0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
282 tayangan17 halaman

F7. Mini Project

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 17

Laporan Mini Project

PREVALENSI DYSPEPSIA PADA BULAN AGUSTUS – OKTOBER 2019


DI PUSKESMAS LAMPA KABUPATEN PINRANG

Disusun Oleh:
dr. A. Nur Akbar Najamuddin, S.Ked

Pembimbing:
dr. Hj. A. Silviani

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS LAMPA PINRANG
SULAWESI SELATAN
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma atau
kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual,
kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa penuh/begah.
Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan pasien atau bervariasi baik dari
segi jenis keluhan atau pun kualitasnya.
Populasi orang dewasa di Negara-negara barat yang dipengaruhi oleh
dispepsia berkisar antara 14-38%. Namun, sekitar 13-18% memiliki resolusi
spontan selama satu tahun, dengan prevalensi yang stabil dari waktu ke waktu.
Dispepsia mempengaruhi 25% dari populasi Amerika Serikat setiap tahun dan
sekitar 5% dari semua penderita pergi ke dokter pelayanan primer. Sedangkan
Inggris memiliki prevalensi dispepsia sekitar 21% dan hanya dua persen dari
populasi tersebut berkonsultasi ke dokter pelayanan primer mereka dengan episode
baru atau pertama dispepsia setiap tahun, dan dispepsia menyumbang 40% dari
semua konsul ke bagian gastroenterologi. Survei pada komunitas memperkirakan
bahwa hanya sekitar 35% dari penderita dispepsia yang berkonsultasi ke dokter,
walaupun proporsinya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%
orang dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Negara-negara di
Barat (Eropa) memiliki angka prevalensi sekitar 7-41%, tetapi hanya 10-20% yang
akan mencari pertolongan medis. Angka insiden dispepsia diperkirakan sekitar 1-
8%. Sedangkan di Indonesia belum didapatkan data epidemiologi yang
pasti.4Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia sudah menempati
peringkat ke-10 untuk kategori penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit
tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar 1,59%.
Beberapa penyebab yang menimbulkan terjadinya dispepsia fungsional,
yaitu faktor diet dan lingkungan, ambang rangsang persepsi, sekresi asam lambung,
infeksi Helicobacter pylori. Ditemukan ada pengaruh pola makan terhadap
2
dispepsia fungsional. Pola makan yang tidak teratur mungkin menjadi predisposisi
untuk gejala gastrointestinal yang menghasilkan hormon-hormon gastrointestinal
yang tidak teratur sehingga akan mengakibatkan terganggunya motilitas
gastrointestinal.

1.2 TUJUAN PENULISAN


1. Tujuan Umum dan Khusus
Memberikan gambaran kejadian dyspepsia di puskesmas Lampa,
Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

1.3 MANFAAT
1. Bagi Penulis
a. Sebagai salah satu prasyarat untuk mengikuti kegiatan internsip
b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dengan
menerapkan ilmu dan teori yang diperoleh
2. Bagi Puskesmas
a. Memberikan gambaran kejadian dyspesia di puskesmas Lampa.
b. Sebagai alat untuk memajukan program-program puskesmas
antara lain dalam meningkatkan hasil program pencegahan
penyakit tidak menular terutama pada kesehatan saluran
pencernaan.
3. Bagi Masyarakat
a. Memberikan informasi terhadap petugas kesehatan setempat
mengenai cara diagnosis awal dyspepsia, sehingga diharapkan
pendeteksian dini pasien-pasien gastritis kronis dapat dilakukan
dengan maksimal kedepannya.
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk sama-sama mengatasi
dan mencegah penyakit dyspepsia.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dyspepsia

2.1.1. Definisi

Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa


tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada ( heartburn) dan
regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia. Pengertian dyspepsia
terbagi dua, yaitu:
a. Dyspepsia organic, bila telah diketahui adanya kelainan organic sebagai
penyebabnya. Sindroma dyspepsia organik terdapat keluhan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pancreas, radang empedu, dan lain – lain.
b. Dyspepsia non-organik atau dyspepsia fungsional, atau dyspepsia non-ulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dyspepsia fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, endoskopi (teropong saluran pencernaan).

2.1.2. Etiologi

Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan pola hidup. Menurut
Guyton (1997) berikut ini berbagai penyakit (kondisi medis) yang dapat
menyebabkan keluhan dispepsia :
a) Dispepsia fungsional (nonulcer dyspepsia). Dispepsia fungsional adalah
rasa tidak nyaman hingga nyeri di perut bagian atas yang setelah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh tidak ditemukan penyebabnya secara pasti.
Dispepsia fungsional adalah penyebab maag yang paling sering.

4
b) Tukak lambung (stomach ulcers). Tukak lambung adalah adanya ulkus atau
luka di lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit yang dirasakan
terus menerus, bersifat kronik (lama) dan semakin lama semakin berat.
c) Refluks esofagitis (gastroesophageal reflux disease)
d) Pankreatitis
e) Iritable bowel syndrome
f) Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat analgesik anti
inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen dapat
menyebabkan peradangan pada lambung. Jika pemakaian obat – obat
tersebut hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung
akan kecil. Tapi jika pemakaiannya secara terus menerus atau pemakaian
yang berlebihan dapat mengakibatkan maag.
g) Stress fisik. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar
atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis serta pendarahan pada
lambung.
h) Malabsorbsi (gangguan penyerapan makanan)
i) Penyakit kandung empedu
j) Penyakit liver
k) Kanker lambung (jarang)
l) Kanker esofagus (kerongkongan)(jarang)
m) Penyakit lain (jarang)

2.1.3. Patogenesis

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-
zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang
akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di
medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan.

5
2.1.4 Klasifikasi

a. Dispepsia Fungsional
Terdapat bukti bahwa dispepsia fungsional berhubungan dengan
ketidaknormalan pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan bagian atas
(esofagus, lambung dan usus halus bagian atas). Selain itu, bisa juga dispepsia
jenis itu terjadi akibat gangguan irama listrik dari lambung atau gangguan
pergerakan (motilitas) piloroduodenal.
Beberapa kebiasaan yang bisa menyebabkan dispepsia adalah menelan
terlalu banyak udara. Misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan mengunyah
secara salah (dengan mulut terbuka atau sambil berbicara). Atau mereka yang

6
senang menelan makanan tanpa dikunyah (biasanya konsistensi makanannya
cair).
Keadaan itu bisa membuat lambung merasa penuh atau bersendawa terus.
Kebiasaan lain yang bisa menyebabkan dispesia adalah merokok, konsumsi
kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi. Mereka yang
sensitif atau alergi terhadap bahan makanan tertentu, bila mengonsumsi
makanan jenis tersebut, bisa menyebabkan gangguan pada saluran cerna. Begitu
juga dengan jenis obat-obatan tertentu, seperti Obat Anti-Inflamasi Non Steroid
(OAINS), Antibiotik makrolides, metronidazole), dan kortikosteroid. Obat-
obatan itu sering dihubungkan dengan keadaan dispepsia. Yang paling sering
dilupakan orang adalah faktor stres/tekanan psikologis yang berlebihan.

