0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
204 tayangan27 halaman

Makalah Ilmu Dan Dakwah (Beserta Catatan Kaki)

makalah ilmu dakwah

Diunggah oleh

Rafa
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
204 tayangan27 halaman

Makalah Ilmu Dan Dakwah (Beserta Catatan Kaki)

makalah ilmu dakwah

Diunggah oleh

Rafa
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 27

ENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan merupakan produk kegiatan berfikir manusia untuk meningkatkan

kualitas kehidupannya dengan jalan menerapkan ilmu pengetahuan yang dipperoleh. Karena itulah

ilmu pengetahuan akan melahirkan pendekatan baru dalam berbagai penyelidikan. Hal ini

menunjukkan studi tentang keilmuan tidak akan berhenti untuk dikaji bahkan berkembang sesuai

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus pula diakui bahwa sejarah perkembangan ilmu

pengetahuan, tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan

yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka meyakini adanya hubungan antara ilmu

pengetahuan dan filsafat ilmu.

Filsafat ilmu yang dimaksud disini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir

radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali

peran dan fungsi ilmu pengetahua dan teknologi sesuai dengan tujuannya, yakni mengfokuskan diri

terhadap kebahagiaan umat manusia. Dengan demikian kemajuan ilmu pengetahuan selama satu

setengah abad terakhir ini, lebih banyak dari pada selama berabad-abad sebelumnya. Hal ini

dikarenakan semakin berkembanya zaman, semakin berkembang pula sains dan teknologi.1[1].

Fenomena ini merupakan kebangkitan kesadaran manusia untuk mengkaji ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, pada hakikatnya upaya manusia dengan memperoleh pengetahuan


hanya didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni : apa yang ingin diketahui? Bagaimana

memperoleh ilmupengetahuan itu dan apakah nilai atau manfaat pengetahuan itu?.2[2]Ketiga

persoalan ini akan menjadi kajian dalamproses mengetahui ilmu pengetgahuan. Karena ketiga ilmu

pengetahuan diperoleh tanpa memperhatikan apa sebenarya apa yang akan diketahui, Bagaimana

1[1]Harold H. Titus, et. al, The Living Issues of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi dengan Judul
Persoalan-Persoalan Filsafat( Jakarta: Bulan Bintang, 1984 ), h. 254.
2[2]Jujun Surya Sumantri, Ilmu dalam Perspektif ( Cet. IX;Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999)
h. 2.
barusaha untuk mengetahuinya dan bagaimana ilmu pengetahuan itu bermanfaat baik pada diri

sendiri maupun kepada orang lain.

Menyadari akan sangat luasnya uraian tentang ilmu pengetahuan dan kaitannya uraian-

uraian diatas maka peneliti mencoba menyajikannya dalam makalah sederhana ini kiranya dapat

menberikan sedikit banyaknya konstribusi dalam khazanah ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah pada pembahasan kali ini

yaitu bagaimana ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu serta kaitan-kaitan antara keduanya. Adapun

sub-sub rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan ?

2. Bagaimana definisi dan objek telaah filsafat ilmu ?

3. Bagaimana cabang-cabang serta periodisasi perkembangan filsafat ilmu ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Ilmu Pengetahuan

1. Kelahiran, Perkembangan, dan Objek Ilmu Pengetahuan


Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan

bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu

(mater scientiarum).3[3] Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan,

padahal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari

filsafat.

Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini

tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan

3[3]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Cet II; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing

ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang

terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat

adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas

pengalaman kemanusian yang luas.4[4]

Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang

memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan

dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang

berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga

sejalan dengan pengetahuan ilmiah.5[5]

Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber

ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi.

Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral.

Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan

filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah

kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.6[6]

Terdapat prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah

keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga
dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan

mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan

pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan

samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak

4[4]Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:Mizan, 2003), h. 6.


5[5]K.W.Siswomihardjo, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan
Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu dalamFilsafat Ilmu. (Cet. III;
Yogyakarta:Penerbit Liberty, 2003), h. 2.
6[6]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 12.
teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan

pengalaman belaka.7[7]

Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau

menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir

rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai

dengan fakta.

Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong

ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan

adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum

tersusun dengan baik.

1. Objek Ilmu Pengetahuan

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah

pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat

tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang

ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut.

Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu hal yang

diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya

manusia,tumbuhan, batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian.
Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek

materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya

memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang

yang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan

ilmu yang berbeda-beda (Mudhofir, 2005).8[8]

7[7]S. Supriyanto, Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat (Surabaya:
Universitas Air langga, 2003), h. 7.
8[8]A. Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu(Cet.III; Yogyakarta: Penerbit Liberty,
2005), h. 27.
2. Cabang-Cabang Ilmu: Eksakta, Sosial, Humaniora

Ilmu berkembang dengan pesat seiring dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya.

Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang

makin cermat dan seksama menyebabkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi kian

terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni

filsafat alam yang kemudian menjadi dasar ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat

moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences.

