Asal Usul Nama Gumelar
Asal Usul Nama Gumelar
Asal Usul Nama Gumelar
Negeri Galuh Pakuan, termasuk wilayah Kerajaan Pejajaran. Pada saat ini Galuh Pakuan dilanda
kemarau panjang yang menyengsarakan kehidupan rakyat. Adipati Galuh Pakuan bernama
Munding Wilis.
Istri Adipati Munding Wilis sedang hamil. Ia meminta untuk dicarikan daging kijang yang berkaki
putih. Permintaan tersebut dikabulkan sang Adipati.
Adipati Munding Wilis bersama beberapa punggawa kadipaten berangkat berburu ke hutan. Sang
Adipati menunggang kuda yang bernama Dawuk Mruyung. Sebelum mendapatkan binatang
buruan, rombongan Adipati tersesat di sebuah perkampungan perampok. Mereka ditangkap oleh
para perampok yang dipimpin oleh Abu Lawang. Semua perbekalan dirampas termasuk kudanya.
Adipati dipersilakan pulang ke kadipaten dengan jalan kaki.
Setiba di kabupaten, Adipati sedikit terobati hatinya mendengar istrinya telah melahirkan
seorang putra yang berparas tampan dengan ciri pada lengan kanan terdapat belong “toh wisnu”.
Kegembiraan sang Adipati menjadi hilang karena empat hari dari kelahiran putranya, secara
tiba-tiba kadipaten diserang perampok yang dipimpin oleh Abulawang. Kadipaten dirampas
harta bendanya dan dibakar. Untung sang Adipati beserta istrinya diselamatkan oleh KI Juru
Taman, pembantu kadipaten.
Setelah keadaan aman, sang Adipati teringat nasi putranya yang baru lahir itu, dicari ke semua
penjuru kadipaten ternyata tidak dapat ditemukan. Suatu ketika seorang penduduk melaporkan
bahwa putranya dibawa lari oleh perampok Abulawang. Hancur hati sang Adipati beserta sang
istrinya. Adipati bertekad mencari putranya dengan menyamar sebagai petani dengan nama Pak
Sandi.
Di Bukit Mruyung, sarang perampok, Abulawang dan istriya dalam keadaan suka cita. Ia dapat
membawa lari putra sang sang Adipati yang tampan. Anak itu dianggap sebagai putranya sendiri
karena mereka tidak mempunyai anak. Oleh Abulawang anak itu diberi nama Jaka Mruyung.
Setelah dewasa, Jaka Mruyung tidak suka kepada watak orang tuannya yang kejam, suka
merampok, minum dan berjudi. Secara diam-diam Jaka Mruyung pergi meninggalkan Bukit
Mruyung dengan menggunakan kuda Dawuk Mruyung yang ternya kuda milik ayahnya sendiri.
Dengan perbekalan secukupnya Jaka Mruyung pergi ke arah timur melalui hutan belantara.
Sampailah ia ke suatu daerah yang disebut Dayehluhur, Jaka Mruyung singgah disebuah rumah
kecil milik Ki Mraggi. Oleh Ki Mraggi, Jaka Mruyung diangkat sebagai cucunya. Ia diajarinya
membaca, menulis, dan ilmu keprajuritan. Ki Mranggi adalah seorang bekas prajurit Majapahit
yang menetap di daerah itu. Tempat belajar membaca dan menulis Jaka Mruyung ini diberi nama
Desa Panulisan.
Setelah dianggap cukup Jaka Mruyung diizinkan meneruskan perjalanannya. Jaka diberi petunjuk
agar pergi ke arah timur lurus dan mencari hutan yang bernama Pakis Aji. Bila sudah ditemukan
hutan itu agar dibabad sebagai dukuh tempat tinggalnya. Kelak dukuh itu akan menjadi sebuah
negeri yang besar.
Perjalanan Jaka Mruyung sampai pada tempat yang terbentang luas dengan rerumputan hijau. Ia
beristirahat dan kudanya dibiarkan merumput. Tempat itu diberi nama Gumelar artinya tempat
yang terbentang luas.
Asal Usul nama Gumelar (babad Ajibarang)
Pada saat itu, Kerajaan Galuh Pakuan (Pajajaran) sedang dipimpin oleh Adipati Munding
Wilis. Kerajaan Galuh Pakuan sedang dilanda kekeringan besar. Para warga hidup dalam
kesulitan. Dalam keadaan seperti itu, istri Adipati Munding Wilis yang sedang hamil meminta
untuk dicarikan daging kijang berkaki putih. Adipatipun tidak dapat menolak permintaan
istrinya yang sedang hamil itu. Segera saja sang Adipati pergi ke hutan bersama para
punggawanya. Dia menaiki kuda yang bernama Dawuk Mruyung. Telah lama dicari, kijang
berkaki putihpun tak juga ditemui. Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan
para perampok.
Kampung perampok itu dipimpin oleh Abulawang. Setelah mengetahui dari anak buahnya
bahwa yang datang adalah Adipati Munding Wililis beserta punggawanya yang membawa bekal
yang banyak, dia lalu menyiapkan pasukan. Mereka hendak merampas bekal sang
Adipati. Akhirnya, perangpun terjadi antara pasukan Adipati dan pasukan Abulawang. Perang
tersebut dimenangkan oleh Abulawang. Adipati dan punggawanya diperkenankan pulang ke
Kadipaten Galuh. Sang Adipati pulang dengan berjalan kaki karena kuda miliknya juga
ditawan. Abulawang sangat bahagia mendapatkan harta rampasan yang sangat berlimpah.
Setibanya di kadipaten, sang Adipati segera menemui istrinya. Segera saja kesedihannya
berubah menjadi kebahagiaan. Istrinya telah melahirkan seorang putera yang tampan. Anak itu
memiliki tanda lahir di lengan kanannya berupa belong “toh Wisnu”.
Kebahagiaanpun tidak lama dirasakan. Tiba-tiba Abulawang beserta seluruh pasukannya
dating menyerang Kadipaten Galuh Pakuan. Kadipaten porak poranda. Semua harta ludes
dirampok oleh Abulawang. Putera sang Adipati yang baru berusia empat haripun
dibawanya. Adipati dan istrinya kebingungan. Akhirnya mereka dibantu oleh Ki Juru Taman,
pembantu kadipaten untuk mencari puteranya di setiap sudut kadipaten. Akhirnya, ada yang
memberi tahu bahwa putera mereka dibawa oleh Abulawang. Keduanyapun memutuskan untuk
pergi mencari puteranya. Dengan berpakaian seperti rakyat biasa, mereka mengubah nama
menjadi Ki Sandi dan Nyai Sandi.
Di Bukit Mruyung, Abulawang dan istrinya merasa bahagia. Selain mendapat harta,
mereka juga mendapat seorang anak. Telah lama mereka menginginkan seorang
anak. Abulawang dan istrinya mengangkatnya menjadi anak dan memeberinya nama Jaka
Mruyung.
Tumbuhlah Jaka Mruyung menjadi semakin dewasa. Pernah suatu ketika dia mendapat
pesan dari Abulawang untuk tidak keluar dari daerah Mruyung. Namun, keinginannya dan
kebosanannya membuat dia ingin mengelana. Jaka Mruyung pergi tanpa pamit. Dia
mengendarai Dadung Awuk, kuda yang pernah dirampas dari Adipati Munding Wilis. Anak buah
Abulawang yang mengetahui segera mengejar Jaka Mruyung. Namun, Jaka Mruyung tidah dapat
terkejar.
Jaka Mruyung pergi ke timur melewati hutan-hutan. Hingga akhirnya dia menemukan
sebuah rumah kecil. Dia lalu mampir ke rumah itu. Rumah itu ternyata milik Ki Mranggi, bekas
prajurit Majapahit. Dengan senang hati Ki Mranggi menerima kedatangan Jaka Mruyung. Jaka
mruyungpun ditawarinya untuk tinggal menetap di sana. Jaka Mruyung mau. Dia dianggap cucu
Ki Mranggi. Oleh Ki Mranggi, dia diajari membaca, menulis, olah keprajuritan, bela diri, dan ilmu
kanuragan. Setelah dirasa ilmunya mencukupi, Jaka Mruyung diijinkan melanjutkan
pengembaraannya. Atas petunjuk Ki Mranggi, Jaka Mruyung disuruh pergi ke timur mencari
hutan besar bernama Alas Pakis Aji. Jaka Mruyung segera berpamitan. Dia berpesan agar desa
tempat Ki Mranggi itu dinamakan Desa Panulisan, desa tempat dirinya belajar baca tulis.
Berhari-hari Jaka Mruyung melakukan perjalanannya. Dia beristirahat disebuah padang
rumput yang luas. Kemudian daerah itu dinamakan Gumelar, sesuatu yang luas/lebar. Diapun
melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan dia bertemu seorang pemuda yang bernama
Tlangkas. Tlangkas memberitahu bahwa Alas Pakis Aji sudah dekat, di sisi barat Kadipaten
Kutanegara.
