0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
370 tayangan23 halaman

Tugas LP Eliminasi Urine

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 23

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN DASAR PROFESI

“ELIMINASI URINE”

Disusun Oleh:

ZUMIATULLAH AL ULTARI
NIM: P2002066

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN & SAINS WIYATA HUSADA
SAMARINDA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa
urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih
bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya
proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra
(Hidayat, 2010) Eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang
harus di penuhi oleh setiap manusia. Kebutuhan dasar manusia terbagi
menjadi 14 kebutuhan dasar, menyatakan bahwa kebutuhan eliminasi
terdapat pada urutan ke tiga. Apabila sistem perkemihan tidak dapat
berfungsi dengan baik, sebenarnya semua organ akhirnya akan
terpengaruh. Secara umum gangguan pada ginjal mempengaruhi eliminasi.
Sehingga mengakibatkan masalah kebutuhan eliminasi urine, antara lain :
retensi urine, inkontinensia urine, enuresis, dan ureterotomi. Masalah
kebutuhan eliminasi urine sering terjadi pada pasien – pasien rumah sakit
yang terpasang kateter tetap (Hidayat, 2010) Penggunaan kateter urin
merupakan suatu tindakan keperawatan yang banyak dilakukan di rumah
sakit. Kasus pemasangan kateter di Indonesia lebih banyak pada laki-laki
dibanding perempuan. Pada kasus pemasangan kateter dimana sebanyak
4% penggunaan kateter dilakukan pada perawatan rumah dan sebanyak
25% pada perawatan akut. Sebanyak 15% - 25% pasien di rumah sakit
menggunakan kateter menetap. Hal ini dilakukan untuk mengukur haluan
urin dan untuk membantu pengosongan kandung kemih (Basuki, 2011).
Kandung kemih tidak dapat terisi dan berkontraksi pada saat terpasang
kateter, hal ini menyebabkan kapasitas kandung kemih menurun atau
hilang (atonia). Menurunya rangsangan berkemih terjadi akibat
pemasangan kateter tetap dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan
kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi dalam waktu yang lama
pula. Ketika hal ini terjadi pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan
tonusnya. Apabila atonia terjadi dan kateterpun di lepas maka akan terjadi
komplikasi gangguan fungsi perkemihan (Smeltzer & Bare, 2010). Efek
samping dari pemasangan kateter tetap adalah terjadinya inkontinensia
urin. Inkontinensia urin adalah keadaan dimana urin yang keluar terus
menerus setelah kateter dilepas atau pasien tidak mampu mengendalikan
atau menahan urin (Potter & Perry, 2013). Data dari WHO (2012)
menunjukkan 200 juta penduduk dunia mengakami inkontinensia urine.
Sedangkan dari data DEPKES (2012) didapatkan data 5,8 % penduduk
Indonesia mengalami inkontinensia urine. Inkontinensia urin dapat
menimbulkan permasalahan, antara lain : permasalahan medik, sosial,
maupun ekonomi. Permasalahan medik yang terjadi antara lain kerusakan
kulit dan iritasi disekitar kemaluan yang disebabkan oleh urin. Masalah
sosial timbul akibat inkontinensia urin antara lain perasaan malu,
mengisolasi diri dari pergaulannya dan mengurung diri di rumah.
Selanjutnya untuk permasalahan atau dampak ekonomi yang terjadi adalah
pemakaian diapers atau perlengkapan lain guna menjaga supaya tidak
selalu basah oleh urin. Pemakaian setiap hari tentunya memerlukan biaya
yang tidak sedikit ( Purnomo, 2012). Menurut Ni Wayan Oktaviani