b. Penyakit Refluks Asam/Organik

Cukup sering ditemukan dispepsia akibat asam lambung yang meluap


hingga ke esofagus (saluran antara mulut dan lambung). Karena saluran
esofagus tidak cukup kuat menahan asam -yang semestinya- tidak tumpah,
karena pelbagai sebab, pada orang tertentu asam lambung bisa tumpah ke
esofagus dan menyebabkan dispepsia. Dispepsia jenis itu bisa menyebabkan
nyeri pada daerah dada.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,


membagi dyspepsia menjadi tiga tipe:
1) Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus ( Ulkus – like dyspepsia ), dengan
gejala:
 Nyeri epigastrium terlokalisasi
 Nyeri hilang setelah makan atau peberian antacid
 Nyeri saat lapar
 Nyeri episodic
2) Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas ( dismotility-like
dyspepsia), dengan gejala:
7
 Mudah kenyang
 Perut cepat terasa penuh saat makan
 Mual
 Muntah
 Upper abdominal bloating
 Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
3) Dyspepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas). Pembagian
akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama


kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi. Menurut Schwartz, M William (2004) dan Wibawa (2006) berikut
merupakan pemeriksaan penunjang:
a. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan
kelainan serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter
pylori menunjukkan ulkus peptikum namun belum menyingkirkan
keganasan saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium
Barret, dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse
untuk H.pylori (tes CLO). Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini
untuk menyingkirkan kausa organic pada pasien dispepsia. Namun,
pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada penanganan
kasus dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi diindikasikan terutama pada
pasien dengan keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien
dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan, muntah, disfagia, atau
perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit struktural.

8
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan
kemungkinan komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat GNJ,
endoskopi direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi
penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan
keadaan pasien apakah dispepsia organik atau fungsional. Dengan
endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk mengetahui keadaan
patologis mukosa lambung.
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk
hitung darah lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan
pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau
pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan barium pada saluran cerna bagian atas.

2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan dispepsia umumnya dapat dimulai dengan pengobatan
simptomatis. Pengobatan kausal dapat segera dimulai bila diagnosis akhir telah
ditetapkan. Jadi perlu dipastikan diagnosisnya terlebih dahulu, dan dimulai dengan
pengobatan yang bersifat kausal, terutama untuk pasien dispepsia organik.9Pada
pasien dewasa muda dan tanpa gejala ke arah penyakit organik berat, maka dapat
dilakukan pengobatan empirik percobaan selama 4-8 minggu, tanpa dilakukan
pemeriksaankhusus terlebih dahulu. Bila dalam jangka waktu tersebut tidak ada
perbaikan, perlu dirujuk untuk mendapatkan kepastian diagnosanya.

2.1.7.1.Modifikasi pola hidup


Pasien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenal dan menghindari
keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia. Belum ada kesepakatan
tentang bagaimana pola diet yang diberikan pada kasus dispepsia fungsional.
Penekanan justru lebih ditujukan untuk menghindari jenis makanan yang dirasakan
sebagai faktor pencetus. Pola diet porsi kecil namun sering, makanan rendah lemak,
9
mengurangi/menghindari makanan yang spesifik (kopi, alcohol, pedas, dll akan
banyak mengurangi gejala terutama setelah makan.

2.1.7.2.Medikamentosa
Dalam pengobatan sindrom Dispepsia, kita mengenal beberapa golongan
obat yang dapat dipakai, yaitu :
1.Antasid, yaitu obat yang berfungsi untuk menetralisir asam lambung.
Golongan obat ini banyak sekali jenisnya dan mudah didapat. Pemakaian
obat ini jangan terus-menerus dan harus diperhatikan efek samping serta
penyakit lain yang diderita oleh pasien. Pemakaian obat ini lebih cenderung
kearah simptomatik.
2.Antagonis reseptor H2, menekan sekresi asam lambung. Golongan obat
ini antara lain simetidin, ranitidine, famotidin, raksatidin, nizatidin, dan
lain-lain. Pemakaiannya lebih banyak kearah kausal di samping juga
simptomatik. Banyak peneliti yang melaporkan bahwa jenis obat ini dapat
dipakai pada sindrom dispepsia organik seperti ulkus atau pada dyspepsia
essensial. Sebaiknya diberikan pada dispepsia organic tipe refluks dan
ulkus.
3. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)Golongan obat
ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dariproses sekresi
asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPIadalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol.-Esomeprazol 20-40 mg 1 x /hr-Lanzoprazol
30 mg 1 x/hr-Omeprazol 20 mg 1 x/hr-Pantoprazol 40 mg 1 x/hr-Rabeprazol
20 mg 1 x/hr.
4. Sitoprotektif Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan
enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandin endogen,yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksimukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitarlesi mukosa saluran cerna bagian atas
10
(SCBA).Misoprostol (analog metilester PG E1yangmenghambat sekresi
HCl dan sitoprotektif )Dosis : 200 mg 4 x/hr atau 400 mg 2 x/hr.
Sukralfat(Senyawa alumunium sukrosa sulfat bentuk polimer dalam
suasana asam dan terikat padajaringan nekrotik tukak secara selektif. Tidak
diabsorbsi sistemik) dosis 1 g 4 x/hr.

11
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.

3.2. POPULASI DAN SAMPEL


Populasi pada penelitian ini ialah seluruh pasien yang datang berobat di poli
umum Puskesmas Lampa. Teknik sampel yang digunakan adalah total sampling,
dengan sampel yang digunakan pada peneltian ini adalah seluruh pasien yang
terdiagnosis dyspesia.

3.3. INSTRUMEN PENELITIAN


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemeriksaan
kesehatan dengan menggunakan rekam medis.

3.4. VARIABEL PENELITIAN


Variabel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang terdiagnosis
dyspepsia.

3.5. TEKNIK PENGUMPULAN DATA


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
cara data sekunder rekam medis di Puskesmas Lampa.

3.6. CARA ANALISIS DATA


Analisis dilakukan dengan mempresentasikan data yang telah di kumpulkan
dan di tabulasi. Setelah analisis, dilakukan penyajian data dalam bentuk tabel.

3.7. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


Mini project ini dilaksanakan pada November 2019 di Puskesmas Lampa.

12
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Intervensi Mini Project

LAPORAN DYSPESIA

MINI PROJECT dr. A. Nur Akbar Najamuddin

Agustus - Oktober 2019

No Lokasi Jumlah Pasien dyspepsia

Laki – Laki Perempuan


1 Puskesmas Lampa 151 Pasien 194 Pasien
(43,77%) (56,23%)
Total 345 Pasien

Intervensi berupa skirining dyspepsia diadakan Agustus - November 2019 di


Puskesmas Lampa. Semua pasien diatas didapatkan dengan cara mengumpulkan
data sekunder rekam medis di Puskesmas Lampa. Hasilnya 345 pasien terdiagnosis
dyspepsia, dengan 151 pasien laki – laki dan 194 pasien perempuan.

Jumlah
Kategori Umur (Tahun)
Penderita
Anak & Remaja ≤19 100 (28,99%)

Dewasa 20-44 65 (18,84%)

Lansia 45-69 178 (51,59%)

Manula >70 2 (0,58%)

Total 345 (100%)

13
Intervensi berupa skirining dyspepsia diadakan Agustus - November 2019 di
Puskesmas Lampa. Semua pasien diatas didapatkan dengan cara mengumpulkan
data sekunder rekam medis di Puskesmas Lampa. Hasilnya 345 pasien terdiagnosis
dyspepsia, dengan 100 pada usia anak dan remaja, 65 pada usia dewasa, 178 pada
usia lansia serta 2 pada usia manula.

14
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran deskriptif kejadian


dyspepsia di puskesmas lampa. Penelitian ini ditinjau dari usia dan jenis kelamin
penderita dyspepsia. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berdasarkan
data rekam medis puskesmas yang dilakukan dengan teknik total sampling.

5.1. Gambaran kejadian dyspepsia di Puskesmas Lampa


Berikut merupakan hasil penelitian mini project yang berjudul gambaran
kejadian dyspepsia di Puskesmas Lampa. Sampel merupakan penderita dyspepsia
yang datang ke pemeriksaan kesehatan.

LAPORAN SKRINING DYSPEPSIA

MINI PROJECT dr. A. Nur Akbar N, S.Ked

Agustus - Oktober 2019

No Lokasi Skrining Jumlah Pasien Dyspepsia

Laki – Laki Perempuan


1 Puskesmas Lampa 151 Pasien 194 Pasien
(43,77%) (56,23%)
Total 345 Pasien

Tabel 5.1 Laporan Jumlah Pasien dyspepsia Puskesmas Lampa

Dari gambaran di atas, didapatkan jumlah penderita dyspepsia pada bulan


Agustus – Oktober sebanyak 345 pasien.
Dari gambaran di atas, dapat dilihat jumlah penderita dyspepsia sebanyak
43,77% berjenis kelamin laki-laki dan 56,23% berjenis kelamin perempuan. Hasil
ini sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan dimana perempuan lebih
banyak terkena dyspepsia, penyebab dari hal ini Pria lebih toleran terhadap gejala-
15
gejala gangguan lambung seperti nyeri dari pada wanita. Penelitian dikemukakan
bahwa sekresi lambung diatur oleh mekanismesaraf dan hormonal. Pengetahuan
hormon berlangsung melalui hormon gastrin. Hormon ini bekerja pada kelenjar
pada kelenjar gastrik dan menyebabkan aliran tambahan lambung yang sangat
asam. Sekresi tersebut berlangsung selama beberapa jam. Hormon gastrin
dipengaruhi oleh bebrapa hal seperti adanya makanan dalam jumlah besar yang
berada di lambung, juga zat sekretatogue seperti ektrak makan, hasil pencernaan
protein, alkohol, dan kafein. Namun, ternyata ada hal ini yang juga mempengaruhi
kerja hormon gastrin,yaitu jenis kelamin. Faktor hormonal wanita lebih reaktif
dibanding pria.

5.2. Penderita dyspepsia berdasarkan usia


Jumlah
Kategori Umur (Tahun)
Penderita
Anak & Remaja ≤19 100 (28,99%)

Dewasa 20-44 65 (18,84%)

Lansia 45-69 178 (51,59%)

Manula ≥70 2 (0,58%)

Total 345 (100%)

Tabel 5.2. Distribusi penderita dyspepsia berdasarkan usia


Dari gambaran di atas, dapat dilihat jumlah pasien dyspepsia paling sedikit
pada usia >70 tahun yakni 0,58%. Pada usia 45-69 tahun didapatkan pasien
dyspepsia paling banyak yaitu 51,59%. Pada usia ≤19 tahun didapatkan pasien
dyspepsia sebanyak 28,99% dan usia 20-44 tahun sebanyak 18,84%. Hasil ini
dikaitkan dengan pada usia anak, remaja dan lansia pola makan yang tidak teratur,
ditambah pada lansia akibat seringnya penggunaan obat NSAID, steroid atau jamu-
jamuan.

16
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Terdapat 345 pasien dyspepsia di Puskesmas Lampa.


2. Berdasarkan jenis kelamin, penderita dyspepsia dengan jenis kelamin
perempuan lebih besar dibanding laki – laki.
3. Berdasarkan usia, penderita dyspepsia paling banyak pada pasien dalam
rentang usia 45 – 69 tahun.

6.2 Saran

1. Diperlukannya skrining pada daerah – daerah di wilayah kerja Puskesmas


Lampa, mengingat pendataan masyarakat penderita dyspepsia masih kurang
dan jumlah pasien dyspepsia yang berobat di puskesmas masih belum
mencakupi keseluruhan pasien yang mendeita dyspepsia.
2. Diperlukannya penyuluhan mengenai dyspepsia pada masyarakat, untuk
meningkatkan tingkat pengetahuan dan kesadaran untuk segera berobat ke
fasilitas kesehatan terdekat dan cara pencegahan penyakit dyspepsia.

17

Anda mungkin juga menyukai