Cerita Rakyat Indonesia Yang Berhubungan Dengan Alam
Cerita Rakyat Indonesia Yang Berhubungan Dengan Alam
Cerita Rakyat Indonesia Yang Berhubungan Dengan Alam
Dahulu kala terdapat kerajaan besar di Pulau Halmahera. Rajanya belum lama
meninggal dunia. Ia meninggalkan dua anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Mereka bernama Baginda Arif, Putra Baginda Binaut, dan Putri Baginda Nuri. Putra
Baginda Binaut sangat menginginkan kedudukan sebagai raja untuk menggantikan
ayahnya. Keinginan itu disampaikan kepada patih kerajaan. Aku harus menggantikan
kedudukan ayahku. Kata Binaut kepada sang Patih dengan penuh keyakinan.
Agar sang Patih ikut mendukung rencana tersebut, maka Binaut memberi janji
bahwa jabatan sang Patih akan tetap dipertahankan, dan ia akan diberi hadiah emas
berlian. Berkat bujuk rayu dan janji itulah, Sang Patih bersedia mendukung Binaut
menjadi raja. Sang Patih segera mengatur para pengawal kerajaan untuk menangkap
Sri Baginda Ratu, Putra Baginda Arif dan Putri Baginda Nuri. Setelah ditangkap,
mereka dijebloskan di penjara bawah tanah.
Kanda Binaut benar-benar kejam! Tamak! Tak tahu diri! umpat Putri Baginda
Nuri dengan penuh emosi. Namun, Sri Baginda Ratu meminta agar Nuri bersabar dan
tawakal dalam menghadapi cobaan ini. Yang benar akan tampak benar dan yang
salah akan tampak salah. Dan yang salah itu, kelak akan mendapatkan hukuman yang
setimpal, kata Sri Baginda Ratu menghibur dengan penuh keibuan, betapapun
sangat sakit hati melihat kekejaman putra kandungnya.
Binaut merasa gembira setelah menjebloskan ibu dan saudara kandungnya ke
penjara. Ia mengumumkan kepada rakyat kerajaan bahwa Sri Baginda Ratu dan putraputrinya mengalami musibah di laut. Saat itu pula, Putra Baginda Binaut minta kepada
para pembesar istana untuk segera dilantik menjadi raja. Sejak itu, Sri Baginda Binaut
bersikap angkuh dan tinggi hati. Ia menganggap sebagai raja yang paling berkuasa di
muka bumi ini.
Demi kepentingan dirinya, ia memerintahkan kepada seluruh rakyat kerajaan
agar bekerja giat untuk membangun istana megah. Selain itu, diberlakukan berbagai
pungutan pajak, diantaranya pajak hasil bumi, pajak hewan, pajak tanah. Bukan
main! Raja Binaut penghisap dan penindas rakyat! kata salah seorang penduduk
kepada yang lain. Mereka mengeluh dengan peraturan yang dikeluarkan Raja Binaut
yang sangat merugikan rakyat. Tetapi, mereka takut membantah, apalagi berani
melawan perintah raja, pasti kena hukuman berat.
Ada seorang pelayan istana raja bernama Bijak. Ia melarikan diri dari istana dan
membentuk sebuah pasukan tangguh melawan raja Binaut. Paling tidak, mereka
dapat membebaskan Sri Baginda Ratu dan putra-putrinya. Kita harus segera
bertindak menyelamatkan mereka, kata Bijak dengan penuh harap. Hal ini didukung
teman-temannya.
Waktu itu, banyak para pegawai istana yang telah membelot bergabung dengan
Bijak. Bijak pun telah mempelajari bagaimana mengadakan penyelamatan itu. Bila
penyelamatan berhasil, direncanakan mengadakan penyerangan ke istana Raja
Binaut. Berkat kepemimpinan Bijak, dalam sekejap mereka berhasil menyelamatkan
Sri Baginda Ratu dan putra-putrinya yang dipenjara Binaut. Mereka langsung dibawa
ke hutan.
Kuucapkan terima kasih tak terhingga, ucap Sri Baginda Ratu dengan
tersendat. Mereka tampak kurus kering karena selama dipenjara di bawah tanah
jarang makan dan minum. Bijak pun menyampaikan kepada Sri Baginda Ratu akan
mengadakan penyerangan ke istana. Tetapi, Sri Baginda Ratu tidak setuju, ia tidak
mau berlumuran darah bangsanya sendiri. Ketamakan, kebengisan, iri dan dengki
akan kalah dengan doa permohonan yang disampaikan kepada Tuhan.
