Orientalisme Dan Al-Qur'an

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

PANDANGAN ORIENTALIS

TERHADAP AL-QURAN
(Teori Pengaruh Al-Quran Theodor Nldeke)

Kurdi Fadal

Abstrak: Sebagian besar kaum orientalis meyakini bahwa al-


Quran adalah kitab suci yang dipengaruhi tradisi agama
Yahudi dan Kristen. Keterpengaruhan itu meliputi: ajaran-
keimanan, hukum-moral, dan kisah-kisah para nabi. Tulisan
ini mengkaji pandangan Theodor Nldeke, seorang orientalis
berkebangsaan Jerman. Nldeke berpendapat bahwa al-Quran
adalah kitab suci yang banyak dipengaruhi agama Yahudi dan
beberapa dari unsur agama Kristen. Melalui Bible sebagai
tolok ukurnya, Nldeke juga memandang bahwa beberapa
nama diri, term agama, dan kisah-kisah nabi terdahulu yang
dijiplak Muhammad dalam al-Quran telah dipahami secara
keliru.

Most orientalists convinced that the Quran is the Holy Book


heavily influenced by Judaism and Christianity, including
doctrine-faith, law-morals, and stories of the former religious
figures. This paper examines the Germany orientalist,
Theodor Nldekes views. He argued that the Koran is the
holy book excessively influenced by Judaism and some of
the elements of Christianity. Through the Bible as the
criterion, Nldeke juga also viewed that several proper names,
religious terms and stories of former prophets harvested by
Muhammad in the Quran were impressed in erroneous.

Kata Kunci: wahyu, Yahudi-Nasrani, Semit

Jurusan Ushuluddin STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa No. 9 Pekalongan


190 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

PENDAHULUAN
Babak awal lahirnya orientalisme bersamaan dengan
terjadinya ekspansi kaum Muslimin ke beberapa wilayah Eropa
melalui penaklukan Islam ke Andalusia (Spanyol sekarang) (Al-
Mutal, t.t.: 9). Babak inilah yang menurut Hassan Hanafi disebut
babak orientalisme lama. Hanafi menyebutkan sejarah orientalisme
berjalan dalam tiga fase: (1) orientalisme lama; (2) orientalisme
klasik, yakni fase orientalisme yang muncul pada abad 19 seiring
munculnya revolusi paradigma riset ilmiah atau aliran politik yang
diusung sebagai kecenderungan utama; (3) orientalisme
kontemporer. Pada fase ini orientalisme mengalami perubahan
menuju kajian tentang ilmu-ilmu kemanusiaan terutama antropologi
peradaban dan sosiologi kebudayaan (Hassan Hanafi, 2000: 27-28).
Membincangkan masalah orientalisme Islam sudah tentu
yang menjadi bidikan utama para kaum orientalis adalah kajian
terhadap al-Quran. Sebagai Kitab Suci yang diyakini otentisitasnya
di kalangan umat Muslim, al-Quran menjadi sasaran utama studi
mereka. Secara umum kajian ini terpetakan menjadi tiga bidang
kajian (Nur Kholis, 2007: 1): Pertama, kajian tentang teks al-
Quran; kedua, studi mengenai alih bahasa al-Quran; dan ketiga
adalah kajian yang mengarah pada bagaimana kaum Muslimin
memahami al-Quran. Kajian model pertama, yakni kajian teks al-
Quran, mendapatkan porsi lebih besar. Hal ini terjadi karena
pemicu suburnya kajian keislaman Barat tentang al-Quran adalah
untuk menemukan sumber-sumber al-Quran. Dalam kajian ini tidak
saja dibahas mengenai kronologi teks melainkan juga tentang asal-
usul atau sumber teks al-Quran.
Pada pertengahan abad 19, studi mengenai al-Quran di Barat
distimulasi dan dipengaruhi oleh dua karya berbahasa Jerman: (1)
Historishkritische Einleitung in der Koran (1844) karya Gustav
Weil dan (2) Geschihte des Qorans (1860), buah karya Theodor
Nldeke. Menurut Nur Kholis Setiawan, sejarah teks al-Quran tidak
bisa dilepaskan dari ciri khas kesarjanaan Barat yang melakukan
kajian melalui telaah filologis. Telaah filologis ini dipahami sebagai
sebuah disiplin yang banyak berhubungan dengan ortografi dan
sejarah kemunculan dan perkembangan sebuah teks (Setiawan,
2007: 1).
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 191

Tulisan ini adalah kajian terhadap pemikiran Theodor


Nldeke, salah seorang orientalis ternama berkebangsaan Jerman.
Melalui pendekatan sastrawi (literary approach), Nldeke
melakukan kajian kritis-historis terhadap pengaruh al-Qur'an dari
tradisi Yahudi (Kitab Taurat) dan Nasrani (Injil).