Diceritakan bahwa pada saat itu Ki Sandi dan Nyai Sandi sudah sampai di rumah Ki
Mranggi. Dia mencari tahu keberadaan puteranya. Dengan diberi tahu tanda lahirnya, Ki
Mranggipun mengetahui bahwa itu adalah Jaka Mruyung. Ki Mranggi mengatakan bahwa Jaka
Mruyung sedang dalam perjalanan menuju Alas Pakis Aji. Segera saja mereka pamit dan
menyusul Jaka Mruyung. Dalam perjalanannya yang melelahkan, mereka beristirahat di tepi
sungai yang airnya bening dan kemracak (gemercik). Maka, daerah itu dinamakan Desa
Kracak. Dalam perjalanannyapun mereka berjumpa dengan orang yang berbahasa Sunda. Dia
membawa buah gondang amis yang artinya buah gondang manis. Maka, daerah tersebut
dinamakan Desa Gondangamis.
Sampailah Jaka Mruyung di pinggir Alas Pakis Aji. Dia beristirahat di sebuah tempat yang
banyak burung jalaknya dan tempat itupun diberi nama Pejalakan. Setelah beristirahat, Jaka
Mruyung masuk ke Alas Pakis Aji. Sampailah dia di Kali Datar. Di sana dia menjumpai sebuah
kedung yang banyak burung serwitinya. Tempat itupun akhirnya bernama Kedung
Serwiti. Segera saja dia membabat hutan itu. Di tengah dia membabat hutan, dia melihat
beberapa orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyungpun mendekati mereka dan
meminta mereka membantunya membabat hutan. Mereka menyanggupinya.
Saat membabat hutan, Jaka Mruyung bertemu dengan ular besar. Dengan kesaktiannya,
dia menangkap ular itu dan dibunuhnya. Ular tersebut kemudian dibakar. Api pembakaran itu
kemudian merambat hingga membakar seluruh Alas Pakis Aji. Kebakaran itupun diketahui oleh
Adipati Nglangak penguasa Kadipaten Kutanegara. Adipati marah. Dia memerintahkan
menangkap orang yang telah membakar Alas Pakis Aji. Jaka Mruyungpun dapat ditangkap dan di
tahan di Kadipaten Kutanegara. Tidak lama kemudian dia dibebaskan.
Adipati Nglangak memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Dewi Pandansari, Dewi
Pandanayu, dan Dewi Rantansari. Mereka bertiga juga merupakan senapati wanita di kadipaten
itu. Suatu hari, Kadipaten Kutanegara hendak mencari seorang senapati lewat sayembara. Jaka
Mruyungpun ikut serta dalam sayembara itu. Dalam pertandingan akhir, Jaka Mruyung dapat
mengalahkan kesaktian Ki Kentol Ireng. Diapun diangkat menjadi Senapati Kadipaten
Kutanegara dan dinikahkan dengan Dewi Pandanayu.
Pada akhirnya, Jaka Mruyung dapat menggantikan kedudukan Adipati Nglangak menjadi
pemimpin Kadipaten Kutanegara. Tidak lama setelah sayembara, Jaka Mruyung dapt berjumpa
dengan Ki Sandi dan Nyai Sandi yang tak lain adalah ayah dan ibunya. Adipatipun tahu kalau Jaka
Mruyung adalah putera Adipati Munding Wilis dari Galuh Pakuan. Setelah mendengar cerita dari
kedua orang tuanya, Jaka Mruyung pergi ke Bukit Mruyung untuk membalas dendam pada
Abulawang. Abulawangpun mengakui kesalahannya. Dia tidak tega membunuh Abulawang
karena jasanya yang telah membesarkan Jaka Mruyung. Abulawangpun dibawanya ke Kadipaten
Kutanegara. Adipati Munding Wilis dan istrinya memutuskan untuk kembali ke Galuh
Pakuan. Jaka Mruyungpun menjadi adipati di Kutanegara. Pusat pemerintahan Kadipaten
Kutanegara dipindah ke Alas Pakis Aji. Alas Pakis Aji tersebut kemudian berubah nama menjadi
Ajibarang dan Jaka Mruyung menjadi Adipati Ajibarang yang pertama.
Asal Usul nama Gumelar (babad Ajibarang)
Pada saat itu, Kerajaan Galuh Pakuan (Pajajaran) sedang dipimpin oleh Adipati Munding Wilis.
