1151 NG
1151 NG
1151 NG
berpandangan.
Mereka tidak begitu mengerti maksud kata-kata Mahesa Jenar. Maka terdengarlah
Penjawi bertanya, ”Apakah Tuan dan Adi Arya Salaka saja yang akan pergi ke
Banyubiru?” Mahesa Jenar menarik alisnya. Hati-hati ia menjawab, ”Tidak. Kalian
semua juga akan pergi. Tetapi baiklah aku mendahului.”
Penjawi segera mengetahui maksud Mahesa Jenar. Mahesa Jenar agaknya masih akan
mempergunakan cara damainya, yang menurut dugaannya sama sekali tak akan berhasil.
Karena itu terdengarlah ia menyahut, ”Tuan dan Adi Salaka, di belakang Tuan berdua
adalah kami sekalian. Seluruh laskar Banyubiru ini.”
Mahesa Jenar sekali lagi menarik alisnya. Dengan ragu-ragu ia memandang Kebo
Kanigara, seolah-olah minta pertimbangan. Kebo Kanigara pun mengetahui betapa
sulitnya mengendalikan perasaan sekian banyak orang yang sedang marah. Tetapi sama
sekali kurang bijaksana kalau ia turut campur dalam pembicaraan itu. Sebab laskar
Banyubiru itu lebih banyak mengenal Mahesa Jenar daripada dirinya. Dengan demikian
Penjawi hanya dapat menganguk-anggukkan kepalanya dan mencoba mengetahui
perasaan Arya Salaka. Kalau saja Arya Salaka dapat ditenangkan, maka ada harapan
untuk menenangkan seluruh laskar Banyubiru itu. Tetapi ketika terpandang wajah anak
muda itu, baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara hanya dapat menekan dada mereka.
Sebab dari mata anak itu memancarkan api kemarahannya yang menyala-nyala sehingga
dalam mata itu seolah-olah membayangkan cahaya api yang bergelora. Apalagi ketika
kemudian terdengar anak muda itu berkata, ”Paman, matahari masih belum tinggi di
puncak langit. Kalau Paman memerintahkan, sekarang juga kita akan berangkat.”
Karena itulah maka Mahesa Jenar mencoba untuk mencegahnya. Dengan sangat hati-hati
pula ia berkata, ”Tentu. Aku tentu akan segera minta kalian untuk berangkat. Tetapi kau
adalah kunci persoalan itu, Arya. Mestikah kita memilih jalan yang pahit lebih dahulu
sebelum kita coba jalan yang licin?”
”Masih adakah jalan yang licin itu, Paman?” tanya Arya Salaka. ”Kemungkinan masih
selalu ada, Arya. Apalagi kakekmu Ki Ageng Sora Dipayana telah meminta agar kau
datang kepadanya,” jawab Mahesa Jenar.
Arya Salaka diam sesaat. Tetapi ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring, menyala
kembalilah hatinya. Karena itu ia menjawab, ”Kalau Eyang Sora Dipayana mampu
mencegahnya, maka peristiwa ini tak akan berlarut-larut.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Agaknya Arya telah hampir tidak sabar
lagi. Meskipun ia dapat mengetahui perasaan apakah yang telah mendorong anak muda
itu, namun apa yang diucapkan itu adalah pertanda betapa sakit luka hati yang
dideritanya. Didorong pula oleh sifat kepemimpinan yang dimilikinya, maka ia merasa
bertanggungjawab atas keselamatan rakyat Banyubiru.
Tetapi karena itu pulalah maka Mahesa Jenar merasa bahwa usahanya bertambah sulit.
Namun demikian ia menjawab, ”Arya, persoalan yang dihadapi oleh eyangmu adalah
terlalu sulit. Bukan sekadar mencegah tindakan-tindakan pamanmu saja. Tetapi ada
persoalan-persoalan lain yang memaksanya untuk berbuat bijaksana.”
Arya Salaka kurang dapat memahami cara berpikir gurunya. Namun sebagai seorang
murid yang selama ini merasakan betapa gurunya itu mengasuhnya dengan penuh kasih
sayang dan tanggungjawab, maka Arya Salaka tidak berani lagi untuk membantahnya.
Di sudut hatinya, