100% menganggap dokumen ini bermanfaat (2 suara)
2K tayangan11 halaman

Gelandangan Psikotik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 11

Gelandangan Psikotik

Kata gelandangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki artian orang yang tidak
mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap[4]. Mereka hidup di bawah-bawah kolong
jembatan dan mereka makan dari hasil mengemis atau mengais dari sisa-sisa sampah yang bisa
untuk dimakan[5]. Sedang kata psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan
ketidakmampuan individu menilai kenyataan yang terjadi dalam artian seseorang tersebut sudah
tidak bisa membedakan antara kenyataan dan hayalan. Sedang Gelandangan Psikotik dapat
memiliki arti seseorang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan
yang layak dalam masyarakat, mempunyai tingkah laku yang aneh, suka berpindah-pindah dan
menyimpang dari norma-norma yang ada atau seseorang bekas penderita penyakit jiwa yang
telah mendapatkan pelayanan medis atau sedang mendapatkan pelayanan m Latar
Belakang Masalah

Kemiskinan merupakan masalah yang rumit. Demikian peliknya seakan-akan menjadi


persoalan abadi seperti sebuah lingkaran yang tidak ada ujungnya dan selalu berputar semakin
membesar serta berdampak semakin luas. Dampak yang ditimbulkan sangat berkaitan erat
dengan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek psikologi, aspek sosial, budaya, aspek hukum,
sehingga sering di kaitkan dengan ketidakamanan dan ketidaknyamanan masyarakat. Secara
sosial ekonomi kondisi kemiskinan yang menahun di desa maupun di kota dengan segala sebab
dan akibatnya. Sebabnya seperti kurangnya lapangan pekerjaan, penghasilan yang kurang
mencukupi , lahan yang semakin menyempit, sementara jumlah penduduk desa terus bertambah,
yang kemudian menyebabkan sebagian penduduk desa memilih untuk berpindah menuju ke
kota-kota besar dengan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih layak.[7]

Dalam persaingan untuk mendapatkan pekerjaan, terdapat orang-orang yang


terpinggirkan, dan orang-orang yang terpinggirkan inilah yang nantinya akan mencoba segala
cara dengan mengeluarkan segala daya dan upaya yang dimilikinya untuk dapat tetap bertahan
hidup dengan membanjiri sektor-sektor informal, entah dengan menjadi pemulung, pengamen,
pengemis, gelandangan ataupun pencuri dan lain-lain sebagainya. Mereka umumnya berusia
muda dan produktif, tetapi rata-rata dari mereka kurang memiliki pengetahuan dan keahlian
(skill) yang memadai.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumodiningrat mengenai kemiskinan, dimana
orang-orang miskin berdasarkan kondisinya terbagi menjadi tiga keadaan, yaitu keadaan relatif,
keadaan absolute, dan terakhir keadaan budaya dalam arti seseorang tersebut tidak memiliki
kemauan untuk berusaha atau dari pribadi orang tersebut seorang pemalas[8]. Kemiskinan yang
diakibatkan karena budaya malas inilah yang menjadi penghambat pembangunan dan perubahan
bangsa ini, sehingga upaya dalam menciptakan kesejahteraan sosial bagi mereka dirasa akan
sangat sia-sia.
Kerangka Teori
1. Pengertian Gelandangan Psikotik
Gelandangan psikotik adalah mereka yang hidup di jalan karena suatu sebab
mengalami gangguan kejiwaan yakni mental dan sosial, sehingga mereka hidup mengembara,
berkeliaran, atau menggelandang di jalanan. Dalam gelandangan psikotik ini mereka sudah tidak
memiliki pola pikir yang jelas dan mereka sudah tidak lagi mementingkan mengenai norma dan
kebiasaan yang ada dalam masyarakat, selain itu juga mereka sudah tidak memiliki rasa malu
dan memiliki amarah yang tidak bisa di kontrol jika sedang marah[15].
1) Ciri-ciri gelandangan psikotik
a) Tingkah laku dengan relasi sosialnya selalu asosial, eksentrik (kegilaan-gilaan dan kronis
patologis). Kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial, ama fanatik dan sangat
individualistis selalu bertentangan dengan lingkungan dan norma.
b) Sikapnya masih sering berbuat kasar, kurang ajar dan ganas, marah tanpa ada sebabnya.
c) Pribadinya tidak stabil, responnya kurang tepat dan tidak dapat untuk dipercaya.
d) Tidak memiliki kelompok[16]
2) Kriteria Psikotik
a) Psikotik organik yaitu psikotik yang faktor penyebabnya adalah gangguan pada pusat susunan
syaraf dan psikotik yang di sebabkan oleh kondisi fisik, gangguan endoktrin, gangguan
metabolisme, intoksikasi obat setelah pembedahan atau setelah melakukan pengobatan.
b) Psikotik fungsional (psikogenik) yaitu psikotik yang di sebabkan oleh adanya gangguan pada
kepribadian seseorang yang bersifat psikogenitik yaitu skizofrenia (perpecahan kepribadian),
atau seperti psikotik paranoid atau selalu curiga pada orang lain[17].
3) Faktor-faktor penyebab
a) Tekanan- tekanan kehidupan (emosional)
b) Kekecewaan (frustasi) yang tidak pernah mendapat penyelesaian.
c) Adanya hambatan yang terjadi pada masa tumbuh dan kembang seorang individu.
d) Kecelakaan yang menimbulkan kerusakan pada gangguan otak.
e) Tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan ataupun masyarakat sekitar (sosio budaya).

