7 LP Jiwa Menur Yuli
7 LP Jiwa Menur Yuli
7 LP Jiwa Menur Yuli
OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093
7. MEKANISME KOPING
a) Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
b) Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
c) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal
8. AKIBAT
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang
meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1) Pohon Masalah
Risiko mencederai diri
orang lain dan lingkungan
Stuart dan Laraia. (2007). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St.
Louis: Mosby Year Book.
LAPORAN PENDAHULUAN
KLIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH (HDR)
OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093
OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093
2. PENYEBAB
a. Faktor predisposisi
1. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku
agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang
sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan
perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif
dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak
kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan
citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka,
biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena
dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku
tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal
tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun,
dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih
kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka
dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
3. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai atau padat dan lingkungan yang ribut dapat
berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2007):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
RENTANG RESPON
Respon adaptif respon maladaptif
lingkungan
causa
OLEH :
YULI NURHAYATI
NIM 1930093
e) Suicidal attempt.
Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai indikasi individu ingin
mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat yang mematikan.
Walaupun demikian banyak individu masih mengalami ambivalen akan
kehidupannya.
f) Suicide.
Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . hal ini telah didahului oleh
beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang yang berhasil melakukan
bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri
sebelumnya. Suicide ini yakini merupakan hasil dari individu yang tidak punya
pilihan untuk mengatasi kesedihan yang mendalam.
4. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri dibagi menjadi 3 kategori:
a) Ancaman bunuh diri: ada peringatan verbal & non verbal, ancaman ini
menunjukkan ambivalensi seseorang terhadap kematian, jika tidak mendapat
respon maka akan ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh
diri.
b) Upaya bunuh diri: semua tindakan yang dilakukan individu terhadap diri sendiri
yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c) Bunuh diri: terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan, orang yang
melakukan upaya bunuh diri walaupun tidak benarbenar ingin mati mungkin akan
mati.
B. Rentang Respon ( Menurut Yosep 2009)
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman bunuh diri
mungkin menunjukan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi
masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adatif pada
diri seseorang.
a. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahan diri secara
wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertolongan diri. Sebagai contoh
seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas
terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
b. Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami
perilaku destruktif atau menyalakan diri sendri terhadap situasi yang seharusnya dapat
mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya
dianggap tidak loyal terhadap pimpimnan padahal sudah melakukan pekerjaan secara
optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat
atau maladaptive terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan
diri. misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka
seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak
optimal.
d. Pencederaan diri. Seorang melakukan percobaan bunuh diri tau pencederaan diri
akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan tindakan bunuh diri sampai dengan nyawanya
hilang.
C. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (2004), faktor predisposisi bunuh diri antara lain
1. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri
adalah rasa
bermusuhan, implisif dan depresi.
2. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan
yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
penting untuk prilaku destruktif.
4. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan depominersik
menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.
D. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2006) faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri
adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
E. Mekanisme Koping
1. Mood/affek: Depresi yang persisten, merasa hopelessness, helplessness, isolation,
sedih, merasa jauh dari orang lain, afek datar, sering mendengar atau melihat bunyi
yang sedih dan unhappy, membenci diri sendiri, merasa dihina, sering menampilkan
sesuatu yang tidak adekuat di sekolah, mengharapkan untuk dihukum.
2. Perilaku/behavior: Perubahan pada penampilan fisik, kehilangan fungsi, tak berdaya
seperti tidak intrest, kurang mendengarkan, gangguan tidur, sensitive, mengeluh
sakit perut, kepala sakit, perilaku antisocial : menolak untuk minum, menggunakan
obat-obatan, berkelahi, lari dari rumah.
3. Sekolah dan hubungan interpersonal: Menolak untuk ke sekolah, bolos dari sekolah,
sosial teman-temannya, kegiatan-kegiatan sekolah dan hanya interest pada hal – hal
yang menyenangkan, kekurangan system pendukung sosial yang efektif.
4. Keterampilan koping: Kehilangan batas realita, menarik dan mengisolasikan diri,
tidak menggunakan support system, melihat diri sebagai orang yang secara total
tidak berdaya.
F. Faktor – faktor Risiko Bunuh Diri
a. Perilaku
1. Membeli senjata
2. Mengubah surat wasiat
3. Membuat surat wasiat
4. Perubahan sikap yang nyata
5. Membeli obat dalam jumlah yang banyak
b. Fisik
1. Nyeri kronik
2. penyakit fisik
3. penyakit terminal
c. Psikologis
1. Penganiayaan masa kanak-kanak
2. Riwayat bunuh diri dari keluarga
3. Rasa bersalah
4. Remaja homoseksual
d. Situasional
1. Remaja yang tinggal ditatanan nontradisional
2. Ketidakstabilan ekonomi
3. kehilangan kebebasan
4. pension
e. Sosial
1. Gangguan kehidupan keluarga
2. kesepian
3. Kehilangan hubungan yang penting
4. putus asa
f. Verbal
1. menyatakan keinginan untuk mati
2. mengancam bunuh diri
G. Jenis Bunuh Diri
a. Bunuh diri egoistik (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalanintergrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentang untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah.
b. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang)
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri
karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya.
c. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antar individu dan
masyarakat, sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya
tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya.
III. POHON MASALAH DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
Risiko perilaku kekerasan ( pada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal)
OLEH:
YULI NURHAYATI
NIM 1930093
4. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan diri kadang perawatan diri Tidak melakukan
seimbang kadang tidak perawatan saat stress
5. Penatalaksanaan: Pasien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak
membutuhkan perawatan medis karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih
membutuhkan terapai kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.
OLEH :
YULI NURHAYATI
NIM 1930093
Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat
ditemukan dengan wawancara, adalah:
a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
f. Pasien merasa tidak berguna
g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
h. Kurang spontan
i. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
j. Ekspresi wajah kurang bersih
k. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
l. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
m. Mengisolasi diri
n. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
o. Asupan makanan dan minuman terganggu
p. Retensi urine dan feses
q. Aktivitas menurun
r. Kurang energi (tenaga)
s. Rendah diri
t. Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khusunya pada posisi tidur)
4. Rentang Respon
Interdependen Curiga
Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial.
Respons Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam
batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk
respons adaptif.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2010. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta :
FIK, Universitas Indonesia
Purba, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Stuart dan Sundeen . 2012 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Yusuf, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika