0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
458 tayangan11 halaman

Bab Ii Sistem Imun - 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 11

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Imunologi


Sistem kekebalan atau sistem imun terdiri atas sel, jaringan, dan organ, yang
mengenal benda asing dan mikroorganisme serta bekerja menetralisir atau
menghancurkannya. Imunitas (latin immunis) merujuk kemampuan umum host untuk
bertahan terhadap infeksi atau penyakit tertentu. Imunologi adalah ilmu yang
mempelajari respon imun terhadap benda asing dan bagaimana respon yang
digunakan untuk melawan infeksi, termasuk perbedaan self dan nonself dan semua
aspek biologi, kimia, dan fisik sistem imun (Prescott, 2002). Imunologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang perlindungan dari makromolekul asing atau organisme
penyerang dan respons terhadapnya (Gene Mayer, 2010). Selain itu, kita
mengembangkan respon kekebalan terhadap protein kita sendiri (dan molekul lainnya)
pada autoimunitas dan melawan sel-sel kita sendiri yang menyimpang pada imunitas
tumor.

2.2 Jenis-jenis Kekebalan Tubuh


Sistem kekebalan tubuh terdiri atas dua subdivisi utama, yaitu:
1. Sistem pertahanan tubuh alamiah atau nonspesifik (innat immunity system)
Sistem kekebalan tubuh alamiah ini dibawa sejak lahir merupakan garis
pertahanan pertama terhadap invasi mikroorganisme dan mempunyai kemampuan
untuk segera mengenal mikroorganisme tertentu dan menghancurkannya. Selain
itu, sistem kekebalan tubuh bawaan juga memiliki fitur anatomis yang berfungsi
sebagai penghalang terhadap infeksi.
2. Sistem pertahanan tubuh yang adaptif/didapat (adaptive immune system)
spesific immunity Sistem kekebalan adaptif bertindak sebagai garis pertahanan
kedua melawan benda asing, seperti bakteri, virus, toksin, dan juga memberi
perlindungan terhadap paparan kembali patogen yang sama. Bahan yang dikenal
sebagai benda asing dan memprovokasi respon imun disebut antigen. Antigen
menyebabkan sel spesifik untuk memproduksi protein yang disebut antibodi. Pada
sistem pertahanan tubuh ini antibodi memegang peranan utama.
Setiap subdivisi utama sistem kekebalan tubuh memiliki komponen seluler
maupun humoral di mana mereka melaksanakan fungsi pelindung. Meskipun
kedua jenis dari sistem kekebalan tubuh memiliki fungsi yang berbeda, ada
interaksi antara sistem ini (yaitu komponen bawaan pengaruhi sistem kekebalan
sistem imun adaptif, dan sebaliknya).
3. Kekebalan tubuh alamiah (Innate/Non-SpecificImmunity)
Sistem pertahanan tubuh alamiah ini melawan masuknya agen yang tidak
dikehendai untuk semua agen. Ada 4 katagori imununitas bawaan (non-spesifik),
yaitu: barier fisik/anatomis, barier kimia, barier seluler, dan diferensiasi spesifik.
a. Barier anatomi terhadap infeksi
1) Barier fisik/mekanik
Struktur epitel permukaan kulit dan lapisan epitel internal, membentuk barier fisik
yang sangat kedap terhadap agen yang infeksius. Dengan demikian, kulit
bertindak sebagai garis pertama pertahanan terhadap invasi organisme.
Deskuamasi epitel kulit juga membantu menghilangkan bakteri dan agen infeksi
lainnya yang menempel pada permukaan epitel. Di samping itu, ketika
mikroorganisme patogenik masuk ke jaringan bawah kulit, akan dikonter
seperangkat sel khusus yang disebut skin-associated lymphoid tissue (SALT).
Fungsi utama SALT adalah membatasi mikroba penginvasi dan mencegah masuk
ke pembuluh darah.

2). Barrier kimia


Barier atau hambatan kimia meliputi: asam lemak dalam keringat menghambat
pertumbuhan bakteri. Lisozim dan fosfolipase ditemukan pada air mata, air liur,
dan sekresi hidung dapat merusak dinding sel bakteri dan mengacaukan membran
bakteri. pH rendah dari keringat dan sekresi lambung mencegah pertumbuhan
bakteri. Defensin (protein berat molekul rendah) ditemukan di paru-paru dan
saluran pencernaan memiliki aktivitas antimikroba. Surfaktan dalam paru-paru
bertindak sebagai opsonins (zat yang meningkatkan fagositosis partikel oleh sel
fagosit).

3). Barrier seluler terhadap infeksi


Sel-sel ini yang merusak dan menelan beberapa benda asing yang tidak
dikehendaki yang masuk ke dalam tubuh. Sel-sel fagosit masuk dalam katagori
ini. Bagian dari respon inflamasi adalah perekrutan eosinophiles PMN dan
makrofag ke area infeksi. Sel-sel ini merupakan garis pertahanan utama dalam
sistem kekebalan tubuh nonspesifik.

b. Barier humoral terhadap infeksi


Barier anatomi sangat efektif dalam mencegah kolonisasi jaringan oleh
mikroorganisme. Namun, ketika ada kerusakan jaringan barier anatomi rusak dan
infeksi dapat terjadi. Setelah agen infeksi menembus jaringan, mekanisme
pertahanan bawaan lain ikut bermain, yaitu peradangan akut.
4. Sistem kekebalan spesifik
Vertebrata memiliki tiga fungsi utama, yakni mengenal sesuatu yang asing bagi
tubuh (nonself), merespon benda asing, dan mengingat penginvasi asing. Respons
pengenalan sangat spesifik, mampu membedakan satu patogen dengan lainnya,
mengidentifikasi sel kanker, dan mengenal protein serta sel tubuh sendiri juga
perbedaan protein nonself, sel, jaringan dan organ.
Sistem pertahanan spesifik (specific immunity) melibatkan beberapa sel
plasma darah dan system limfatic yang disebut limfosit (satu jenis leukosit atau
sel darah putih) yang secara genetik dipicu untuk merespon antigen khusus.
A. Sel B dan Antibodi
Sel limfosit B diaktifkan dengan kontak dengan antigen yang mana mereka
mempunyai kekhususan. Biasanya satu sel B diaktifkan dengan cara ini, dan
akan didapatkan pembelahan sel sampai ribuan, semua aktif melawan satu
antigen spesifik yang sama. Aktivasi pada sel limfosit B mengakibatkan sel B
dikonversi menjadi sel-sel plasma, yang selanjutnya memulai melepaskan
protein yang disebut antibodi. Antibodi-antibodi ini membawa spesifikasi
yang sama seperti sel B induk dan diaktifkan sel plasma. Jenis reaksi imun
ini disebut humoral immunity. Dengan mengikat antigen, antibodi
memberikan fungsi luas yang berharga, yang penting dalam melawan
antigen.
Antibodi melakukan beberapa fungsi melawan antigen berikut:
a. Mereka yang mengirim beberapa antigen berbahaya, khususnya virus dan
beberapa protozoa.
b. Menetralisir beberapa toksin, contohnya, toksin tetanus yang dilepaskan
oleh bakteri clostridium.
c. Mencegah adesi beberapa organisme, dan selanjutnya mencegah invasi
jaringan
d. Mampu mengimobilisasi antigen tertentu, khususnya bakteri yang
meggunakan flagela untuk bergerak
e. Mengaktifkan sistem komplemen
f. Membentuk kompleks dengan antigen, dan komplek ini menjadi target
untuk fagositosis.
B. Sel T
Ada dua turunan utama sel T yang dikembangkan dalam kelenjar thymus, sel
T helper (Th), dan sel T cytotoxic (Tc).
a. Sel Th (T helper cell)
ada dua bentuk utama yaitu Th1 yang menghasilkan sitokin (cytokine)
yang penting untuk membunuh organisme intraseluler dan untuk
menggerakkan Tc cell, dan Th2 yang juga menghasilkan sitokin yang
penting untuk multiplikasi sel B (Blow, 2005).
b. Sel T sitotoksik (Tc)
adalah sel yang secara aktual membunuh antigen, dengan mengembangkan
kontak khusus dengan antigen yang diikuti dengan perusakan mematikan
membran antigen.