4) Layanan yang dibutuhkan oleh gelandangan psikotik

a) Kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan makan, pakaian, perumahan dan kesehatan.


b) Kebutuhan layanan psikis meliputi terapi medis psikiatris dan psikologis.
c) Kebutuhan sosial meliputi rekreasi, kesenian dan olahraga.
d) Layanan kebutuhan ekonomi yang meliputi keterampilan usaha, keterampilan kerja dan
penempatan dalam masyarakat.
e) Kebutuhan rokhani (keimanan dan ketaqwaan) di dalamnya terdapat pelajaran dan bimbingan
keagamaan dan kebutuhan konseling kerohanian.
3. Sejarah Penanganan Penderita Psikotik
Dalam sejarahnya orang gila atau psikotik memiliki pengertian yang berbeda-beda
sesuai dengan zamannya masing-masing, seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault dalam
bukunya “Kegilaan dan Peradaban”. Dalam buku ini penulis mendeskripsikan dimana kategori
orang gila selalu mengikuti perkembangan zaman ataupun sesuai dengan peradabanya. Seperti
pada abad ke 12 orang yang memiliki penyakit lepra pada abad ini dianggap sebagai orang-orang
gila yang dikucilkan dari masyarakat dan dimasukkan ke rumah sakit dan ditempatkan di ruang-
ruang yang terpisah, dan berakhir pada abad ke 15[20].
Kemudian berlanjut pada masa ‘Renaissance’ dimana orang gila tersebut diberikan
kebebasan oleh pemerintah walaupun statusnya sebagai tahanan dan dimasa ini pula merupakan
“fase ambang”. Sedang menurut Foucault dalam periode ini orang-orang gila adalah orang-orang
yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang bodoh atau orang tolol inilah yang justru memiliki
eksistensi penting sebagai penjaga moral dan kebenaran. Orang gila macam ini dibiarkan
berkeliaran. Ia menjadi lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam kebodohan yang melawan
dan berdialog dengan supremasi kepintaran rasio[21].
Selanjutnya pada abad ke 17 pandangan dari masa renaissance ini mulai berubah dan
pandangan terhadap orang gila pun telah berubah, dan orang gila dimasukan kedalam hospital
generale dan diberikan hukuman yang sangat berat oleh raja, pengadilan, dan polisi dengan
dibawa kekapal lalu ditenggelamkan[22]. Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan
dan dikategorisasikan kedalam mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis,
melankolis, atau schizoprenia dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani
proses “penyembuhan”. Mereka tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada rantai atau
dicambuk seperti seabad sebelumnya), juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat
bersama, melainkan kegilaan itu ditangani oleh seorang dokter, seorang terapist atau seorang
psikiater untuk disembuhkan bak suatu penyakit[23]. Mereka dimasukkan dalam sebuah panti
rehabilitasi sosial.
Penyakit jiwa sudah ada sejak zaman dahulu, dan pengertian dari penyakit jiwa ini memiliki
berbagai macam mengikuti perkembangan zamannya masing-masing. Begitupula dengan proses
untuk menyembuhakan dan memperbaiki kondisi dari orang sakit jiwa tersebut, mulai dari di
kucilkan dari masyarakat luas hingga dibunuh dengan cara dilemparkan kelaut. Hingga pada
akhirnya pemerintah menyadari bahwasannya mereka tidak perlu untuk diperlakukan seperti itu,
mereka hanya perlu penanganan yang lebih serius untuk menyembuhkan penyakit yang
dideritanya dengan dibentuknya panti-panti rehabilitasi sosial.
4. Rehabilitasi Sosial
a. Pengertian Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi dilihat dari kata bahasa inggris yaitu rehabilitation yang memiliki arti
mengembalikan seperti semula, dalam hal ini mengembalikan yang dimaksud adalah
mengembalikan kemampuan yang pernah dimilikinya, karena suatu hal atau musibah yang
menjadikan ia harus kehilangan kemampuannya, dan kemampuan yang hilang inilah yang akan
dikembalikan seperti semula yaitu seperti kondisi sebelum terjadinya musibah tersebut[24]. Jadi
rehabilitasi adalah pemulihan (perbaikan/pembetulan) seperti sedia kala, pengembalian nama
baik secara hukum, pembaharuan kembali.
Sosial berarti segala sesuatu mengenai masyarakat, yang perduli terhadap lingkungan
umum[25]. Jadi pengertian rehabilitasi sosial secara umum adalah proses yang dilakukan secara
terus menerus dalam rangka pemulihan kembali orang atau gelandangan agar bisa teratasi
masalahnya yang meliputi; pemulihan kepercayaan diri, mandiri serta tanggung jawab terhadap
diri sendiri, keluarga, masyarakat dan juga lingkungan sosialnya.
Sesuai dengan sifatnya yang rehabilitatif, maka bentuk penanganan masalah sosial ini
merupakan usaha kelompok terhadap sasaran tertentu, dalam hal ini adalah bagian-bagian dari
kehidupan masyarakat yang menjadi penyandang masalah sosial[26].

b. Langkah-langkah Pelaksanaan Rehabilitasi


Menurut Soetomo langkah pelaksanaan rehabilitasi sebagai berikut:
1) Tahap Identifikasi.
Masalah sosial merupakan fenomena yang selalu muncul dalam kehidupan masyarakat,
perwujudannya dapat merupakan masalah lama yang mengalami perkembangan, akan tetapi
dapat pula menjadi masalah baru yang muncul karena perkembangan dan perubahan kehidupan
sosial, ekonomi dan kultural, masalah sosial dianggap sebagai kondisi yang tidak diinginkan oleh
karena dapat membawa kerugian baik secara fisik maupun non fisik pada individu, kelompok
ataupun masyarakat. Secara keseluruhan, atau dapat juga merupakan kondisi yang dianggap
bertentangan dengan nilai, norma dan standar sosial[27].
2) Tahap Diagnosis.
Setelah masalah sosial teridentifikasi, maka akan mendorong munculnya respon dari
masyarakat, berupa tindakan bersama untuk memecahkan masalah bersama. Agar upaya
pemecahan masalah mencapai hasil yang di harapkan, di butuhkan pengenalan tentang sifat,
eskalasi dan latar belakang masalah.

3) Tahap Treatment
Upaya untuk menghilangkan masalah sosial, akan tetapi dalam banyak hal juga dapat
berupa usaha untuk mengurangi atau mengatasi berkembangnya permasalahan sosial[28].
Selanjutnya langkah-langkah pelaksanaan layanan dan rehabilitasi sosial bagi
gelandangan, menurut dinas sosial menggunakan bantuan utama pendekatan pekerja sosial di
dukung dengan profesi lain yang terkait[29]. Adapun langkah yang perlu di lakukan adalah:
1). Pendekatan Awal
Pendekatan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan pekerja sosial untuk
mendapatkan pengakuan dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait serta berwenang terhadap
masalah penertiban gelandangan, pihak yang peduli terhadap pelayanan dan rehabilitasi sosial
bagi gelandangan, terhadap masyarakat sebagai pemilik sumber daya informasi yang ada di
lingkungan masyarakat sekitar dan memotivasi terhadap calon klien untuk masuk panti
rehabilitasi sosial. Calon klien yang dimotivasi diperoleh dari proses perekrutan.

Penarikan (rekruitmen) adalah proses pencarian para calon klien untuk masuk panti
rehabilitasi. Adapun cara rekruitmen tersebut dapat melalui :
1. Trantib keamanan (razia)
2. Kemitraan dengan lembaga atau pihak lain seperti rumah sakit, dinas sosial dan LSM.[30]
2). Penerimaan dan Pengasramaan
Penerimaan adalah rangkaian kegiatan administratif, maupun teknis yang meliputi
registrasi klien (klien tercatat dalam buku panti). Pengasramaan adalah menempatkan klien
definitif dalam asrama dengan kondisi, situasi dan fasilitas panti.
1. Pengungkapan dan pemahaman masalah (assessment)
Pengungkapan dan pemahaman masalah adalah upaya untuk mencari dan menggali data
penerima pelayanan (klien), mulai dari faktor-faktor penyebab masalah klien, dan kekuatan-
kekuatan yang dimiliki klien, semua ini dilakukan dalam upaya untuk membantu proses
rehabilitasi sosial dan mempercepat penyembuhannya.
2. Pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial
Pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial didasarkan pada hasil assessmen yang
dilakukan oleh pekerja sosial. Hasil assesment tersebut menjadi acuan untuk memberikan
pelayanan dalam menangani klien dalam proses rehabilitasi sosial. Adapun pelaksanaan kegiatan
sesuai dengan hasil assesment tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek yang terdapat dalam
assesmen, yang terdiri dari:
a) Bimbingan fisik
Bimbingan fisik ini dimaksudkan agar klien memiliki kesehatan fisik dan jauh dari
penyakit fisik melalui cara hidup sehat dan selalu menjaga kebersihan.
b) Bimbingan mental
Bimbingan mental disini lebih ditekankan terhadap kondisi psikis klien yang diharapkan
klien mampu dan bisa untuk mengenal dirinya sendiri dan bisa bertanggung jawab terhadap diri
pribadi.
c) Bimbingan sosial
Melalui bimbingan sosial ini para klien diajarkan untuk dapat mengenal sesama dan
menjalin kerukunan sesama klien sehingga nantinya bisa menimbulkan kesadaran dan tanggung
jawab sosial klien didalam kehidupan masyarakat nantinya.
3). Resosialisasi
Resosialisasi adalah serangkaian bimbingan yang bersifat dua arah yaitu untuk
mempersiapkan klien agar dapat berintegrasi penuh kedalam kehidupan dan penghidupan
masyarakat secara normatif dan selain itu juga untuk mempersiapkan masyarakat atau
lingkungan dimana ia akan tinggal agar mampu menerima dan memperlakukan serta mengajak
klien untuk berintegrasi dengan kegiatan kemasyarakatan dengan tidak ada pembedaan.
4). Penyaluran
Penyaluran adalah serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk mengembalikan klien
kedalam kehidupan dimasyarakat secara normatif baik di lingkungan keluarga dan masyarakat.
5). Bimbingan Lanjut
Bimbingan lanjut adalah serangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan kepada
penerima pelayanan dan masyarakat guna lebih dapat memantapkan, meningkatkan dan
mengembangkan kemandirian klien dalam kehidupan sehari-hari.
6). Evaluasi
Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan apakah proses pelayanan dan rehabilitasi sosial
yang diterima oleh klien sudah sesuai dengan yang direncanakan, dalam hal ini pekerja sosial
wajib untuk melakukan evaluasi dalam setiap tahapan proses dan hasil pertolongan yang dilalui,
dan kemudian diambil kesimpulan apakah proses telah berjalan baik dan dapat dilakukan
pengakhiran pelayanan.
7). Terminasi
Terminasi ini dilakukan untuk memastikan hasil evaluasi umum terhadap klien setelah dapat
menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan mampu menjadi warga Negara masyarakat yang
bertanggung jawab.
5. Prinsip-prinsip Penanganan bagi Gelandangan Psikotik
Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan didasarkan pada prinsip umum dan
khusus untuk menjamin berlangsungnya pelayanan secara profesional dan tidak melanggar hak
azasi mereka sebagai manusia, prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Prinsip-prinsip Umum:
Pelayanan rehabilitasi bagi gelandangan pada prinsipnya:
a) Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, dimana setiap warga binaan bisa diterima
dan dihargai sebagai pribadi yang utuh dalam artian memanusiakan manusia.
b) Memberikan penghidupan dan pelayanan yang layak terhadap warga binaan.
c) Pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi para warga binaan tersebut unuk lebih
mengembangkan dirinya dan diikutsertakan dalam kegiatan yang ada didalam panti rehabilitasi
tersebut.
d) Menanamkan sifat tanggung jawab sosial yang melekat pada setiap warga binaan yang dilayani
dan direhabilitasi.
2) Prinsip-prinsip Khusus
Prinsip-prinsip khusus dalam rehabilitasi sosial adalah:
a) Prinsip peneriamaan warga binaan secara apa adanya.
b) Tidak menghakimi (Non judgement) warga binaan.
c) Prinsip individualisasi, setiap warga binaan tidak diperlakukan sama rata, tetapi harus difahami
secara khusus sesuai dengan problemnya masing-masing.
d) Prinsip kerahasiaan, setiap informasi yang diperoleh mengenai gelandangan tersebut dapat dijaga
kerahasiaannya sebaik dan sekuat mungkin, terkecuali informasi tersebut digunakan untuk
kepentingan pelayanan dan rehabilitasi sosial klien tersebut.
e) Prinsip partisipasi, setiap warga binaan dan orang-orang terdekatnya ikut berpartisipasi dalam
proses penyembuhan dan rehabilitasinya dalam upaya unuk mengembalikan kesadaran individu
tersebut.
f) Prinsip komunikasi, dalam hal ini diusahakan agar kualitas dan intensitas komunikasi antara
warga binaan dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya dapat ditingkatkan seoptimal mungkin
sehingga dapat berdampak positif terhadap upaya rehabilitasi warga binaan.
g) Prinsip kesadaran diri, dimana para pelaksana pelayanan sosial secara sadar wajib menjaga
kualitas hubungan profesionalnya dengan warga binaan, sehingga tidak jatuh dalam hubungan
emosional yang menyulitkan dan menghambat proses rehabilitasi[31].
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan data-data yang ada, maka penelitian ini menemukan beberapa kesimpulan.
Yaitu:
1. Dalam menjaring klien psikotik yang masih berada diluar menggunakan cara perekrutan melalui
kerjasama dengan a) satuaan polisi pamong praja (satpol PP) dan dinas sosial, b) kerjasama
dengan lembaga lain (rumah sakit), dan c) kerja sama dengan warga yang memiliki anggota
keluarga psikotik.
2. Penderita psikotik di Lembaga Sosial Hafara diberikan berbagai terapi, mulai dari terapi
terhadap fisik dan juga kejiwaannya. Terapi tersebut adalah 1) terapi mandi guna mensucikan
seluruh badan, 2) terapi agama, dengan membaca surat-sura pendek dalam Al-Qur’an dan
menyebut asma Allah. Sebagai rasa berpasrah diri dan memohon kesembuhan kepada-Nya, 3)
terapi olahraga, olahraga untuk menjaga kondisi kesehatan badannya dan memperlancar
pernafasan, 4) terapi obat, obat ini digunakan untuk mengontrol saraf klien psikotik, 5) terapi
kesenian, melalui kesenian klien psikotik memiliki tempat unuk mengeluarkan semua perasaan
yang ada dibawah alam sadarnya.
3. Setelah klien menetap di Lembaga Sosial Hafara selama enam bulan, maka untuk mereka yang
dinilai telah memenuhi kriteria dan dinyatakan sembuh akan dikembalikan kepada keluarganya
dan bagi mereka yang belum sembuh akan disalurkan ke lembaga lain atau bisa juga
memperpanjang kontrak di Hafara sesuai dengan penilaian dari pekerja sosial di Hafara.
4. Sebelum klien meninggalkan lembaga sosial Hafara untuk dikembalikan kepada keluarganya,
ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan oleh klien psikotik yang sudah dianggap sembuh.
Diantara uji kelayakan tersebut adalah 1. Klien diberikan tugas untuk menjadi ketua bagi
kelompok psikotiknya, 2. Klien diberikan kebebasan untuk bergaul dan berkomunikasi kepada
seluruh anggota lembaga sosial
5. Kurangnya pengetahuan dari masyarakat tentang psikotik atau penyakit jiwa, menyebabkan
mereka tidak mengetahui bagaimana cara untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit tersebut
agar tidak semakin parah. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu penyuluhan dari pihak
pemerintah mengenai gejala dari adanya penyakit jiwa, sehingga masyarakat mampu untuk
mencegah timbulnya penyakit jiwa didalam diri sendiri ataupun orang-orang disekitarnya.
6. Penderita psikotik memiliki hak untuk kembali hidup normal didalam keluarga dan masyarakat,
mereka harus mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak dan instansi pemerintahan
khususnya untuk menaggulangi dan menghindari mereka untuk turun kejalanan dan membuat
pemandangan dijalanan menjadi semakin semrawut tidak teratur. Untuk merehabilitasi mereka
diperlukan adanya kerjasama dari pihak pemerintahan dengan instansi lain yang memberikan
pelayanan rehabilitasi sosial untuk para penyandang psikotik seperti Lembaga Sosial Hafara.