(2014), teknik bladder training sangat efektif untuk mengembalikan fungsi
otot-otot detrusor akibat pemasangan kateter terlalu lama. Bladder training
dilakukan untuk mencegah terjadinya inkontinensia urin. Teknik bladder
training terbukti efektif dalam mengembalikan fungsi otot-otot detrusor
akibat pemasangan kateter terlalu lama. Tindakan bladder training
dilakukan dengan indikasi pada pasien dengan terpasang kateter urin.
Menurut Wibowo (2019) teknik bladder training: delay urination terbukti
efektif dalam mencegah inkontinensia urin pada pasien BPH pasca operasi
TVP (p value = 0,091). Bladder training dilakukan untuk mengembalikan
pola perkemihan menjadi normal kembali dan memandirikan pasien untuk
dapat merasakan sensasi berkemih dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran air kemih. Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat
dilakukan pada pasien yang terpasang kateter tetap untuk mencegah
maupun mengatasi inkontinensia urin yaitu dengan dilakukannya bladder
training. Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan
fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau
ke fungsi optimal. Bladder training sangat perlu dilakukan sebelum kateter
tetap dilepas. Tujuannya adalah mengembalikan pola perkemihan menjadi
normal kembali dan memandirikan pasien untuk dapat merasakan sensasi
berkemih dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih.
Oleh karena itu sebelum dilakukan pelepasan kateter, sangat diperlukan
latihan kandung kemih atau bladder training. Menurut Agustin (2014)
bladder training berpengaruh dalam mencegah inkontinensia urin dengan P
value 0,038 atau nilai P value < 0,05. Bladder training dilakukan untuk
melatih kandung kemih dengan tujuan mengembalikan pola normal
perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air
kemih. Teti Nurhasanah dan Ali Hamzah (2017) juga menyatakan terdapat
pengaruh bladder training terhadap penurunan inkontinensia urine dengan
hasil 63,3% responden mampu berkemih secara normal, begitu pula ketiga
jurnal lain yang menunjukkan ada pengaruh bladder training terhadap
fungsi berkemih. Berdasarkan beberapa pendapat diatas menunjukkan
pentingnya bladder training untuk mencegah inkontinensia urin.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
masalah dan faktor apa saja yang mempengaruhi proses eliminasi
seseorang terutama pada pasien
2. Tujuan Khusus
a)Untuk mengetahui anatomi fisiologi terkait kebutuhan eliminasi.
b)Untuk mengetahui mekanisme eliminasi.
c)Untuk mengetahui gangguan-gangguan kebutuhan eliminasi.
d)Untuk mengetahui tanda dan gejala gangguan kebutuhan
eliminasi.
e)Untuk mengetahui pengkajian terhadap gangguan
f) kebutuhan eliminasi.
g)Untuk mengetahui tindakan untuk pemenuhan kebutuhan
eliminasi pasien.
h)Untuk mengetahui evaluasi keperawatan terhadap gangguan
kebutuhan eliminasi
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Eliminasi Urine
Sistem yang berperan dalam eliminasi urine adalah sistem
perkemihan. Dimana sistem ini terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih,
dan uretra. Proses pembentukan urine di ginjal terdiri dari 3 proses yaitu :
filtrasi , reabsorpsi dan sekresi . Proses filtrasi berlangsung di
glomelurus. Proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar
dari permukaan eferen. Proses reabsorpsi terjadi penyerapan kembali
sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat, dan beberapa ion
karbonat. Proses sekresi ini sisa reabsorpsi diteruskan keluar.

B. Klasifikasi Eleminasi urine


a. Retensi urine
Retensi urine adalah akumulasi urine yang nyata didalam kandung kemih
akibat ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih.

b. Dysuria
Adanya rasa setidaksakit atau kesulitan dalam berkemih.

c. Polyuria
Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal , seperti 2500 ml /
hari , tanpa adanya intake cairan.

d. Inkontinensi urine
Ketidaksanggupan sementara atau permanen otot spingter eksternal untuk
mengontrol keluarnya urine dari kantong kemih.

e. Urinari supresi
Adalah berhenti mendadak produksi urine

C. Etiologi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a)Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium
mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan
pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output urine
lebih banyak.
b)Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik
untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot
kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter
untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus
dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang
dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan
mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena
lebih besar metabolisme tubuh
c)Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra
d)Infeksi
e)Kehamilan
f) Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g)Trauma sumsum tulang belakang
h)Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i) Umur
j) Penggunaan obat-obatan

D. Patofisiologi
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan
diatas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera
medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/
inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa
mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya
fraktur atau dislokasi.Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang,efek traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di
medulla spinallis. Cederamedulla spinalis(CMS) merupakan salah satu
penyebab gangguan fungsi saraftermasuk pada persyarafan berkemih dan
defekasi. Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkandengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai
syok spinal. Syokspinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada
medulla spinalis (areflexia)di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini,
otot-otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di
bawah tingkat lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-
refleksnya tidak ada. Hal ini mempengaruhi refleks yang
merangsang fungsi berkemih dan defekasi. Distensi usus dan
ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat diatasi dengan
dekompresi usus (Brunner& Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan
Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat tanda
gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat
dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih
dan gangguan defekasi. Proses berkemih melibatkan 2 proses yang
berbeda yaitu pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung
kemih. Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas
otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin
dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian,
pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih menjadi
bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih.
Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari
aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan
tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran
urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin,
suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen
ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama
fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi
pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus
pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter
eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang
minimal. Pasien post operasi dan post partum merupakan bagian yang
terbanyak menyebabkan retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat
dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan
pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik,
peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi
episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan
kandung kemihnya dengan maneuver Valsalva. Retensi urine pos operasi
biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih
yang adekuat.

E. Manifestasi Klinis
Menurut Putri dan Wijaya (2013), tanda dan gejala penyakit batu saluran
kemih sangat ditentukan oleh letaknya, besarnya, dan morfologinya.
Walaupun demikian penyakit ini mempunyai tanda dan gejala umum yaitu
hematuria, dan bila disertai infeksi saluran kemih dapat juga ditemukan
kelainan endapan urin bahkan mungkin demam atau tanda sistemik
lainnya. Batu pada pelvis ginjal dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai
dengan gejala berat, umumnya gejala batu saluran kemih merupakan
akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Tanda dan gejala yang ditemui
antara lain :
1. Nyeri didaerah pinggang (sisi atau sudut kostevertebral), dapat
dalam bentuk pegal hingga kolik atau nyeri yang terus menerus dan
hebat karena adanya pionefrosis.
2. Pada pemeriksaan fisik mungkin kelainan sama sekali tidak ada,
sampai mungkin terabanya ginjal yang membesar akibat adanya
hidronefrosis.
3. Nyeri dapat berubah nyeri tekan atau ketok pada daerah arkus
kosta pada sisi ginjal yang terkena.
4. Batu nampak pada pemeriksaan pencitraan.
5. Gangguan fungsi ginjal 22
6. Pernah mengeluarkan batu kecil ketika kencing.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
4. Urinalisa Warna mungkin kuning, cokelat gelap, berdarah, secara
umum menunjukkan Kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), pH
asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan
magnesium, fosfat ammonium, atau batu kalsium fosfat), urin 24 jam
: (kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin
meningkat), kultur urin menunjukan Infeksi saluran kemih (ISK),
Blood ureum nitrogen (BUN /kreatinin serum dan urin) : abnormal
(tinggi pada serum atau rendah pada urin).
5. Darah lengkap Hemoglobin, hematocrit : abnormal bila pasien
dehidrasi berat atau polisitemia.
6. Hormon paratiroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal
7. Foto rontgen menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomi
pada area ginjal dan sepanjang ureter.
8. Ultrasonografi ginjal untuk menentukan perubahan obstruksi dan
lokasi batu.
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Fokus Pengkajian
Pengkajian pada kebutuhan eliminasi urine meliputi :

1. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta
hambatannya. Frekuensi berkemih tergatung pada kebiasaan dan
kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada waktu
bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada
waktu malam hari.

2. Pola berkemih
a) Frekuensi berkemih
frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih
dalam waktu 24 jam

b) Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke
toilet karena takut megalami inkotinensia jika tidak
berkemih

c) Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini
ditemukan pada striktur uretra, infeksi saluran kemih, trauma
pada vesika urinaria.

d) Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya
lebih besar tanpa adanya peningkata asupa caira. Keadaan
ini dapat terjadi pada penyakit diabetes, defisiensi ADH, da
pen yakit kronis ginjal.

e) Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara medadak.
Bila produksi urine kurang dari 100 ml/hari dapat dikataka
anuria, tetapi bila produksiya antara 100 –500 ml/hari dapat
dikataka sebagai oliguria.

3. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarkan
dalam waktu 24 jam.
4. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
a) Diet dan asupan (diet tinngi protei dan natirum) dapat
mempengaruhi jumlah urine yang dibentuk, sedangka kopi
dapat meningkatkan jumlah urine
b) Gaya hidup
c) Stress psikologi dapat meningkatnya frekuensi keinginan
berkemih.
d) Tingkat aktivitas

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang terjadi pada masalah kebutuhan
eliminasi urine adalah sebagai berikut :
a) Gangguan eliminasi urine b/d desakan berkemih
b) Inkontinensia urine berlanjut b/d disfungsi neurologis

3. Intervensi
No SDKI SLKI SIKI
1. Gangguan eliminasi urine Eliminasi urine Manajemen eliminasi
Definisi : disfungsi eliminasi Definisi : pengosongan kandung kemih yang urine
urine lengkap Definisi:
Indikator Dikaji Tujuan mengidentifikasi dan
Penyebab Desakan 1 4 mengelola gangguan
1. Penurunan kapasitas berkemih meningkat cukup pola eliminasi urine
kandung kemih menurun
2. Penurunan kemampuan Berkemih 1 4 Observasi :
menyadari tanda-tanda tidak tuntas meningkat Cukup - Monitor eliminasi
gangguan kandung kemih menurun urine (mis.
Frekuensi,
Gejala dan tanda mayor konsistensi, aroma,
Subyektif : volume, dan
- Desakan berkemih warna)

Obyektif : Edukasi :
- Berkemih tidak tuntas - Ajarkan tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih
- Ajarkan mengenali
tanda berkemih dan
waktu yang tepat
untuk berkemih.
2. Inkontinensia urine berlanjut Kontinensia urine Manajemen eliminasi
Definisi : pengeluaran urin tidak Definisi : kemampuan untuk mengontrol buag air urine
terkendali dan terus menerus kecil Definisi:
tanpa distensi atau perasaan mengidentifikasi dan
penuh pada kandung kemih Indikator Dikaji Tujuan mengelola gangguan
Kemampuan 5 2 pola eliminasi urine
Penyebab : mengontrol meningkat cukup
- Disfungsi neurologis pengeluaran menurun Observasi :
urine - Identifikasi tanda
Gejala dan tanda mayor : Kemampuan 1 4 dan gejala
Subyektif : menunda memburuk Cukup inkontinensia urine
- Keluarnya urin konstan pengeluaran membaik - Identifikasi factor
tanpa distensi urine yang menyebabkan
inkontinensia urine
- Monitor eliminasi
urine (mis.
Frekuensi,
konsistensi, aroma,
volume, dan
warna)

Edukasi :
- Ajarkan tanda dan
gejala infeksi
saluran kemih
- Ajarkan mengenali
tanda berkemih dan
waktu yang tepat
untuk berkemih.
BAB III
ANALISA KETERAMPILAN
FORMAT RESUME ANALISIS TINDAKAN STASE
KEPERAWATAN DASAR PROFESI ITKES WIYATA HUSADA
SAMARINDA

Nama mahasiswa : Zumiatullah Al Ultari


Tempat praktek : Dirumah (Online)
Tanggal :

I. IDENTITAS DIRI KLIEN


Inisial nama : Tn. T Suku : Jawa
Umur : 60 th Pendidikan : SMA
J. kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : jl. D.I Panjaitan Lama bekerja : 2 Tahun
Tanggal MRS : 18 Desember
Status : Menikah 2021
Agama : Islam Tanggal Pengkajian :
Sumber Informasi : Keluarga

II. RIWAYAT PENYAKIT


1. Keluhan utama saat masuk RS: .
Klien mengeluh nyeri dada
2. Riwayat penyakit sekarang:
pasien mengatakan sebelum masuk rumah sakit saya merasakan nyeri dada
yang menjalar sampai ke leher, dan saya langsung minum obat jantung rutin,
berselang 3 jam saya merasakan nyeri yang sama lagi hingga akhirnya istri dan
anak membawa saya ke IGD RS AWS pukul 11.00. dokter mengatakan bahwa
saya mendapatkan serangan jantung berulang dan gula darah tinggi sehingga
perlu dirawat inap untuk selalu dimonitor keadaan saya. klien didiagnosa ACS
Stemi dan DM type 2 oleh dokter di IGD. untuk mendapat perawatan secara
intensif khusus dibagian jantung maka klien dirawat diruang ICCU.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan memiliki riwayat penyakit DM 6 tahun lalu dan penyakit
jantung 3 tahun yang lalu