Ilmu-ilmu alam (eksakta) pada akhirnya terbagi dalam dua kelompok yakni ilmu alam (the

physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat

yang membentuk alam semesta yang kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa

dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan

ilmu bumi yang mempelajari bumi). Tiap-tiap cabang-cabang pun mencipta ranting-ranting baru

seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan

magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni) dan lain-lain.

Sementara ilmu-ilmu sosial adalah sekelompok disiplin keilmuan yang mempelajari aspek-

aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Disiplin keilmuan yang

tergolong dalam ilmu sosial telah mempelajari hakekat masyarakat dengan perspektif berbeda-

beda. Karena itu terdapat keanekaragaman dalam melihat dan mempelajarinya.


Atas dasar itulah, sebagaimana ilmu alam, ilmu sosial juga memiliki cabang-cabang ilmu

lainnya diantaranya antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat),

psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari manusia

dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari

struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam

kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).9[9]

3. Dasar Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Ilmu

9[9]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cet. XIII; Jakarta: Sinar
Harapan 2000), h. 33.
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu

mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam

jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material

seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.

Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno.

Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu

asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat

(substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif

artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi

ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan

(Supriyanto, 2003).10[10]

Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat

dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung

jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada

masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu

merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak

boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu
pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia

di bumi ini.

Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari

pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Dasar

aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala

keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.

10[10]A. Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu, h. 28.


Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah

mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan

berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada

permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan

mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk

membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika

berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap

lingkungan dan fenomena disekelilingnya.

B. Definisi dan Objek Telaah Filsafat Ilmu

1. Definisi/Pengertian Filsafat Ilmu

Istilah “filsafat” dalam Bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),

philosophy (Inggris), philosophia (Latin), dan philosophie (Jerman, Belanda, Perancis). Semua

istilah itu bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani philein berarti “mencintai”,

sedangkan philos berarti “teman”. Selanjutnya istilah Sophos berarti “bijaksana”, sedangkan

Sophia berarti “kebijaksanaan”.11[11]

Ada dua arti secara etimologik dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah

filsafat mengacu pada asal kata philein dan Sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat
bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal

kataphilos dan Sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan

sebagai kata benda).12[12]

Menurut sejarah, Phytagoras (572-497 SM) adalah orang yang pertama kali memakai kata

philosophia. Ketika beliau ditanya apakah ia sebagai orang yang bijaksana, maka Phytagoras

dengan rendah hati menyebut dirinya sebagai philosophos, yakni pecinta kebijaksanaan (lover of

11[11]AhmadTafsir, Filsafat Ilmu(Bandung: Rosdakarya, 2009), h. 7.


12[12]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, h. 12.
wisdom).13[13] Banyak sumber yang menegaskan bahwa Sophia mengandung arti yang lebih luas

daripada kebijaksanaan. Artinya ada berbagai macam, antara lain: (1) kerajinan, (2) kebenaran

pertama, (3) pengetahuan yang luas, (4) kebajikan intelektual, (5) pertimbangan yang sehat, dan

(6) kecerdasan dalam memutuskan hal-hal praktis. Dengan demikian asal mula kata filsafat itu

sangat umum, yang intinya adalah mencari keutamaan mental (the pursuit of mental

excelence).14[14]

Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya

sebagai berikut:15[15]

a. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya

diterima secara tidak kritis (arti informal)

b. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat

dijunjung tinggi (arti formal)

c. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk

mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi

pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).

Secara etimologi, term “ ilmu “ berasal dari bahasa arab yang terdiri atas tiga huruf yakni

‫م‬ ‫ل‬ ‫(علم ) ع‬mengenal, memberi tanda dan petunjuk.16[16] Ilmu secara
terminologi adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis
menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untu merenungkan gejala-gejala tertentu di

bidang pengetahuan.17[17] Pengertian ini mengidentifikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak

13[13]Liza, Pengantar Filsafat Ilmu, http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal 28 Maret


2015.
14[14]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 8.
15[15]S. Supriyanto,Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat, h. 13.
16[16]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia( edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1997 ), h. 965.
17[17]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia( Cet. IV; Jakarta:
Balai Pustaka, 1990 ), h. 324.
tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara sistematis.

Pengetahuan ( Knowledge ) adalah ilmu yang merupakan hasil produk yang sudah sistematis. Jadi

ilmu bagian dari pengetahuan.

Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat

atau asal-usul. Istilah pengetahuan dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab

(causa) diambil dari kata Yunani “aitia”, yakni prinsip pertama.18[18]

Dua kata yang telah dipaparkan di atas digabung sehingga membentuk istilah baru yaitu

filsafat ilmu. Ada beberapa definisi filsafat ilmu di antaranya:19[19]

a. Robert Ackermann: filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah

dewasa ini dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.

b. Lewis White Beck: filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran

ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

c. Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah

sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan peranggapan-

peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual

d. May Brodbeck: filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan,

dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.