Sel T menghasilkan protein yang disebut perforin yang disimpan pada


granule dalam sitoplasma. Sekali kontak dengan antigen, proforin yang
dilepaskan dari granular, proforin tergabung pada membran antigen,
membentuk lubang, merusak membrane, dan kematian antigen. Sel B dan
sel T limfosit menghasilkan sel memori ketika diaktifkan terpapar dengan
antigen. Sel memori dihasilkan setelah kontak pertama kali dengan antigen
menetap dalam sirkulasi dan sistem limfatik dan memberikan pertahanan
yang cepat dan lebih kuat beberapa antigen yang sama pada paparan yang
kedua. Sel-sel T memori dengan cepat mengkonversi ke sel plasma dengan
cepat dan mensekresi antibodi ketika dihadapkan pada paparan kedua atau
berantai pada antigen spesifik.
2.3 Antigen dan Antibodi
Antigen merupakan zat yang merangsang respons imunitas, terutama dalam
menghasilkan antibodi. Antibodi yang dihasilkan berupa zat molekul besar seperti
protein dan polisakarida, contohnya permukaan bakteri. Antigen dapat berupa
bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, atau racun. Bagian-bagian
antigen
Antigen memiliki 2 bagian yang harus kamu ketahui. Kedua bagian tersebut
adalah epitop dan hapten.
1. Determinan antigen (epitop)
Epitop merupakan bagian antigen yang dapat membangkitkan respons imunitas,
atau dengan kata lain, dapat menginduksi pembentukan antibodi. Satu antigen
tersusun dari 2 atau lebih molekul epitop.
2. Hapten
Hapten adalah molekul kecil yang hanya bisa menginduksi produksi antibodi jika
bergabung dengan carrier yang bermolekul besar. Oleh karena itu, hapten
memiliki sifat imunogenik. Hapten dapat berupa obat, antibiotik, dan kosmetik.
Antibodi atau imunoglobulin adalah protein larut yang dihasilkan oleh sistem
imunitas sebagai respons terhadap keberadaan suatu antigen dan akan bereaksi dengan
antigen tersebut. Ada lima kelas imunoglobulin
1. IgG
IgG berjumlah paling banyak (80%) dan akan lebih besar pada kontak ke 2, 3, dan
seterusnya. IgG dapat menembus plasenta dan memberikan imunitas pada bayi.
Selain itu, IgG juga merupakan pelindung terhadap mikroorganisme dan toksin,
dapat mengaktivasi komplemen, dan dapat meningkatkan efektivitas sel fagositik.
2. IgA
Berjumlah 15%, IgA dapat ditemukan pada zat sekresi seperti keringat, ludah, air
mata, ASI, dan sekresi usus. IgA berfungsi untuk melawan mikroorganisme yang
masuk ke dalam tubuh.
3. IgM
IgM adalah antibodi yang pertama kali tiba di lokasi infeksi, menetap di pembuluh
darah dan tidak masuk ke jaringan. IgM berumur pendek dan berfungsi untuk
mengaktivitasi komplemen dan memperbanyak fagositosis.
4. IgD
IgD memiliki fungsi memicu respons imunitas dan banyak ditemukan di limfosit
B. Meskipun demikian, IgD berjumlah sedikit pada limpa dan serum darah.
5. IgE
Antibodi ini terikat pada reseptor sel mast dan basofil. IgE menyebabkan pelepasan
histamin dan mediator kimia lainnya. Selain itu, IgE banyak ditemukan dalam
darah dengan konsentrasi rendah dan kadarnya meningkat ketika bereaksi terhadap
alergi.
Mengenal CD4 dan perannya dalam sistem imun
CD4 adalah salah satu jenis sel darah putih yang berperan penting dalam sistem imun.
CD4 sering juga disebut dengan sel T pembantu dan masuk ke dalam jenis sel limfosit
T atau sel T. Sel ini disebut dengan “CD4” karena memiliki penanda pada
permukaannya yang disebut klaster diferensiasi (CD), yang berguna untuk
mengidentifikasi jenis sel spesifik.
Sel CD4 membantu mengidentifikasi dan menghancurkan patogen penyebab infeksi,
termasuk bakteri, jamur, dan virus. Selain itu, CD4 juga akan memberi sinyal pada sel-
sel imun lain terkait adanya bahaya dari patogen yang masuk ke tubuh.
Sel-sel CD4 dibuat di dalam kelenjar timus. Kemudian, sel ini akan beredar di dalam
darah dan sistem limfatik di sekujur tubuh.
Karena menjadi bagian penting dari sistem imun, jumlah sel CD4 menunjukkan
ketahanan sistem kekebalan tubuh. Sistem imun yang sehat biasanya memiliki jumlah
CD4 mulai dari 500 hingga 1.600 sel per milimeter kubik darah (sel / mm3).

CD4 dan kaitannya dengan HIV / AIDS


CD4 memiliki kaitan yang erat dengan infeksi HIV atau Human Immunodeficiency
Virus. HIV masuk ke tubuh dan mengejar CD4, dengan berikatan pada permukaan sel-
sel CD4 dan memasuki sel imun ini. Setelahnya, HIV dapat membunuh sel CD4 dan
bereplikasi.
Apabila infeksi HIV tidak ditangani dengan segera, virus penyebab AIDS tersebut akan
terus bereplikasi di dalam tubuh. Replikasi virus akan meningkatkan jumlah virus (viral
load) sembari juga terjadinya penurunan sel-sel CD4.
Proses peningkatan jumlah virus dan penurunan CD4 dapat berlangsung beberapa
tahun. Selanjutnya, jika pasien tidak kunjung mendapatkan penanganan medis, jumlah
CD4 akan semakin sedikit dan membuat pasien HIV memasuki fase AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome).
Pasien dengan HIV biasanya akan didiagnosis AIDS apabila hasil pemeriksaan
memberikan hasil CD4 di bawah 200 sel/mm3. Di fase ini, sistem imun pasien sangat
lemah yang ditunjukkan dengan serangkaian gejala.
Pentingnya tes CD4 bagi pasien HIV
Sesuai namanya, tes CD4 adalah pemeriksaan medis yang memonitor jumlah CD4 di
dalam tubuh. Tes ini dilakukan pada pasien HIV secara berkala, seperti sekali dalam
tiga bulan atau sekali dalam enam bulan.
Penting untuk diingat bahwa tes CD4 memberikan hasil yang spesifik, sesuai dengan
kondisi imun pasien saat dilakukan pemeriksaan. Artinya, pasien tidak bisa melihat
hasil dari satu tes CD4 saja. Tes harus dilakukan secara berkala untuk melihat
kecenderungan pasien yang terinfeksi HIV.
Hasil tes CD4 juga dapat dipengaruhi oleh beragam faktor, termasuk pelaksanaan jam
tes, penyakit lain, hingga vaksinasi. Pasien mungkin akan melihat fluktuasi dalam hasil
tes CD4 mereka. Apabila jumlahnya tak rendah, fluktuasi tersebut cenderung tidak
perlu dikhawatirkan oleh pasien.
Tes CD4 biasanya dijalankan bersamaan dengan tes viral load. Seperti yang disinggung
di atas, tes viral load akan menghitung kadar virus di dalam tubuh orang yang terinfeksi
HIV. Secara spesifik, tes ini akan menghitung partikel virus untuk setiap mililiter darah.
Tes viral load berguna untuk mengetahui seberapa laju pertumbuhan virus di tubuh
pasien serta mengontrol efektivitas pengobatan antiretroviral.

Proses Terjadinya Imunodefisiensi pada HIV


Infeksi oleh HIV terjadi melalui 3 cara, yaitu infeksi langsung ke dalam
pembuluh darah, melalui permukaan mukosa yang rusak atau dari ibu kepada
anaknya secara in utero, selama pesalinan atau melalui air susu. Molekul CD4
diperlukan untuk perlekatan HIV dan masuk ke dalam beberapa sel.
Sesaat setelah infeksi HIV dalam bentuk partikel virus bebas atau di dalam
sel-sel T CD4+ yang terinfeksi akan mencapai limfonodus regional dan merangsang
rerspons imun selular dan humoral yang penting untuk melawan infeksi virus.
Namun banyaknya sel-sel limfosit pada limfonodus akan menyebabkan sel-sel CD4
semakin banyak terinfeksi.

