Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan CKR (Cedera Kepala Ringan)
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan CKR (Cedera Kepala Ringan)
Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan CKR (Cedera Kepala Ringan)
2. Etiologi
a) Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat
mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local
meliputi Contosio serebral,hematom serebral,kerusakan otak sekunder
b) Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada
otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,cerebral,batang otak
atau keduanya (Wijaya,2013).
3. Klasifikasi
Cedera Kepala menurut dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai
Glasgow Coma Scale (GCS)
Penentuan Deskripsi
Keparahan
Minor/ringan GCS 13-15
Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat
terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan
hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah
yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
4. Manifestasi klinis
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
a) Skull fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill
haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang
pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata
dan vertigo.
b) Concussion
Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5 menit,
amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Contusion dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat
adalah sebagai berikut :
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan atau cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalam pupil.
5. Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan
proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan
dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk
sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada
permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus
frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah
dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama
kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan
yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala
traumatik berat.
a) Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini
adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada
kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala
yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan
regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
b) Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer.
6. Pemeriksaan Penunjang
a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
f) MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera vascular
serebral dengan cara noninvasive.
g) EEG (elektro ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal.
h) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory
Evoked Potensial) : pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera
kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu
menegakan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan
pemulihan fungsional yang bermakna.
7. Komplikasi
a) Edema Pulmonal
Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah
edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat
dari sindrom distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari
cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing.
b) Kebocoran Cairan Serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur
tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat
akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal
c) Kerusakan saraf cranial
1) Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut
hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
2) Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya
perdarahan, dan edema di dalam orbita.
d) Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami
atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita
disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit
karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
e) Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala
adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
f) Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan
kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera
kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung,
gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan
gangguan fungsi seksual.
9. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera
kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan
survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat
survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga
homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi
yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur
kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan
lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di
kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan
keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita
sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos
buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata
(doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin
(refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
2) Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan
setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
f. Pemeriksaan fisik
1) Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin,
2008).
2) Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri.
Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena
pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya
menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
a) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau
anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis
atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies
campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri,
gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia.
b) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman,
apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
c) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum.
d) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
e) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
f) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi,
apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa
ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri.
3) Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan)
dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan,
emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan
oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
4) Toraks
a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas
luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010)
b) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
c) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan
bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
5) Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam
status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Pada pemeriksaan
neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan
respon sensori. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna
vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal.
1. Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan penurunan suplai darah dan
oksigen ke jaringan oksigen.
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan.
d) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma.
e) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan bentuk tulang
2. INTERVENSI KEPERAWATAN
Adams, et al., (2007). American of Academy of Neurology affirms the value of this
guidelineasan Quality of Care Outcames in Research Interdiciplinary Working.
Groups. Stroke,;38:16655-1771. Journal Of Nursing 1(1).
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
Emergency Nurses Association. (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St.
Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafa. Jakarta : Salemba Medika.
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta : Media
Aescupius.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2.Yogyakarta : Salemba
Medika.
Wilkinson, M. Judith. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC. Edisi
9. Jakarta: EGC Medikal Publisher.