penghambatan yang terjadi akan sebanding dengan
konsentrasi antibody anti-O9, pada pemisahannya diaktifkan dengan menggunakan gaya
magenetic kemudian hasil yang didapat diinterpretasikan secara visual dengan
menggunakan skala warna,
Pada pemeriksaan Tubex TF ini sampel yang digunakan diperbolehkan
menggunakan sampel plasma heparin maupun serum, namun kali ini praktikan
menggunakan sampel serum. Sampel serum yang digunakan pun harus memenuhi
syarat tidak lipemik, ikterik, hemolisis dan terkontaminasi bakteri. Apabila pemeriksaan

ditunda maka sampel serum harus disimpan pada suhu 2-8C yang dapat bertahan
sampai 48 jam dan pada suhu -18 C yang dapat bertahan sampai 4 minggu. Dalam
pemeriksaan ini reagen yang digunakan pun harus diperhatikan penyimpanannya agar
selalu dalam kondisi baik. Penyimpanan reagen disimpan pada suhu 2-8C saat tidak
digunakan, pada saat penyimpanan botol reagen harus dalam posisi tegak lurus dan
tidak boleh dibekukan.
Hal yang petama yang harus dilakukan adalah menggunakan alat pelindung diri
dengan baik dan benar karena sampel yang digunakan merupakan sampel yang
infeksius. Proses pemeriksaan diawali dengan membuat reagen dan sampel dikondisikan
pada suhu ruang terlebih dahulu, tujuannya agar reaksi yang terbentuk antara reagen
dengan sampel dapat berekasi secara optimal. Sampel serum yang digunakan berasal
dari praktikan. .Sampel serum yang digunakan adalah sampel serum pasien yang
didapat dengan menggunakan tabung tanpa antikogalan yang di sentrifuge selama 15
menit dengan kecepatan 3000 rpm.
Pada pemeriksaan ini haruslah selalu disertai dengan pembuatan kontrol positif
dan negative. Pembuatan kontrol positif dan negative harus selalu disertakan dalam
setiap uji karena digunakan sebagai uji validasi reagen serta sebagai pembanding yang
digunakan dalam menginterpretasikan hasil yang diperoleh dari sampel yang akan
diperiksa. Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan menambahkan 45 l reagen cokelat
kedalam 3 sumur kemudian ditambahkan serum sebanyak 45 l pada sumur 1, 45 l
kontrol positif pada sumur 2, dan 45 l kontrol negative pada sumur 3. Setelah itu
dilakukan penghomogenan dengan cara menaik turunkan menggunakan mikropipet dan
diusahakan agar tidak terdapat busa karena busa akan mempengaruhi hasil pembacaan.
Selanjutnya dilakukan tahap inkubasi selama 2 menit, tahap ini dilakukan dengan tujuan
untuk lebih mengoptimalkan reaksi antara antigen pada reagen cokelat dan antibodi
dalam serum pasien. Setelah diinkubasi selama 2 menit masing-masing sumur
ditambahkan reagen biru sebanyak 90 l melalui dinding dengan tujuan agar tidak
terdapat busa/gelembung. Kemudian sumur ditutup dengan sealing tape dan dipastikan
penutupan telah dilakukan dalam keadaan tertutup rapat dan tidak ada bagian yang
longgar agar campuran yang terdapat pada sumur tidak tumpah pada saat dilakukannya
penghomogenan. Penghomogenan dilakukan dengan cara memiringkan sumur secara