Setelah beberapa hari akan terjadi limfopenia dengan menurunnya secara cepat
jumlah sel-sel T CD4+ dalam sirkulasi. Selama periode awal ini virus-virus bebas
dan protein virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi di dalam darah dan
jumlah sel-sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini virus mengadakan
replikasi secara cepat dengan sedikit kontrol dari respons imun. Kemudian setelah 2
– 4 minggu akan terjadi peningkatan yang sangat mencolok dari jumlah sel-sel
limfosit total karena peningkatan jumlah sel-sel T CD8 sebagai bagian dari respons
imun terhadap virus. CD4 kembali dalam kadar hampir sama dengan sebelum
infeksi. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga, namun pada
beberapa kasus respons ini berlangsung lebih lambat sampai beberapa bulan.
Selama fase akut kebanyakan kasus menunjukkan gejala infeksi virus akut
pada umumnya yaitu berupa demam, letargi, mialgia, dan sakit kepala serta gejala
lain berupa faringitis, limfadenopati dan “rash”.

Kontrol sistem imun pada replikasi virus.


Setelah fase akut, akan terjadi penurunan mendadak jumlah HIV bebas di dalam
darah maupun di dalam sel sebesar 100.000 kali lipat. Mekanisme yang pasti tentang
hal ini belum diketahui namun analogi dari hal ini dapat digambarkan seperti resolusi
pada fase akut infeksi virus secara umum dan dapat berlanjut menjadi persisten. Pada
gambar 3 di bawah ini dapat dilihat sel-sel imun yang terlibat dalam infeksi virus
dengan peranan sel-sel T CD4+ sebagai pengatur respons imun.

Pada infeksi virus secara umum tampak bahwa sel limfosit T sitotoksik
adalah populasi sel efektor kritis dalam mengontrol infeksi akut karena sel ini
mampu mengenal dan menghancurkan sel-sel yang terinfeksi oleh virus (kadang-
kadang hal ini menyebabkan kerusakan sel inang), sehingga dapat menghambat
replikasi virus dan menghambat pembentukan virion baru.
Pada infeksi HIV telah dikenal sejak awal bahwa jumlah sel-sel T sitotoksik
spesifik HIV sangat tinggi dan dapat dideteksi pada sel-sel yang baru diisolasi tanpa
adanya ekspansi prekursor sel-sel T sitotoksik yang telah aktif secara in vitro.
Beberapa penelitian membuktikan tingginya aktivitas sel-sel T sitotoksik spesifik
terhadap protein HIV pada pasien selama atau sebelum serokonversi. Koup dkk
membuktikan bahwa ada kaitan sementara antara adanya jumlah prekursor sel T
sitotoksik spesifik HIV yang tinggi dengan penurunan cepat dari jumlah HIV bebas.
Adanya sel-sel T sitotoksik merangsang pembentukan antibodi netralisasi dalam
waktu beberapa bulan. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah virus bebas
dan virus yang ada di dalam sel disebabkan oleh lisis sel-sel terinfeksi HIV oleh sel-
sel T sitotoksik CD8+. Dibuktikan pula secara in vitro bahwa sel-sel CD8+ yang
aktif menghasilkan sitokin yang mampu menghambat replikasi virus pada sel-sel
CD4+ tanpa menyebabkan lisis sel. Respons ini juga terjadi pada infeksi akut
sebelum serokonversi dan kemungkinan berperan di dalam mengontrol pembentukan
virus.
Hubungan antara aktivitas sel T sitotoksik, antibodi dan penurunan jumlah
virus selama infeksi akut dan fase resolusi dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Jumlah CD8+ akan meningkat secara cepat dan sel-sel T sitotoksik ini akan
mengontrol produksi virus dengan membunuh atau menekan sel-sel yang terinfeksi
sedangkan sel CD8+ tetap dalam kadar yang lebih tinggi dari normal.

Hilangnya Kontrol Sistem Imun Pada Infeksi HIV


Mekanisme yang pasti dari kerusakan sistem imun pada infeksi HIV fase
yang lebih lanjut serta munculnya kembali HIV bebas belum diketahui secara jelas.
Yang pasti adalah penurunan populasi sel CD4 secara bertahap dan hilangnya fungsi
sel-sel ini sangat penting. Munculnya strain HIV yang lebih patogenik dan lebih
cepat bereplikasi pada inang merupakan faktor utama dalam mengontrol
kemampuan sistem imun. Diketahui pula bahwa jumlah dan fungsi sel T sitotoksik
akan menurun bila jumlah sel CD4 mencapai kurang dari 200/L atau mungkin
lebih cepat. Karena sel-sel ini berfungsi mengontrol sel-sel yang terinfeksi virus
(yang dapat menghambat penglepasan lebih lanjut virus) dan juga berperan penting
dalam pembersihan pada tahap awal infeksi akut, maka dapat dikemukakan bahwa
hilangnya aktivitas anti-HIV sel CD8 mempunyai efek penting dalam penambahan
jumlah virus. Kemungkian lain adalah terjadinya mutasi virus sehingga tidak dikenal
oleh sel T sitotoksik. Walaupun sel CD8 berada dalam jumlah yang cukup, namun
hal ini menjadi masalah dalam mengontrol HIV karena menurunnya bantuan dari sel-
sel CD4 yang menghasilkan sitokin lebih sedikit seperti IL-2 (Ffrench dkk, 1997).

Defek sel B.
Selain penurunan jumlah sel T CD4+, individu yang terinfeksi HIV
menunjukkan abnormalitas pada sistem imun yang lain. Walaupun beberapa dari
abnormalitas ini disebabkan oleh sel T CD4+ yang menurun, fungsi imun yang tidak
tergantung sel T juga akan terganggu. Pada infeksi HIV fungsi sel B juga sangat
terganggu. Sel-sel B pada individu yang terinfeksi HIV berada pada tahap aktivasi
khronik. Kebanyakan penderita AIDS menunjukkan proliferasi sel B spontan, terjadi
peningkatan sel-sel pembentuk plak hemolitik, dan hipergamaglobulinemia. Selain
itu terjadi defek intrinsik dalam respon-respon yang dirangsang sel B seperti antigen
dan mitogen, sehingga merangsang pembentukan imunoglobulin pada semua tahap
infeksi.

Defek makrofag/ monosit.


Kebalikan dari sel-sel T dan sel-sel B, fungsi sel-sel makrofag-monosit
relatif normal pada infeksi HIV. Dalam hal ini penglepasan anion superoksid,
aktivitas tumorisidal, “antibody-dependent cellular cytotoxicity” (ADCC), respons
teerhadap interferon-, dan produksi “tumor necrotic factor” (TNF) masih
berlangsung normal. Sebagai tambahan, peranan makrofag-monosit sebagai sel
penyaji antigen masih dalam kadar normal. Namun pada pengamatan terjadi suatu
defek tertentu dalam fungsi monosit-makrofag seperti gangguan pada khemotaksis,
fungsi reseptor Fc, clearence melalui reseptor C3, dan proliferasi sel T yang
tergantung pada monosit. Dengan demikian pada penderita pada stadium khronik
yang sering menunjukkan kerusakan fungsi monosit-makrofag belum diketahui
secara jelas defek yang mana yang spesifik pada infeksi HIV. Belum diketahui pula
apakah monosit-makrofag spesifik jaringan seperti makrofag paru dan otak
menunjukkan adanya kelainan fungsi (Rosenberg & Fauci, 1992).

Defek imunologik yang lain.


Pada individu terinfeksi HIV terjadi pula defek fungsi sel-sel “natural killer”
(NK). Secara spesifik sel-sel NK dari individu terinfeksi HIV menunjukkan
penurunan di dalam kemampuan sitotoksik yang akan kembali normal bila diberikan
IL-2, mitogen tertentu atau ion kalsium. Dengan demikian maka sel-sel NK ini tidak
dapat diaktifkan bila kontak dengan target. Akan tetapi, sekali sel-sel NK yang defek
diaktifkan maka akan siap mengalami sitolisis. Hal yang lebih baru diketahui adalah
polpulasi sel NK CD16+/CD8+ secara selektif ditekan pada infeksi HIV sejak awl
perjalanan penyakit.

Anda mungkin juga menyukai