Factors Related To Work Behavior in Safe Behavior Application in Pt. Hanil Jaya Steel
Factors Related To Work Behavior in Safe Behavior Application in Pt. Hanil Jaya Steel
Factors Related To Work Behavior in Safe Behavior Application in Pt. Hanil Jaya Steel
Nindya Septiani
Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Bandung, Jawa Barat
E-mail: nindcup@gmail.com
ABSTRACT
Occupational Safety and Health (OSH) behavior is influenced by predisposing, enabling, and reinforcing factors.
Occupational accidents caused by various factors at work can be avoided, if the worker and the company management
have a good will to prevent it. OSH behavior is necessary for the prevention of occupational accidents. The purpose of
this research was to describe the association between predisposing, enabling and reinforcing factors with behavior of
workers (mill line rolling mill 3) on the implementation of safe behavior in PT. Hanil Jaya Steel. This was an observational
descriptive study with cross sectional approach and carried out among 26 respondents. The variables studied were age,
length of employment, level of knowledge, attitude, frequency of worker’s OSH training, frequency of OSH training
which provide by the company, availability of personal protector equipment, regulation assembly, standard operational
procedures assembly, co-workers support, supervisor’s support, reward, punishment and safe behavior. The strength of
relationship between variables were analyzed by using Contingency Coefficient (C). The results showed that there were
weak association between level of knowledge, frequency of worker’s OSH training and behavior (C = 0.085 and C = 0.255,
respectively). There were moderate association between age, length of employment, co-workers support and behavior (C
= 0.398, C = 0.328 and C = 0.400, respectively). And Also there was strong association between attitude and behavior
(C=0.556). It is recommended that the company providing OSH training section frequently for all workers, improving the
monitoring system of workers, and providing reward and punishment program, in order to improve their safe behavior in
preventing occupational accident in workplace.
ABSTRAK
Perilaku K3 dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Kecelakaan kerja yang disebabkan
oleh berbagai faktor dalam pekerjaan bisa dihindarkan, apabila pekerja dan pimpinan perusahaan ada kemauan baik
untuk mencegahnya. Perilaku K3 diperlukan untuk pencegahan kecelakaan kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan hubungan antara faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat mengenai perilaku pekerja
(unit mill line rolling mill 3) terhadap penerapan perilaku aman di PT. Hanil Jaya Steel. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan dilakukan pada 26 responden. Variabel yang diteliti
adalah umur, masa kerja, tingkat pengetahuan, sikap, frekuensi pelatihan K3, frekuensi penyelenggaraan pelatihan K3,
ketersediaan APD, penempelan/pemasangan peraturan, penempelan/pemasangan SOP, dukungan teman kerja, dukungan
pimpinan/pengawas, reward, punishment dan perilaku aman. Kuat hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan
uji Koefisien Kontingensi (C). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang lemah antara pengetahuan dan
frekuensi pelatihan K3 dengan perilaku aman (C = 0,085 dan C = 0,255, berturut-turut). Terdapat hubungan yang sedang
antara umur, masa kerja, dukungan teman kerja dengan perilaku aman (C = 0,398, C = 0,328 dan C = 0,400, berturut-turut)
serta terdapat hubungan yang kuat antara sikap dengan perilaku aman (C = 0,556). Disarankan bagi pihak perusahaan
untuk mengadakan pelatihan K3 secara berkelanjutan kepada semua pekerja, meningkatkan sistem pengawasan pekerja,
serta mengadakan program reward dan punishment dalam rangka meningkatkan penerapan perilaku aman pekerja dalam
pencegahan kecelakaan kerja di tempat kerja.
©2017 IJOSH. Open access under CC BY NC-SA license doi: 10.20473/ijosh.v6i2.2017.257-267. Received 2
February 2017, received in revised form 3 March 2017, Accepted 4 April 2017, Published online: 30 August 2017
258 The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 6, No. 2 Mei-Agust 2017: 257–267
Penyelenggaraan pelatihan K3 yang diadakan Hubungan antara Umur dengan Perilaku Aman
oleh perusahaan termasuk dalam kategori sedang. Responden
Perusahaan mengadakan pelatihan K3 sebanyak 1 Data tabulasi silang antara umur dengan
kali dalam 1 tahun, tetapi belum merata pada seluruh perilaku aman pekerja di bagian mill line rolling
pekerja. mill 3 Juni 2014 pada Tabel 1.
