LP Fraktur Tibia PINKIN (Ruang Yudha)
LP Fraktur Tibia PINKIN (Ruang Yudha)
LP Fraktur Tibia PINKIN (Ruang Yudha)
FRAKTUR (TIBIA)
DI RUANG YUDHA
Disusun oleh :
NIM : CKR0180219
KAMPUS 2 RS Ciremai
2020
A. Konsep Penyakit
I. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang
dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner and
Suddarth, 2001).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah
kanan maupun kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada
kaki. (E. Oswari, 2011).
Fraktur Tibia adalah patah atau gangguan kontinuitas pada tulang tibia.
Klasifikasi fraktur ada empat yang utama adalah :
1. Incomplit
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang.
2. Complit
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat atau bergeser (bergeser dari
posisi normal).
3. Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas dan tidak menyebabkan robekan pada kulit.
4. Terbuka (compound)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan adanya perlukaan di kulit
yang terbagi menjadi 3 derajad :
Derajad 1 : luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit,
tidak ada tanda remuk, fraktur sederhana atau kominutif ringan dan
kontaminasi minimal.
Derajad 2 : laserasi lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak
luas, fraktur kominutif sedang, dan kontaminasi sedang.
Derajad 3 : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas(struktur kulit,
otot, dan neurovaskuler) serta kontaminasi derajad tinggi.
II. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi
yang mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik, Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal
(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik)
III. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak
tangan menyangga. dan kondisi patologisnya Juga bisa karena trauma akibat
tarikan otot misalnya : patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep
dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati (Carpenito, 2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya
serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom
kompartemen (Brunner & suddarth, 2002).
Kondisi patologis
Trauma langsung Trauma tdk langsung
Fraktur
Perdarahan
Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan
Resiko syok
(hipovolemik)
IV. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur tibia adalah :
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur, dan bertambah jika ditekan/diraba
2. Tak mampu menggerakan kaki
3. Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan posisi
fragmen tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan penyatuan
dan tidak seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek ekstermitas
bawah karena adanya tarikan dari otot ektermitas bawah saat fragmen
tergelincir dan tumpah tindih dengan tulang lainnya. Dan dapat juga terjadi
rotasional karena tarikan yang tidak seimbang oleh otot yang menempel pada
fragmen tulang sehingga fragmen fraktur berputar keluar dari sumbu
longitudinal normalnya.
4. Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena gesekan
antara fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5. Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan
pembuluh darah sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area kulit.
6. Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan
karena terjadi ekstravasasi darah dan cairan jaringan di sekitar area fraktur.
V. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada
tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.
Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen
tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu
pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan
pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan
lunak. Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan aliran darah.
Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
VI. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada fraktur tibia adalah :
1. Komplikasi awal
Compartemant Syndrome, Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan vaskularisasi ektermitas bawah yang dapat
mengancam kelangsungan hidup ektermitas bawah. Mekasnisme terjadi
fraktur tibia terjadi perdarahan intra – compartment, hal ini akan
menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran
balik balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedema.
Dengan adanya oedema tekanan intrakompartemen makin meninggi sampai
akhirnya sedemikian tinggi sehingga menyumbat arteri di
intrakompartemen. Gejalanya rasa sakit pada ektermitas bawah dan
ditemukan paraesthesia, rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan secara
pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada otot-
otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibial anterior.
2. Komplikasi dalam waktu lama :
Malunion : Dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas).
Delayed Union : adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
Non Union : merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
2) Keluhan utama
Faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau
berobat ke rumah sakit.
3) Riwayat kesehatan saat ini
Riwayat kesehatan yang diderita saat ini. Perlu juga ditanyakan mulai
kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk
menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyebab
dari kesehatan terdahulu.
N: 103 x/menit
S: 35.5 ° C
R: 20 x/menit
2. Ds: Pasien mengatakan Trauma tidak Hambatan
nyeri dan linu dikaki bagian langsung mobilitas fisik
lutut
Fraktur
Do:
Diskontinuitas tulang
Pasien tampak pucat
Perubahan jaringan
Terdapat kerusakan sekitar
kulit yang terlihat
Pergeseran fragmen
menghitam
tulang
Deformitas
Gangguan fungsi
ekstermitas
Hambatan mobilitas
fisik
3. Ds : Kondisi patologis Ketidakefektifan
perfusi jaringan
Pasien mengeluh Fraktur perifer
linu dilutut
Diskontinuitas tulang
Pasien mengatakan
Perubahan jaringan
cemas
sekitar
Do :
Spasme otot
K.U lemas dan pucat
Peningkatan tek
Pasien tampak
kapiler
kesakitan dikaki
Pelepasan histamine
Edema
Penekanan pembuluh
darah
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
Daftar Pustaka
E. Oswari, 2011, Bedah dan Perawatannya, cetakan VI, Jakarta.
Keliat Anna Budi, SKp, MSC,2010, Proses Keperawatan, penerbit EGC, Jakarta.
Mariylnn E. Doenges, at all 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi III, penerbit
EGC, Jakarta.
Priharjo Rasional, 2009, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, edisi revisi penerbit
EGC, Jakarta.
Rasjad Chaeruddin, Ph. D. Prof, 2009, Ilmu Bedah Orthopedi, cetakan IV, penerbit
Bintang Lamumpatue, Makassar