Keempat definisi tersebut memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas di
dalam fisafat ilmu, meliputi antara lain: perbandingan kritis sejarah perkembangan ilmu, sifat dasar

ilmu, metode ilmiah, dan sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Objek Filsafat Ilmu

Objek filsafat ilmu terbagi dua, yaitu objek material dan objek formal.Objek material

atau pokok bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah

disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan

18[18]D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littefield Adams dan Co. Totowa, 1979), h.
196.
19[19]The Liang Gie, Dari Administrasi ke Fisafat (Cet. III; Yogyakarta: Super Sukses, 1982)h. 57-59
kebenarannya secara umum. Di sini terlihat jelas perbedaan yang hakiki antara pengetahuan

dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan itu lebih bersifat umum dan didasarkan atas pengalaman

sehari-hari, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat khusus dengan ciri-

ciri: sistematis, metode ilmiah tertentu,serta dapat diuji kebenarannya.20[20]

Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu

lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti: apa

hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu

pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang dibicarakan dalam landasan

pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistimologis, dan aksiologis.21[21]

3. Cabang-Cabang Filsafat Ilmu

Adapun cabang-cabang filsafat ilmu juga merupakan cabang-cabang utama dari filsafat itu

sendiri, yaitu: metafisika, epistimologi, dan aksiologi.

a. Metafisika

Metafisika adalah filsafat pertama dan bidang filsafat yang paling utama. Metafisika adalah

cabang filsafat yang membahas tentang keberadaan (being) atau eksistensi (existence). Archie J.

Bahm mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu peyelidikan pada masalah perihal

keberadaan.

Istilah metafisika itu sendiri berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan
sesuatu yang ada dibalik atau dibelakang benda-benda fisik. Kendatipun demikian Aristoteles

sendiri tidak memakai istilah metafisika, melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat

pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti

bergerak, berubah, hidup, dan mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran

tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.

Christian Wolff mengklasifikasikan metafisika sebagai berikut:

20[20]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. X; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
h. 44.
21[21]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h. 45.
1) Metafisika umum (ontologi), membicarakan tentang hal “ada”(Being)

2) Metafisika khusus

a) Psikologi; membicarakan tentanng hakikat manusia

b) Kosmologi; membicarakan tentang hakikat atau asal usulalam semesta

c) Theologi; membicarakan tentang hakikat keberadaan Tuhan.

b. Epistimologi

Bidang kedua adalah epistimologi atau teori pengetahuan. Epistimologi berasal dari Bahasa

Yunani episteme dan logos. Epistime artinya pengetahuan (knowledge), logos artinya teori.

Dengan demikian epistimologi secara etimologi berarti teori pengetahuan. Istilah-istilah lain yang

setara dengan epistimologi adalah:

1) Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan.

2) Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai pengetahuan secara kritis

3) Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat ilahiah (gnosis)

4) Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya, sedangkan logika formal lebih

menekankan pada segi bentuknya.

Objek material epistimologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah

hakikat pengetahuan. Setiap filsuf menawarkan aturan yang cermat dan terbatas untuk menguji

berbagai tuntunan lain yang menjadikan seseorang dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap
perangkat aturan harus benar-benar mapan. Sebab definisi tentang kepercayaan dan kebenaran

merupakan problem yang tetap dan terus-menerus ada, sehingga teori pengetahuan tetap

merupakan suatu bidang utama dalam penyelidikan filsafat.

c. Aksiologi

Bidang utama ketiga adalah aksiologi, yang membahas tentang masalah nilai. Istilah

axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga,

sedangkan logos artinya akal, teori.Axiology artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat,

kriteria, dan status metafisik dari nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini
mengedepankan pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan, atau yang lebih dikenal dengan

Summum Bonum (Kebaikan Tertinggi).

4. Perkembangan/Periodisasi Filsafat Ilmu

Perkembangan filsafat ilmu dapat diidentifikasi ke dalam beberapa periode berikut:

a. Periode Pra-Yunani Kuno

Periode ini memliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman.

2) Penegetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap

receptivemind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magis.

3) Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudajh menampakkan perkembangan

pemikiran manusia ke tingkat abstraksi.

4) Kemampuan menulis, berhitung, menulis kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil

abstraksi yang dilakukan.

5) Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah

terjadi. Misalnya: gerhana bulan dan matahari.

b. Zaman Yunani Kuno

Zaman yang dipandang sebagai zaman keemasan filsafat ini memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:
1) Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide pendapatnya

2) Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi, yang dianggap sebagai

bentuk pseudo-rasional

3) Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude

(sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap

yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal

tumbuhnya ilmu pengetahuan modern.

c. Zaman Pertengahan (Middle Age)


Era pertengahan ini ditandai dengan tampilnya para teolog di lapangan ilmu pengetahuan

di belahan dunia Eropa. Para ilmuwan pada masa ini hamper semua adalah teolog, sehingga

aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah

diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyang yang berlaku bagi ilmu pada masa ini

adalah Ancilla Theologia, abdi agama. Namun di Timur terutama Negara-negara Islam justru

terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih

berkutat pada masalah-masalah keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan

penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di

lapangan ilmiah lainnya.

d. Zaman Renaissance (14-17 M)

Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari

dogma-dogma agama. Renaissance ilah zaman peralihan ketika kebudayaan abad Tengah mulai

berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman Renaissance adalah manusia

yang merindukan pemikiran yang bebas, seperti pada zaman Yunani Kuno. Pada zaman

Renaissance manusia disebut sebagai animalrationale, karena pada masa ini pemikiran manusia

mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan (progress) atas hasil usaha

sendiri, tidak didasarkan pada campur tangan ilahi.

e. Zaman Modern (17-19 M)


Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan

ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman Renaissance,

yakni permulaan abad XIV. Benua Eropa dipandang sebagai basis perkembangan ilmu

pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menurut Slamet Iman Santoso

sebenarnya mempunyai tiga sumber, yaitu:

1) Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan Negara-negara Perancis. Para

Pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah yang menyebarkan

ilmu pengetahuan yang diperolehnya itu di lembaga-lembaga pendidikan di Perancis.


2) Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang

peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari

berbagai Negara itu menyadari kemajuan Negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan

pengalaman mereka itu sekembalinya di Negara-negara masing-masing.

3) Pada tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan bangsa Turki, sehingga para pendeta atau sarjana

mengungsi ke Italia tau Negara-negar lain. Mereka ini menjadi pionir-pionir bagi perkembangan

ilmu di Eropa

f. Zaman Kontemporer (Abad 20-sekarang)

Diantara ilmu-ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, maka bidang Fisika

menempati kedudukan yang paling tinggi. Menurut Trout, Fisika dipandang sebagai dasar ilmu

pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam

semesta. Ia juga menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara Fisika dengan filsafat terlihat

dalam duacara. Pertama, diskusi filosofi mengenai metode-metode fisika, dan dalam interaksi

antara pandangan subtansial tentang fisika (misalnya: tentang materi, kuasa, konsep ruang dan

waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisional yang menjawab fenomena tentang materi, kuasa, ruang

dan waktu. Dengan demikian sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dengan

fisika.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam sub-sub sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai

jawaban dari sub-sub rumusan masalah yaitu:

1. Kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan didahului oleh filsafat. Meskipun pada
perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan
filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap

ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain

tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah.

2. Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat

dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan peranggapan-peranggapannya, serta

letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. Sedangkan objek filsafat

ilmu terbagi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material atau pokok bahasan filsafat

ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis

dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

umum. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu

lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan.

3. Cabang-cabang filsafat ilmu juga merupakan cabang-cabang utama dari filsafat itu sendiri, yaitu:

metafisika, epistimologi, dan aksiologi. Perkembangan filsafat ilmu dapat diidentifikasi ke dalam

beberapa periode berikut: Periode Pra-Yunani Kuno, Zaman Yunani Kuno, Zaman Pertengahan

(Middle Age), Zaman Renaissance (14-17 M), Zaman Modern (17-19 M), Zaman Kontemporer

(Abad 20-sekarang).

B. Implikasi dan Saran

Filsafat ilmu menjadi salah satu disiplin ilmu yang mesti dikuasai oleh para pengkaji ilmu
karena ilmu inilah yang akan memberikan gambaran utuh tentang bagaimana ilmu pengetahuan

itu serta seluk beluknya. Mudah-mudahan makalah yang peneliti sajikan setidaknya mampu

memberikan gambaran umum tentang filsafat ilmu, terlepas dari banyaknya kekurangan dan

kekhilafan dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
A. Mudhofir.Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu. Cet. III; Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2005.
D. Runes.Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littefield Adams dan Co. Totowa, 1979.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV; Jakarta: Balai
Pustaka, 1990.
Gie, The Liang.Dari Administrasi ke Fisafat. Cet. III; Yogyakarta: Super Sukses, 1982.
Harold H. Titus, et. al, The Living Issues of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi dengan Judul Persoalan-
Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
K.W. Siswomihardjo, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan
Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu dalam Filsafat Ilmu. Cet.
III; Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003.
Kartanegara, Mulyadhi.Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003.
Liza, Pengantar Filsafat Ilmu, http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal 28 Maret 2015.
Munawwir, Ahmad Warson.Kamus Arab Indonesia. edisi II; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. X; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
S. Supriyanto, Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Universitas
Airlangga 2003.
Sumantri, Jujun Surya.Ilmu dalam Perspektif . Cet. IX; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Sumantri, Jujun Surya. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet. XIII; Jakarta: Sinar Harapan 2000.
Tafsir, Ahmad.Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya, 2009.

22[1]Harold H. Titus, et. al, The Living Issues of Fhilosophy, diter. H. M. Rasyidi dengan
Judul Persoalan-Persoalan Filsafat( Jakarta: Bulan Bintang, 1984 ), h. 254.
23[2]Jujun Surya Sumantri, Ilmu dalam Perspektif ( Cet. IX;Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999) h. 2.
24[3]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Cet II; Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 11.
25[4]Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:Mizan, 2003), h. 6.
26[5]K.W.Siswomihardjo, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran
dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu dalamFilsafat Ilmu.
(Cet. III; Yogyakarta:Penerbit Liberty, 2003), h. 2.
27[6]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 12.
28[7]S. Supriyanto, Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat
(Surabaya: Universitas Air langga, 2003), h. 7.
29[8]A. Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu(Cet.III; Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 2005), h. 27.
30[9]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Cet. XIII; Jakarta:
Sinar Harapan 2000), h. 33.
31[10]A. Mudhofir, Pengenalan Filsafat dalam Filsafat Ilmu, h. 28.
32[11]AhmadTafsir, Filsafat Ilmu(Bandung: Rosdakarya, 2009), h. 7.
33[12]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, h. 12.
34[13]Liza, Pengantar Filsafat Ilmu, http://www.foxitsoftware.com, h. 1. Diakses tanggal
28 Maret 2015.
35[14]A. Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h. 8.
36[15]S. Supriyanto,Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat, h.
13.
37[16]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia( edisi II; Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997 ), h. 965.
38[17]Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia( Cet. IV;
Jakarta: Balai Pustaka, 1990 ), h. 324.
39[18]D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Littefield Adams dan Co. Totowa,
1979), h. 196.
40[19]The Liang Gie, Dari Administrasi ke Fisafat (Cet. III; Yogyakarta: Super Sukses,
1982)h. 57-59
41[20]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. X; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 44.
42[21]Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, h. 45.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lahirnya Ilmu Pengetahuan


Sebelum ilmu pengetahuan muncul, sudah ada teknologi. Manusia sudah mengerti
bagaimana cara menggunakan banyak hal yang bermanfaat, tanpa memahami bagaimana hal itu
terjadi, atau mengapa fenomena alam berlangsung. Ketika manusia mencoba menjelaskan
tentang dunia. Maka biasanya penjelasan itu dikaitkan dengan mitos-mitos dan dewa-dewi yang
wujudnya yang menyerupai manusia. Dengan demikian terjadinya Guntur, kilat, gempa bumi,
dan wwaba penyakit semua itu disebabkan oleh perbuatan dari para dewa-dewi tadi. Mengenai
asal usul dunia pun tidak lepas dari mitos. Mitos-mitos ini sering kali menyebabkan hubungan
kelamin yang dilakukan oleh para dewa sebagaimana antara dewa langit dan dewi laut dalam
rangka menciptakan bumi oleh karena memang begitulah cara manusia dizaman purba untuk
menggambarkan proses terjadinya sesuatu yang baru, yaitu dengan adanya kegiatan prokreasi.
Ilmu pengetahuan bukanlah suatu kegiatan produktifdalam arti dapat segera dipetik hasilnya
dalam bentuk material. Maka mengapa dan bagaimanakah terjadi transisi pemikiran ilmiah ?
Kapan dan dimana transformasi ini telah terjadi merupakan hal yang relative muda untuk
diargumentasikan. Langkah pertama kearah penjelasan ilmiah terjadi di Yunani sekitar 600 SM.
Sebelum itu, bangsa-bangsa babilon dan mesir telah memiliki teknologi yang maju, namun
mereka tidak beranjak dari pemikiran yang penuh mitos. Orang-orang Yunani sangat tertarik
dengan teknologi-teknologi, khususnya dibadang astronomi, geometri, dan kedojteran, dan
mereka pun mulai menghasilkan teori-teori awal mengenai bagaimana dunia ini bekerja secara
alami. Perlu kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan itu diawali dengan mitos-mitos, dua
kebudayaan, kosmos: alam semesta yang ilegan dan kaom stoa: yang aktif dan yang pasif.
Kapan dan dimana ilmu pengetahuan berawal tergantung dari tataaran apa dalam pikiran kita
tentang apakah ilmu pengetahuan itu. Ilmu pengetahuan adalah kegiatan yang lebih canggih
daripada teknologi. Dengan teknologi orang mengetahui bagaimana melakukan sesuatu, atau
kapan sesuatau akan terjadi. Dengan ilmu pengetahuan, seorang memiliki sebuah teori dan suatu
penjelasan mengenai mengapa sesuatu harus terjadi. (Andrew Gregory, 2002: 6)
Rasa ingin tahu merupakan salah satu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sifat tersebut akan
mendorong manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Setiap manusia yang berakal sehat pasti
memiliki pengetahuan, baik berupa fakta, konsep, maupun prinsip. Pengetahuan dapat dimiliki
berkat adanya pengalaman atau melalui interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Salah
satu bentuk pengetahuan yang dimiliki manusia adalah pengetahuan ilmiah yang sering disebut
ilmu. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, namun tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.
Ilmu adalah pengetahuan yang disusun secara sistematis dan logis yang didasari oleh dua teori
kebenaran yaitu teori korespondensi dan koherensi.
B. Kriteria Ilmiah
Jika metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah . maka
metode tersebut harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Berdasarkan fakta: keterangan yang diperoleh dalam penelitian haruslah
berdasarkan fakta-fakta yang nyata
2. Bebas dari prasangka: artinya bersih dan jauh dari pertimbangan subjektif
3. Menggunakan prinsip analisis: s e m u a m a s a l a h h a r u s d i c a r i s e b a b - s e b a b n ya s e r t a
p e m e c a h a n n ya d e n g a n menggunakan analisis yang logis
4. Menggunakan hipotesis: hipotesis harus ada untuk mengumpulkan persoalan hingga
hasilnya akan mengenai sasaran
5. Menggunakan ukuran objektif: penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran objektif,
pertimbangan yang dibuat secara objektif.
Hasil berpikir ilmiah yang melandasi penelitian ilmiah melahirkan karya ilmiah. Sebuah karya
dapat dikategotrikan sebagai karya ilmiah, jika memenuhi persyarataan sebagai berikut: (Mahi M.
Hikmat, 2011: 12)
1. Penyajian fakta, untuk memperoleh fakta diperlukan data. Data adalah bahan-bahan yang dapat
dijadikan objek penelitian.
2. Bersifat sistematis, sebuah karya ilmiah harus dikerjakan berdasarkan urutan kaidah yang berlaku.
3. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain syarat, sebuah karya tulis dapat disebut karya ilmiah jika memenuhi ciri-ciri sebagai
berikut: (Mahi M. Hikmat, 2011: 12)
1. Adanya fakta yang logis
Fakta sebagaimana yang diungkapkan pada syarat karya ilmiaah, harus juga memenuhi syarat
logis, dapat diterima akal sehat.
2. Diungkapkan secara empiris dan objektif
Karya ilmiah diungkapkan berdasarkan pengalaaman peneliti selama melakukan penelitian dengan
berbagai perangkat ilmiah lainnya.
3. Telaahnya bersifat akurat ddan seksaama
Keakuratan adalah bagian dari langkah yang akan mendekati kebenaran.
4. Bersifat ekplisit
Sebuah karya ilmiah haruss jelas, artinya sebuah karya ilmiah harus dapat dipahami oleh semua
pihak.
C. Sikap Ilmiah
Para penulis karangan ilmiah sudah sepatutnya memiliki sikap-sikap ilmiah agar karyanya
dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada masyarakat maupun kepada dirinya sendiri. Orang
yang berjiwa ilmiah adalah orang yang memiliki berbagai macam sikap ilmiah, diantaranya: (E.
Zaenal Arifin, 1990: 4)
1. Sikap Ingin Tahu: apabila menghadapi suatu masalah yang baru dikenalnya, maka ia
beruasaha mengetahuinya, senang mengajukan pertanyaan tentang obyek dan peristiea,
kebiasaan menggunakan alat indera sebanyak mungkin untuk menyelidiki suatu masalah,
memperlihatkan gairah dan kesungguhan dalam menyelesaikan eksprimen.
2. Sikap Kritis: Tidak langsung begitu saja menerima kesimpulan tanpa ada bukti yang kuat,
kebiasaan menggunakan bukti-bukti pada waktu menarik kesimpulan, tidak merasa paling benar
yang harus diikuti oleh orang lain, bersedia mengubah pendapatnya berdasarkan bukti-bukti yang
kuat.
3. Sikap obyektif : Melihat sesuatu sebagaimana adanya obyek itu, menjauhkan bias pribadi dan
tidak dikuasai oleh pikirannya sendiri. Dengan kata lain mereka dapat mengatakan secara jujur
dan menjauhkan kepentingan dirinya sebagai subjek atau menyatakan apa adanya tanpa
didampingi oleh perasaan pribadi.
4. Sikap ingin menemukan: Selalu memberikan saran-saran untuk eksprimen baru; kebiasaan
menggunakan eksprimen-eksprimen dengan cara yang baik dan konstruktif, selalu memberikan
konsultasi yang baru dari pengamatan yang dilakukannya.
5. Sikap menghargai karya orang lain: Tidak akan mengakui dan memandang karya orang lain
sebagai karyanya, menerima kebenaran ilmiah walaupun ditemukan oleh orang atau bangsa lain.
6. Sikap tekun: Tidak bosan mengadakan penyelidikan, bersedia mengulangi eksprimen yang
hasilnya meragukan tidak akan berhenti melakukan kegiatan-kegiatan apabila belum selesai
terhadap hal-hal yang ingin diketahuinya ia berusaha bekerja dengan teliti.
7. Sikap terbuka: Bersedia mendengarkan argumen orang lain sekalipun berbeda dengan apa
yang diketahuinya bukan menerima kritikan dan respon negatif terhadap pendapatnya.
8. Sikap futuristik: Sikap menjangkau kedepan, yaitu berpandangan jauh, mampu membuat
hipotesis dan membuktikannyaa, bahkan mampu menyusun suatu teori baru.
Adapun sikap ilmiah yang diungkapkan dalam buku lain menuliskan bahwa setiap orang yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan terkondisi untuk memiliki sikap ilmiah diantaranya
(Tasmuji, dkk., 2012: 22):
1. Mencintai kebenaran yang objektif dan berrsikap adil
2. Menyadari bahwa kebenaraan ilmu tidak absolute
3. Tidak percaya pada takhaayul
4. Ingin yahu lebih banyak
5. Tidak berpikir secara prasangka
6. Tidak mudah percaya begitu saja pada suatu kesimpulan tanpa bukti nyata
7. Optimis, teliti dan berani menyatakan kesimpulan yang menurut ilmiahnya benar
Berpikir ilmiah atau tidaknya seseorang atau kelompok dapat dilihat dari sikap mereka. Sikap
ilmiah menurut Garna (2000) adalah sikap yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang, teruama
ilmuan dalam melakukan tugas meraka untuk mempelajari, meneruskan, menolak ataupun
menerima serta mengubah dan menambah ilmu pengetahuan. Sikap ilmiah yang dimaksud
diantaranya: (Mahi M. Hikmat, 2011: 10)
1. Objektif
2. Relatif
3. Skeptik
4. Kesabaran Intelektual
5. Kesederhanaan
6. Tidak memihak kepada etika
Dari definisi sikap diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan reaksi kesiapan untuk
tindakan seorang ilmuan untuk menghadapi persoalan ilmiah.
D. Metode dan Implementasinya
1. Pengertian Metode Ilmiah
Menurut beberapa ahli Metode ilmiah diantaranya Almack (1939) mengemukakan metode
ilmiah adalah cara menerapkan prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan
penemuan, selain itu, Ostlhele (1975) menyatakan pula bahwa metode ilmiah adalah pengejaran
terhadap sesuatu untuk memperoleh suatu interelasi.
Metode Ilmiah merupakan cara menerapkan prinsip logis/ proses keilmuan dalam sebuah
teori Ilmiah. Metode ilmiah adalah proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara
sistematis berdasarkan bukti fisis. Bukti fisis maksudnya ilmuan melakukan pengamatan serta
membentuk hipotesis dalam usahanya menjelaskan fenomena alam, Prediksi yang di buat
berdasarkan hipotesis tersebut di uji dengan cara eksperimen. Jika hipotesis lolos uji berkali-kali,
hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori Ilmiah.
Korespondensi dan koherensi mendasari bagaimana ilmu diperoleh dan melahirkan cara
mendapatkan kebenaran ilmiah tersebut. Proses untuk mendapatkan ilmu agar memiliki nilai
kebenaran harus dilandasi oleh cara berpikir rasional berdasarkan logika dan berpikir empiris
berdasarkan fakta. Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah melalui suatu penelitian.
Dari berbagai macam definisi metode ilmiah dapat kita simpulkan bahwa metode ilmiah
merupakan proses keilmuan dengan cara menerapkan prinsip logis berdasarkan bukti fasis untuk
memperoleh interelasi atau kesimpulan berupa teori ilmiah.
Penelitian sebagai upaya memperoleh kebenaran harus didasari oleh proses berpikir ilmiah
yang dituangkan dalam metode ilmiah. Seperti yang dijelaskan diatas, sama halnya dengan
pengertian berikut bahwa metode ilmiah adalah kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan
ilmiah. Selain pengertian dari metode itu sendiri, ada dua unsur penting yang dilakukan dalam
penelitian yaitu pengamatan dan penalaran. Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa
apabila suatu pernyataan ingin diterima sebagai suatu kebenaran, maka pernyataan tersebut harus
dapat diverifikasi atau diuji kebenarannya secara empiris (berdasarkan fakta). Intinya dari
beberapa penjabaran diatas mengenai pentingnya data yang empiris dalam penelitian tersebut,
peneliti harus melakukan penelitian yang dapat diuji kebenarannya.
Metode penelitian dapat disepadankan dengan cara; cara melakukan penelitian. Penentuan
metode dalam penelitian adalah langkah yang sangat penting karena dapat menentukan berhasil
tidaknya sebuah penelitian. Ketetapan menggunakan metode penelitian adalah tinakan yang
harus dilakukan oleh seorang peneliti jikamenginginkan penelitiannya dapat menjawab masalah
dan menemukan kebenaran. Dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa sebenarnya metode
penelitian yang berkembang pun ada dua sebagaimana pendekatan penelitian. Pendekatan
objektif melahirkan penelitian kuantitatif dan pendekatan subjektif melahirkan penelitian
kualitatif. Oleh karena itu, penelitian yang ada dalam ranah ilmu adalah penelitian kuantitatif dan
kualitatif. (Mahi M. Ahmad, 2011: 36).
2. Langkah-langkah Metode Ilmiah
Adapun langkah-langkah operasional metode ilmiah adalah sebagai berikut :
