0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
269 tayangan15 halaman

BKO

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 15

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

”IDENTIFIKASI BAHAN KIMIA OBAT DALAM JAMU”

KELOMPOK 4
1. Irma Khaerunnisa (P23139016063)
2. Ivena Dianaz (P23139016064)
3. Krismayani (P23139016065)
4. Martinus Adi (P23139016067)
5. Mohamad Faisal Fajri (P23139016068)

LOKAL 3B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II

JURUSAN FARMASI

2018 – 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik,
atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Sedangkan Bahan baku adalah simplisia, sediaan galenik, bahan


tambahan atau bahan lainnya, baik yang berkhasiat maupun yang tidak
berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah yang digunakan
dalam pengolahan obat tradisional.
Obat tradisional memiliki jenis dan sifat kandungan yang beragam
sehingga untuk menjamin mutu obat tradisional yang baik diperlukan cara
pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan
penanganan bahan baku.
Cara penarikan kandungan kimia obat dalam tanaman sangat
menentukan senyawa apa saja yang akan berada dalam ekstrak. Pemilihan
cara ekstraksi yang salah menyebabkan hilangnya atau berkurangnya
senyawa kimia berkhasiat yang diinginkan. Pemahaman tentang sifat zat-
zat kimia yang ada dalam tanaman mutlak diperlukan untuk mendukung
pemilihan cara ekstraksi.
Identifikasi awal untuk menentukan kandungan kimia tanaman
obat dapat dilakukan dengan reaksi waran maupun kromatografi.
Informasi awal kadungan kimia dengan reaksi warna dan kromatografi,
sangat bermanfaat untuk menentukan penelitian selanjutnya terhadap
tanaman obat tersebut, apakah berpotensi untuk dilakukan isolasi terhadap
salah satu zat yang berkhasiat dan dibuat sintesisnya.

1.2Tujuan Percobaan

1. Mahasiswa mampu memahami prinsip – prinsip dasar Kromatografi Lapis


Tipis.
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasi senyawa kimia yang terkandung
dalam ekstrak lengkuas dengan cara kromatografi lapis tipis.
2. Mahasiswa mampu menghitung nilai Rf ekstrak lengkuas secara
kromatografi tipis.
3. Mahasiswa mampu mengetahui pengaruh fase gerak terhadap nilai Rf
ekstrak lengkuas.
4. Mahasiswa mengetahui perbedaan mutu ekstrak infus, maserasi, perkolasi,
refluks dan sokhletasi berdasarkan uji kandungan kimia ekstrak secara
kromatografi lapis tipis.
1.3 Manfaat
1. Menambah wawasan, melatih keterampilan dalam melakukan identifikasi
zat menggunakan kromatografi kertas, memahami prinsip kerja
identifikasi ekstrak menggunakan kromatografi kertas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kromatografi
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, kromatografi didefinisikan
sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi
differensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih,
salah satu dantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah
tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukan perbedaan mobilitas,
disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan
uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion.
Kromatografi adalah suatu cara pemisahan berdasarkan perbedaan
pengikatan zat-zat dalam campuran oleh suatu sistem dua fase, yaitu fase
stasioner (diam, tidak bergerak) dan fase mobil (bergerak). Pengikatan
oleh fase-fase itu bersifat reversibel.
Jenis-jenis kromatografi dapat digolongkan berdasarkan berbagai
kriteria, yaitu :
1. Berdasarkan mekanisme pengikat zat
a. Kromatografi penjerapan
Pada kromatografi ini zat teradsorpsi pada permukaan partikel fase
stasioner/padat.
b. Kromatografi partisi
Pada kromatografi partisi zat terbagi/terlarut dalam cairan fase
stasioner dan fase mobil.
c. Kromatografi pertukaran ion
Pada kromatografi ini, ion zat terikat pada fase stasioner/padat yang
bersifat penukar ion.
d. Kromatografi eksklusi
Pada kromatografi eksklusif, molekul zat terjaring/terserap di dalam
pori-pori fase stasioner.
e. Kromatografi afinitas
Pada kromatografi ini, zat terikat secara biospesifik, misalnya enzim-
substrat, antigen-antibodi, hormon-reseptor
2. Berdasarkan fasenya
a. Kromatografi cairan
 Kromatografi cairan-cairan
 Kromatografi cairan-padatan
b. Kromatografi gas
 Kromatografi gas-cairan
 Kromatografi gas-padatan
Cairan dapat berlaku sebagi fase stasioner dengan bantuan zat
padat sebagai penyangga/pendukung

3. Berdasarkan kriteria lain


a. Penempatan fase stasionernya dalam tabung (kromatografi kolom)
atau pada permukaan bidang (kromatografi planar)
b. Arah gerak fase mobilnya (kromatografi menaik, kromatografi
menurun, kromatografi mendatar)

Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam analisis kualitatif dan


kuantitatif yang digunakan dalam penetapan kadar dan pengujian farmakope
Indonesia adalah kromatografi kolom, kromatografi gas, kromatografi kertas,
kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi.
Kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih
bermanfaat untuk tujuan identifikasi, karena mudah dan sederhana.
Kromatografi kolom memberikan pilihan fase diam yang lebih luas dan
berguna untuk pemisahan masing-masing senyawa secara kuantitatif dari
suatu campuran. Kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi
kedua-duannya membutuhkan peralatan yang lebih rumit dan umumnya
merupakan metode dengan resolusi tinggi yang dapat mengidentifikasikan
serta menetapkan secara kuantitatif bahan dalam jumlah yang sangat kecil.
Dalam kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis, perbandingan
jarak rambat (diukur sampai titik yang memberikan intensitas maksimum
pada bercak) suatu senyawa tertentu terhadap jarak rambat fase gerak, diukur
dari titik penotolan, dinyatakan sebagai harga Rf suatu senyawa tersebut.
Perbandingan jarak rambat suatu senyawa tertentu dengan jarak perambatan
baku pembanding dinyatakan sebagai harga Rr.
Bercak yang dihasilkan kromatografi kertas atau lapis tipis letaknya dapat
ditetapkan dengan :
1. Pengamatan langsung jika senyawanya tampak pada cahaya biasa,
cahaya ultraviolet gelombang pendek (254nm) atau gelombang panjang
(366nm)
2. Pengamatan dengan cahaya biasa atau cahaya ultraviolet setelah
disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak
(pereaksi sebaiknya disemprotkan melalui alat pengabut)
3. Menggunakan pencacah Geiger-muller atau tehnik autoradiografi jika
terdapat zat radioaktif
4. Menempatkan potongan penjerap dan zat pada media pembiakan yang
telah ditanam untuk melihat hasil stimulasi atau hambatan pertumbuhan
bakteri.

Untuk kromatografi lapis tipis sama dengan kromatografi kertas menaik,


dipakai plat alumunium yang panjangnya sekitar 10 cm dan lebar 4 cm. Eluen
(juga disebut pelarut, cairan pengelusi, cairan pengembang, cairan
penghantar) pada kromatografi lapis tipis biasanya merupakan campuran 2
komponen atau lebih. Yang berlaku sebagai fase mobil selanjutnya adalah
bagian campuran yang kurang Polar.
Zat atau campuran yang diperiksa dilarutkan dalam pelarut yang sesuai,
kemudian diteteskan pada plat alumunium dengan bantuan pipa kapiler. Titik
penetesan zat kira-kira 1cm dari tepi bawah plat atau pada jarak yang sesuai.
Elusi dilakukan setelah eluen ditempatkan dalam bejana yang sesuai.
Bejana itu kemudian dijenuhkan dengan uap eluennya dengan cara
menutupnya dan mendiamkannya selama beberapa jam. Penjenuhan akan
lebih baik dengan cara meletakkan kertas saring yang dibasahi dengan eluen
pada dinding dalam bejana. Ujung plat dicelupkan ke dalam eluen, dengan
menjaga agar zat yang diperiksa tidak terendam.

Dasar teori kromatografi lapis tipis sama dengan kromatografi kertas. Pada
kromatografi lapis tipis, zat penjerap merupakan lapisan tipis serbuk halus
yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastik atau logam secara merata,
umumnya digunakan lempeng kaca. Lempeng yang dilapisi dapat dianggap
sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat
didasarkan pada adsorpsi, partisi atau kombinasi kedua efek, tergantung dari
jenis zat penyangga, cara pembuatan dan jenis pelarut yang digunakan.
Biasanya fase padatnya berupa adsorben yang relatif kuat sehingga
mekanisme pemisahan yang dominan berdasarkan perbedaan adsorpsi.

Lapisan fase padat/adsorben dapat dibuat sendiri, tetapi juga tersedia


lapisan siap pakai buatan pabrik. Kelembaban lapisan adsorben mempengaruhi
daya adsorpsinya, kekuatan adsorpsi berkurang pada adsorben lembab. Untuk
“mengaktifkan” adsorben sebaiknya dilkaukan pengeringan melalui
pemanasan pada suhu 100°C-105°C selama 1 jam.
Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan bercak dengan harga
Rf yang identik dan ukuran yang hampir sama, dengan menotolkan zat uji dan
baku pembanding pada lempeng yang sama. Pengukuran kuantitatif
dimungkinkan bila digunakan densitometri, fluoresensi atau pemadaman
fluoresensi atau bercak dapat dikerok dari lempeng kemudian diekstraksi
dengan pelarut yang sesuai dan diukur secara spektrofotometri.

Pelaksanaan kromatografi lapis tipis menurut farmakope Indonesia edisi


IV yaitu sebagai berikut :
Totolkan larutan uji dan larutan baku menurut cara yang tertera pada
masing-masing monografi dengan jarak antara lebih kurang 1,5 – 2 cm dari
tepi bawah lempeng, dan biarkan mongering
Hindarkan gangguan fisik terhadap zat penjerap pada waktu penotolan
atau selama bekerja dengan lempeng. Beri tanda pada jarak 10-15 cm di atas
titik penotolan.
Tempatkan lempeng pada rak penyangga hingga tempat penotolan terletak
di sebelah bawah dan masukkan rak ke dalam bejana kromatografi. (pelarut
dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap tetapi titik
penotolan jangan sampai terendam)

Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan sistem hingga pelarut
merambat 10-15 cm di atas titik penotolan. Keluarkan lempeng dari bejana,
buat tanda batas rambat pelarut, keringkan lempeng di udara dan amati bercak.
Tentukan nilai Rf.
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Pelaksanaan

Waktu : Rabu 7 november 2018


Tempat : Laboratorium Farmakognosi Jurusan Farmasi Poltekkes
Jakarta II

3.2 Alat dan Bahan


ALAT

1. Bejana kromatografi
2. Lampu UV
3. Plat kromatografi
4. Waterbath
5. Cawan penguap
6. Kaca arloji
7. gelas ukur
8. beaker glass
9. ATK
10. Pipa kapiler (untuk menotol)
11. Corong pisah
12. Kertas pH universal

BAHAN

1. 1 buah jamu (ekstrak binahong)


2. Paracetamol
3. Kloroform
4. Etanol
5. Metanol
6. NaOH 1 N
7. HCL 0,1 N
3.3 Cara Kerja

1. Pembuatan fase gerak Kloroform : Metanol


 Kloroform : 9 ml
 Etanol : 1 ml

Masukkan masing-masing pelarut sesuai volumenya ke dalam beaker


Glass, aduk hingga homogen.

2. Penjenuhan bejana
Masukkan 50 ml fase gerak tersebut ke dalam bejana kromatografi.
Diamkan dalam keadaan tertutup selama 1 jam.

3. Persiapan lempeng KLT


Siapkan lempeng KLT dengan P : 10 cm dan L : 4 cm, jarak titik totol
dari samping plat 0,5 cm, jarak antar noda 1 cm, jarak titik totol 1 cm
dari dasar plat, dan jarak elusi 8 cm

