1459 193 4185 2 10 20200304
1459 193 4185 2 10 20200304
1459 193 4185 2 10 20200304
Nuryanti1*, Harwoko, Lidah buaya (A.vera) dengan kandungan antrakuinon memiliki aktivitas sebagai laksatif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat sediaan suppositoria dari ekstrak terpurifikasi
Rani Saskia Jeanita, kulit daun lidah buaya (A.vera) yang memenuhi persyaratan fisik suppositoria dengan variasi
Ade Rizki Nur Azhar basis oleum cacao dan cera alba serta PEG 400 dan PEG 6000. Penelitian ini adalah
penelitian eksperimen dengan memformulasikan ekstrak terpurifikasi kulit daun lidah buaya
1Jurusan Farmasi, (A.vera) dengan variasi basis oleum cacao dan cera alba serta PEG 400 dan PEG 6000.
Pembuatan suppositoria menggunakan metode cetak tuang, evaluasi sifat fisik meliputi:
Universitas Jenderal
organoleptis, keseragaman bobot, titik lebur, waktu leleh, dan kekerasan. Data organoleptis
Soedirman dan keseragaman bobot yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif sedangkan
e-mail: uji yang lain dianalisis menggunakan metode statistik Anava pada taraf kepercayaan
nu unsoed@yahoo.com 95%,kemudian dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa suppositoria dengan sifat fisik paling baik adalah suppositoria basis
oleum cacao dengan penambahan cera alba sebesar 4% dan suppositoria dengan rasio
Kata kunci:
konsentrasi basis 50% PEG 400 dan 50% PEG 6000.
A.vera, PEG 400, PEG
6000, cera alba,
suppositoria
Keywords: A.vera with the content of anthraquinone have activity as laxative. The purpose of this
A.vera, PEG 400, PEG research is to create a suppository dosage form of purified extract of A.vera which meets the
physical requirements of suppositories with various base oleum cacao and cera alba and PEG
6000, cera alba,
400 and PEG 6000. This research is an experimental research by formulating the extract of
suppository A.vera by added variying base oleum cacao and cera alba and PEG 400 and PEG 6000, used
a cast method, the evaluation of the physical properties of suppositories include:
organoleptic, uniformity of weight, melting time, melting point and hardness. Organoleptic
data and uniformity of weight obtained were analyzed using descriptive analysis, while the
other test data were analyzed using statistical methods Anava one direction with a level of
95% followed by Least Significant Difference test (LSD). The results showed that
suppository which provide the most excellent physical properties is suppository base oleum
cacao with the addition 4% of cera alba and suppository with a concentration ratio of base
50% PEG 400 and 50% PEG 6000.
-t
O
o
II 96,5 : 3,5
Serbuk simplisia kulit daun lidah buaya yang
III 96 : 4 50 : 50 digunakan dalam maserasi yaitu sebanyak 1055 g
IV 95,5 : 4,5 dan diperoleh ekstrak kental bebas pelarut sebesar
o
-t
o
9,3% dan ekstrak tidak larut n-heksana sebesar
V 95 : 5 70 : 30 55,3%. Rendemen untuk ekstrak kental daun lidah
Evaluasi Sediaan Supositoria buaya memenuhi persyaratan yaitu tidak kurang
dari 0,4% (Depkes RI, 2011).
Organoleptis : Tiga dari setiap formula suppositoria
dibelah secara vertikal dan horizontal kemudian Hasil identifikasi antrakuinon dengan cara
diamati secara visual pada bagian internal dan menambahkan 2 mL asam nitrat ke dalam 5 mL
eksternal untuk melihat tekstur, bentuk, dan ekstrak terpurifikasi kulit daun lidah buaya
warnanya. menunjukkan ada perubahan warna dari cokelat
kehijauan menjadi cokelat kemerahan yang
Uji keseragaman bobot : Suppositoria ditimbang mengindikasikan adanya antrakuinon dalam
sebanyak 20 buah lalu ditentukan bobot rata- ekstrak (Gunawan dan Mulyani, 2004). Unsur-
ratanya. Persyaratan uji keseragaman bobot ini unsur kimia yang terkandung di dalam daging lidah
mengacu pada persyaratan uji keseragaman bobot buaya antara lain : lignin, saponin, anthraquinone,
tablet yaitu jika ditimbang satu persatu tidak boleh vitamin, mineral, gula dan enzim (Saeed, et al,
lebih dari 2 suppositoria yang masing-masing 2004). Antraquinon yang terdapat dalam lidah
bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya buaya antara lain aloin, barbaloin, anhtranol,
lebih dari harga yang ditetapkan kolom A (5%) dan
anthracene, aloetic acid, dan aloe emodin
tidak satu suppositoriapun yang bobotnya
(Sulistiawati, 2011). Indentifikasi antraquinon
menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih dari
dilakukan dengan asam nitrat akan menghasilkan
harga yang ditetapkan di kolom B (10%) seperti
warna karena adanya reaksi azotasi. Adanya ikatan
pada Tabel 2 (Depkes RI, 1979).
antara gugus N pada asam nitrat dengan gugus
Tabel 2. Persyaratan Keseragaman Bobot antrakuinon (Okada et al, 2008).
skala besar atau skala pabrik. formula suppositoria dengan basis oleum cacao
dan cera alba serta suppositoria dengan basis PEG
400 dan PEG 6000 memenuhi persyaratan karena
tidak satupun suppositoria melebihi batasan
persyaratan keseragaman bobot yang ditetapkan
British Pharmacopoeia yaitu tidak lebih dari 2
suppositoria yang masing-masing bobotnya
menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih dari 5%
dan tidak satu suppositoriapun yang bobotnya
menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih dari 10%
(British Pharmacopoeia Commission, 2002).
Berdasarkan evaluasi keseragaman bobot dapat
disimpulkan bahwa variasi konsentrasi oleum
cacao dan cera alba serta PEG 400 dan PEG 6000
Gambar 1. Penampilan fisik suppositoria dengan tidak mempengaruhi keseragaman bobot
basis oleum cacao dan cera alba suppositoria yang dihasilkan
Hasil organoleptis dari semua formula suppositoria Tabel 3. Bobot Rata-rata Suppositoria
dengan basis oleum cacao dan cera alba pada
gambar 1 menunjukkan setelah sediaan dibelah Bobot rata-rata suppositoria
secara vertical dan horizontal, didapatkan warna ___________(g) + SD__________
sediaan suppositoria yang merata dan tidak terdapat
penumpukkan zat aktif di bagian suppositoria. Oleum cacao : PEG 400 :
Cera alba PEG 6000
Menunjukkan bahwa ekstrak terpurifikasi kulit
daun lidah buaya terdistribusi merata keseluruh 2.81 + 0,09
bagian suppositoria. Metode cetak yang digunakan 2.86 + 0,05
memberikan bentuk sediaan suppositoria yang
sesuai dan merata. 2.82 + 0,04
I 2,20 + 0,07 2.87 + 0,05
II 2,22 + 0,07 2,78 + 0,09
III 2,23 + 0,05
Uji titik lebur.
IV 2,28 + 0,06 Uji titik lebur
V 2,30 + 0,08 suppositoria
dilakukan untuk
mengetahui titik
lebur antar formula yang
dipengaruhi oleh variasi konsentrasi oleum cacao
F.I F.II F.III F.IV F.V dan cera alba serta PEG 400 dan PEG 6000. Uji
titik lebur suppositoria dilakukan pada setiap
formula yang direplikasi sebanyak tiga kali dengan
Gambar 2. Penampilan fisik suppositoria dengan
mengunakan alat uji titik lebur "STUART".
basis PEG 400 dan PEG 6000
Pembacaan suhu titik lebur yaitu ketika
Penampilan fisik suppositoria dengan basis PEG
suppositoria dalam pipa kapiler berubah dari padat
400 dan PEG 6000 menunjukkan suppositoria
menjadi cair pada pipa kapiler.
homogenan, dilihat dari meratanya warna pada
Hasil uji titik lebur pada Tabel 4 menunjukkan
sediaan setelah dibelah secara vertikal maupun
bahwa penambahan cera alba dalam sediaan
horizontal. Suppositoria yang dihasilkan berbentuk
suppositoria dapat meningkatkan suhu lebur
torpedo dengan warna coklat kehijauan dan
suppositoria dalam basis oleum cacao sehingga
teksturnya semakin lunak dari FI sampai FV.
menghasilkan titik lebur dalam penelitian berkisar
Uji keseragaman bobot 35,4 -38,2°C. Oleum cacao adalah senyawa
Uji keseragaman bobot ini dilakukan untuk trigliserida yang merupakan golongan lipid netral,
mengetahui apakah semua suppositoria yang ester dari gliserol dengan 3 mol asam lemak.
dihasilkan mempunyai bobot seragam yang artinya Trigliserida berbentuk cair pada suhu ruang karena
masing-masing bobot suppositoria tidak banyak mengandung asam lemak tak jenuh bertitik
menyimpang dari bobot rata-ratanya.Suppositoria lebur rendah. Cera alba ini berfungsi sebagai zat
ditimbang sebanyak 20 buah dengam mengambil pengeras atau stiffening agent. Penambahan cera
secara acak setiap formula, lalu dihitung rata- alba sekaligus memperbaiki sifat polimorf oleum
ratanya, data penimbangan dan perhitungan bobot
rata-rata. Hasil uji keseragaman bobot pada Tabel
3 menunjukkan bahwa keseragaman bobot semua
Acta Pharmaciae Indonesia 41
Maret 2016, 4(1) 37-44; ISSN: 2337-8433
cacao agar sediaan suppositoria stabil secara fisik. Titik Lebur Rata-rata (oC)
Pada Tabel 4 terlihat bahwa terjadi kenaikan titik
lebur dari suppositoria yang dipengaruhi dengan Formula Oleum cacao : PEG 400 :
Cera alba PEG 6000
meningkatnya konsentrasi cera alba dalam formula.
Menurut Breman (2009), kisaran nilai normal suhu V 38,2 40,3
tubuh pada rektal adalah 36,6o-37,9oC. Suhu
lebur optimal ditunjukkan pada Formula III dan
IV dengan konsentrasi cera alba 4% dan 4,5% yang Uji waktu leleh
melebur pada kisaran suhu tubuh yaitu 36,8o- Uji waktu leleh dilakukan untuk mengetahui berapa
37,5oC. Hasil analisis anova satu arah dengan taraf lamanya waktu suppositoria untuk melarut di
kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa titik lebur dalam tubuh. Pengamatan pada uji ini dilakukan
antara formula satu dengan formula lainnya dengan mengamati suppositoria sampai benar-
mempunyai perbedaan yang signifikan. Ada benar melarut tanpa ada gumpalan fraksi dari
perbedaan nilai rata-rata titik lebur pada masing- suppositoria.
masing formula atau ada pengaruh konsentrasi cera Hasil uji waktu leleh pada Tabel 5 menunjukkan
alba terhadap titik lebur formula. sediaan suppositoria dengan basis oleum cacao dan
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa formula I cera alba pada suhu 37oC yaitu: formula 1 meleleh
dengan perbandingan PEG 400 : PEG 600 sebesar dengan rata-rata waktu 3 menit 15 detik, formula
70% : 30% mempunyai titik lebur rata-rata paling II 3 menit 31 detik, formula III 4 menit 31 detik,
tinggi yaitu 53,9°C dan pada formula V dengan formula IV 4 menit 45 detik dan formula V 5 menit
perbandingan PEG 400 : PEG 6000 sebesar 30% : 35 detik. Hasil uji tersebut menunjukkan semakin
70% mempunyai titik lebur paling rendah yaitu tinggi konsentrasi cera alba maka semakin lama
40,38°C. Hasil titik lebur menunjukkan semakin waktu yang dibutuhkan untuk meleleh. Hal ini
besar konsentrasi PEG 400 dan semakin kecil dikarenakan konsentrasi cera alba di dalam oleum
konsentrasi PEG 6000 menyebabkan menurunnya cacao semakin meningkat. Cera alba berfungsi
titik lebur suppositoria. Hal ini dikarenakan PEG sebagai zat pengeras atau stiffening agent. Cera
400 dalam bentuk cair mempunyai titik lebur alba memiliki suhu leleh lebih tinggi dibandingkan
yang jauh lebih rendah dari pada PEG 6000, oleum cacao sehingga dengan bertambahnya
sehingga PEG 400 akan menurunkan suhu lebur konsentrasi cera alba dibutuhkan waktu yang lebih
dari PEG 6000 sehingga menghasilkan titik lebur lama untuk meleleh. Namun semua formula
dalam penelitian berkisar 40,28-53,9°C. Menurut meleleh kurang dari 30 menit dan hal ini memenuhi
El-Majri et al (2010) titik lebur suppositoria persyaratan waktu leleh untuk basis lipofil yaitu
dengan basis PEG 400 : PEG 6000 (4 : 6) berkisar tidak lebih dari 30 menit (Voight, 1995). Analisis
antara 39-46°C. Berdasarkan penelitian tersebut anova satu arah dengan taraf kepercayaan 95%
formula suppositoria yang memiliki titik lebur menghasilkankan signifikan 0.000 < 0.05 yang
yang baik pada penelitian ini yaitu formula III, menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai rata-rata
IV, dan V. Hasil analisis Anova satu arah dengan waktu leleh pada masing-masing formula atau ada
taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi cera alba terhadap waktu
terdapat perbedaan akibat variasi konsentrasi PEG leleh formula
400 dan PEG 6000 terhadap titik lebur
suppositoria. Uji statistika titk lebur dilanjutkan Tabel 5. Waktu Leleh Rata-rata Suppositoria
dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk
mengetahui perbedaan antar masing-masing Waktu Leleh Rata-rata (oC)
formula, hasil uji BNT menunjukkan bahwa antar
Formula Oleum cacao : PEG 400 :
formulaterdapat perbedaan. Cera alba PEG 6000
Tabel 4. Titik Lebur Rata-rata Suppositoria
I 2,54 30.9
II 3,15 30.5
Titik Lebur Rata-rata (oC)
III 3,31 24.3
Oleum cacao IV 4,31 23.6
Formula PEG 400 : V 4,45 18.5
Cera alba
PEG 6000
35.4
I 53,9 Pada Tabel 5 terlihat bahwa semakin tinggi
36,1 36,8
II 37.5 48,9 konsentrasi PEG 400 dan semakin rendah
konsentrasi PEG 6000 dalam formula
III 45,9
menyebabkan waktu melarut suppositoria semakin
IV 44,8
42 Nuryanti dan kawan-kawan
cepat. Waktu leleh paling lama adalah formula I divariasikan persentase formulanya untuk
dengan konsentrasi PEG 400 30% dan PEG 6000 mengetahui pengaruh konsentrasi cera alba dalam
70% yaitu rata-rata 30.9 menit dan waktu leleh formulasi suppositoria terhadap sifat fisik
paling cepat adalah formula V dengan konsentrasi sediaan, termasuk kekerasan suppositoria.. Hasil
PEG 400 70% dan PEG 6000 30% yaitu rata-rata analisis Anova satu arah dengan taraf
18.5 menit. Konsentrasi PEG 400 yang semakin kepercayaan 95% menunjukkan formmula I tidak
tinggi dapat menyebabkan waktu leleh suppositoria berbeda signifikan dengan II, dan berbeda
semakin singkat, karena PEG 400 mempunyai signifikan dengan III, IV, dan V. Formula III, I
bobot molekul rendah yaitu 380 sampai 480
sedangkan PEG 6000 mempunyai bobot molekul Tabel 6. Kekerasan Rata-rata Suppositoria
antara 7000 sampai 9000 sehingga semakin tinggi Kekerasan Rata-rata (g)
konsentrasi 400 akan membutuhkan air yang lebih
Formula Oleum cacao : PEG 400 :
sedikit untuk membentuk jembatan hidrogen antara Cera alba PEG 6000
oksigen eter dengan molekul air (Voight, 1995).
Semakin cepat waktu leleh dari suppositoria I 1400 1600
semakin baik karena semakin cepat suppositoria
meleleh dalam tubuh. Menurut Voight (1995) II 1500 1550
persyaratan suppositoria dengan basis larut dalam III 1800 1425
air misalnya PEG meleleh tidak lebih dalam waktu
IV 1875 1025
60 menit, dengan demikian formula suppositoria
ekstrak terpurifikasi kulit daun lidah buaya V 1950 450
memenuhi persyaratan waktu leleh. Hasil uji
Anova satu arah dengan taraf kepercayaan 95% Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan akibat semakin besar konsentrasi PEG 400 dan semakin
variasi konsentrasi PEG 400 dan PEG 6000 kecil konsentrasi PEG 6000 maka akan
terhadap waktu leleh suppositoria. Kemudian hasil menurunkan beban uji kekerasan suppositoria yang
uji BNT menyatakan bahwa formula V berbeda artinya hanya dengan menambahkan sedikit beban
signifikan dengan formula I, II, III, dan IV. uji suppositoria maka suppositoria akan hancur.
Beban uji yang paling besar adalah formula V
Uji kekerasan. dengan perbandingan PEG 400 : PEG 6000 adalah
Uji kekerasan ini dilakukan untuk menguji 30% : 70%. Sedangkan beban uji paling sedikit
seberapa keras suppositoria sehingga dapat adalah formula V dengan perbandingan PEG 400 :
bertahan pada proses produksi, distribusi dan PEG 6000 adalah 70% : 30%. Semakin besar
penyimpana (Depkes RI, 1995). Waktu dan beban konsentrasi PEG 400 dan semakin kecil konsentrasi
yang diperlukan dicatat sehingga masing-masing PEG 6000 akan meningkatkan tingkat kerapuhan
suppositoria hancur. Apabila suppositoria hancur suppositoria dikarenakan bentuk PEG 400 yang
pada detik antara 0-20 detik maka beban berupa cairan, semakin banyak diberikan maka
dianggap tidak ada, apabila suppositoria hancur suppositoria akan semakin lunak. Menurut
pada detik antara 21-40 detik maka beban Baviskar et al. (2013) suppositoria yang memiliki
tambahan dihitung setengahnya, dan apabila kekerasan yang optimum berkisar antara 1500-
suppositoria hancur pada detik antara 41 - 60 detik 2500 gram. Dengan demikian suppositoria yang
maka beban tambahan dihitung penuh. Hasil uji memenuhi uji kekerasan adalah formula I dan II
kekerasan masing-masing formula pada Tabel 6 tetapi karena pada hasil uji titik lebur formula I dan
yaitu: Formula I hancur sampai dengan II tidak memenuhi persyaratan maka formula III
penambahan beban rata-rata 1400 gram, Formula yang dipilih pada uji kekerasan ini karena
II 1500 gram, Formula III 1800, Formula IV 1875 rentangnya mendekati persyaratan (1500-2500 g).
dan Formula V 1950, belum hancur sampai dengan Hasil uji Anova satu arah dengan taraf kepercayaan
penambahan beban rata-rata 1600 gram. 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
Berdasarkan hasil uji kekerasan suppositoria ini, akibat variasi konsentrasi PEG 400 dan PEG 6000
diketahui bahwa Formula III,IV dan V memiliki terhadap terhadap kekerasan. Kemudian
kekerasan suppositoria yang paling baik karena dilanjutkan dengan uji BNT yang menunjukkan
memenuhi syarat kekerasan suppositoria dengan formula I dan formula II tidak berbeda signifikan,
basis oleum cacao yang berkisar antara 1800 - sedangkan formula III, formula IV, dan formula V
2000 gram (Sriwidodo, 2009) (Lachman, 1994). berbeda signifikan dengan semua formula.
Cera alba ini berfungsi sebagai zat pengeras atau Kombinasi dari dua PEG dengan berat molekul dan
stiffering agent. Cera alba mengandung miristat
dan palmitat dimana pada suhu ruang akan bersifat
padat karena mengandung asam lemak jenuh
bertitik lebur tinggi, sehingga sifat ini akan
membuat penambahan cera alba akan berpengaruh
pada kekerasan sediaan suppositoria.
Pada penelitian ini oleum cacao dan cera alba
Acta Pharmaciae Indonesia 43
Maret 2016, 4(1) 37-44; ISSN: 2337-8433
dicampur dalam proporsi yang berbeda dapat Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian dan
menghasilkan suppositoria dengan konsistensi, Pengabdian Masyarakat UII,
kekerasan dan profil pelepasan obat yang Yogyakarta
diinginkan. Suppositoria dengan basis PEG ini Departemen Kesehatan RI, 1979, Farmakope
bukan mencair pada suhu tubuh melainkan larut Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen
dalam cairan tubuh. Sediaan ini memiliki titik lebur Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
yang relatif tinggi yang memudahkan penyimpanan Departemen Kesehatan RI, 2011, Suplemen II
tanpa perlu pendinginan dan terhindar dari resiko Farmakope Herbal Indonesia, Edisi 1,
mudah melunak dalam kondisi hangat. PEG tidak Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
bergantung pada suhu tubuh untuk mencair El-Majri, M,A., Sharma, R,K., 2010, Formulation
sehingga memungkinkan dispersi obat lebih cepat. and evaluation of piroxicam suppositories,
Oleh karena itu, suppositoria dengan basis PEG yg International Journal of Drug Delivery, p.107-
bersifat laksatif ini dapat merangsang refleks buang 112.
air besar lebih cepat dan memperpendek waktu Firdausi, I., Retnowati, R., dan Sutrisno, 2015,
kerja usus dibandingkan dengan suppositoria Fraksinasi Ekstrak Metanol Daun Mangga
dengan basis lemak (Li, 2013).Pada kompartemen Kasturi (Mangifera casturi Kosterm) Dengan
intrarectal, efek osmotik PEG mempengaruhi Pelarut n-Butanol, Kimia Student Journal, 1 :
peningkatan volume fase air (Allen, 2010). 785-790
Gunawan, D dan Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat
Simpulan Alam (Farmakognosi), Penebar Swadaya,
Penelitian formulasi dan evaluasi supositoria Jakarta
ekstrak terpurifikasi daun lidah buaya (Aloe vera) Lachman, L., Liebermann, H.A. dan J.I. Kanig,
menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1994, Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi Ketiga. UI Press, Jakarta
Li, Hiu Yu, 2013, The Effect of Excipients on the
1. Formula III suppositoria basis oleum cacao
Stability of Bisacodyl Suppositories, Thesis,
dengan konsentrasi cera alba 4%
Master of Medical Science at University of
menunjukkan penampilan fisik yang paling
Hongkong, Hongkong.
baik, suhu lebur paling mendekati suhu
Milala, A.S., dan Avanti, C., 2006, Penentuan
tubuh rektal yaitu 36,8oC, bobot rata-rata Jumlah Spermaceti untuk Meningkatkan Titik
2,23g, waktu leleh 4 menit 31 detik, dan Lebur Suppositoria dengan Basis Oleum Cacao
kekerasan 1800 gram. yang dibuat di Surabaya, Artocarpus 6 (2) : 79
2. Formula III suppositoria basis PEG 400 dan Mukesh, S, Sikarwar., B, Patil M., Shalini, S.,
PEG 6000 dengan rasio konsentrasi 50% : dan Vishnu, B., 2010, Aloe vera: Plant
50% menunjukkan penampilan fisik yang of Immortality, International Journal of
paling baik, suhu lebur 45,9oC, bobot rata- Pharma Science and Research (IJPSR), 1(1):
rata 2,82 g, waktu leleh 24 menit 31 detik, 7-10
dan kekerasan 1425 gram. Nursal, F.K., Widayanti, A., 2013, Formulasi
Sediaan Suppositoria ekstrak etanol daun
Handeuleum (Graptophyllum pictum (L.)
Daftar Pustaka Griff) Dalam Basis Oleum Cacao, Skripsi,
Allen, L,V, 2010, Secundung Artem: FMIPA Universitas Muhammadiyah
Compounding Rectal Dosage Forms- Part Prof.DR HAMKA, Jakarta.
II, ACPE, 14(4). Okada, Y., Sugane, A., Watanabe, A., dan
Ashafa, A, O, T., Sunmonu, T, O., Abass, A, A., Morita, Z., 2008, Color Variations of
dan Ogbe, A,A.,2011, Laxative Potential of Anthraquinone and Azo Reactive Dyes on
The Ethanolic Leaf Extract of Aloe vera (L.) Cellulose Caused by Nitrogen Oxides Under
Burm.f. in Wistar Rats With Loperamide- Wet Conditions, Dyes and Pigments, 76
Induced Constipation, Journal of (2008) 53-56.
NaturalPharmaceuticals, 2(3): 158-162. Pudjiastuti, 2010, Uji Laksatif Lidah Buaya
Berman A, 2009, Buku Ajar Praktik Keperawatan (Aloe vera L) pada Tikus Putih dengan
Klinis Kozier & Erb, Alih Bahasa Meiliya dkk, Metode Transit Intestinal, Jurnal Bahan
EGC, Jakarta Alam Indonesia, 7(2): 55- 58
British Pharmacopoeia Commission, 2002, British Rowe, R.C., Sheskey, P.J. and Quinn M., E, 2009,
Pharmacopeia, Vol II, Appendix XII H. A, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Lexi-
British Pharmacopoeia Commission
Chabib, L dan Indrati, O., 2009, Formulasi Tablet
Effervescent dari Ekstrak Lidah Buaya
(Aloe vera) sebagai Inovasi Alternatif Pencahar,
44 Nuryanti dan kawan-kawan