Kerajaan Galuh Pakuan sedang dilanda kekeringan besar. Para warga hidup dalam kesulitan. Dalam
keadaan seperti itu, istri Adipati Munding Wilis yang sedang hamil meminta untuk dicarikan daging
kijang berkaki putih. Adipatipun tidak dapat menolak permintaan istrinya yang sedang hamil itu.
Segera saja sang Adipati pergi ke hutan bersama para punggawanya. Dia menaiki kuda yang bernama
Dawuk Mruyung. Telah lama dicari, kijang berkaki putihpun tak juga ditemui. Hingga akhirnya
mereka sampai di sebuah perkampungan para perampok.
Kampung perampok itu dipimpin oleh Abulawang. Setelah mengetahui dari anak buahnya
bahwa yang datang adalah Adipati Munding Wililis beserta punggawanya yang membawa bekal yang
banyak, dia lalu menyiapkan pasukan. Mereka hendak merampas bekal sang Adipati. Akhirnya,
perangpun terjadi antara pasukan Adipati dan pasukan Abulawang. Perang tersebut dimenangkan oleh
Abulawang. Adipati dan punggawanya diperkenankan pulang ke Kadipaten Galuh. Sang Adipati
pulang dengan berjalan kaki karena kuda miliknya juga ditawan. Abulawang sangat bahagia
mendapatkan harta rampasan yang sangat berlimpah.
Setibanya di kadipaten, sang Adipati segera menemui istrinya. Segera saja kesedihannya
berubah menjadi kebahagiaan. Istrinya telah melahirkan seorang putera yang tampan. Anak itu
memiliki tanda lahir di lengan kanannya berupa belong “toh Wisnu”.
Kebahagiaanpun tidak lama dirasakan. Tiba-tiba Abulawang beserta seluruh pasukannya dating
menyerang Kadipaten Galuh Pakuan. Kadipaten porak poranda. Semua harta ludes dirampok oleh
Abulawang. Putera sang Adipati yang baru berusia empat haripun dibawanya. Adipati dan istrinya
kebingungan. Akhirnya mereka dibantu oleh Ki Juru Taman, pembantu kadipaten untuk mencari
puteranya di setiap sudut kadipaten. Akhirnya, ada yang memberi tahu bahwa putera mereka dibawa
oleh Abulawang. Keduanyapun memutuskan untuk pergi mencari puteranya. Dengan berpakaian
seperti rakyat biasa, mereka mengubah nama menjadi Ki Sandi dan Nyai Sandi.
Di Bukit Mruyung, Abulawang dan istrinya merasa bahagia. Selain mendapat harta, mereka
juga mendapat seorang anak. Telah lama mereka menginginkan seorang anak. Abulawang dan istrinya
mengangkatnya menjadi anak dan memeberinya nama Jaka Mruyung.
Tumbuhlah Jaka Mruyung menjadi semakin dewasa. Pernah suatu ketika dia mendapat pesan
dari Abulawang untuk tidak keluar dari daerah Mruyung. Namun, keinginannya dan kebosanannya
membuat dia ingin mengelana. Jaka Mruyung pergi tanpa pamit. Dia mengendarai Dadung Awuk,
kuda yang pernah dirampas dari Adipati Munding Wilis. Anak buah Abulawang yang mengetahui
segera mengejar Jaka Mruyung. Namun, Jaka Mruyung tidah dapat terkejar.
Jaka Mruyung pergi ke timur melewati hutan-hutan. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah
rumah kecil. Dia lalu mampir ke rumah itu. Rumah itu ternyata milik Ki Mranggi, bekas prajurit
Majapahit. Dengan senang hati Ki Mranggi menerima kedatangan Jaka Mruyung. Jaka mruyungpun
ditawarinya untuk tinggal menetap di sana. Jaka Mruyung mau. Dia dianggap cucu Ki Mranggi. Oleh
Ki Mranggi, dia diajari membaca, menulis, olah keprajuritan, bela diri, dan ilmu kanuragan. Setelah
dirasa ilmunya mencukupi, Jaka Mruyung diijinkan melanjutkan pengembaraannya. Atas petunjuk Ki
Mranggi, Jaka Mruyung disuruh pergi ke timur mencari hutan besar bernama Alas Pakis Aji. Jaka
Mruyung segera berpamitan. Dia berpesan agar desa tempat Ki Mranggi itu dinamakan Desa
Panulisan, desa tempat dirinya belajar baca tulis.