B. Saran-saran
Untuk mengembangkan program pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap penderita
psikotik di Lembaga Sosial Hafara Yogyakarta, mungkin ada beberapa hal yang perlu diperbaiki
dan dilakukan oleh para peneliti dan pihak Lembaga Sosial Hafara antara lain:
a. Untuk para peneliti:
1. Carilah tema sesuai dengan keinginan dan ketertarikan anda.
2. Koordinasikan terlebih dahulu tentang tema anda dengan pihak kampus dan juga pihak yang
terkait dengan penelitian.
3. Pastikan terlebih dahulu anda telah mendapatkan persetujuan dari lembaga atau instansi yang
terkait sebelum memulai penelitian, untuk lebih menghemat waktu dalam melakukan penelitian.
b. Pihak Lembaga Sosial Hafara:
1. Dalam pelaksanaan dan pelayanan rehabilitasi sosial terhadap gelandangan psikotik ada baiknya
antar klien memiliki terapi yang berbeda-beda, tergantung dari jenis dan seberapa parah penyakit
kejiwaan yang diderita klien.
2. Untuk memberikan pelayanan maksimal ada baiknya jika kamar atau tempat istirahat klien
psikotik yang sudah membaik kondisinya dipisah dengan klien psikotik lainnya. Dengan tujuan
agar mereka tidak tertular oleh teman-temannya dan selain itu juga untuk memudahkan para
pekerja sosial dalam memberikan terapi kepada klien tersebut dan juga untuk membedakan kelas
penyakit kejiwaan dari para penderita psikotik yang ada di lembaga sosial Hafara.
3. Perlunya penambahan program rehabilitasi dan pelayanan sosial untuk para penderita psikotik,
karena masih banyak waktu yang terbuang oleh penderita sakit jiwa.
4. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat luas, khususnya untuk yang berada di daerah Bantul
bahwasannya ada satu lembaga sosial yang meiliki tujuan untuk memberikan rehabilitasi sosial
untuk para penyandang psikotik (gangguan jiwa). Bertujuan agar masayarakat ikut lebih
membantu dalam proses rehabilitasi dan masyarakat juga bisa lebih belajar mengenai gangguan
jiwa dan masyarakat bisa lebih berperan aktif serta tidak malu lagi untuk menitipkan anggota
keluarganya yang mungkin terkena gangguan jiwa.

C. Penutup
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kehadirat Alloh SWT
yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dan juga telah memberi dukungan dan motivasi yang tiada henti hingga akhir penulisan skripsi.
Saya menyadari bahwasannya masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini
dikarenakan adanya keterbatasan dalam diri penulis, oleh karena itu sangat diperlukan saran dan
kritik yang membangun dari para pembaca. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat berguna
untuk almamater UIN Sunan Kalijaga, agama, nusa dan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai