Pembenihan Udang

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lobster laut (Panulirus spp.) merupakan salah satu komoditas unggul
perikanan yang telah mengalami penurunan populasi. Penurunan populasi ini
dapat dilihat dari rendahnya bobot lobster yang tertangkap dari alam. Di perairan
pantai selatan Yogyakarta, banyak lobster yang tertangkap dengan berat kurang
dari 200 g/ekor. Jika tidak ada penanganan yang serius, maka dikhawatirkan
jumlah populasi Panulirus spp. akan terus menurun.
Lobster laut merupakan salah satusumber daya hayati kelautan
yang penting, baik secara lokal maupun global. Lobster merupakan bahan
makanan populer yang memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga banyak dicari dan
ditangkap secara global. Berdasarkan data statistik jumlah tangkapan lobster
didunia yang dipublikasikan oleh FAO,untuk tahun 1988 jumlah lobster
yangditangkap secara keseluruhan mencapai 205.000 ton. Dalam kurun waktu
21tahun, jumlah tangkapan lobster di dunia mengalami peningkatan yang
signifika nhingga mencapai 25%. Pada tahun
2009, jumlah tangkapan lobster di dunia mencapai 256.120 ton (FAO, 2011). Data
tersebut menunjukkan bahwa tingginya permintaan dan minat terhadap lobster
laut.
Lobster laut (Panulirus sp.) atau udang barong merupakan salah satu
komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Komoditas ini tidak
asing dikalangan masyarakat penggemar makanan laut (sea food). Lobster
terkenal dengan dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan lezat. Jika
dibandingkan dengan udang jenis lainnya, lobster memang jauh lebih enak. Tidak
salah jika makanan ini merupakan makanan yang bergengsi yang hanya disajikan
di restoran-restoran besar dan hotel-hotel berbintang. Karena harganya yang
mahal, lobster biasanya hanya dikonsumsi oleh kalangan ekonomi atas.

1.2. Rumusan Masalah


1. Menjelaskan Biologi Lobster Laut (Panulirus sp.)
2. Menjlaskan Teknik Pembenihan Lobster Laut (Panulirus sp.)

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui aspek Biologi Lobster Laut
2. Untuk mengetahui Teknik pembenihan Lobster laut

BAB 2
PEMBAHASAN

1|Page
2.1. Biologis Lobster Laut (Panulirus sp.)

Gambar 1. Lobster laut (Panilirus sp.)

Lobster laut termasuk dalam family palinuridae. Sistematika lobster telah


banyak diungkapkan oleh banyak peneliti, meskipun terdapat berbagai
perbedaan. Klasifikasi yang dibuat oleh Latreille (1806) dalam Borradaille (1907)
membagi ordo decapoda kedalam dua subordo, yaitu macrura dan brachyura.
Pembagian ini didasarkan atas kondisi (letak) abdomen. Namun, pembagian ini
memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, H. Milne Edward (1834) dalam
borradaille (1907) menambahkan satu subordo lagi yaitu Anuora. Namun
pembagian ini dirasa masih memiliki kekurangan, sehingga ditambahkan Boas
(1880) dalam Borradaille (1907) mengusulkan dua subordo yang diberi nama
reptantia dan naptantia. Lobster dimasukkan kedalam ordo reptantia, sedangkan
udang dimasukkan kedalam ordo naptantia.
Oleh Waterman dan Chace (1960) dalam moosa M.K dan Aswandy I.
(1984), klasifikasi lobster dijelaskan sebagai berikut :
Super kelas : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Reptantia
Superfamili : Scyllaridae
Famili : Palinuridae
Genus : panulirus
Spesies : Panulirus homarus, P. Penicillatus, P. Longipes, P.versicolor,
P.ornatus, P. poliphagus.

Lobster sering kali disebut dengan spiny lobster. Diindonesia, selain


dikenal sebagai udang barong atau udang karang, lobster juga memiliki berbagai
nama daerah. Beberapa diantaranya adalah urang takka (makasar),

2|Page
koloura (kendari), loppa (bone), hurang karang (sunda), udang puyuh (padang),
dan lain-lain.

2.2. Morfologi Lobster Jantan dan Betina

Gambar 2. Morfologi Lobster Jantan (kiri) dan Betina (kanan)

a. Lobster Jantan

Menurut Prayugo dan Agung (2007), siri sekunder lobster jantan sebagai berikut.

 Pada jantan kaki jalannya semua sama., pada ujungnya terdapat kuku yang
runcing

 Capit lobster jantan ukurannya 2 – 3 kali panjang buku pertama

 Warna tubuh lobster jantan lebih cerah dari betina

 Gonopre terletak pada kaki jalan kelima. Berbentuk lanci[ dan menonjol
keluar

b. Lobster Betina

Menurut Prayugo dan Agung (2007), ciri sekunder lobster betina yaitu,

 Ukuran tubuh lebih kecil dari jantan

 Pada kaki jalan induk betina terdapat lubang bulat pada kaki ketiga

 Capitnya berukuran sama atau 1,5 kali dari buku pertama

3|Page
 Warna tubuh betina tidak terlalu cerah dari jantan

 Gonopore pada lobster betina terdapat pada kaki jalan ketiga yang
berbentuk dua lancipan.

2.3. Sistem Reproduksi Lobster

Lobster memiliki siklus hidup yang kompleks. Siklus hidup lobster


mengalami beberapa tingkatan yang berbeda pada tiap jenis. Lobster termasuk
binatang yang mengasuh anaknya walaupun hanya sementara. Menurut Subani
(1978), sistem pembuahan lobster terjadi di luar badan induknya (external
fertilization). Indung telur nya berupa sepasang kantong memanjang terletak
mulai dari belakang perut (stomach) dibawah jantung (pericarduim) yang
dihubungkan keluar oleh suatu pipa peneluran (oviduct) dan bermuara di dasar
kaki jalannya yang ketiga.

Gambar 3. Siklus Hidup Lobster Laut (Panulirus sp.)

Lobster betina yang sedang bertelut melindungi telurnya dengan cara


meletakkan atau menempelkan butir-butir telurnya dibagian bawah badan
(abdomen) sampai telur menetas. Telur yang telah dibuahai menetas menjadi larve
dengan beberapa tingkatan (stadium). Secara umum tedapat tiga tahapan larva
yaitu nauplisoma, filosaoma dan peurulus. Perubahan dari satu stadia ke stadia
berikutnya selalu terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan bentuk
(metamorpose). Pada stadia filosoma yaitu pada bagian pergantian kulit terakhir,
terjadi stadia baru yang bentuknya sudah mirip lobster dewasa wlalupun kulitnya
belum mengeras atau belum mengandung zat kapur.
Menurut Moosa dan Aswandy (1984), ukuran panjang total lobster jantan
dewasa kurang lebih 20 cm, dan betina kurang lebih 16 cm, sedangkan umur
pertama kali matang gonad yaitu ditaksir antara 5 tahun – 8 tahun. Pada waktu
pemijahan lobster mengeluarkan sperma (spermatoforik) dan meletakkannya di

4|Page
bagian dada (sternum) betina mulai dari belakang celah genital (muara oviduct)
sampai ujung belakang sternum.
Peletakan spermatoforik ini terjadi sebelum beberapa saat peneluran
terjadi. Masa spermatoforik yang baru saja dikeluarkan sifatnya lunak, jernih dan
kemudian agak mengeras dan warna agak menghitam dan membentuk selaput
pembungkus bagian luar atau semacam kantong sperma.
Pembuahan terjadi setelah telur-telur dikeluarkan dan ditarik kearah
abdomen yaitu dengan cara merobek selaput pembungkus oleh betina dengan
menggunakan cakar (kuku) yang berupa capit terdapat pada ujung pasangan kaki
jalannya. Lobster yang sedang bertelur melindungi telurnya dengan cara
meletakkan atau menempelkan dibagian bawah dada (abdomen) sampai telur
tersebut dibuahi dan menetas menjadi larva atau biasa disebut burayak atau
tumpayak (Moosa dan Aswandy, 1984). Menurut Hasrun (1996), lobster betina
kadang-kadang dapat membawa telur antara 10.000 -100.000 butir, sedangkan
pada jenis-jenis yang besar bisa mencapai 500.000 hingga jutaan telur. Banyak
sedikitnya jumlah telur tergantung dari ukuran lobster air laut tersebut.
Menurut Prisdiminggo (2002), lobster mempunyai periode pemijahan yang
panjang puncaknya pada bulan November sampai Desember. Setiap individu
hanya sekali memijah setahun. Tetapi pada musim perkembangbiakan, lobster
dapat melakukannya lebih dari satu kali pemijahan. Waktu pemijahan sangat
berhubungan dengan temperatur.

2.4. Teknik Pembenihan Lobster Laut


Intensitas penangkapan lobster yang tinggi telah menimbulkan tekanan
terhadap populasinya di alam. Selain itu, usaha penangkapan lobster seringkali
dilakukan dengan cara dan alat atau bahan yang tidak ramah lingkungan sehingga
menimbulkan kerusakan pada habitat lobster dan lingkungan. Kondisi ini jika
berlangsung-terus menerus maka populasi lobster di alam akan semakin terancam
kelestariannya.

A. Persiapan
Persiapan yang harus diperhatikan ketika ingin memulai pembenihan
adalah sarana dan prasarana pembenihan harus higienis, siap pakai, dan bebas dari
bahan cemaran yang dapat mengakibatkan kegagalan proses pembenihan.
Beberapa hal yang harus dilakukan seperti:
 Pembersihan bak yang akan digunakan dengan menggunakan deterjen dan
dikeringkan selama 2-3 hari.
 Pembersiahan bak pembenihan jua dapat dilakukan dengan cara membasuh
bagian dalam bak dengan kain yang telah dicelupkan kedalam larutan
desinfektan, misalnya klorin dengan dosis 150 ppm atau formalin dengan
dosis 50 ppm. Setelah dibasuh, didiamkan selam 1-2 jam, dan selanjutnya
dinetralkan dengan larutan natrium tiosulfat 50 ppm.

5|Page
 Batu dan selang aerasi pun perlu dibersihkan. Batu dan selang aerasi yang
telah bersih dipasang pada bak pembenihan dengan kepadatan minimal dua
buah batu aerasi/m2.

B. Pemeliharaan Induk
Induk dipelihara dalam bak semen atau fiberglass yang ditempatkan dalam
ruangan agar air bak pemeliharaan bebas dari pengaruh sinar matahari langsung
dan air hujan. Pada prinsipnya, pemeliharaan induk lobster bertujuan untuk
menghasilkan induk-induk lobster yang layak untuk dipijahkan, ditandai dengan
kematangan gonad induk tersebut . induk lobster jantan yang telah matang gonad
berwarna lebih terang daripada biasanya, dengan panjang carapace mencapai
32,65-55,00 mm. pemeliharaan induk lobster jantan sebaiknya dilakukan secara
terpisah dengan induk betina agar tidak terjadi pemijahan maling.
Pematangan gonad dapat dirangsang melalui pengelolaan dan pemilihan
jenis pakan. Biasanya, lobster menyukai pakan alami berupa ikan,udang,keong,
dan kerang-kerangan dalam bentuk segar. Pakan diberikan secaraad
libitum (sesuai dengan kebutuhan) dengan frekuensi pemberian tiga kali sehari.
Dengan pengelolaan dan pemilihan jenis pakan yang baik, diharapkan lobster
dapat matang gonad dan dapat memijah secara alami sehingga tidak perlu
dilakukan pemijahan buatan (ablasi mata).

C. Pemijahan
Pemijahan merupakan kegiatan mempertemukan induk jantan dan betina
agar dapat kawin dan menghasilkan telur. Untuk memperlancar proses pemijahan,
sebaiknya salinitas air bak pemijahan dipertahankan 25-45%. Pada umumnya,
lobster akan memijah 3-6 jam setelah proses moulting selesai. Lobster jantan yang
sedang birahi akan menarik lobster betina sambil mengeluarkan sejenis zat yang
berfungsi untuk melindungi betina dari serangan lobster lain. Selanjutnya, lobster
jantan membersihkan kotoran yang melekat pada bagian perut dan dada lobster
betina dan membantu membalikkan tubuhnya. Kemudian, lobster jantan akan
mengangkat kaki jalan dan memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin lobster
betina untuk meyemprotkan sperma. Proses ini biasanya berlangsung selama 30
menit.
Setelah pemijahan, telur-telur yang berada didalam bagian perut lobster
betina akan mengalami beberapa kali pembelahan sel. Biasanya, induk betina
yang membawa telur disebut “betina berry”. Pembelahan pertama terjadi lima jam
setelah pemijahan. Pembelahan kedua, ketiga, keempat, masing-masing terjadi
1,3, dan 4 jam setelah pembelahan pertama. Selanjutnya, pembelahan berlangsung
setiap dua jam sekali dan selesai 30 jam kemudian.
Setelah 30 jam, lobster betina akan mengeluarkan telur-telur yang telah
dibuahi. Satu kali peneluran memerlukan waktu 30 menit. Telur akan keluar
melalui carapace setelah melalui perut dan lubang kelamin pada saat keluar dari
dalam tubuh lobster betina, telur-telur tersebut diletakkan dibawah perut, melekat

6|Page
pada bulu-bulu ang terdapat pada ummbai-umbai kaki renang. Pada saat inilah
telur lobster harus segera dipindahkan kebak penetasan untuk ditetaskan .tiga
minggu kemudian, telur-telur yang tidak dibuahi akan keuar dengan sendirinya
dari alat kelamin lobster betina.

D. Penetasan
Pada hari ketiga setelah telur dikeluarkan, tali embrio menbesar menjadi
daun embrio. Pada hari keempat dari daun embrio akan tumbuh perut embrio.
Pada hari kelima mulai tumbuh kaki tambahan, kaki jalan, ekor, dan bulu-bulu
halus. Pada hari kedelapan, dasar mata berubah menjadi sel mata (titik hitam) dan
ujung kaki tambahan ditumbuhi bulu-bulu halus. Pada hari kesembilan, dasar
cangkang kepala menjadi transparan dan oragan-oragan pernapasan, pencernaan,
dan pembuangan mulai terbentuk. Pada hari kedua belas, kaki tambahan
bertambah panjang dan oragan-organ baru mulai terbentuk. Pada hari kudua puluh
, telur menetas menjadi naupli loster yang sering disebut nauplisoma. Biasanya,
fase nauplisoma hanya berlangsung beberapa jam, kemudian berganti kulit
menjadi fase filosoma. Dua hari kemudian, filosoma mulai mencari pakan alami
yang berupa rotifera.
Larva yang baru berganti kulit menjadi filosoma berwarna merah,
kemudian berubah menjadi transparan. Didalam air, filosom sulit dibedakan
dengan tumbuhan air karena berbentuk mirip daun. Namun, apabila diperhatikan
secara cermat, ternyata filosoma ini sudah mempunyai bulu-bulu halus berbentuk
kupu-kupu. Selain itu, tulangnya masih lembek dan kerangka luarnya masih
belum mengandung zat kapur.

E. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva bertujuan untuk memelihara larva yang baru menetas
hingga mejadi lobster muda yang berukuran sekitar 7-10 cm. Kegiatan
pemeliharaan larva biasanya mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Pada fase larva, lobster sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan, baik suhu dan salinitas maupun jenis, kualitas,
dan kuantitas pakan yang diberikan.
Sebaiknya larva yang berasal dari induk yang berbeda tidak dipelihara
dalam satu wadah karena kedua kelompok larva tersebut akan mengalami proses
bergati kulit (moulting) pada waktu yang berbeda. Hal ini dapat menyebabkan
tingginya tingkat kematian (mortalitas) akibat terjadinya kanibalisme (saling
memangsa) diantara larva yang dipelihara. Selain itu agar larva dapat tumbuh
dengan cepat, kualitas air harus selu dijaga dan dipertahankan pada kondisi
optimal.

a. Penebaran Nauplisoma

7|Page
Telur yang telah menjadi nauplisoma dapat dipindahkan kedalam bak
pemeliharaan larva dengan menggunakan ember atau Waskom. Disarankan agar
nauplisoma dipindahkan bersama dengan air medianya untuk mencegah tingginya
tingkat kematian larva paada saat pemindahan larva harus dilakukan dengan hati-
hati dan secepatnya untuk menghindari stress akibat kepadatan larva yang tinggi
dalam bak penetasan.
Pengambilan nauplisoma dari bak penetasan dilakukan dengan cara
mematikan aerasi terlebih dahulu, kemudian nauplisoma diambil dengan hati-hati
menggunakan gayung bersama-sama masa air. Larva ditampung didalam ember
atau wasskom yang dilengkapi aerasi lemah telebih dahulu, kemudian dipindah ke
bak pemeliharan larva.
Penebaran larva sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari karena suhu
masih relative rendah ataupun disesuaikan dengan waktu penetasan telur. Padat
penebaran larva lobster berkisar antara 10-30 ekor/liter air. Selama pemeliharaan;
diusahakan agar air dalam bak pemeliharaa tetap bersih dan jernih dengan
salinitas 31-33 ppt.

b. Pemberian Pakan
Larva lobster membtuhkan pakan dalam jumlah tertentu untuk menunjang
aktivitas dan pertumbuhannya. Jenis pakan yang dikonsumsi bervariasi,
tergantung pada stadium dan ukuran larva. Pada umunya, pada fase larva lobster
cenderung menyukai pakan alami yang berupa rotivera. Dengan kepadatan
dipertahankan antara 10-15 ekor/ml. larva yang baru menetas masih mempunyai
cadangan makanan didalam tubuhnya, berupa kuning telur. Kuning telur tersebut
akan habis pada hari kedua setelah penetsan. Dengan demikian, pemberian pakan
pertama kali dilakukan pada hari kedua setelah penetasan.
Sejalan dengan perkembangan larva, kebutuhan pakan semakin meningkat.
Untuk melengkapi nutrisi, terutama protein ang tidak terdapat dalam rotifer selain
itu, dapat digunakan pakan buatan breupa flakes seperti yang biasa digunakan
dalam pembenihan udang windu. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari yaitu
pada pagi, siang, dan malam hari.

F. Perkembangan Larva
Selama pemeliharaan larva akan mengalami pergantian kulit yaitu, dari
stadium nauplisoma, filosoma, perurilla, hingga mencapai stadium lobster muda.
Telur yang baru menetas. Kualitas air harus dijaga agar fluktuasi suhu dan
salinitas tidak terlalu tinggi. Fluktuasi suhu dan salinitas yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan lobster sulit berganti kulit dan dengan demikian terhambat
pertumbuhannya.
Pada stadium nauplisoma, nilai pH media pemeliharaan lobster
dipertahankan 9,2 dengan cara menambahkan NaOH kedalam air. Selama larva
berumur kurang dari sebulan, diusahakan agar tidak dilakukan pergantian air

8|Page
karena larva masih sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan media
tumbuhnya.
Pergantian air dapat dilakukan setelah larva berumur sebulan, yakni
dengan mengganti 10% dari volume air keseluruhannya. Untuk mencegah
fluktuasi suhu dan salinitas yang terlalu tinggi, pergantian air dilakukan dengan
system air mengalir(sirkulasi).
Banyaknya air yang digantidapat ditngkatkan setelah larva menginjak
stadium filosoma, yakni 25% dari volume air keseluruhan, sedangkan pada tingkat
perurilla sebanyak 30%. Pergantian air diatur sedemikian rupa sehinggakondisi air
dapat dipertahankan pada kisaran suhu 28-32oC dan salinitas 25-30 ppt.

G. Panen Lobster
Dalam Pembenihan lobster di panan jika lobster sudah memiliki berat 5-10
gram/ekor. Benih lobster tersebut sudah siap ditebar untuk pembesaran dan
dipelihara selama kurang lebih 8 bulan.
Udang karang atau lobster hasil budidaya dipasarkan dalam kondisi hidup
dan tidak cacat, sehingga panen harus dilakukan secara hati-hati. Lobster
dipindahkan satu persatu dari tempat pemeliharaannya ke dalam boks styrofoam.
Pengangkutan udang antar daerah maupun ekspor dilakukan dalam keadaan
hidup.

2.5. Sarana Pembenihan


Sarana pembenihan akan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
benih lobster yang dihasilkan. Beberapa sarana yang dibutuhkan dalam usaha
pembenihan lobster adalah sebagai berikut :
1. Calon Induk
Kualitas dan kuantitas benih yang akan dihasilkan dalam pembenihan
lobster sangat dipengaruhi oleh induk yang digunakan. Calon induk lobster yang
akan dikembangbiakkan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni berumur
1,5-2,0 tahun, berat 1,0-1,5 kg/ekor untuk induk jantan dan 1,5-2,0 kg/ekor untuk
induk betina, sudah matang gonad (ditandai dengan warnanya yang lebih
cemerlang dengan panjang kerapas minimal 65 mm), serta sehat dan tidak cacat.
2. Pakan
Pakan yang dibutuhkan dalam pembenihan lobster adalah pakan alami
yang berupa rotifer (Brachionus plicatilis). Selain rotifer, diperlukan jenis pakan
lain untuk melengkapi nutrisi yang tidak terkandung dalam rotifer, terutama
protein. Pakan yang dapat digunakan misalnya daging ikan rucah. Disamping
pakan alami, dapat juga diberikan pakan buatan, seperti flake yang sering dipakai
sebagai pakan dalam usaha pembenihan udang windu (Penaeus
monodon Fabricius). Di perairan, makanan untuk kebutuhan ikan sebenarnya
sudah tersedia yaitu berupa makanan alami yang banyak sekali macamnya, baik

9|Page
dari golongan hewan (zooplankton, invertebrate, dan vertebrate), tumbuhan
(phytoplankton maupun tumbuhan air) dan organisme mati (detritus).
Selama tiga bulan pertama masa pemeliharaan, ikan atau kulitivan diberi
pakan berupa ikan rucah, seperti tembang, selar, dan peperek hingga kenyang.
Tujuh bulan berikutnya pemberian pakan hanya dilakukan satu hari sekali dengan
dosis 4-6% bobot badan.
3. Bak Sand Filter dan Reservoir
Sand Filter (saringan pasir ) berupa bak beton (permanen) yang berisi
pasir, ijuk, kerikil, dan arang yang disusun untuk menjernihkan air. Air yang telah
tersaring ditampung dan diendapkan dalam reservoir I selama 1-2 hari agar
kualitas air yang digunakan lebih terjamin. Selanjutnya ,air dialirkan ke
dalam reservoir II dan siap untuk digunakan. Selama pengendapan kedua, air
sebaiknya dperlakukan dengan aerasi terus –menerus untuk meningkatkan
kandungan oksigennya.
4. Bak Pemeliharaan Induk
Bak pemeliharaan induk terbuat dari semen atau beton, berbentuk empat
persegi panjang berukuran (3 x 2 x 1)m3 atau bujur sangkar berukuran (2 x 2 x
1)m3. Dinding bak bagian dalam sebaiknya berwarna biru laut dan dasar bak
diberi pasir putih setebal 10-15 cm. Di permukaan pasir putih ditempatkan
potongan paralon berdiameter 5 – 6 inci sepanjang 30-50 cm sebagai tempat
perlindungan. Bak ditemptakan di dalam ruangan tertutup dengan intensitas
cahaya matahari pada siang hari tidak melebihi 1.000 lux. Bak pemeliharaan
induk lobster dilengkapi dengan saluran pemasukan (inlet) pengeluaran
air (outlet) untuk mempermudah sirkulasi air.
5. Bak Kultur Pakan Alami
Bak kultur pakan almi terdiri atas bak kultur Chloerella sp. dan rotifer
(Brachionus plicatillis). Jumlah dan kapasitas bak disesuaikan dengan kebutuhan
akan pakan alami tersebut.
6. Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan larva / benih lobster dapat terbuat dari semen (beton)
berbentuk persegi panjang, bujur sangkar, atau lingkaran dengan ukuran dan
jumlah diesuaikan dengan skala usaha yang akan diterapkan. Selain itu, dapat juga
digunakan fiberglass atau tangki polikarbonat. Bak pemeliharaan larva sebaiknya
ditempatkan di dalam ruangan untuk mencegah fluktuasi suhu akibat sinar
matahari langsung dan mencegah fluktuasi salinitas akibat hujan.

2.6. Kualitas Air


Menurut Effendi (2003), suhu dan salinitas memainkan peranan yang
penting dalam kehidupan organisme laut dan estuaria. Suhu sangat berperan
dalam mempercepat metabolisme dan kegiatan organ lainnya. Suhu yang tinggi
dapat meningkatkan konsumsi oksigen dan terjadinya pengeringan sel. Keasaman
air yang lebih dikenal dengan pH (Paissanee negatif de H) juga sangat besar

10 | P a g e
pengaruhnya bagi kehidupan ikan. Keasaman dihitung berdasarkan logaritma
negatif dari ion-ion hidrogen per liter air. Keasaman (pH) yang terlalu tinggi atau
rendah akan meracuni ikan dan hewan lainnya. Derajat keasaman suatu perairan
menunjukan tinggi rendahnya konsentrasi ion hodrogen perairan tersebut. Kisaran
parameter kualitas air untuk pemeliharaan lobster secara lengkap, disajikan pada
tabel berikut :

Parameter Kisaran Nilai

Suhu (⁰C) 11-29*

Salinitas (%) 25-45***

DO (ppm) >5***

Ph 7,8-8,5**

Amoniak (ppm) < 0.1***

Sumber: *Menurut Cook (1978) dalam Cobb and Phillips (1980)


**Menurut Effendi (2003) ***Menurut Kanna (2006)

2.7. Hama dan Penyakit

Lobster laut termasuk jenis yang sangat sensitif terhadap perubahan


salinitas dan suhu. Kualitas air yang buruk bisa menyebabkan udang karang
kurang sehat dan mati karena stress dan tidak ada nafsu makan. Oleh karena itu,
sangat penting untuk menjaga kestabilan kondisi air (salinitas dan suhu) di dalam
bak pembesaran anakan udang karang. Pada dasarnya hama dan penyakit pada
udang karang adalah sangat jarang. Namun demikian perlu kewaspadaan bahwa
meskipun kematian udang karang akibat hama dan penyakit sangat rendah,
serangan (kanibalisme) terhadap udang yang sedang ganti kulit (moulting) bisa
sangat fatal dan merugikan. Oleh karena itu, jumlah shelter sebagai tempat
berlindung di dalam kurungan atau bak pemeliharaan harus memadai.
Berdasarkan pengalaman pada budidaya karamba jaring apung di perairan
Lombok NTB, hama yang perlu diwaspadai adalah ikan buas (carnivora) seperti
ikan hiu, kerapu, bandeng lelaki, kakap, dan serangan kepiting.

11 | P a g e
BAB 3
KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil yaitu :


Tujuan utama Budidaya lobster ait laut adalah memanfaatkan potensi
alam indonesia yang kaya akan hasil laut yang mana secara tidak langsung juga
bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan dan meningkatkan
ekspor produk hasil laut dalam negeri. Lobster air laut dibudidayakan dari segi
pembesaran dan pembenihan. Pembenihan lobster air laut untuk
bertujuan mendapatkan benih. Pembenihan di lakukan dengan cara mengawinkan
induk jantan dan betina. Benih yang dihasilkan bisa di budidayakan lewat
pembesaran. Pembesaran lobster air laut bertujuan untuk mendapatkan lobster
dewasa yang siap dikonsumsi. Pembesaran lobster sangat berhubungan dengan
laju pertumbuhan.
Teknik membudidayakan lobster laut yang baik terdiri dari pemilihan
lokasi budidaya, dan sarana pembenihan yang baik. Setelah lobster dibudidayakan
dengan baik, lobster ditangkap dengan menggunakan alat yang benar. Baru setelah
itu lobster mulai masuk dalam tahap pengemasan agar dapat sampai ke tangan
konsumen.

12 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Effendie, M.I. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.


Yogyakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Kanna, Iskandar. 2006. Lobster. Kanisius. Yogyakarta.

Moosa, M.K. dan I. Aswandy. 1984. Udang Karang (Panulirus spp.) dari
Perairan Indonesia. LON LIPI. Jakarta

Prayugo, S dan Agung L. 2007. Lobster Air Laut. CV. Andi Offset. Yogyakarta

Saputra, Suradi Wijaya. 2009. Status Pemanfaatan Lobster (Panulirus sp) di


Perairan Kebumen. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 2

13 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai