PCP
PCP
PCP
PNEUMOCYSTIS PNEUMONI
Disusun Oleh :
Pembimbing:
2018
DAFTAR HALAMAN
REFERAT i
DAFTAR HALAMAN ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 DEFINISI PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP) 2
2.2 EPIDEMOLOGI 2
2.3 PATOFISIOLOGI 3
2.4 FAKTOR RESIKO 3
2.5 MANIFESTASI KLINIS 4
2.6 DIAGNOSIS 5
2.7 TATALAKSANA 10
2.8 PROGNOSIS 13
BAB III KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA 16
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terinfeksi HIV-AIDS dari
berbagai penjuru dunia. Data tahun 2000 melaporkan bahwa 58 juta penduduk
dunia terinfeksi HIV dengan 22 juta diantaranya meninggal akibat AIDS.
Transmisi masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap
harinya. Didapatkan sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di akhir
tahun 2005. Diperkirakan sejumlah 4,9 juta manusia terdiagnosis infeksi HIV di
tahun 2005 dengan 95% terjadi di Afrika, Eropa Timur dan Asia.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 EPIDEMOLOGI
Sebelum penggunaan profilaksis untuk pneumonia P. Jiroveci (PCP),
frekuensi infeksi pneumocystis pada pasien dengan transplantasi paru sebesar
88%. Sekarang, dengan penggunaan profilaksis rutin, PCP menjadi jarang pada
pasien dengan transplantasi organ padat. Angka kejadian PCP ini juga berkurang
secara signifikan pada pasien yang terinfeksi HIV. Sebelum penggunaan Highly
Active Antiretroviral Therapy (HAART), PCP menginfeksi sekitar 70-80%
penderita HIV. Frekuensi PCP pada penderita HIV saat ini menurun dengan
penggunaan profilaksis dan HAART.4
Sekarang ini, frekuensi infeksi Pneumocystis meningkat di Afrika,
dengan ditemukannya organisme Pneumocystis mencapai 80% pada bayi dengan
pneumonia yang terinfeksi HIV. Di sub-Sahara Afrika, tuberculosis merupakan
koinfeksi yang sering terjadi pada orang dengan PCP.5
2
2.3 PATOFISIOLOGI
Faktor pada host mempengaruhi perkembangan dari PCP termasuk
kerusakan pada imunitas seluler dan imunitas humoral. Resiko pada pasien
dengan infeksi HIV meningkat secara bermakna ketika sel T CD4+ menurun
hingga di bawah 200/µL. Orang yang beresiko PCP lainnya adalah pasien dengan
agen immunosupresi (terutama glukokortikoid) pada kanker dan transplantasi
organ, orang yang mendapatkan agen biologi seperti infliximab dan etanercept
untuk rheumatoid arthritis dan inflamatory bowel disease, anak-anak dengan
penyakit immunodeficiency primer, dan bayi prematur dengan malnutrisi.6
Sel efektor dari host yang melawan Pneumocystis adalah alveolar
machropages, yang mencerna dan membunuh organisme tersebut dengan
melepaskan berbagai macam mediator inflamasi. Organisme tersebut
berproliferasi di dalam alveolus, menempel kuat pada sel tipe I. Kerusakan pada
alveolar menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler alveolar dan kelainan
surfaktan, meliputi penurunan fosfolipid dan peningkatan pada protein surfaktan
A dan D. Respon inflamasi dari host pada kerusakan paru menyebabkan
peningkatan interleukin 8 dan angka neutrofil pada cairan bronchoalveolar lavage
(BAL). Perubahan ini berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.6
Pada bagian paru dengan hemaktosilin dan eosin, alveoli terisi dengan
vacuolated exudate. Pada tingkat yang berat mungkin didapatkan edema
interstisial, fibrosis, dan formasi membran hyalin. Perubahan inflamatory pada
host biasanya terdiri atas hipertrofi sel alveolar tipe II, respon reparatif khas, dan
infiltrat interstisial sedang sel mononuklear.6
3
oportunistik lain (contoh: sariawan mulut), akan meningkatkan resiko dari
PCP tanpa memperhatikan angka CD4+).
b. Seseorang dengan defisiensi imun primer, termasuk beberapa bentuk
hypogammaglobulinemia (terutama defisiensi CD40-ligand, juga dikenal
sebagai X-link hyper-IgM syndrome) dan severe combined immunodeficiency
(SCID).
c. Seseorang yang mendapatkan regimen immunosupresive jangka panjang
untuk kelainan jaringan ikat, vaskulitides, transplantasi organ padat (contoh:
jantung, paru, hepar, ginjal)
d. Seseorang dengan keganasan baik hematologi maupun non-hematologi,
meliputi tumor padat dan limfoma.
e. Seseorang dengan malnutrisi berat.