260 The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 6, No. 2 Mei-Agust 2017: 257–267
Tabel 1. Hubungan antara Umur dengan Perilaku Tabel 3. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan
Responden dengan Perilaku Responden
Perilaku Aman Perilaku Aman Total
Umur Total
Kurang Cukup Baik Tingkat Kurang Cukup Baik
(tahun)
n (%) n (%) n (%) N (%) Pengetahuan n n n N
1 0 1 2 (%) (%) (%) (%) C=
18–29 C= 0,085
50 0 50 100 0,456 1 5 1 7
Cukup
1 8 0 9 14,3 71,4 14,3 100
30–39
11,1 88,9 0 100 4 13 2 19
Baik
3 10 2 15 21,1 68,4 10,5 100
> 40
20 66,7 13,3 100 5 18 3 26
Total
5 18 3 26 19,2 69,2 11,5 100
Total
19,2 69,2 11,5 100
Tabel 2. Hubungan antara Masa Kerja dengan Tabel 4. Hubungan antara Sikap dengan Perilaku
Perilaku Responden Responden
Perilaku Aman Perilaku Aman Total
Total
Masa Kerja Kurang Cukup Baik Kurang Cukup Baik
(tahun) Sikap
n n n N n n n N
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) C=
1 5 1 7 C= 1 0 2 3 0,556
1–12 0,328 Cukup
14,3 71,4 14,3 100 33,3 0 66,7 100
2 11 2 15 4 18 1 23
13–24 Baik
13,3 73,3 13,3 100 17,4 78,3 4,3 100
2 2 0 4 5 18 3 26
> 25 Total
50 50 0 100 19,2 69,2 11,5 100
5 18 3 26
Total
19,2 69,2 11,5 100
Nindya Septiani, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku… 261
Masa Kerja
Tabel 6. Hubungan antara Dukungan Teman Kerja
Hasil penelitian menunjukkan masa kerja
dengan Perilaku Responden
responden sebagian besar pada 13–23 tahun (57,7%).
Perilaku Aman Di urutan kedua terbesar yaitu 1–12 tahun (26,9%).
Dukungan Total
Kurang Cukup Baik Masa kerja biasanya dikaitkan dengan
Teman waktu mulai bekerja, pengalaman kerja juga ikut
Kerja n n n N
(%) (%) (%) (%) menentukan kinerja seseorang. Semakin lama masa
C= kerja, maka kecakapan akan lebih baik karena sudah
Kurang 0 1 1 2
0 50 50 100 0,400 menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Seseorang
akan mencapai kepuasan tertentu apabila telah
Cukup 3 8 2 13
23,1 61,5 15,4 100
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Semakin
lama karyawan bekerja, mereka cenderung lebih
Baik 2 9 0 11
terpuaskan dengan pekerjaan mereka. Para karyawan
18,2 81,8 0 100
yang relatif baru cenderung kurang terpuaskan
5 18 3 26 karena berbagai pengharapan yang lebih tinggi
Total
19,2 69,2 11,5 100
(Handoko, 1987).
262 The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 6, No. 2 Mei-Agust 2017: 257–267
Tingkat Pengetahuan tentang Perilaku Aman Oleh karena itu pengetahuan akan bahaya yang
ditimbulkan oleh kecelakaan kerja tersebut serta
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
tindakan pencegahannya perlu diberikan terhadap
pengetahuan responden sebagian besar termasuk
pekerja.
dalam kategori baik (76,9%). Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting Frekuensi Pelatihan K3
untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (overt
behavior). Dari pengalaman dan penelitian terbukti Pelatihan dapat digunakan sebagai strategi yang
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan dikhususkan untuk perubahan perilaku, dengan cara
lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari mengarah pada diperolehnya keterampilan. Namun,
oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). selain untuk mengembangkan keterampilan,
Seorang pekerja, dalam melakukan tindakan pelatihan juga memberikan perubahan pengetahuan
K3 perlu diberi pengetahuan terlebih dahulu agar seseorang mengenai suatu hal. Selain itu pelatihan
mengerti dan sadar akan pentingnya tindakan juga dapat berfungsi untuk mempersiapkan orang-
tersebut, untuk mencegah terjadinya kecelakaan orang guna melaksanakan pekerjaan mereka
kerja. Pengetahuan mengenai perilaku aman dapat (Graeff, 1996).
memengaruhi persepsi seorang pekerja, sehingga Dengan pelatihan Keselamatan dan Kesehatan
ia merasakan hal tersebut sebagai ancaman bagi Kerja (K3) sebagai cues to action (pendorong untuk
dirinya. Hal tersebut dapat mendorong dirinya untuk bertindak), diharapkan seorang pekerja mendapatkan
melakukan tindakan K3 untuk mempertahankan pengetahuan dan informasi baru. Hal tersebut
dirinya dari kecelakaan kerja. Oleh karena itu, dapat memengaruhi seseorang dalam mendapatkan
pekerja dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik pengertian yang benar tentang kerentanan, kegawatan,
diharapkan memiliki kesadaran yang lebih baik dan kerugian dari tindakan pencegahan dan
hingga akhirnya dapat menunjukkan perilaku yang pengendalian yang dilakukan. Pemberian pelatihan
lebih baik pula. juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran
(awareness) mereka mengenai tindakan K3.
Sikap tentang Perilaku Aman
Faktor Pemungkin
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian
besar responden termasuk dalam kategori sikap Frekuensi Penyelenggaraan Pelatihan K3
baik (88,5%). Sikap merupakan reaksi atau Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
respons seseorang yang masih tertutup terhadap bahwa frekuensi penyelenggaraan pelatihan K3
suatu stimulus atau obyek. Dari berbagai batasan di perusahaan termasuk dalam kategori sedang.
tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi Perusahaan mengadakan pelatihan K3 sebanyak
sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya 1 kali dalam 1 tahun, tetapi belum merata pada
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang seluruh pekerja. Penyelenggaraan pelatihan K3
tertutup (Notoatmodjo, 2003). bertujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai
Menurut Mar’at, sikap merupakan produk dan keselamatan dan kesehatan kerja dan keterampilan
proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai baru kepada pekerja, serta untuk memberi
dengan rangsangan yang diterimanya. Sebelum penyegaran dan me-remind mengenai aspek K3
orang itu mendapat informasi atau obyek itu, dalam bekerja.
tidak mungkin terbentuk sikap. Suatu sikap dapat Para pekerja dilatih atau dikembangkan agar
terbentuk pada individu karena adanya keyakinan memperlihatkan perilaku (memberikan prestasi)
akan akibat suatu perilaku. Sikap yang terbentuk sesuai dengan yang ditetapkan oleh perusahaan.
ini dapat bersifat positif maupun negatif tergantung Pelatihan menurut Siluka (1976) dalam Sialagan
pada besarnya pengetahuan. Jadi semakin tinggi (2008), adalah proses pendidikan jangka pendek
tingkat pengetahuan seseorang akan memengaruhi yang mempergunakan prosedur sistemnya dan
terbentuknya sikap dan selanjutnya diwujudkan terorganisir, sehingga pekerja non manajerial
dalam bentuk tindakan (Notoatmodjo, 2003). mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis
Pada perilaku pencegahan kecelakaan kerja, untuk tujuan tertentu. Pelatihan digunakan untuk
sikap dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan melatih pengetahuan dan keterampilan tertentu,
akan ancaman kecelakaan dan keuntungan kerugian keterampilan menggunakan peralatan, mesin, atau
dari melakukan tindakan pencegahan tersebut.
Nindya Septiani, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku… 263
keterampilan manajerial, yang berlangsung dalam untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka
waktu yang relatif singkat dan dalam jangka waktu telah membaca dan memahami peraturan tersebut
pendek baik untuk pekerja manajerial maupun dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang
untuk pekerja bukan manajer. Biasanya, perusahaan konsekuensi apabila melanggarnya. Keterlibatan
mempunyai pelatihan khusus untuk pekerja baru pekerja dalam perumusan peraturan akan membuat
yang tidak melatih suatu keterampilan, tetapi pekerja lebih memahami dan mau mengikuti
diberikan pengetahuan tentang perusahaannya seperti peraturan tersebut (Roughton, 2002).
visi dan misi perusahaan, prosedur kerja, kebijakan, Goetsch (1996) memaparkan bahwa manajemen
dan peraturan tentang pekerjaannya. Program harus merumuskan peraturan yang sesuai,
pelatihan ini bertujuan agar para pekerja dalam mengomunikasikan peraturan tersebut kepada
waktu singkat dapat mengenali dan menyesuaikan pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut di
diri pada perusahaan dan budaya perusahaannya. tempat kerja. Penegakan peraturan merupakan hal
yang sering dilupakan.
Ketersediaan APD
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui Pemasangan SOP
bahwa ketersediaan APD terhadap jumlah pekerja Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
di perusahaan termasuk dalam kategori baik. bahwa tidak ada pemasangan SOP di area kerja
Ketersediaan APD mencukupi jumlah seluruh sehingga termasuk dalam kategori kurang.
pekerja. Pengusaha wajib menyediakan prosedur operasi
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu tertulis yang berisi tentang proses operasi secara
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung, aman, termasuk langkah-langkah untuk tahapan
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara operasi, batas operasi, pertimbangan keselamatan
lain adalah lingkungan fisik, tersedia atau tidak dan sistem keselamatan. Prosedur harus tersedia bagi
tersedianya fasilitas atau sarana yang merupakan karyawan yang memerlukan, dimutakhirkan secara
sumber daya untuk menunjang perilaku (Handoko, berkala dan juga mencakup keadaan khusus.