V. DATA FOKUS
1. Data Subjektif :
Klien mengatakan nyeri dada yang menjalar hingga ke leher

2. Data Objektif :
TD : 120/69 mm/Hg R : x/m

N : 89x/menit S : C

BB/TB Sebelum sakit : .…kg/…cm BB/TB Sesudah sakit : .…


kg/…cm

VI. DATA PENUNJANG


1. Laboratorium
Jenis Hasil Nilai Rujukan Unit
pemeriksaan
Hemoglobin 11 12.0-16.0 g/dl
Hematokrit 34 37.0-54.0 %
Trigliserida 159 <150 Mg/dl
Kolestrol 210 <200 Mg/dl
HDL kolestrol 44 >45 Mg/dl
LDL kolestrol 137 <130 Mg/dl
SGOT 60 <30 u/l
Troponin T 784 <30 Pg/ml
GDS 385 <150 Mg/dl
Hba1C 7,5 <5

2. Radiologi :
EKG
3. Pemeriksaan penunjang lain :
VII. TERAPI
1. Diet
:Diet DM 1700 Kkal diberikan 3x/Hari
2. Obat-obatan
a. Ivfd Ns 0,9 % 30 Cc/ Jm
b. Inj Lovenox 2x 0,6 Ml Sc
c. Inj Novorapid 3x8 Unit Sc
d. Inj Omeprazole 2x40mg Iv
e. Isdn 3x5 Mg Po
f. Aspilet 1x80 Mg Po
g. Cpg 1x75 Mg Po
h. Atrovastatin 1x20 Mg Po
i. Ramipril 1x2,5 Mg Po

VIII. ANALISA DATA


No DATA ETIOLOGI PROBLEM
1. Data subjektif : Gangguan eliminasi
Klien mengatakan adanya urine
desakan berkemih

Data objektif :
Berkemih tidak tuntas
2. Data subjektif : Inkontinensia urine
Disfungsi neurologis berlanjut

Data objektif :
Keluarnya urine konstan
tanpa distensi

RESUME ANALISA KETERAMPILAN


(KEPERAWATAN DASAR PROFESI)

Nama mahasiswa : Zumiatullah Al Ultari

Ruang : Kelompok :3

NO ITEM REVIEW
A. Identitas Pasien
1. Initial pasien : Tn. T
2. Usia : 60 Tahun
3. Diagnosa medis : ACS Stemi dan DM Tipe II
4. Pemenuhan kebutuhan : pemasangan kateter
5. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi urine
6. Tindakan yang dilakukan :
7. Tanggal tindakan :
8. Waktu :
B. Alat dan Bahan 1. Baki.
2. Kateter steril, ukuran
disesuaikan dengan pasien.
3. Kantong penampung urine
(Urine Bag).
4. Kapas sublimat/kapas savlon
steril dalam tempatnya.
5. Kassa.
6. Korentang.
7. Cairan pelumas/jelly.
8. Perlak dan alasnya.
9. Bengkok 2 buah (untuk kapas
kotor dan penampung urine.
10. Pinset anatomi atau sarung
tangan steril.
11. Duk steril.
12. Spuit 20 cc dan aquades.
13. Sketsel.
14. Selimut ekstra.
15. Plester atau gunting.
Tahap Pra Interaksi 1. Mengidentifikasi pasien
2. Mempersiapkan alat
3. Mencuci tangan
Tahap Orientasi 1. Memperkenalkan diri
2. Menjelaskan maksud dan
tujuan
3. Menanyakan kesediaan pasien
4. Menjaga privasi pasien
Tahap Kerja 1. Pasang ekstra selimut.
2. Perlak dan alasnya dipasang di
bawah bokong dan lepas
pakaian .
3. Meletakkan dua bengkok
diantara kedua tungkai.
4. Mencuci tangan.
5. Pakai sarung tangan.
6. Memasang duk steril.
Pada Pasien Perempuan
1. Membuka labia minora dengan
ibu jari dan telunjuk tangan kiri,
dan tangan kanan memengang
kapas sublimat.
2. Membersihkan vulva dengan
kapas savlon/sublimat dari labia
mayora dari atas kebawah 1 kali
usap, kapas kotor diletakkan
dibengkok, kemudian labia
minora, dan perineum sampai
bersih (sesuai kebutuhan) .
3. Dengan memakai sarung
tangan atau dengan pinset
anatomis mengambil kateter dan
diberi pelumas pada ujungnya
2.5-5 cm.
4. Perawat membuka labia
minora dengan tangan kiri.
5. Memasukkan kateter ke dalam
orificium uretra perlahan-lahan
(5-7.5 cm dewasa) dan
menganjurkan pasien untuk
menarik nafas panjang
6. Urine yang keluar ditampung
dalam bengkok atau botol steril
dan masukan lagi (2.5-5 cm).
7. Bila kateter dipasang
tetap/permanen maka, isi balon
5-15 cc (kateter dikunci memakai
spuit dan aquades steril).
8. Tarik sedikit kateter untuk
memeriksa bolan sudah terfiksasi
dengan baik.
9. Menyambung kateter dengan
urobag/urine bag.
10. Fiksasi kateter di paha
dengan plester bila untuk
aktifitas.
11. Pasien dirapikan dengan
angkat pengalas dan selimut.
12. Rapikan dan alat-alat
dibereskan.
13. Lepas sarung tangan.
14. Mencuci tangan.
15. Buka sampiran.

Pada Pasien Pria


1. Tangan kiri perawat
memegang penis atas.
2. Preputium ditarik sedikit ke
pangkalnya dan dibersihkan
dengan kapas savlon minimal 3
kali.
3. Oleskan minyak pelicin pada
ujung kateter sepanjang 12.5-
17.5 cm
4. Penis agak ditarik supaya
lurus, dan kateter dimasukkan
perlahan-lahan (17.5-22 cm
(dewasa) dan menganjurkan
pasien untuk nafas panjang
5. Urine yang keluar ditampung
dalam bengkok atau botol steril
lalu masukkan lagi 5 cm.
6. Bila kateter dipasang
tetap/permanen maka kateter
dikunci memakai spuit dan
aquades steril (mengisi balon)
7. Menyambung kateter dengan
urobag/urine bag.
8. Fiksasi kateter di paha dengan
plester bila untuk aktifitas
9. Pasien dirapikan dengan
angkat pengalas dan selimut
10. Rapikan dan alat-alat
dibereskan
11. Mencuci tangan
12. Buka sampiran

Tahap Terminasi 1. Merapikan Alat


2. Berpamitan Dengan Pasien
3. Mencuci Tangan
4. Dokumentasi
Referensi https://docplayer.info/66556480-
Laporan-pendahuluan-
kebutuhan-eliminasi.html

C. ANALISA KETERAMPILAN
1. Bahaya yang mungkin terjadi dan cara pencegahan
2. Indikasi tindakan keperawatan lainnya untuk mengatasi
masalah tersebut
3. Identifikasi masalah keperawatan lain yang mungkin
muncul (rasional)
4. Tindakan yang dilakukan
5. Evaluasi diri
Rencana tindak lanjut

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin
atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila
kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses
eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra (Hidayat,
2010) Eliminasi merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus di penuhi
oleh setiap manusia. Kebutuhan dasar manusia terbagi menjadi 14 kebutuhan
dasar, menyatakan bahwa kebutuhan eliminasi terdapat pada urutan ke tiga.
Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik, sebenarnya
semua organ akhirnya akan terpengaruh.
B. Saran
Untuk melakukan asuhan keperawatan dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan dasar eliminasi urine, maka pengkajian yang lengkap dan dilakukan
tindakan keperawatan secara keseluruhan sesuai dengan rencana keperawatan
yang sesuai dengan keadaan klien.

DAFTAR PUSTAKA
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/Prakti
kum-KDM-1-Komprehensif.pdf
https://docplayer.info/66556480-Laporan-pendahuluan-kebutuhan-
eliminasi.html
https://www.coursehero.com/file/63015763/LP-Eliminasidocx/
http://repository.poltekkeskdi.ac.id/613/1/KTI%20YUYUN
%20YUNIARTI.pdf

Anda mungkin juga menyukai