4
Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 lebih 70 mmHg
Ringan
dalam suhu kamar saat istirahat
2.6 DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis PCP secara pasti masih sulit dilakukan bila hanya
melihat dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi karena
kurang khas. Dari gejala klinis berupa demam, batuk, sesak nafas, dan nyeri dada.
Kemudian pada pemeriksaan fisik toraks yang sakit tampak tertinggal saat
bernafas. Pada sisi yang sakit menunjukkan fremitus suara yang meningkat. Pada
perkusi, akan terdengar suara redup pada sisi yang sakit. Dan pada auskultasi
dapat normal atau terdengar ronkhi.12,13,16
Hasil pemeriksaan rutin laboratorium juga tidak khas, leukosit dapat
sedikit meningkat, serum laktat dehidrogenase (LDH) dapat meningkat (>220
U/L) dimana hal tersebut menunjukkan ada tanda inflamasi paru, bukan petunjuk
khas untuk PCP. Analisis gas darah dapat memperlihatkan hasil hipoksemia,
hipokarbia, dan peningkatan alveolar-arterial gradien oksigen (AaDO2). Hasil
normal dapat ditemukan pada 20% pasien dengan gejala sangat ringan, tetapi hal
itu tidak boleh menyebabkan kelalaian untuk mengevaluasi pasien dengan gejala
klinis mirip PCP, meskipun tidak khas dan hitung sel CD4+ kurang dari
200sel/mm.17
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kista atau trofozoit
Pneumocystis dalam sediaan klinis pasien yang didapatkan dari induksi sputum
5
dengan hypertonic saline. Jika pemeriksaan tersebut negatif, pemeriksaan dengan
BAL dapat dilakukan.2
6
menggunakan pewarnaan konvensional hanya 35-78%. Pengembangan teknik
pewarnaan imunositokimia dilaporkan meningkatkan sensitivitas pemeriksaan
induksi sputum higga 97%.16
Pemeriksaan PCR dilaporkan dapat meningkatkan sensitivitas deteksi
Pneumocystis jirovecii hingga 86-100% dari sediaan induksi sputum. Beberapa
penelitian menggunakan PCR telah berhasil mendeteksi Pneumocystis jirovecii
pada individu yang sediaan pewarnaannya negatif. Sebagian pasien tersebut
memperlihatkan gejala klinis, sebagian lagi tidak, sehingga memungkinkan
dugaan kolonisasi asimpomatik.17
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah adanya
infiltrat interstisial bilateral di daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih
homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit. Dapat ditemukan
gambaran rontgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan
dapat menunjukkan gambaran “ground glass” atau lesi kistik.12,13,15,16
7
Gambar 4. Gambaran radiologi menunjukkan adanya pneumatokel
pada bilateral lobus paru pada pasien PCP dengan AIDS.
8
Gambar 6. Gambaran HRCT coronal menunjukkan patchy ground-glass opacity
dan penebalan septum interlobular (tanda panah).
9
Gambar 8. Gambaran HRCT penderita PCP menunjukkan adanya lesi kecil
nodular yang dikelilingi oleh ground glass opacity difus.
2.7 TATALAKSANA
Antibiotik utamanya direkomendasikan untuk terapi P. jiroveci ringan,
sedang, atau berat. TMP-SMX telah terbukti sama efektifnya seperti pentamidine
intravena dan lebih efektif daripada terapi alternative regimen lain. Parenteral
dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit yang serius atau dengan efek
samping gastrointestinal.7
Direkomendasikan durasi terapi pada PCP adalah 21 hari pada pasien
dengan infeksi HIV dan 14 hari pada pasien lain. Pasien yang terinfeksi HIV
10
cenderung memiliki beban yang lebih tinggi dan respon yang rendah daripada
pasien tanpa infeksi HIV dan oleh karena itu membutuhkan terapi yang lebih
lama.7
Tabel 2. Pengobatan PCP 2
Jenis Obat Dosis Cara
Trimetroprim- 15-20 mg/kg Peroral
Sulfametokasazol 75-100 mg/kg
Setiap hari dalam 3 dosis
Primakuin Plus 30 mg setiap hari Peroral
Klindamisin 600 mg tiga kali sehari
Atovakuon 750 mg dua kali sehari Peroral
Pentamidin 4 mg/kg setiap hari Intravena
600 mg setiap hari Aerosol
11
b. PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat
diberikan adalah Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet tiga kali
sehari selama 21 hari.10
c. PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari
selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons membaik.10
Profilaksis PCP
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4
lebih dari 200 sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART)
pada penderita HIV dapat menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Profilaksis
dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200 sel/mm3 atau limfosit total kurang dari
14% dengan kandidiasis oral atau demam yang tidak jelas penyebabnya dan
berlangsung lebih dari dua minggu. Regimen yang diberikan adalah
kotrimoksazol dua kali sehari, seminggu dua kali atau dapsone 100 mg peroral per
hari atau atavaquone 750 mg peroral dua kali per hari. Profilaksis dihentikan bila
CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total lebih dari 14% yang telah
berlangsung lebih dari tiga bulan.10
a. Trimetoprim-Sulfametoksazol
Merupakan obat pilihan terapi PCP. Penetrasinya baik di jaringan. Studi
prospektif membandingkan pemberian trimetoprim sulfametoksasol
dengan pentamidin menunjukkan bahwa obat tersebut memperbaiki
oksigenasi serta daya tahan hidup lebih baik. Pemberian oral pada PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi adalah skin
rash dan gangguan fungsi hati pada 20% penderita. Tidak dilaporkan efek
samping yang dapat menyebabkan penderita sampai dirawat di rumah
sakit.8
b. Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua; merupakan antiprotozoa
yang mekanismenya dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui.
12
Pentamidin merupakan obat toksik dengan efek samping antara lain
hipotensi, aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan
kadar kreatinin dan trombositopenia.8
c. Klindamisin dan Primakuin
Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan
sampai sedang. Kombinasi ini digunakan pada pasien yang tidak toleran
atau gagal pada pengobatan trimetoprim sulfametoksasol atau pentamidin.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia,
gangguan gastrointestinal dan methemoglobinemia.8
d. Dapson
Kombinasi dapson dengan trimetoprim efektif digunakan untuk PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi berupa
methemoglobinemia, hiperkalemia ringan, anemia.8
e. Atovakuon
Merupakan antimalaria yang merupakan terapi lini kedua pengobatan
PCP. Walaupun ditoleransi lebih baik dibanding trimetoprim
sulfametoksazol, obat ini kurang efektif. Efek samping yang terjadi yaitu
rash, demam, gangguan gastrointestinal dan gangguan fungsi hati.8
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada penderita PCP berat. Kortikosteroid juga
dapat menurunkan efek samping Trimetoprim-sulfametoksasol. Bezzote
dkk. menjelaskan efek kortikosteroid akan baik bila diberikan pada
penderita derajat sedang atau berat. Pemberian kortikosteroid dapat
meningkatkan insidens herpes virus serta oral trush.8
2.8 PROGNOSIS
Pada kasus PCP yang tidak ditangani, gangguan pernapasan yang
progresif menyebabkan kematian. Terapi sangat efektif bila dimulai sejak dini,
sebelum terdapat kerusakan alveolar yang luas. Dengan peningkatan manajemen
HIV dan komplikasinya, mortality dari PCP adalah 15-20% pada 1 bulan dan 50-
55% pada 1 tahun. Tingkat kematian awal yang tinggi terjadi pada pasien yang
13
membutuhkan bantuan ventilator sebesar 60% dan pada pasien yang tidak
terinfeksi HIV sebesar 40%6.
14
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
16
15. D A Gervais et al. Pneumocystis carinii Pnumonia. American Journal of
Roentgenology. 1995.
16. Charles F. Thomas, Jr et al. Pneumocystis Pneumonia. The New England
Journal of Medicine. 2004.
17. Anna Rozaliyani et al. Pemeriksaan Real-time PCR dalam Diagnosis
Pneumocystis Pneumonia. Jurnal Respirologi.
18. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP. H. Adam Malik Medan. Infeksi
Oportunistik pada penderita HIV.
17