PEMBAHASAN
A. Biografi Teodor Nldeke
Adalah Theodor Nldeke seorang orientalis besar
berkebangsaan Jerman yang lahir di kota Harburg pada 2 Maret
1836. Ia tumbuh dari keluarga berpendidikan. Sejak usia belia ia
sudah mendapatkan bimbingan langsung dari ayahnya di kota
Lingen. Di kota inilah Nldeke menjalani pendidikannya sejak
musim semi tahun 1849 hingga musim gugur 1853. Pada tahun
1853, Nldeke diterima sebagai mahasiswa Universitas Gttingen
untuk belajar sastra bahasa semit, yakni Arab, Ibrani dan Suryani,
kepada salah seorang sahabat ayahnya bernama H. Ewald. Tidak
hanya itu, Nldeke juga pernah masuk di Universitas Kiel untuk
belajar bahasa Sansakerta dari seorang gurunya bernama Benfay.
Bahasa Turki dan Persi juga mulai ditekuni Nldeke di Universitas
ini (Badawi, 1979: 208).
Pada tahun 1856, saat masih berusia 20 tahun, Nldeke
memperoleh gelar doktor melalui karya thesis tentang Sejarah al-
Quran yang ditulis dalam bahasa Latin. Setelah mendapatkan gelar
doktor, pada sekitar tahun 1856-1857, Nldeke pergi ke Wina
(Viena) untuk mempelajari beberapa manuskrip di perpustakaan
kota tersebut. Dari Wina ia pergi ke Lieden, Belanda pada musim
gugur tahun 1857 hingga musim semi tahun 1858. Di Lieden ia
serius mempelajari manuskrip-manuskrip Arab dari beberapa tokoh
pemikir seperti Dozy, Juynboll, Matthys de Vries dan Kuenen, serta
de Goeje, de Yong dan Engelmann. Dari Lieden, Nldeke pergi
menuju Berlin untuk meneliti beberapa manuskrip termasuk
manuskrip bahasa Turki selama 1,5 tahun (hingga 2 September
1860). Dari Berlin dia menuju Italia untuk tujuan yang sama.
Sekembalinya dari Italia pada Desember tahun 1860, dia mendapat
tugas sebagai pegawai di perpustakaan Gttingen University.
Kemudian pada tahun 1861 ia mulai menjadi staf pengajar di
192 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

universitas tersebut. Tiga tahun berikutnya ia menjadi profesor luar


biasa.
Semasa menjadi dosen di Universitas Gttingen inilah
Nldeke mulai menulis beberapa paper yang dihimpun dalam satu
buku berjudul Beitrage Zur Kenntnis der Poesie der alten Araber
(Abhts li Marifah Syir al-Arab al-Qudam`). Di samping itu,
Nldeke juga telah menghasilkan dua karya penting Zur Gramatik
des Classischen Arabish dan Neue Beitrage zur Semitischen
Sprachkunde. Dua karya ini sebagai buah ketekunannya dalam
mengkaji bahasa Arab serta perbandingan bahasa-bahasa semit
lainnya.
Pada tahun 1858, Nldeke memenangi Academie des
Inscription et Belles-Lettes di Prancis melalui karyanya tentang
sejarah al-Quran. Pada kesempatan yang sama, dua kolega Nldeke,
yaitu Aloys Sprenger (1813-1893) dan Michele Amari (1806-1889)
juga memperoleh penghargaan tersebut (Badawi, 1993: 31). Tulisan
Nldeke yang pernah dipresentasikan dalam kontes tersebut
kemudian disempurnakan dan diterjemahkannya sendiri ke dalam
bahasa Jerman (pada tahun 1860) dengan judul Geschichte des
Qorans yang dipublikasikan di kota Gttingen. Buku inilah yang
kemudian melambungkan nama Nldeke dalam deretan tokoh-tokoh
orientalis terkemuka.
Pada tahun 1864 hingga tahun 1872, Nldeke menjadi
pengajar di Universitas Kiel untuk bidang studi bahasa-bahasa
Semitik. Setelah berhenti dari Universitas Kiel, Nldeke kembali
mengajar di Universitas Strassburg. Universitas Kiel menjadi
tempat terakhirnya dalam dunia akademik hingga ia benar-benar
pensiun pada tahun 1920. Berhenti sebagai pengajar di Universitas
Strassburg, Nldeke pindah ke tempat tinggal anaknya, kota
Karlsruhe, tempat Nldeke menghabiskan masa-masa akhir
hidupnya selama sepuluh tahun. Nldeke meninggal pada 25
Desember 1930 meninggalkan 10 putra dan putri dari hasil
pernikahannya sejak tahun 1864 (Badawi, 1993: 307-309).
Dalam pengembaraannya, Nldeke telah melewati beberapa
kota besar di Eropa hingga ke Roma Italia. Namun, satu hal yang
agak mengherankan, Nldeke tidak pernah mau menjelajahi negara-
negara Arab, meskipun ia meneliti manuskrip-manuskrip Arab. Pada
saat pengembaraannya tersebut, Nldeke sebenarnya mengalami
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 193

masalah dengan kesehatannya yang telah dia derita sejak masih


kecil. Namun dalam kondisi kesehatan yang kurang membaik
tersebut ia justru berumur panjang hingga usia lebih dari 94 tahun
(Badawi, 1993: 310).
Dari sekian bidang keilmuan yang ditekuni Nldeke, fokus
utama yang tekuninya hanya dua bidang, yakni bahasa Semit dan
kajian keislaman. Dalam bidang bahasa Semit, dia telah menulis
buku berjudul Semitic languages dan The history and civilization of
Islam. Sementara karya besarnya (seperti Grammatik der
neusyrischen Sprache pada 1868, Mandische Grammatik tahun
1874, hasil terjemahannya tentang Tabar pada 1881-1882),
menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli tentang kajian
keislaman. Buku Geschichte des Qorans (Sejarah al-Quran) adalah
salah satu bukti kemahiran Nldeke dalam bidang ini.