a. Perumusan masalah, yang dimaksud dengan masalah di sini adalah pernyataan apa, mengapa,
ataupun bagaimana tentang objek yang diteliti.
b. Penyusunan hipotesis yang dimaksud dengan hipotesis adalah suatu pernyataan yang
menunjukkan kemungkinan jawaban untuk memecahkan masalah yang telah ditetapkan. Dengan
kata lain, hipotesis merupakan dugaan yang tentu saja didukung oleh pengetahuan yang ada.
c. Pengujian hipotesis yaitu berbagai usaha pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis
yang telah diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis
tersebut atau tidak.
d. Penarikan kesimpulan penarikan kesimpulan ini didasarkan atas penilaian- penilaian analisis dari
fakta (data) untuk melihat apakah hipotesis yang diajukan itu diterima tau tidak? Hipotesis dapat
diterima bila fakta yang terkumpul itu mendukung pernyataan hipotesis. Bila fakta tidak
mendukung maka hipotesis itu ditolak.
Keseluruhan langkah tersebut harus ditempuh melalui urutan yang teratur, langkah yang satu
merupakan landasan bagi langkah berikutnya. Dari keterangan-keteranagan tersebut dapat
disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang disusun secara sistematis,
berlaku umum dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam penelitian ada beberapa
metode khusus yang digunakan yaitu usul tesis, desain penelitian, hipotesis, validitas, sampling,
populasi, observasi, wawancara dan angket (S.Nasution, 1996: 38). Selain dari metode khusus
tersebut adapula kontrol metodologi yang mana pada umumnya dilakukan melalui dua prosedur
yang bergaantung pada prinsip pengacahan, yakni yang pertama random sampling, iaalah
menggunakan subjek dipilih secara ”acak” dari kumpulan subjek potensial sehingga masing-
masing aanggota populasi mempunyai kesmpatan yang sama utuk dipilih. Yang kedua randomisasi
ialah menugasi subjek pada kelompok-kelompok atau situasi-situasi eksperimental sedemikian
rupa sehinggaa masing-masing subjek memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih begi masin-
masing kondisi (Hartono, 2006: 79).
Untuk mencapai kebenaran, yaitu kesesuaian antara pengetahuan itu sendiri dengan faktanya,
maka dibutuhkan suatu metode atau cara yang tepat. Metode ini disebut metode ilmiah, dengan
metode ini akan dihasilkan suatu pengetahuan yang bersifat sistematis, objektif dn berlaku secara
universal. (Tasmuji, 2012: 19)
Adapun Langkah untuk melakukan tahapan aatau metode ilmiah:
1. Penentuan Masalah dan Perumusan Masalah
Dalam kehidupan kita sehari-hari acapkali menemukan berbagai masalah, dan masalah tersebut
perlu dirumuskan sehingga dapat dianalisi secara logis kemudian dapat dipecahkan.
2. Hipotesis
Hipotesis semacam kerangka pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antaara unsur-
unsur yang membentuk suatu kerangka masalah. Kerangka pemikiran sementara ini selanjutnyaa
disusun secara deduktif berdasarkan premis-premis atau pengetahuan yang telah diketahui
keebenarannya.
3. Pengujian Hipotesis
Dalam pengujian hipotesis merupakan langkah untuk mengumpulkan faakta-fakta yang relevan
dengan dedukasi hipotesis. Jika fakta-fakta yang ada sesuai dengan konsekuensi hipotesis, artinya
hipotesis yang diajukan adalah benar karena didukung oleh fakta. Dan berlaku sebaliknya jikaa
fakta-fakta yang ada tidak sesuai dengan hipotesis itu ditolak.
Metode Ilmiah dan Sikap Ilmiah merupakan 2 aspek yang saling berhubungan dalam proses
terbentuknya teori ilmiah, karena sikap ilmiah merupakan hal yang mendukung peneliti
menganalisis persoalan ilmiah dan Metode Ilmiah merupakan proses yang dilakukan oleh peneliti
untuk memecahkan persoalan ilmiah yang dihadapi sehingga terciptalah teori ilmiah.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penulisan makalah ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Proses lahirnya ilmu pengetahuan diawali dengan mitos-mitos, adanya dua kebudayaan,
kosmos: alam semesta yang ilegan dan kaom stoa: yang aktif dan yang pasif.
2. Sikap dan kriteria ilmiah yang benar adalah tindakan seorang ilmuan untuk menghadapi
persoalan ilmiah, adapun sikapnya meliputi sikap ingin tahu, kritis, objektif, ingin
menemukan, menghargai karya orang lain, tekun, terbuka dan futuristic. Sedangkan
kriterianya yaitu Berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip analisis,
menggunakan hipotesis dan menggunakan ukuran objektif.
3. Metode ilmiah adalah proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis
berdasarkan bukti fisis. Cara pengimplikasiannya dengan beberapa langkah yaitu
perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
B. Saran
Berdasarkan isi makalah ini, penulis menyarankan agar dalam metode ilmiah dan
tahapan-tahapan dalam metode ini, dapat kita pergunakan sebagai bekal dalam penelitian
yang akan kita gunakan kelak untuk menyelesaikan sarjana atau apapun itu. Tampaknya
dengan perkembangan alam pikiran yang semakin luas, manusia tidak akan berhenti
berpikir dan mencari tahu tentang suatu kebenaran, sehingga pembuktian ilmiah sangat
diperlukan untuk membuktikan keingintahuan manusia akan kebenaran tersebut, oleh
karena itu, ilmu dan metode keilmuan ini sangat diperlukan dalam perkembangan zaman
seperti saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, E. Zaenal. Penulisan Karangan Ilmiah dengan Bahasa Indonesia yang benar.
Jakarta: PT. Mediyatama Saranaa Perkasa. 1990.

Gregory, Andrew. EUREKA! Lahirnya Ilmu Pengetahuan. Yogjakarta: Jendela. 2002.

Hartono. Bagaimana Menulis Tesis ?. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.


2006.

M. Hikmat, Mahi. Metode Penelitian dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra.

Yogjakarta: Graha Ilmu. 2011.

Nasution, S. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. 1996.

Tasmuji, dkk.. Ilmu Alamiah Dasar (IAD), Ilmu Sosial Dasar (ISD), Ilmu Budaya Dasar
(IBD). Surabaya: IAIN Sunan Ampel. 2012.

Anda mungkin juga menyukai