Berhari-hari Jaka Mruyung melakukan perjalanannya. Dia beristirahat disebuah padang rumput
yang luas. Kemudian daerah itu dinamakan Gumelar, sesuatu yang luas/lebar. Diapun melanjutkan
perjalanannya. Di tengah perjalanan dia bertemu seorang pemuda yang bernama Tlangkas. Tlangkas
memberitahu bahwa Alas Pakis Aji sudah dekat, di sisi barat Kadipaten Kutanegara.
Diceritakan bahwa pada saat itu Ki Sandi dan Nyai Sandi sudah sampai di rumah Ki Mranggi.
Dia mencari tahu keberadaan puteranya. Dengan diberi tahu tanda lahirnya, Ki Mranggipun
mengetahui bahwa itu adalah Jaka Mruyung. Ki Mranggi mengatakan bahwa Jaka Mruyung sedang
dalam perjalanan menuju Alas Pakis Aji. Segera saja mereka pamit dan menyusul Jaka Mruyung.
Dalam perjalanannya yang melelahkan, mereka beristirahat di tepi sungai yang airnya bening dan
kemracak (gemercik). Maka, daerah itu dinamakan Desa Kracak. Dalam perjalanannyapun mereka
berjumpa dengan orang yang berbahasa Sunda. Dia membawa buah gondang amis yang artinya buah
gondang manis. Maka, daerah tersebut dinamakan Desa Gondangamis.
Sampailah Jaka Mruyung di pinggir Alas Pakis Aji. Dia beristirahat di sebuah tempat yang
banyak burung jalaknya dan tempat itupun diberi nama Pejalakan. Setelah beristirahat, Jaka Mruyung
masuk ke Alas Pakis Aji. Sampailah dia di Kali Datar. Di sana dia menjumpai sebuah kedung yang
banyak burung serwitinya. Tempat itupun akhirnya bernama Kedung Serwiti. Segera saja dia
membabat hutan itu. Di tengah dia membabat hutan, dia melihat beberapa orang sedang membuat
tambak ikan. Jaka Mruyungpun mendekati mereka dan meminta mereka membantunya membabat
hutan. Mereka menyanggupinya.
Saat membabat hutan, Jaka Mruyung bertemu dengan ular besar. Dengan kesaktiannya, dia
menangkap ular itu dan dibunuhnya. Ular tersebut kemudian dibakar. Api pembakaran itu kemudian
merambat hingga membakar seluruh Alas Pakis Aji. Kebakaran itupun diketahui oleh Adipati
Nglangak penguasa Kadipaten Kutanegara. Adipati marah. Dia memerintahkan menangkap orang
yang telah membakar Alas Pakis Aji. Jaka Mruyungpun dapat ditangkap dan di tahan di Kadipaten
Kutanegara. Tidak lama kemudian dia dibebaskan.
Adipati Nglangak memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Dewi Pandansari, Dewi
Pandanayu, dan Dewi Rantansari. Mereka bertiga juga merupakan senapati wanita di kadipaten itu.
Suatu hari, Kadipaten Kutanegara hendak mencari seorang senapati lewat sayembara. Jaka
Mruyungpun ikut serta dalam sayembara itu. Dalam pertandingan akhir, Jaka Mruyung dapat
mengalahkan kesaktian Ki Kentol Ireng. Diapun diangkat menjadi Senapati Kadipaten Kutanegara dan
dinikahkan dengan Dewi Pandanayu.
Pada akhirnya, Jaka Mruyung dapat menggantikan kedudukan Adipati Nglangak menjadi
pemimpin Kadipaten Kutanegara. Tidak lama setelah sayembara, Jaka Mruyung dapt berjumpa dengan
Ki Sandi dan Nyai Sandi yang tak lain adalah ayah dan ibunya. Adipatipun tahu kalau Jaka Mruyung
adalah putera Adipati Munding Wilis dari Galuh Pakuan. Setelah mendengar cerita dari kedua orang
tuanya, Jaka Mruyung pergi ke Bukit Mruyung untuk membalas dendam pada Abulawang.
Abulawangpun mengakui kesalahannya. Dia tidak tega membunuh Abulawang karena jasanya yang
telah membesarkan Jaka Mruyung. Abulawangpun dibawanya ke Kadipaten Kutanegara. Adipati
Munding Wilis dan istrinya memutuskan untuk kembali ke Galuh Pakuan. Jaka Mruyungpun menjadi
adipati di Kutanegara. Pusat pemerintahan Kadipaten Kutanegara dipindah ke Alas Pakis Aji. Alas
Pakis Aji tersebut kemudian berubah nama menjadi Ajibarang dan Jaka Mruyung menjadi Adipati
Ajibarang yang pertama.