1987). Menurut Notoatmodjo (2003) salah satu strategi
Sahab (1997) menjelaskan ketersediaan perubahan perilaku adalah dengan menggunakan
APD dapat mencegah perilaku tidak aman dalam kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan dan
bekerja. Fasilitas ketersediaan APD merupakan perundangan yang harus dipatuhi oleh pekerja. Cara
salah satu hal yang penting dalam mewujudkan ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat,
penerapan keselamatan di tempat kerja. Penggunaan akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan
APD merupakan alternatif yang paling terakhir berlangsung lama karena perubahan perilaku yang
dalam hierarki pengendalian bahaya. Lebih baik terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran
mendahulukan tempat kerja yang aman, daripada diri. Sehingga dalam hal ini SOP merupakan hal
melindungi pekerja dengan menggunakan APD. yang harus dirumuskan, mengomunikasikan kepada
pekerja, dan menegakkan SOP tersebut di tempat
Pemasangan Peraturan kerja.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui Dalam upaya untuk meningkatkan keselamatan
bahwa tidak ada pemasangan peraturan terkait kerja, maka perilaku berisiko dapat dicegah. Tahap
larangan dan kewajiban pekerja di area kerja kepatuhan dimulai dari patuh terhadap anjuran/
sehingga termasuk dalam kategori kurang. instruksi. Seringkali kepatuhan dilakukan untuk
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang menghindari hukuman atau untuk memperoleh
mendokumentasikan standar, norma, dan kebijakan imbalan jika memenuhi pedoman. Kepatuhan
untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). berikutnya adalah karena tertarik dengan melihat
Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan tokoh idola yang dikenal dengan tahap identifikasi.
perilaku aman yang mana dapat diterima dan tidak Perubahan perilaku tingkat kepatuhan yang baik
dapat diterima (Sialagan, 2008). adalah internalisasi, individu melakukan sesuatu
Peraturan keselamatan akan lebih efektif karena memahami makna, mengetahui pentingnya
jika dibuat dalam bentuk tertulis kemudian tindakan dan keadaan ini. Hal ini cenderung akan
dikomunikasikan dan didiskusikan dengan seluruh berlangsung lama dan menetap dalam diri individu
pekerja yang terlibat. Pekerja kemudian diminta (Geller, 2001).
264 The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 6, No. 2 Mei-Agust 2017: 257–267
perilaku berfungsi sebagai defense mechanism atau harus dijelaskan kepada mereka sebelum melakukan
pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. pekerjaan dan bimbingan pada hari-hari permulaan
Artinya, dengan perilaku dan tindakannya, manusia bekerja adalah sangat penting (Suma’mur, 1996).
dapat melindungi dirinya dari ancaman-ancaman Dirgagunasa (1992) mengatakan bahwa, lama
yang datang dari luar. kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman
Berdasarkan teori HBM, kemungkinan individu kerja dapat memengaruhi kecelakaan kerja.
akan melakukan tindakan pencegahan tergantung Terutama pengalaman dalam hal menggunakan
secara langsung pada hasil dari dua keyakinan akan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa
penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh
yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat akan lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat
of injury or illness) dan pertimbangan tentang bekerja lebih aman.
keuntungan dan kerugian (benefits and costs)
(Notoatmodjo, 2003). Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Perilaku
Apabila hal ini diterapkan pada perilaku K3 Aman dengan Perilaku Aman
pada pekerja di lingkungan kerja yang berpotensi Berdasarkan uji statistik kontingensi diketahui
terhadap kecelakaan kerja, maka seorang pekerja koefisien kontingensi sebesar 0,085 sehingga kuat
akan berperilaku K3 atau melakukan praktek/ hubungan antara pengetahuan dengan perilaku
tindakan keamanan dalam bekerja untuk dapat responden adalah lemah.
melindungi dirinya dari ancaman-ancaman Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
Hubungan Faktor Predisposisi dengan Perilaku
melalui panca indera manusia, yakni indera
Aman
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
Hubungan Umur dengan Perilaku Aman raba. Sebagian besar manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Kurang lebih 75%–87% dari
Berdasarkan hasil uji statistik dengan
pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui
menggunakan kontingensi, diperoleh koefisien
mata (Notoatmodjo, 2003).
kontingensi sebesar 0,398 maka kuat hubungan
Dalam bidang kesehatan, pengetahuan tertentu
antara umur terhadap perilaku aman responden
tentang kesehatan mungkin penting sebelum suatu
adalah sedang.
tindakan kesehatan pribadi terjadi, tetapi tindakan
Penelitian H.Meltzer dan D. Ludwig dalam
kesehatan yang diharapkan mungkin tidak akan
Hurlock (1980) dikatakan bahwa rata-rata
terjadi kecuali apabila seseorang mendapat isyarat
optimisme ingatan pada para pekerja paling tinggi
yang kuat untuk memotivasinya bertindak atas
pada kelompok usia 30–39 tahun. Sehingga pada
dasar pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo,
rentang usia tersebut pekerja memiliki optimisme
2003).
atau ingatan yang menyenangkan yang baik, dimana
memengaruhi perilaku kerja mereka.
Hubungan Sikap tentang Perilaku Aman dengan
Perilaku Aman
Hubungan Masa Kerja dengan Perilaku Aman
Hasil uji statistik menggunakan uji kontingensi
Berdasarkan hasil uji statistik dengan
menunjukkan koefisien kontingensi 0,556 maka
menggunakan kontingensi diperoleh koefisien
kuat hubungan antara sikap dan perilaku responden
kontingensi sebesar 0,328 maka kuat hubungan
adalah kuat.
adalah sedang. Pengalaman untuk kewaspadaan
Menurut Fishein dan Ajzen, suatu sikap dapat
terhadap kecelakaan bertambah baik sesuai dengan
terbentuk pada individu karena adanya keyakinan
usia, masa kerja di perusahaan dan lamanya bekerja
akan akibat suatu perilaku. Sikap yang terbentuk
di tempat kerja yang bersangkutan. Pekerja baru
ini dapat bersifat positif maupun negatif tergantung
biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk
pada besarnya pengetahuan. Jadi, semakin tinggi
beluk pekerjaan dan keselamatannya. Selain itu,
tingkat pengetahuan seseorang akan memengaruhi
mereka sering mementingkan dahulu selesainya
terbentuknya sikap dan selanjutnya diwujudkan
sejumlah pekerjaan tertentu yang diberikan kepada
dalam bentuk tindakan (Notoatmodjo, 2003).
mereka sehingga keselamatan tidak cukup mendapat
perhatian. Oleh karena itu, masalah keselamatan
266 The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 6, No. 2 Mei-Agust 2017: 257–267
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam secara baik. Orang yang berinteraksi secara baik
suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya dapat menumbuhkan motivasi bekerja. Hal tersebut
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan berdampak pada perilaku kerja yang aman dan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang terjadinya unsafe action pada pekerja yang memiliki
memungkinkan, salah satunya yaitu dengan SOP interaksi baik dapat dihindari (Davis, 1989).
dan peraturan yang berlaku.
Dirgagunasa, Srigali. 1992. Pengantar Psikologi. Notoatmodjo, S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan
Jakarta: Mutiara. Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Fleming and Lardne. 2002. Strategies to Promote Ramli, Soehatman. 2010. Sistem Manajemen
Safe Behavior as Part of a Health and Safety Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS
Management System. Health and Safety Executive. 18001. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Norwich.www.hse.gov.uk/research/crr_pdf/2002/ Roughton, James E. 2002. Developing an Effective
crr02430.pdf (sitasi 25 Maret 2014). Safety Culture: a Leadership Approach. USA:
Geller, E. Scoot. 2001. The Psychology Of Safety Butterworth Heinemann.
Handbook. USA: Lewis Publisher. Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Geotsch, et. al. 1996. Safety and Health Management. Kerja. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.
Amsterdam Hall: Mac Gill Inc. Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Graeff, J.A., J.P Elder, dan E. Mills. 1996. Komunikasi Kerja. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.
untuk Kesehatan dan Perubahan Perilaku. Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Bina Sumber
Handoko, H. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Daya Manusia. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Sialagan, Robin T. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang
Hurlock, E. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Berkontribusi pada Perilaku Aman di PT EGS
Penelitian Sepanjang Rentang Kehidupan. Indonesia Tahun 2008. Tesis. Jakarta: Universitas
Jakarta: Erlangga. Indonesia.
Mangkunegara, Prabu A. 2005. Evaluasi Kinerja Syaaf, Mashruri F. 2008. Analisis Perilaku Berisiko
SDM. Bandung: PT Refika Aditama. (At-Risk Behavior) pada Pekerja Unit Usaha
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Las Sektor Informal di Kota X. Skripsi. Jakarta:
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Universitas Indonesia.