horizontal (90 derajat) dan dilakukan pengocokan terhadap well strip dengan cepat
selama 2 menit sehingga diperoleh campuran dalam sumur yang merata.
Sumur reaksi kemudian diletakkan pada skala warna yang mengandung magnet
dan didiamkan selama 5 menit. Pembacaan hasil dilakukan dengan pengamatan secara
makroskopis yag bersifat subjective dengan cara membandingkan warna supernatant
yang terbentuk pada skala warna yang telah terdiri dari warna merah muda (score 0)
sampai warna biru pekat ( score 10).
Pada pemeriksaan Tubex TF ini reagen biru yang digunakan mengandung
partikel yang telah dilapisi dengan antibody monoclonal O9 yang spesifik (mAb).
Sedangkan reagen cokelat mengandung partikel magnetic yang lapisi dengan antigen
Salmonella typhi. (Nugraha, Jusak, dkk. 2012).
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang negative maka pada serum
pasien tidak mengandung antibodi terhadap antigen O9, maka reagen coklat akan
bereaksi dengan reagen biru. Ketika sumur diletakkan pada skala warna yang
mengandung medan magnet, partikel magnet yang dikandung reagen cokelat akan ikut
tertarik oleh magnet dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen biru.
Karena pewarna yang dikandung oleh reagen biru ikut tertarik ke dasar sumur maka
akan menghasilkan warna merah pada sumur reaksi. Sedangkan apabila hasil
menunjukkan hasil positif maka serum mengandung antibodi terhadap antigen O9,
antibodi pasien akan berikatan dengan reagen coklat kemudian sisa reagen coklat akan
berikatan dengan reagen biru kemudian partikel reagen coklat dan reagen biru akan
tertarik pada magnet dan memberikan warna biru pada larutan. (Yan, Meiying, dkk.
2011).
Perubahan warna yang dihasilkan dari pembacaan hasil dikategorikan pada skala
0 sampai 10. Untuk skor 0 sampai 2 menunjukkan hasil negative. Supernatan dengan
warna yang sesuai dengan skor 2 sampai 4 ditafsirkan sebagai hasil tak tentu.
Sedangkan untuk supernatan dengan warna yang sesuai dengan skor 4 sampai 10
menunjukkan hasil yang positif. Penilaian skor disesuaikan dengan warna supernatant.
(Nugraha, Jusak, dkk. 2012).
Pada praktikum yang dilakukan dengan menggunakan sampel serum dengan kode
B didapatkan hasil positif dengan skor 10, dimana dari hasil yang didapat terbentuk
warna biru pekat. Warna biru ini menunjukkan tingginya konsentrasi antibody terhadap

antigen O9 dalam serum pasien yang bereaksi dengan reagen cokelat sehingga semakin
sedikit reagen biru yang berikatan dengan reagen cokelat.
Adapun kelebihan dari pemeriksaan Tubex TF ini yaitu dapat memberikan hasil
diagnosa yang cepat, lebih spesifik dalam mendeteksi Salmonella typhi dibandingkan
dengan test widal, serta mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella typhi.
Namun pemeriksaan Tubex TF juga memiliki kekurangan yaitu biaya yang dibutuhkan
untuk pemeriksaan ini cukup mahal. (Khanna, Ashish, dkk. 2015). Selain itu pengamatan
dalam memberikan skor hasil pemeriksaan menggunakan pengamatan paralaks sehingga
setiap orang memiliki penilaian yang sedikit berbeda.
X.

Simpulan
Dari hasil praktikum yang dilakukan pada pemeriksaan Tubex TF pada sampel
pasien dengan kode B didapatkan hasil postif dengan skor 10 yang menunjukkan adanya
antibodi IgM Salmonella.

Daftar Pustaka
Ayse, Willke, dkk. 2013. Widal Test in Diagnosis of Typhoid Fever in Turkey. [online].
Tersedia:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC120044/. (Diakses 19 Maret
2016).

Islam, Kamrul, dkk. 2016. Comparison of the Performance of the TPTest, Tubex, Typhidot and
Widal Immunodiagnostic Assays and Blood Cultures in Detecting Patients with Typhoid
Fever in Bangladesh, Including Using a Bayesian Latent Class Modeling Approach.
[online]. Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4825986/ (Diakses
24 September 2016).
Khanna, Ashish, dkk. 2015. Comparative Evaluation of Tubex TF (Inhibition Magnetic Binding
Immunoassay)

for

Typhoid

Fever

in

Endemic

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4668408/

Area.

[online].

(Diakses

24

Tersedia:
September

2016).
Nugraha, Jusak, dkk. 2012. Microbiological Culture Simplified Using Anti-O12 Monoclonal
Antibody in TUBEX Test to Detect Salmonella Bacteria from Blood Culture Broths of
Enteric

Fever

Patients.

[online].

Tersedia:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/

articles/PMC3500315/ (Diakses 24 September 2016).


Ralte, Lalremruata, dkk. 2014. spective Audit of the Widal Test for Diagnosis of Typhoid Fever in
Pediatric Patients in an Endemic Region.[online]. Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.
gov/pmc/articles/PMC4079999/. (Diakses 19 Maret 2016).
Yan, Meiying, dkk. 2011. Combined Rapid (TUBEX) Test for Typhoid-Paratyphoid A Fever
Based on Strong Anti-O12 Response: Design and Critical Assessment of Sensitivity.
[online]. Tersedia: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3174194/ (Diakses
24 September 2016).

Anda mungkin juga menyukai