4. Pembuatan larutan percobaan


1. Larutan Uji
a. Sejumlah satu dosis cuplikan yang telah diserbuk halus
dimasukkan kedalamlabu Erlenmeyer 250 ml ditambahkan 50 ml
air, dibasahkan dengan NaOH 1N hingga pH 9-10 kocok selama 30
menit dan saring
b. Filtrate diasamkan dengan beberapa tetes asam klorida 0,1N
hingga pH 3-4 diekstrasi sebanyak 2x setiap kali dengan 20 ml
kloroform
c. Ekstrak kloroform diuapkan diatas water bath hingga hampir
kering, sisa dilarutkan dengan etanol 5 ml
2. Larutan Kontrol
Dengan cara yang sama dilakukan ekstrasi dengan satu dosis
cuplikan yang telah ditambah masing-masing dengan 15 mg
paracetamol
3. Larutan Baku
Sejumlah lebih kurang 15 mg paracetamol ditimbang seksama
dilarutkan dengan etanol 5 ml

5. Penotolan (Spotting)
Totolkan larutan penotolan dengan pipa kapiler. Keringkan dengan
bantuan hair dryer agar totolan tidak melebar. Beri tanda sesuai nama
ekstrak.

6. Elusi
Masukkan plat KLT yang telah ditotolkan ke dalam bejana
kromatografi dengan bagian alumunium menempel pada dinding
bejana, dengan bagian bawah menyentuh dasar bejana. Biarkan fase
gerak naik hingga jarak elusi 8 cm. Angkat plat KLT, biarkan
mengering, amati hasil dibawah sinar UV 254 dan 366 nm. Beri tanda
pada noda dengan pensil. Hitung Rfnya.

a. Hasil Percobaan

Sampel Jamu Fase gerak kloroform : metanol

Uji -

Kontrol (1) 3,2 / 6,4 = 0,5


(2) 3,6 / 6,4 = 0,5625

Baku 3,5 / 6,4 = 0,546875

3.5 Pembahasan
Pada praktikum kromatografi lapis tipis ini menggunakan sampel
jamu ekstrak binahong.
Kromatografi lapis tipis salah satu metode pemisahan komponen
menggunakan fase diam berupa plat dengan lapisan adsorben inert. Alat
dan Bahan yang digunakan pada kromatografi lapis tipis antara lain
Bejana kromatografi, Lampu UV, Plat kromatografi, Waterbath, Cawan
penguap, Kaca arloji, gelas ukur, beaker glass, ATK, Pipa kapiler (untuk
menotol), Corong pisah, Kertas pH universal, 1 buah jamu (ekstrak
binahong), Paracetamol, Kloroform, Etanol, Metanol, NaOH 1 N, dan
HCL 0,1 N.
Fase gerak yang digunakan adalah kloroform : methanol . Fase gerak
dibuat sebanyak 10 ml.
Cara kerja dalam kromatografi lapis tipis :
a. Pembuatan fase gerak sebanyak 10 ml
b. Penjenuhan bejana
c. Persiapan lempeng KLT
d. Pembuatan larutan percobaan
e. Penotolan
f. Elusi
Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 – 0,8. Jika Rf terlalu tinggi,
yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen. Sebaliknya
jika Rf terlalu rendah, maka kepolaran eluen harus ditambah.
Dari hasil praktikum diperoleh Rf kloroform: metanol
a. Uji :-
b. Kontrol : (1) 3,2 / 6,4 = 0,5
(2) 3,6 / 6,4 = 0,5625
c. Baku : 3,5 / 6,4 = 0,546875
Dari hasil praktikum yang dilakukan dengan menggunakan
larutan sampel jamu ekstrak binahong Rf yang diperoleh ada yang
memenuhi range Rf KLT.

b. Kesimpulan
Dari praktikum kali ini kami memahami prinsip-prinsip dasar
kromatografi lapis tipis.

Dari praktikum kali ini kami mampu mengidentifikasi senyawa kimia


yang terkandung dalam ekstrak binahong dengan cara kromatografi lapis tipis.

Dari praktikum kali ini kami mampu menghitung nilai Rf ekstrak


binahong secara kromatografi lapis tipis.
Dari praktikum kali ini kami mengetahui pengaruh fase gerak terhadap
nilai Rf ekstrak.

Dari praktikum kali ini kami mampu mengetahui mutu ekstrak


berdasarkan uji kandungan kimia ekstrak secara kromatografi lapis tipis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Penyusun. 2013. Buku Panduan Praktikum Fitokimia. Politeknik

Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta II.

2. Depkes RI. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen


Kesehatan Republik Indonesia. 1995.
Lampiran Gambar

Anda mungkin juga menyukai