0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
126 tayangan21 halaman

PCP

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 21

REFERAT

PNEUMOCYSTIS PNEUMONI

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/KSM Ilmu Radiologi RSD dr. Soebandi

Disusun Oleh :

Wydi Ulfa Pradini 132011101008


Ahmad Baihaqi 142011101030
Tria Yudinia 142011101047

Pembimbing:

dr. R. Handi Sembodo, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

LAB/KSM ILMU PENYAKIT RADIOLOGI

RSD dr. SOEBANDI JEMBER

2018
DAFTAR HALAMAN

REFERAT i
DAFTAR HALAMAN ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 DEFINISI PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP) 2
2.2 EPIDEMOLOGI 2
2.3 PATOFISIOLOGI 3
2.4 FAKTOR RESIKO 3
2.5 MANIFESTASI KLINIS 4
2.6 DIAGNOSIS 5
2.7 TATALAKSANA 10
2.8 PROGNOSIS 13
BAB III KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Derajat Penyakit PCP 4


Tabel 2. Pengobatan PCP 11
Tabel 3. Profilaksis PCP 11

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pemeriksaan BAL 6


Gambar 2. Pewarnaan dengan Gomori methenamin silver 6
Gambar 3. Gambaran radiologi menunjukkan opasifikasi retikular halus dan 7
menyebar akibat PCP
Gambar 4. Gambaran radiologi menunjukkan adanya pneumatokel pada 8
bilateral lobus paru pada pasien PCP dengan AIDS
Gambar 5. Gambaran HRCT transversal menunjukkan patchy ground-glass 8
opacity dan penebalan septum interlobular
Gambar 6. Gambaran HRCT coronal menunjukkan patchy ground-glass 9
opacity dan penebalan septum interlobular (tanda panah)
Gambar 7. HRCT pasien PCP menunjukkan gambaran penyebaran ground 9
glass opacity dengan garis-garis septum interlobular, serta
bentukan kista
Gambar 8. Gambaran HRCT penderita PCP menunjukkan adanya lesi kecil 10
nodular yang dikelilingi oleh ground glass opacity difus 00

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terinfeksi HIV-AIDS dari
berbagai penjuru dunia. Data tahun 2000 melaporkan bahwa 58 juta penduduk
dunia terinfeksi HIV dengan 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS.
Transmisi masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap
harinya. Didapatkan sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di akhir
tahun 2005. Diperkirakan sejumlah 4,9 juta manusia terdiagnosis infeksi HIV di
tahun 2005 dengan 95% terjadi di Afrika, Eropa Timur dan Asia.1

Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut


Pneumocystis jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii.
Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita
immunocompromised, antara lain pada Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS). Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh Chagas pada tahun 1909
dan digolongkan sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988 menjelaskan bahwa
Pneumocystis adalah jamur. Terdapat perbedaan DNA antara P. jiroveci (derivat
manusia) dan P. carinii (derivat tikus percobaan) sehingga untuk manusia
dinamakan menjadi P. jirovecii pada tahun 2002.1,2,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP)


Pneumocystis adalah jamur patogen oportunistik pada paru-paru yang
menyebabkan pneumonia pada host dengan immunocompromise. Meskipun
organisme dalam genus Pneumocystis secara morfologi sangat mirip, mereka
secara genetik bermacam-macam dan spesifik. P. jirovecii menginfeksi manusia,
sedangkan P. carinii menginfeksi tikus.3
Pneumocystis pneumonia merupakan koinfeksi yang sering ditemukan
pada penderita HIV dan jarang terjadi pada penderita HIV dengan CD4 lebih dari
200 sel/mm3 atau 14% dari hitung limfosit total. Pnemocystis dapat menyebabkan
pneumonia yang berat pada individu dengan sistem imun yang buruk karena HIV,
transplantasi, keganasan, penyakit jaringan.3