B. Asal-usul Teks Al-Quran dalam Diskursus


Dalam teologi Islam, kaum Muslimin secara serempak telah
meyakini bahwa al-Quran adalah kitab suci yang murni bersumber
dari Allah. Al-Quran sendiri telah menegaskannya, Tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya) (QS. Al-Najm: 3-4). Pada masa awal kerasulan, tugas
pertama Muhammad adalah untuk meyakinkan kepada masyarakat
Arab bahwa ia telah mendapatkan wahyu dari Tuhan untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia (QS. Al-Anbiy: 107).
Namun tak pelak pengakuan Muhammad ini mendapat kecaman
keras dari kaum Quraisy Mekah. Al-Quran sendiri telah merekam
sikap mereka tersebut. Sebagian ada yang menganggap Nabi
Muhammad sebagai khin (tukang tenung) dan apa yang
dikatakannya sebagai perkataan tukang tenung (QS. 52: 29; 69: 42).
Sebagian yang lain juga menganggapnya sebagai majnn (orang
gila) (QS. 15: 6; 7: 184; 37: 36; 44: 14; 23: 70; 34: 8; 51; 52; 68:
51).
Selain itu, para penentang Nabi juga melancarkan tuduhan
terhadapnya bahwa apa yang dianggap Muhammad sebagai wahyu
tersebut bersumber dari transmisi manusia belaka (6: 105; 16: 103;
44: 14; 25: 4), sementara yang lain ada yang menganggap wahyu itu
sebagai astr al-awwaln (dongeng-dongeng masa silam) yang telah
194 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

diplagiasi Muhammad (QS. Al-Anam: 25; al-Nahl: 24; al-


Muminun: 83; al-Furqan: 5; al-Naml: 68; al-Qalam: 15; al-
Mutaffifin: 13).
Beberapa tuduhan yang dilancarkan para penentang
Muhammad saat itu khususnya mengenai asal usul al-Quran
memiliki kemiripan dengan konsepsi tuduhan yang disangkakan
para orientalis Barat sejak abad pertengahan. Mereka menggagaskan
Muhammad sebagai penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, dan
ajaran yang didakwahkannya tidak lain hanya sebagai bentuk bidah
ajaran Kristen (Amal, 2001: 55). Gagasan-gagasan imajinatif Barat
tersebut berpengaruh kuat bagi kalangan sarjana Barat pada periode
berikutnya.
Abraham Geiger dipandang sebagai penghembus awal
gagasan tentang sumber-sumber al-Quran yang lebih bernilai
akademik. Melalui karyanya, Was hat Mohammed aus dem
Judenthum aufgenommen? (Apa yang telah diadopsi Muhammad
dari Agama Yahudi) yang terbit pertama kali pada tahun 1833,
Geiger memusatkan perhatian pada anasir Yahudi dalam al-Quran.
Buku tersebut menyimpulkan bahwa tidak saja sebagian besar kisah
para nabi terdahulu yang merupakan hasil duplikasi dari Yahudi,
ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Quran juga meniru tradisi
agama pendahulunya tersebut. Secara rinci, Geiger menetapkan
keterpengaruhan al-Quran terhadap agama Yahudi dalam beberapa
hal berikut: (1) ayat-ayat yang berkaitan dengan doktrin dan
keimanan; (2) kisah-kisah yang terdapat dalam al-Quran; (3)
pandangan tentang kehidupan; dan (4) ayat-ayat peraturan hukum
dan moral. Menurutnya, cara shalat yang diajarkan Muhammad
berupa berdiri dan duduk, dan ketentuaniddah bagi perempuan yang
bercerai adalah bagian dari tradisi Yahudi yang sengaja diplagiasi
Muhammad (Geiger, 1998: 172-185).
Di samping itu, Geiger juga menyebutkan beberapa term
dalam al-Quran yang Muhammad pinjam dari tradisi Yahudi atau
bahasa Ibrani, di antaranya adalah kata Tbt (ark: perahu), Taurt
(law: hukum), Jannatu Adn (paradise: surga), Jahannam (hell:
neraka), Ahbr (teacher: guru), Darasa (studying scripture so as to
force a far-fetched meaning from the text), Sabt (Sabbath), Saknat
(the presence of God), Tght (error), Furqn (deliverance,
redemption [pembebasan, penebusan]), Man (refuge), Matsnl
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 195