Raja Binaut berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. Sang Patih yang selalu
mendukung keputusan Raja Binaut lama-kelamaan tidak senang dengan perilaku Raja.
Tetapi ia tidak berani mengeluarkan sikap yang melawan. Kalau itu dilakukan pasti ia
langsung dipecat dan dijebloskan penjara. Saat itu penjara penuh dengan tahanan.
Siapa yang melawan Raja, hukuman penjaralah tempatnya. Itulah kesombongan
Raja Binaut. Karena ia merasa yang paling berkuasa dan paling tinggi.
Namun tak disangka, sebuah bencana alam terjadi. Sebuah gunung meletus
dengan sangat dahsyat. Lahar panas mengalir ke segala penjuru. Istana Raja Binaut
pun menjadi sasaran lahar panas. Ternyata sebagian besar lahar panas telah meluluh
lantakkan bangunan istana yang baru saja selesai dibangun dari hasil keringat rakyat.
Raja Binaut kebingungan mencari perlindungan. Ia lari pontang-panting tak tahu arah
tujuan.
Anehnya, lahar seolah-olah mengejar kemanapun Raja Binaut lari. Tolongtolong! teriak Binaut. Lahar panas itu sedikit demi sedikit menempel di kaki Binaut.
Seketika itu juga kakinya melepuh dan kulitnya terkelupas. Ia berusaha untuk tidak
berhenti berlari. Lahar panas mulai menjalar ke tubuhnya. Ia sangat tersiksa. Ketika ia
mengalami siksaan lahar panas itu ia ingat ibunya. Ia mohon ampun. Ampunilah aku,
bu! Maafkanlah aku, bu! Aku sudah tidak kuat menanggung penderitaan ini! Aku tidak
akan mengkhianati ibu, kakak Arif dan adik Nuri lagi. Maafkanlah aku! Ibu! Ibu! teriak
Binaut karena kesakitan. Namun teriakan itu hilang perlahan-lahan dan akhirnya ia
meninggal.
Jasad Binaut terdampar di sebuah pantai. Seketika itu juga tempat itu berubah
menjadi sebuah Tanjung. Konon, tanjung itu sering terdengar orang menangis minta
belas kasihan karena mengalami siksaan yang amat sangat. Kini tempat
terdamparnya Binaut itu dinamakan Tanjung Menangis.
tenggelam bersama rumah dan isinya. Tempat tersebut berubah menjadi sebuah
danau yang kemudian dinamakan Situ Bagendit.
Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi kerajaan. Di suatu
tempat yang dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung Hyang, Sumbing
Perbangkara ingin sekali kencing. Ia kemudian kencing dan tanpa sengaja,
tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang beberapa saat, babi hutan Wayung
Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air kencing Sumbing Perbangkara.
Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil.
Sumbing Perbangkara yang pada dasarnya memang suka berburu kembali ke hutan
tersebut setelah berbilang bulan, tepat saat Wayung Hyang melahirkan seorang bayi
perempuan yang sangat cantik. Sumbing Perbangkara yang berburu kijang
mendengar suara tangisan bayi. Ditemani anjing pemburunya Tumang, ia akhirnya
menemukan bayi perempuan yang tak lain adalah anaknya sendiri. Terpikat oleh
keelokan paras bayi itu, Sumbing Perbangkara membawanya pulang dan
mengangkatnya sebagai anak. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama Dayang
Sumbi.
Dayang Sumbi kemudian semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang putri yang
berparas elok. Kecantikan tersiar ke segenap penjuru kerajaan hingga didengar rajaraja dan para pangeran. Dayang Sumbi diperebutkan. Perang besar terjadi di manamana. Merasa tidak nyaman dengan perang yang terjadi di mana-mana karena
memperebutkan dirinya, Dayang Sumbi akhir meminta kepada ayahnya raja Sumbing
Perbangkara untuk menyendiri dan pergi dari kerajaan. Sumbing Perbangkara
jujur mengakui bahwa Tumang telah tewas karena panahnya dan hatinya telah
diserahkan kepada ibunya untuk dimasak.
Dayang Sumbi sangat murka. Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya
sendiri. Ia kemudian mengambil centong nasi dan memukul kepala Sangkuriang
hingga terluka sangat parah. Akan tetapi, luka di hati Sangkuriang lebih parah. Ia
akhirnya lari dari pondok mereka.
Menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri dan membuatnya lari, Dayang
Sumbi akhirnya merasa sangat menyesal. Sangkuriang adalah putranya satu-satunya
yang telah menemaninya hidup di hutan bersama Tumang. Demi menenangkan
perasaannya, Dayang Sumbi akhirnya bertapa. Dalam pertapaannya, Dayang Sumbi
kemudian dikaruniakan umur panjang dan awet muda. Semumur hidupnya, ia akan
tetap menjadi seorang wanita yang cantik dan tak akan pernah terlihat tua.
Sementara itu, Sangkuriang yang lari dengan kepala terluka mengembara ke manamana. Ia berguru dengan beberapa orang sakti. Ia masuk hutan keluar hutan. Saat
Sangkuriang telah menjadi pemuda sakti dan perkasa, ia mengalahkan semua
makhluk-makhluk halus atau guriang yang ditemuinya dalam pengembaraan. Ia
menaklukkan mereka dan dengan kesaktiannya menjadi tuan dari guriang-guriang itu.
Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya Sangkuriang akhirnya bertemu dengan
Dayang Sumbi. Sangkuriang sangat terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi, lalu
akhirnya jatuh cinta. Perasaan Sangkuriang berbalas. Dayang Sumbi juga terpikat oleh
ketampanan Sangkuriang. Akhirnya, Sangkuriang berniat menikahi Dayang Sumbi.
Saat Dayang Sumbi menyisir rambut dan merapikan ikat kepala Sangkuriang, ia
melihat ada bekas luka yang sangat besar. Setelah mengamati wajah Sangkuriang,
barulah ia sadar bahwa ia akan menikah dengan anak kandungnya sendiri.
Sangkuriang sendiri tidak menyangka bahwa Dayang Sumbi adalah ibu kandungnya.
Dayang Sumbi akhirnya mencoba menjelaskan kenyataan bahwa Sangkuriang adalah
putranya. Tetapi Sangkuriang telah kehilangan akal sehat. Sangkuriang tetap
memaksa. Akhirnya Dayang Sumbi secara halus menghindari terjadinya perkawinan
mereka. Ia meminta Sangkuriang membuatkannya sebuah danau lengkap dengan
perahunya dalam semalam. Bagi Dayang Sumbi, ini adalah hal yang mustahil untuk
dapat dilakukan oleh Sangkuriang. Anak kandungnya itu tidak akan sanggup
memenuhi persyaratan yang mintanya. Di luar dugaan Dayang Sumbi, Sangkuriang
menyanggupi permintaannya.
Malam itu, Sangkuriang bekerja keras membuat sebuah danau. Sangkurang
menebang pohon, bekas pohon tebangannya itu berubah menjadi sebuah bukit yang
kini dikenal sebagai Gunung Bukit Tunggul, sementara daun, ranting dan bagian kayu
lainnya yang tidak terpakai ditumpuknya dan terbentuklah Gunung Burangrang. Ia
telah bekerja separuh malam. Selanjutnya setelah perahu selesai dibuat Sangkuriang
mulai membuat danau. Sangkuriang, seperti pengerjaan perahu, mengerahkan
makhluk halus guriang untuk membantu. Melihat situasi ini, Dayang Sumbi menjadi
Suatu ketika Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi hutan. Datu Dalu
meminjamkan tombak itu kepada adiknya dengan syarat tombak itu harus dijaga baik-baik jangan sampai
hilang. Begitulah ketika Sangmaima sampai di kebunnya dia melihat seekor babi hutan yang sedang
merusak tanamannya.
"Babi hutan, sialan! Kerjanya merusak tanaman orang!" rutuknya. Tanpa berpikir panjang ia melemparkan
tombak pusaka tepat mengenai lambung babi hutan itu. Babi hutan itu masih sempat melarikan diri.
Sangmaima berusaha mengejar, tetapi yang dia temukan di semak-semak hanya tombaknya saja sedangkan
mata tombaknya masih melekat di lambung babi hutan itu.