2.2 EPIDEMOLOGI
Sebelum penggunaan profilaksis untuk pneumonia P. Jiroveci (PCP),
frekuensi infeksi pneumocystis pada pasien dengan transplantasi paru sebesar
88%. Sekarang, dengan penggunaan profilaksis rutin, PCP menjadi jarang pada
pasien dengan transplantasi organ padat. Angka kejadian PCP ini juga berkurang
secara signifikan pada pasien yang terinfeksi HIV. Sebelum penggunaan Highly
Active Antiretroviral Therapy (HAART), PCP menginfeksi sekitar 70-80%
penderita HIV. Frekuensi PCP pada penderita HIV saat ini menurun dengan
penggunaan profilaksis dan HAART.4
Sekarang ini, frekuensi infeksi Pneumocystis meningkat di Afrika,
dengan ditemukannya organisme Pneumocystis mencapai 80% pada bayi dengan
pneumonia yang terinfeksi HIV. Di sub-Sahara Afrika, tuberculosis merupakan
koinfeksi yang sering terjadi pada orang dengan PCP.5

2
2.3 PATOFISIOLOGI
Faktor pada host mempengaruhi perkembangan dari PCP termasuk
kerusakan pada imunitas seluler dan imunitas humoral. Resiko pada pasien
dengan infeksi HIV meningkat secara bermakna ketika sel T CD4+ menurun
hingga di bawah 200/µL. Orang yang beresiko PCP lainnya adalah pasien dengan
agen immunosupresi (terutama glukokortikoid) pada kanker dan transplantasi
organ, orang yang mendapatkan agen biologi seperti infliximab dan etanercept
untuk rheumatoid arthritis dan inflamatory bowel disease, anak-anak dengan
penyakit immunodeficiency primer, dan bayi prematur dengan malnutrisi.6
Sel efektor dari host yang melawan Pneumocystis adalah alveolar
machropages, yang mencerna dan membunuh organisme tersebut dengan
melepaskan berbagai macam mediator inflamasi. Organisme tersebut
berproliferasi di dalam alveolus, menempel kuat pada sel tipe I. Kerusakan pada
alveolar menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler alveolar dan kelainan
surfaktan, meliputi penurunan fosfolipid dan peningkatan pada protein surfaktan
A dan D. Respon inflamasi dari host pada kerusakan paru menyebabkan
peningkatan interleukin 8 dan angka neutrofil pada cairan bronchoalveolar lavage
(BAL). Perubahan ini berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.6
Pada bagian paru dengan hemaktosilin dan eosin, alveoli terisi dengan
vacuolated exudate. Pada tingkat yang berat mungkin didapatkan edema
interstisial, fibrosis, dan formasi membran hyalin. Perubahan inflamatory pada
host biasanya terdiri atas hipertrofi sel alveolar tipe II, respon reparatif khas, dan
infiltrat interstisial sedang sel mononuklear.6

2.4 FAKTOR RESIKO


PCP disebabkan oleh infeksi P. jiroveci. Berikut ini merupakan faktor
resiko terjadinya PCP7:
a. Seseorang dengan infeksi HIV di mana sel CD4+ turun hingga di bawah
200/µL atau seseorang dengan infeksi HIV yang tidak mendapatkan
profilaksis PCP (pada pasien dengan infeksi HIV yang ditemukan infeksi

3
oportunistik lain (contoh: sariawan mulut), akan meningkatkan resiko dari
PCP tanpa memperhatikan angka CD4+).
b. Seseorang dengan defisiensi imun primer, termasuk beberapa bentuk
hypogammaglobulinemia (terutama defisiensi CD40-ligand, juga dikenal
sebagai X-link hyper-IgM syndrome) dan severe combined immunodeficiency
(SCID).
c. Seseorang yang mendapatkan regimen immunosupresive jangka panjang
untuk kelainan jaringan ikat, vaskulitides, transplantasi organ padat (contoh:
jantung, paru, hepar, ginjal)
d. Seseorang dengan keganasan baik hematologi maupun non-hematologi,
meliputi tumor padat dan limfoma.
e. Seseorang dengan malnutrisi berat.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Pneumocystis menyebabkan pneumonia pada penderita HIV dengan
karakteristik sesak napas, demam, dan batuk yang tidak produktif. Pemeriksaan
fisik biasanya hanya didapatkan takipnea dan takikardia namun tidak didapatkan
ronkhi pada auskultasi. Takipnea biasanya berat sehingga penderita mengalami
kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral, dan membran mukosa juga dapat
ditemukan. Foto toraks memperlihatkan infiltrat bilateral yang dapat meningkat
menjadi homogen. Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul soliter atau
multipel, infiltrat pada lobus atas pada pasien dengan pengobatan pentamidin,
pneumatokel, dan dapat menyebabkan pneumotoraks. Efusi pleura dan
limfadenopati jarang ditemukan. Jika pada foto toraks tidak didapatkan kelainan
maka dianjurkan pemeriksaan high resolution computed tomography (HRCT).8

Tabel 1. Derajat Penyakit PCP11


Derajat Kriteria
Sesak napas pada waktu istirahat atau PaO2 kurang dari 50
Berat
mmHg dalam suhu ruangan
Sesak napas pada latihan ringan, PaO2 antara 50-70 mmHg
Sedang pada suhu ruangan saat istirahat, AaDO2 lebih dari 30
mmHg atau saturasi oksigen kurang 94%

4
Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 lebih 70 mmHg
Ringan
dalam suhu kamar saat istirahat

Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan gambaran eksudat eosinofil


aseluler yang mengisi alveoli. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
immunofloresen menggunakan antibodi monoklonal. Pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas 95% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan lain menggunakan sputum
dan BAL dengan hasil didapatkan 97% positif pada 100 pasien HIV. Pemeriksaan
laboratorium darah tidak khas, kecuali peningkatan laktat dehidogenase (LDH)
dan gradien oksigen alveolar-arterial (AaDO2) dikaitkan dengan prognosis lebih
buruk.2

2.6 DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis PCP secara pasti masih sulit dilakukan bila hanya
melihat dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi karena
kurang khas. Dari gejala klinis berupa demam, batuk, sesak nafas, dan nyeri dada.
Kemudian pada pemeriksaan fisik toraks yang sakit tampak tertinggal saat
bernafas. Pada sisi yang sakit menunjukkan fremitus suara yang meningkat. Pada
perkusi, akan terdengar suara redup pada sisi yang sakit. Dan pada auskultasi
dapat normal atau terdengar ronkhi.12,13,16
Hasil pemeriksaan rutin laboratorium juga tidak khas, leukosit dapat
sedikit meningkat, serum laktat dehidrogenase (LDH) dapat meningkat (>220
U/L) dimana hal tersebut menunjukkan ada tanda inflamasi paru, bukan petunjuk
khas untuk PCP. Analisis gas darah dapat memperlihatkan hasil hipoksemia,
hipokarbia, dan peningkatan alveolar-arterial gradien oksigen (AaDO2). Hasil
normal dapat ditemukan pada 20% pasien dengan gejala sangat ringan, tetapi hal
itu tidak boleh menyebabkan kelalaian untuk mengevaluasi pasien dengan gejala
klinis mirip PCP, meskipun tidak khas dan hitung sel CD4+ kurang dari
200sel/mm.17
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit
Pneumocystis dalam sediaan klinis pasien yang didapatkan dari induksi sputum

5
dengan hypertonic saline. Jika pemeriksaan tersebut negatif, pemeriksaan dengan
BAL dapat dilakukan.2

Gambar 1. Pemeriksaan BAL 9


Pemeriksaan BAL memiliki sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat dua
bentuk PCP, yaitu tropik dan kistik. Bentuk tropik dapat dilihat dengan pewarnaan
modifikasi Papaniculaou, Wright-Giemsa, atau Gram-Weigert. Bentuk kista
dilihat dengan pewarnaan Gomori methenamin silver, cresyl each violet, toluidin
blue O, atau calcofluor white.8

Gambar 2. Pewarnaan dengan Gomori methenamin silver 9

Sensitivititas pewarnaan tersebut bila dikombinasikan dengan pemeriksaan


sediaan biopsi transbronkial, sensitivitasnya mencapai 100%. Induksi sputum
merupakan prosedur pemeriksaan yang lebih sederhana serta non-invasif
dibandingkan bilasan bronkus atau biopsi transbronkial, tetapi sensitivitasnya

6
menggunakan pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan teknik
pewarnaan imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan
induksi sputum higga 97%.16
Pemeriksaan PCR dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas deteksi
Pneumocystis jirovecii hingga 86-100% dari sediaan induksi sputum. Beberapa
penelitian menggunakan PCR telah berhasil mendeteksi Pneumocystis jirovecii
pada individu yang sediaan pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut
memperlihatkan gejala klinis, sebagian lagi tidak, sehingga memungkinkan
dugaan kolonisasi asimpomatik.17
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah adanya
infiltrat interstisial bilateral di daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih
homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit. Dapat ditemukan
gambaran rontgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan
dapat menunjukkan gambaran “ground glass” atau lesi kistik.12,13,15,16

Gambar 3. Gambaran radiologi menunjukkan opasifikasi retikular


halus dan menyebar akibat PCP.

7
Gambar 4. Gambaran radiologi menunjukkan adanya pneumatokel
pada bilateral lobus paru pada pasien PCP dengan AIDS.

Gambar 5. Gambaran HRCT transversal menunjukkan


patchy ground-glass opacity dan penebalan septum interlobular (tanda panah).

8
Gambar 6. Gambaran HRCT coronal menunjukkan patchy ground-glass opacity
dan penebalan septum interlobular (tanda panah).

Gambar 7. HRCT pasien PCP menunjukkan gambaran penyebaran


ground glass opacity dengan garis-garis septum interlobular, serta bentukan kista.

9
Gambar 8. Gambaran HRCT penderita PCP menunjukkan adanya lesi kecil
nodular yang dikelilingi oleh ground glass opacity difus.

Derajat penyakit telah dijelaskan pada Tabel 1. Sedangkan diagnosis


presumtif PCP menurut CDC adalah jika ditemukan sebagai berikut.
a. Keluhan sesak napas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan
terakhir.
b. Gambaran foto toraks berupa infiltrat interstitial difus bilateral atau
gambaran penyakit paru difus bilateral.
c. Tekanan oksigen (O2) kurang dari 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas
darah atau kapasitas difusi rendah (kurang 80% prediksi) atau peningkatan
AaDO2.
d. Tidak terbukti pneumonia bakterialis.

2.7 TATALAKSANA
Antibiotik utamanya direkomendasikan untuk terapi P. jiroveci ringan,
sedang, atau berat. TMP-SMX telah terbukti sama efektifnya seperti pentamidine
intravena dan lebih efektif daripada terapi alternative regimen lain. Parenteral
dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit yang serius atau dengan efek
samping gastrointestinal.7
Direkomendasikan durasi terapi pada PCP adalah 21 hari pada pasien
dengan infeksi HIV dan 14 hari pada pasien lain. Pasien yang terinfeksi HIV

10
cenderung memiliki beban yang lebih tinggi dan respon yang rendah daripada
pasien tanpa infeksi HIV dan oleh karena itu membutuhkan terapi yang lebih
lama.7
Tabel 2. Pengobatan PCP 2
Jenis Obat Dosis Cara
Trimetroprim- 15-20 mg/kg Peroral
Sulfametokasazol 75-100 mg/kg
Setiap hari dalam 3 dosis
Primakuin Plus 30 mg setiap hari Peroral
Klindamisin 600 mg tiga kali sehari
Atovakuon 750 mg dua kali sehari Peroral
Pentamidin 4 mg/kg setiap hari Intravena
600 mg setiap hari Aerosol

Tabel 3. Profilaksis PCP 2


Jenis Obat Dosis Cara
Trimetroprim- 1x2 tablet setiap hari atau Peroral
Sulfametokasazol 1x1 tablet setiap hari
1x2 tablet 3 kali seminggu (alternatif)
Dapson 50 mg sekali hari atau Peroral
100 mg setiap hari
Dapson plus 50 mg setiap hari Peroral
Pirimetamin plus 50 mg setiap minggu
Leukovorin 25 mg setiap minggu
Pentamidin 300 mg setiap bulan Aerosol
Atovakuon 1500 mg setiap hari Peroral

Pengobatan berdasarkan derajat penyakit PCP adalah sebagai berikut.


a. PCP Berat
Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan bantuan ventilator. Obat lini
pertama yang diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi intravena
(trimetoprim 15 mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 75 mg/kgBB/hari
selama 21 hari). Bila tidak ada respons dapat diberi lini kedua yaitu
pentamidin intravena (3-4 mg/kgBB selama 21 hari). Lini ke tiga adalah
klindamisin (600 mg IV tiap 8 jam) dengan primakuin (15 mg/oral/hari).
Pemberian kortikosteroid direkomendasikan 40 mg secara peroral dua kali
sehari pada hari pertama sampai kelima, 40 mg satu kali per hari selama 6-
10 hari, 20 mg setiap hari sampai lengkap 21 hari.10

11
b. PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet tiga kali
sehari selama 21 hari.10
c. PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari
selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons membaik.10

Profilaksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4
lebih dari 200 sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)
pada penderita HIV dapat menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Profilaksis
dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3 atau limfosit total kurang dari
14% dengan kandidiasis oral atau demam yang tidak jelas penyebabnya dan
berlangsung lebih dari dua minggu. Regimen yang diberikan adalah
kotrimoksazol dua kali sehari, seminggu dua kali atau dapsone 100 mg peroral per
hari atau atavaquone 750 mg peroral dua kali per hari. Profilaksis dihentikan bila
CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total lebih dari 14% yang telah
berlangsung lebih dari tiga bulan.10
a. Trimetoprim-Sulfametoksazol
Merupakan obat pilihan terapi PCP. Penetrasinya baik di jaringan. Studi
prospektif membandingkan pemberian trimetoprim sulfametoksasol
dengan pentamidin menunjukkan bahwa obat tersebut memperbaiki
oksigenasi serta daya tahan hidup lebih baik. Pemberian oral pada PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi adalah skin
rash dan gangguan fungsi hati pada 20% penderita. Tidak dilaporkan efek
samping yang dapat menyebabkan penderita sampai dirawat di rumah
sakit.8
b. Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua; merupakan antiprotozoa
yang mekanismenya dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui.

12
Pentamidin merupakan obat toksik dengan efek samping antara lain
hipotensi, aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan
kadar kreatinin dan trombositopenia.8
c. Klindamisin dan Primakuin
Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan
sampai sedang. Kombinasi ini digunakan pada pasien yang tidak toleran
atau gagal pada pengobatan trimetoprim sulfametoksasol atau pentamidin.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia,
gangguan gastrointestinal dan methemoglobinemia.8
d. Dapson
Kombinasi dapson dengan trimetoprim efektif digunakan untuk PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi berupa
methemoglobinemia, hiperkalemia ringan, anemia.8
e. Atovakuon
Merupakan antimalaria yang merupakan terapi lini kedua pengobatan
PCP. Walaupun ditoleransi lebih baik dibanding trimetoprim
sulfametoksazol, obat ini kurang efektif. Efek samping yang terjadi yaitu
rash, demam, gangguan gastrointestinal dan gangguan fungsi hati.8
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada penderita PCP berat. Kortikosteroid juga
dapat menurunkan efek samping Trimetoprim-sulfametoksasol. Bezzote
dkk. menjelaskan efek kortikosteroid akan baik bila diberikan pada
penderita derajat sedang atau berat. Pemberian kortikosteroid dapat
meningkatkan insidens herpes virus serta oral trush.8

2.8 PROGNOSIS
Pada kasus PCP yang tidak ditangani, gangguan pernapasan yang
progresif menyebabkan kematian. Terapi sangat efektif bila dimulai sejak dini,
sebelum terdapat kerusakan alveolar yang luas. Dengan peningkatan manajemen
HIV dan komplikasinya, mortality dari PCP adalah 15-20% pada 1 bulan dan 50-
55% pada 1 tahun. Tingkat kematian awal yang tinggi terjadi pada pasien yang

13
membutuhkan bantuan ventilator sebesar 60% dan pada pasien yang tidak
terinfeksi HIV sebesar 40%6.

14
BAB III
KESIMPULAN

PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur


Pneumocystis jirovecii. Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan
immunodefisiensi, misalnya pada penderita HIV/AIDS. Transmisi orang ke orang
diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection”.
Gejala klinis PCP meliputi trias klasik antara lain demam (yang tidak
terlalu tinggi), dispnea (terutama saat beraktivitas), dan batuk non produktif.
Semakin lama dispnea akan bertambah hebat, disertai takipnea, sampai terjadi
sianosis dan gagal nafas.16
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jirovecii
pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, yang dapat diperoleh melalui
induksi sputum, BAL ( Broncho Alveolar Lavage), maupun biopsi paru. Pada
pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gambaran infiltrat bilateral simetris.
Pada darah dijumpai kadar LDH yang meninggi, >220 U/L atau PaO2 < 70
mmHg.16
Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
immunodefisiensi, diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk
mengurangi persentase mortalitas penyakit ini.16

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Huang L, Moris A, Limper AH, Beck JM. An official ATS workshop


summary: recent advences and future directions in Pneumocystis pneumonia
(PCP). Am Thorac Soc 2006; 3:655-64.
2. Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumonia. N Engl J Med 2004;
350:2487-98.
3. Miller R, Huang L. Pneumocystis jiroveci infection. Thorax 2004; 59:731-3.
4. Abouya YL, Beaumel A, Lucas S, et al. Pneumocystis carinii pneumonia. An
uncommon cause of death in African patients with acquired
immunodeficiency syndrome. Am Rev Respir Dis. Mar 1992;145(3):617-20.
5. Murray JF. Pulmonary complications of HIV-1 infection among adults living
in Sub-Saharan Africa. Int J Tuberc Lung Dis. Aug 2005;9(8):826-35.
6. Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principle of Interna Medicine 17th. United State:
The Mc-Graw-Hill Company.
7. http://emedicine.medscape.com/article/225976-overview#aw2aab6b4.
Diakses tanggal 12 Oktober 2014.
8. Lee SA. A review of Pneumocystis pneumonia. J. Pharm Prac 2006; 19:1-9.
9. Fajar, M. Yanuar. 2013. Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human
Immunodeficiency Virus. CDK-203/ vol. 40.
10. Lamprey PR, Johnson JL, Khan M. The global challange of HIV and AIDS.
Population Bulletin 2006; 61:1-28.
11. Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai
penerbit FKUI; 2005.p.1-78.
12. Nicholas John Bennett, MBBCh, PhD. Penumocystis Carinii Pneumonia.
Medscape.
13. Laurence Huang et al. HIV-Associated Pneumocystis Pneumonia. American
Thoracic Society 2011.
14. Reto Nuesch et al. Pneumocystis carinii Pneumonia in Human Deficiency
Virus (HIV)-Positive and HIV-Negative Immunocompromised Patients.
Oxford Journals. 1999.

16
15. D A Gervais et al. Pneumocystis carinii Pnumonia. American Journal of
Roentgenology. 1995.
16. Charles F. Thomas, Jr et al. Pneumocystis Pneumonia. The New England
Journal of Medicine. 2004.
17. Anna Rozaliyani et al. Pemeriksaan Real-time PCR dalam Diagnosis
Pneumocystis Pneumonia. Jurnal Respirologi.
18. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan. Infeksi
Oportunistik pada penderita HIV.

17

Anda mungkin juga menyukai