(repetition), Rabbni (teacher), dan Malakt (government) (Geiger,


1998: 166-226). Geiger menambahkan, adanya banyak kecaman al-
Quran terhadap Yahudi lebih disebabkan terjadinya
kesalahpahaman dan penyimpangan Muhammad terhadap ajaran
Yahudi (Geiger, 1998: 165-226).
Di tahun 1878, H. Hirschfeld menulis buku berjudul
Juedische Elemente im Koran (Elemen Yahudi dalam al-Quran)
yang mendukung pandangan Geiger (Amal, 2001: 56). Setelah dua
karya hasil penelitian dua tokoh Yahudi (A. Geiger dan H.
Hirschfeld) di atas, beberapa karya serupa bermunculan baik dari
kalangan sarjana Yahudi sendiri maupun tokoh orientalis Kristen.
Tercatat nama-nama seperti J. Horovitz dengan karyanya, Jewish
Proper Names and Derivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan
Derivasinya dalam al-Quran) yang dicetak pada 1925 dan dicetak
ulang pada 1964, C.C. Torey dengan karya The Jewish Foundation
of Islam (Fondasi Yahudi Agama Islam) yang terbit pada 1933 dan
1967, Abraham I. Katsch dengan hasil karyanya, Judaism and the
Koran (Agama Yahudi dan al-Quran) pada tahun 1962. Di tahun
1977, J. Wansbrough juga berhasil menulis buku berjudul Quranic
Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-
kajian al-Quran: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci). Dalam
buku ini Wansbrough menegaskan bahwa al-Quran merupakan
hasil konspirasi Muhammad dengan para pengikutnya mengenai
pengaruh Yahudi dalam ajaran Muhammad. Konspirasi ini terjadi
dalam dua abad pertama Islam.
Tidak mau kalah dari para sarjana Yahudi, para tokoh
Kristen juga melakukan kajian serupa untuk membuktikan bahwa
ajaran-ajaran al-Quran merupakan hasil duplikasi dari tradisi agama
mereka. Pada tahun 1839 terbit buku Versuch einer Darstellung der
Christologie des Korans (Upaya Pengungkapan Kristologi al-
Quran). Selain itu, Manneval juga menulis buku La Christologie du
Koran (Kristologi al-Quran) yang terbit pada tahun 1887, dan Tor
Andrae dengan bukunya, Der Ursprung des Islams und das
Christentum (Asal-usul Islam dan Agama Kristen) pada tahun 1926.
Pada 1951 Henninger menyusul dengan karyanya, Spuren
Christlicher Glaubenswahrheiten im Koran (Jejak Kebenaran
Kepercayaan Kristen dalam al-Quran). Kemudian Richard Bell
yang dipandang sebagai tokoh Kristen paling berpengaruh dalam
196 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

tema ini, tampil melalui The Origin of Islam in its Christian


Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya) yang
terbit pada 1926.
Selain tokoh-tokoh orientalis yang berdiri pada dua poros di
atas, W Rudolph dengan karyanya, Die Abhaengigkeit des Qorans
von Judentum und Christentum (Ketergantungan al-Quran pada
Agama Yahudi dan Kristen) dan D. Masson dalam buku Le Coran et
la Revelation Judeo-Chretienne (Al-Quran dan Wahyu Yahudi-
Kristen, 1958), berhasil memaparkan keterpengaruhan al-Quran
atas kedua agama sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen. Nldeke
juga termasuk tokoh orientalis yang berada pada poros yang sama.
Namun, sebagai tokoh Yahudi, Nldeke masih tetap meyakini
pengaruh Yahudi lebih dominan dari pada Kristen dalam al-Quran.
Beberapa kajian tentang asal-asul genetik al-Quran di atas
memang tampak serius dan dipandang sebagai karya ilmiah yang
bernilai akademik. Namun kesimpulan dari kajian tersebut juga
mendapat kecaman dari kalangan sarjana Barat sendiri. Franz
Rosenthal, misalnya, sebagaimana dikutip Adnan Amal, menilai
bahwa kajian-kajian semacam itu hanya menyentuh kulit luarnya
dan tidak akan pernah menyentuh intinya (Amal, 2001: 59).

C. Nldeke dan Ke-umm-an Muhammad


Sebelum membahas pemikiran Nldeke mengenai
keterpengaruhan al-Quran dari agama Yahudi dan Kristen, penting
pula dipaparkan pemikiran Nldeke mengenai ke-umm-an
Muhammad. Melalui pedekatan filologi, Nldeke memberikan
kesimpulan yang berbeda dari pandangan pada umumnya tentang
predikat umm bagi Muhammad. Menurutnya, tidak benar anggapan
umum bahwa kata umm dipahami sebagai kebalikan dari orang
yang bisa membaca dan menulis. Menurutnya, umm lebih layak
dipahami sebagai kebalikan dari orang yang mengenal kitab suci.
Dengan kata lain, Muhammad tampil sebagai Nabi yang umm yang
tidak memahami kitab-kitab suci terdahulu. Nldeke menegaskan:
Worte, welche fast bei allen Auslegern als der des lesens
und Schreibens unkundige Prophet erklrt warden. Wenn
wir aber alle Qoranstellen, an denen vorkommt, genau
vergleichen, so sehen wir, da es berall im Gegensatz zu
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 197

den steht, d. h. nicht den der Schreibkunst


Mchtigen, sondern den Besitzern (resp. Kennern)
der heiligen Schrift (Nldeke, 1909: 14).

[Setelah kami menelaah secara seksama terhadap seluruh


ayat-ayat al-Quran, kami mendapatkan kesimpulan bahwa
kata adalah kebalikan dari . Ini menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan kata umm bukan sebagai
kebalikan dari orang yang bisa menulis, tetapi sebagai
kebalikan dari orang-orang yang mengetahui kitab suci].

Pendapat Nldeke diatas didasarkan pada ayat 48 surat al-


Ankabut:





Artinya: Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Quran)
sesuatu kitabpun dan kamu tidak pernah menulis suatu
kitabpun dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah
membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang
yang mengingkari(mu).

Ayat ini, kata Nldeke, predikat umm yang diberikan kepada


Muhammad yang dipahami sebagai tidak bisa membaca dan
menulis adalah lemah. Pemahaman yang lebih cocok adalah bahwa
Muhammad tidak mengenal kitab-kitab suci terdahulu kecuali
sedikit. Muhammad, menurutnya, memahami kitab-kitab suci
terdahulu hanya melalui keterangan wahyu (Nldeke, 2004: 14).
Ketidakpahaman Muhammad tersebut, kata Nldeke,
dibuktikan ketika Nabi dipaksa Jibril untuk membaca saat
penerimaan wahyu pertama di gua Hira. Dengan tegas Muhammad
menjawab: ( saya bukanlah seorang pembaca; saya tidak bisa
membaca) (Nldeke, 2004: 14). Mengenai redaksi yang diucapkan
Nabi ini, Nldeke meragukan validitas riwayatnya. Sebab, tegasnya,
beberapa laporan (riwayat) menuturkan bentuk redaksi yang
berbeda: selain , disebutkan pula redaksi atau .
198 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

Nldeke mengemukakan bahwa ketidakpahaman


Muhammad akan kitab-kitab suci terdahulu lantaran ia tidak
menguasai bahasa lain kecuali bahasa Arab. Jika memang
diasumsikan bahwa Muhammad bisa belajar melalui edisi
terjemahan bahasa Arab, namun keterangan al-Quran dan Hadis,
tegas Nldeke, telah membantahnya sendiri (Nldeke, 2004: 11).
Dari paparan di atas, Nldeke memberikan dua kesimpulan:
Pertama, Muhammad sengaja tidak mau dianggap sebagai panutan
yang mampu membaca dan menulis, karena itulah dia mewakilkan
kepada para sahabatnya untuk membaca al-Quran dan risalah-
risalahnya. Kedua, Muhammad sama sekali tidak pernah membaca
kitab-kitab suci terdahulu dan informasi-informasi penting lainnya
(Nldeke, 2004: 15). Pendapat ini berbeda dengan tokoh orientalis
lainnya, Sprenger, yang berpandangan bahwa Muhammad memiliki
pengalaman membaca kitab seputar aqid dan astr (Nldeke,
2004: 15).
Karena alasan itulah, Nldeke berusaha mempertahankan
pandangannya bahwa Muhammad tidak cukup paham terhadap
kitab-kitab suci, sehingga pernyataan-pernyataan Muhammad
tentang agama-agama terdahulu tidak bisa dipercaya. Sebaliknya,
lanjut Nldeke, jika Muhammad telah mengetahui banyak informasi
tentang umat terdahulu dengan hasil bacaannya terhadap kitab-kitab
suci sebelumnya, tentu segala ajaran yang disampaikan Muhammad
harus diragukan orisinalitasnya sebagai wahyu yang murni berasal
dari Tuhan, sebab apapun yang disampaikannya akan terkontaminasi
dengan hasil pengetahuan dan nalarnya lantaran ia tampil sebagai
sosok pemuka yang pintar karena belajar (Nldeke, 2004: 15).
Pandangan Nldeke tentang pengertian umm di atas diamini
oleh Muhammad bid al-Jbir. kata umm adalah kebalikan dari
ahl al-kitb (kaum Yahudi dan Nasrani). Ummiyyn ditujukan
bagi orang-orang Arab yang tidak faham terhadap kitab Taurat dan
Injil, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat (QS. al-Baqarah:
78; li Imran: 20 dan 75; al-Jumuah: 2). Karena itulah Nabi
Muhammad juga disebut sebagai umm (QS. al-Arf: 157), sebab ia
termasuk bagian dari mereka yang sebelumnya awam terhadap
kitab-kitab terdahulu (Taurat dan Injil). Karena itu, al-Jbir
menolak kata umm dipahami sebagai orang yang tidak bisa
membaca dan menulis (Jbir, 2006: 81-98). Berbeda dari pendapat
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 199

di atas, al-Sytib lebih jauh memahami term umm sebagai sifat


keawaman seseorang atau kelompok terhadap ilmu-ilmu kaum
terdahulu, termasuk awam dalam bidang tulis menulis dan ilmu
hitung (Sytib, 2002, II: 110).

D. Nldeke dan Anasir Yahudi-Nasrani dalam Al-Quran


Kajian orientalis terhadap Kitab Suci al-Quran tidak sebatas
mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang banyak
mendapatkan perhatian adalah soal pengaruh tradisi Yahudi (Taurat)
dan Kristen (Injil) terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Quran
(theories of borrowing and influence). Genre orientalis yang mencari
pengaruh Yahudi-Kristen dalam al-Quran telah banyak dilakukan
bersamaan dengan kritik dan resistensi dari pelbagai pihak
khususnya dari kalangan tokoh pemikir Muslim.
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa Nldeke memandang
Muhammad sebagai tokoh yang tidak mengenal banyak tentang
kitab-kitab terdahulu. Karena itu, menurutnya, sumber terpenting
yang menjadi rujukan Muhammad bukanlah kitab suci, namun
berupa ajaran-ajaran kepercayaan dan sumber liturgi (tata
kebaktian), di samping kisah-kisah umat terdahulu (Nldeke, 2004:
9). Banyak sekali term atau kosa kata dalam al-Quran yang jelas-
jelas berasal dari tradisi Yahudi dan Nasrani. Nldeke
menambahkan, hasil pengadopsian terhadap tradisi Nasrani tidak
lebih banyak daripada tradisi Yahudi (Nldeke, 2004: 7).
Bagi beberapa orientalis, pengadopsian Nabi Muhammad
terhadap sumber tradisi Nasrani dibuktikan dengan data-data
sejarah. Banyak sumber menyebutkan bahwa sebelum masa
kerasulan, Muhammad pernah bertemu dengan beberapa tokoh
Yahudi dan Nasrani, bahkan ia pernah hidup berdampingan dalam
waktu yang cukup lama sebelum dinobatkan sebagai utusan Tuhan.
Setidaknya telah tercatat dua tokoh penting seperti Waraqah ibn
Naufal dan Buhaira. Waraqah dikenal sebagai tokoh Nasrani yang
berhasil menerjemahkan kitab Injil dan Taurat ke dalam bahasa
Arab. Ia adalah saudara sepupu dari istri pertama Nabi, Siti
Khadijah, yang pernah hidup bersamanya selama lima belas tahun
sebelum kerasulannya (Khalil, 1998: 29). Sementara Buhaira adalah
seorang pendeta yang pernah ditemui Nabi bersama pamanya, Ab
Tlib, saat pergi ke negeri Syam (Al-Hkim, 1997, II: 723. Hadis:
200 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

4288). Kenyataan inilah yang menggiring Nldeke pada kesimpulan


bahwa besar kemungkinan Muhammad mengadopsi ajaran-
ajarannya dari tradisi Yahudi dan Nasrani (Nldeke, 2004: 11).

E. Pengaruh Yahudi
Sebagaimana dijelaskan bahwa tidak sedikit orientalis yang
menuduh Nabi Muhammad telah banyak melakukan plagiasi ajaran-
ajaran Yahudi ke dalam al-Quran (Islam). Abraham Geiger (1810-
1874) adalah tokoh paling getol melakukan tuduhan tersebut.
Doktrin keimanan, hukum dan moral serta kisah-kisah para nabi
dalam al-Quran adalah beberapa poin yang menjadi tuduhan
Geiger (Armas, 2002: 25). Theodor Nldeke juga tampil
mendukungnya. Ia meyakni bahwa sumber utama wahyu yang
diberikan kepada Muhammad adalah kitbt (catatan-catatan)
Yahudi. Sebagian besar ajaran dan kisah-kisah para nabi yang
disebutkan dalam al-Quran, bahkan aturan-aturan yang dibawanya
adalah berasal dari Yahudi.
Kenyataan ini, tegas Nldeke, tak terbantahkan. Sebab tidak
sedikit orang Yahudi yang berdiam di jazirah Arab, termasuk kota
Yatsrib (Madinah) yang menjalin hubungan intens dengan tempat-
tempat di mana Muhammad tinggal. Daerah-daerah tersebut, tegas
Nldeke, sebelumnya dikuasai kerajaan Persi. Karena itu ia
meyakini tentang ketidakaslian ajaran yang dibawa Muhammad
(Nldeke, 2004: 8-9).
Di antara contoh yang dikemukakan Nldeke adalah
(Nldeke, 2004: 7-8):
1. Kalimat L ilha ill Allh () . Kalimat syahdah ini
diadopsi Muhammad dari Kitab Samoel II: 32: 22= Mazmur 18,
32.
2. Bacaan basmalah ( / ) . Kalimat ini biasa
diungkapkan saat akan melakukan perbuatan yang sudah dikenal
dalam tradisi Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam kisah Nabi
Nuh dan Nabi Sulaiman. Dari tradisi Yahudi inilah, tegas
Nldeke, Muhammad kemudian menirukan hal yang sama
terutama pada saat ia di Madinah untuk naskah undang-undang
Madinah, Perdamaian Hudaibiyah dan teks-teks surat menyurat
kepada beberapa kaum Musyrik saat itu (Nldeke, 2004: 104).
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 201

Nldeke menyitir satu ayat yang dijadikannya sebagai bukti


bahwa al-Quran diambil dari Perjanjian Lama, yakni surat al-
Anbiy: 105:



Selain contoh di atas, terdapat term-term dalam al-Quran
yang juga diyakini Nldeke telah diambil dari Yahudi, seperti
furqn dan millah. Namun, menurutnya, Muhammad telah
melakukan beberapa kesalahan dalam mengartikan beberapa istilah.
Kata furqn yang sebenarnya berarti redemption (penebusan) oleh
Muhammad dipahami revelation (wahyu). Millah yang yang
sebenarnya berarti word dalam al-Quran diartikan sebagai
religion (agama). (Nldeke, 1892: 37-38).
Mengenai penuturan kisah-kisah umat terdahulu, Nldeke
berpandangan bahwa Muhammad telah melakukan beberapa
kesalahpahaman. Status Hmn, misalnya, dalam al-Quran
disebutkan sebagai menteri Firaun (QS. Al-Qashash: 38; Mumin:
36), padahal, menurut Nldeke, ia adalah menteri dari Ahasuerus.
Asumsi Nldeke tentang kesalahpahaman yang dialami Nabi ini
menguatkan pendapatnya di atas bahwa Nabi Muhammad adalah
pembawa agama baru yang umm yang tidak memahami kitab-kitab
terdahulu.

F. Pengaruh Nasrani
Sebagaimana Manneval, Tor Andrae, dan Richard Bell,
Nldeke juga meyakini bahwa Muhammad telah mengadopsi
beberapa term Kristen ke dalam al-Quran. Namun hasil
pengadopsian terhadap term asli miliki agama Kristen ini tidak
sebanyak Yahudi (Nldeke, 1892: 3838). Di antara bentuk
pengadopsian Muhammad terhadap unsur-unsur kekristenan,
menurut Nldeke, dapat ditelusuri pada kisah-kisah dalam Perjanjian
Baru. Kisah Maryam dan kelahiran Isa (Yesus), tegasnya, diadopsi
Muhammad sebagaimana dibuktikan dalam al-Quran surat li
Imrn: 41-47 dan surat Maryam (19): 17 (maka ia mengadakan tabir
(yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami
kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk)
manusia yang sempurna).
Demikian pula mengenai kerasulan Isa yang diutus kepada
Bani Israil, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Shaff: 6, Dan
202 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

(ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israel,


sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan
kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul
itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata,
mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata". Namun, tambah
Nldeke, keterangan tambahan dalam ayat tersebut bahwa Nabi Isa
menerangkan Allah akan mengutus seorang rasul setelahnya
bernama Ahmad (Muhammad), sama sekali tidak ada dalam
Perjanjian Baru (Nldeke, 2004: 9). Selain terhadap tradisi Yahudi
dan Nasrani, al-Quran menurut Nldeke juga mengadopsi bahasa
Abisinia, seperti kata hawriyyn yang berarti apostles, midah
yang berarti table (meja), dan syaitn (setan) (Nldeke, 1892: 38).
Lebih ekstream dari Ndeke, Alphonse Mingana, seorang
pendeta Kristen dari Iraq, mengatakan bahwa 100% dari kandungan
al-Quran dipengaruhi oleh bahasa asing. Menurut Mingana, Tujuh
puluh persen (70%) dari bahasa Syiriak, 10 % bahasa Yunani-
Romawi, 10 % dari bahasa Ibrani, sementara bahasa Persia dan
Ethiopia masing-masing 5 % (Lihat Alphonse Mingana, 1927: 77).
Sejatinya, diskursus tentang bahasa dan kosa kata al-Quran
ini sebenarnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kajian
Ulum al-Quran sejak periode klasik hingga abad modern. Tidak
saja dari kalangan orientalis yang meyakini sebagian dari bahasa al-
Quran berasal dari bahasa ajam (non-Arab). Sebagian tokoh
Muslim memilih berpendapat yang serupa. Abu Ubayd, misalnya,
adalah salah satu tokoh Muslim klasik yang menyetujui adanya kosa
kata asing dalam al-Quran. Namun, menurutnya, sebagaimana
dikutip al-Suyt, kosa kata tersebut sudah menjadi bagian dari
bahasa Arab karena diucapkan di kalangan orang Arab (al-Suyuti,
2003: 336).
Sementara tokoh-tokoh Besar Muslim lainnya seperti al-
Syfi, al-Tabar, Ibn Fris, dan Ibn al-Arab sama sekali menolak
pandangan di atas. Mereka berpendapat bahwa betapapun bahasa al-
Quran memiliki kemiripan dengan bahasa non-Arab, namun ia tetap
sebagai wahyu yang tanzl dari Allah yang murni menggunakan
bahasa Arab, bukan bahasa lainnya. Imam al-Syfi menegaskan,
bahasa al-Quran adalah murni bahasa Arab dan tidak ada satu kosa
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 203

kata pun di dalamnya yang bukan bahasa Arab. Ayat pun telah
menegaskan penolakannya terhadap anggapan orang-orang yang
mengira dalam Al-Quran terdapat bahasa ajam (QS. Al-Nahl:
103). Al-Syfi menambahkan, memang ada sebagian kosa kata
dalam al-Quran yang tidak dikenal di sebagian suku Arab, namun
bahasa tersebut tentu ada dan dikenal oleh suku Arab lainnya. (Al-
Syfi, 1967: 8). Sementara menurut Ibn Atiyyah, dalam sejarah
telah dituturkan terjadinya proses akulturasi budaya dan
percampuran bahasa antara orang-orang Arab dan masyarakat non-
Arab. Hal ini terjadi melalui proses perdagangan dan perjalanan
yang dilakukan sebagian sahabat seperti Ab Umar ke negeri Syam,
Imrah ibn al-Wald ke Abesinia. Namun bagi Ibn Atiyyah, ketika
bahasa mereka telah digunakan juga di kalangan masyarakat Arab
maka bahasa tersebut juga dikategorikan sebagai bahasa Arab (al-
Zarkasy, t.t., II: 288).
Selain itu, Imam al-Sytib tampil lebih moderat menyikapi
diskursus ini. Dia tidak menyanggah sepenuhnya kemungkinan
adanya kosa kata non-Arab dalam al-Quran. Namun, menurutnya,
perdebatan mengenai hal itu tidak membawa pengaruh yang
signifikan terhadap status kearabannya. Artinya, adanya kosa kata
non-Arab di dalamnya tetap tidak meruntuhkan status kearaban al-
Quran (Al-Sytib, 2002, II: 102).
Kedua kubu antara kaum orientalis dan tokoh Muslim. Meski
kubu orientalis meyakini bahwa kosa kata dalam al-Quran banyak
berasal dari bahasa asing, dan demikian pula bagi kalangan tokoh
Muslim, namun masing-masing memiliki kesimpulan yang berbeda.
Jika tokoh Muslim tetap meyakini al-Quran adalah wahyu yang
tanzl, maka kaum orientalis, termasuk Nldeke, berasumsi (di balik
tameng ilmiah-akademik) bahwa Muhammad telah mencuri
tradisi Yahudi-Kristen, sehingga mereka meragukannya sebagai
kitab yang murni dari Allah. Kesimpulan kaum orientalis ini tidak
terlepas dari pedoman awal yang menjadikan Bible sebagai kitab
standar kebenaran mereka, sehingga apapun isi al-Quran yang sama
dengan Bible dianggap sebagai hasil jiplakan Muhammad dari kitab
suci mereka, sebaliknya kandungan al-Quran yang tidak sesuai
dengannya dipandang sebagai kesalahan Nabi Muhammad.
204 RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 189-206

KESIMPULAN
Sebagai seorang dedengkot orientalis, Theodor Nldeke
menjadikan Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai
tolok ukur kebenaran al-Quran. Sehingga ia meragukan kemurnian
al-Quran sebagai wahyu dari Allah. Nldeke meyakini bahwa al-
Quran banyak dipengaruhi oleh agama Yahudi dan beberapa di
antaranya juga dari agama Kristen. Keterpengaruhan ini menurutnya
tidak bisa dipungkiri. Nldeke menyebutkan bahwa kalimat
syahdah dan basmalah yang menjadi bagian penting dalam ajaran
Islam diyakini berasal dari agama Yahudi. Selain itu, beberapa term
seperti kata furqn dan millah juga diadopsi Muhammad dari
Yahudi, menurut Nldeke, telah dipahami secara salah. Sementara
dari tradisi Kristen, al-Quran diyakini Nldeke telah mengadopsi
beberapa kisah-kisah di dalamnya. Kisah Maryam dan kelahiran Isa
(Yesus) yang disebutkan dalam al-Quran adalah bukti kongkret dari
pengadopsian Muhammad terhadap agama Kristen.

DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran, Jakarta:
Gema Insani, 2002
Badawi, Abd al-Rahman, Dirst al-Mustasyriqn hawl Sihah al-
Syir al-Jhil, Beirt: Dr al-Ilm li al-Malyn, 1979
---------, Mausah al-Mustasyriqn, Beirut: Dar al-Ilm al-Malyin,
1993
Baghawi, Malim al-Tanzl, Riyad: Dar al-Tayyibah, 1997
Geiger, Abraham, Was hat Muhammed aus dem Judenthume
aufgenommen? dalam The Origin of Koran, ed. Ibn Warraq
New York: Prometheus Books, 1998
Hkim, al-Mustadrak al al-Sahhain, Kairo: Dar al-Haramain li a-
Tibah wa al-Nasyr wa al-Tawz, 1997
Jbir, al-, Muhammad bid, Madkhal il al-Qur`n al-Karm,
Beirut: Markaz Dirst al-Wahdah al-Arabiyyah, 2006
Khall, Syauq Ab, al-Isqt f Manhij al-Mustasyriqn wa al-
Mubasysyirn, Beirut: Dar al-Fikr al-Musir,1998
Mingana, Alphonso, Syiriac Influence on the Style of the Kuran,
Bulletin of The John Ryland Library, Manchester: University
Press, Longsman, Green, & Co., Vol. 11, 1927
Pandangan Orientalis Terhadap al-Quran (Kurdi Fadal) 205

Mutal, Abd al-, Muhammad wa Awhm al-Mustsyriqn, Cairo:


Maktabah Wahbah, t.t.
Nldeke, Theodore, Geschichte des Qorns, Dieterich'sche
Verlagsbuchhandlung, Leipzig, Deutschland, 1909
---------, Trkh al-Qur`n, Alih Bahasa: George Tameer, Beirut:
Conrad-Adenauer-Stiftung, 2004
---------, Sketches from Eastern History, Alih Bahasa: John
Sutherland Black, London and Edinburg: Adam and Charles
Black, 1892
Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep Hikmat, Bandung:
Pustaka, 2001
Slih, Subh al-, Mabhts fi Ulm al-Qur`n, Beirut: Dar al-Ilm li
al-Malyn, 1877
Setiawan, Nur Kholish dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-
Quran dan Hadis, Yogyakarta: Nawesia Press, 2007
Suyt, Jall al-Dn, al-Itqn fi Ulm al-Qurn, Beirut:
Muassasash al-Kutub al-Tsaqafiyah, 1996
Syfi, Muhammad ibn Idrs Al-, al-Rislah, Mesir: Mustaf al-
Bb al-Halab, 1967
Sytib, Ab Ishq, al-Muwfaqt f Usl al-Syarah, Beirt: Dr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002
Zarkasyi, al-Burhn fi Ulm al-Qurn, Beirt: Dr al-
Marifah,1957.

Anda mungkin juga menyukai