Sangmaima segera pulang, melapor pada abangnya. Dia sudah menduga abangnya pasti marah besar karena
mata tombaknya hilang entah kemana.
"Kamu harus mendapatkan kembali mata tombak itu. Aku tidak mau tahu bagaimana caramu!" kata Datu
Dalu kepada adiknya.
"Saya mohon maaf, bang. Hari ini juga saya akan mencari mata tombak itu."
"Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!"
Hari itu juga Sangmaima berangkat ke hutan mencari mata tombak itu. Dari tempat tanamannya yang
dirusak, ia melacak tapak-tapak babi hutan yang melarikan diri. Akhirnya ia menemukan sebuah lubang
besar, tempat babi hutan itu menghilang. Dengan sebuah tali yang panjang, Sangmaima dapat mencapai
dasar lubang itu. Dasar lubang itu ternyata merupakan pintu gerbang sebuah istana bawah tanah.
Di istana itulah akhirnya Sangmaima bisa menemukan mata tombaknya yang melekat di tubuh puteri raja
yang sedang sakit. Tahulah sekarang Sangmaima, babi hutan yang pernah ia tombak itu ternyata jelmaan
puteri raja. Setelah berhasil menyembuhkan sang puteri, diam-diam Sangmaima pergi untuk mengembalikan
mata tombak kepada kakaknya.
Datu Dalu sangat gembira melihat kepulangan adiknya. Kegembiraan itu ia wujudkan dengan mengadakan
pesta adat secara besar-besaran. Sayangnya dalam pesta itu ia tidak mengundang adiknya. Tindakan Datu
Dalu ini membuat Sangmaima tersinggung. Lalu ia bermaksud mengadakan pesta sendiri. Dalam pesta
Sangmaima ada tontonan yang menarik. Tontonan itu berupa seorang wanita yang dihias dengan berbagai
macam bulu burung sehingga bentuknya menjadi seekor burung Ernga (biasanya berkicau di sore hari).
Di rumah Datu Dalu tamu yang datang sangat sedikit. Dia penasaran. Ketika diteliti, ternyata orang lebih
senang datang ke rumah adiknya karena di situ ada tontonan yang menarik. Maka Datu Dalu segera ke
rumah adiknya. Ia bermaksud meminjam tontonan itu untuk memikat tamu ke rumahnya. Sangmaima
bersedia meminjamkan dengan syarat kakaknya harus menjaga jangan sampai burung Ernga itu rusak atau
hilang.
Sangmaima kemudian mengantarkan Ernga ke rumah kakaknya. Dia sendiri kemudian bersembunyi di
langit-langit rumah abangnya. Pada hari pertama pesta di rumah Datu Dalu cukup ramai karena adanya
tontonan itu. Malamnya diam-diam Sangmaima menemui wanita yang menjadi Ernga, "Besok pagi buta,
kamu harus meninggalkan tempat ini. Bawalah semua emas, pakaian yang telah diberikan kepadamu."
"Baik, tuan," jawab wanita itu.
Pada pagi hari yang kedua, Datu Dalu bermaksud memanggil Ernga untuk bernyanyi lagi di hadapan
penonton. Berulang-ulang dipanggil, Ernga itu tidak muncul. Datu Dalu menjadi cemas. Dia mencari ke
sana kemari tetapi Ernga itu tetap tak tampak. Saat itulah datang Sangmaima mengingatkan perjanjian
dengan abangnya tentang peminjaman burung Ernga. Datu Dalu berusaha mengganti berapa jumlah
kerugian adiknya, namun Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi itu.
Akhirnya pertikaian tak dapat dihindarkan lagi, meningkat menjadi pertikaian yang sengit. Keduanya samasama kuat. Datu Dalu kemudian mengambil sebuah lesung. Sekuat tenaga lesung itu dia lempar hingga jatuh
di kampung Sangmaima. Ajaibnya di tempat terjatuhnya lesung itu terjadi sebuah danau. Sampai sekarang
danau itu disebut danau Losung. Sangmaima pun tidak mau kalah dengan adiknya. Ia mengambil sebuah
piring, dia lemparkan piring itu ke arah perkampungan abangnya. Di tempat jatuhnya piring itu pun terjadi
sebuah danau. Sampai kini orang menyebutnya danau Si Pinggan. Itulah awal mula terjadinya danau Si
Losung dan si Pinggan.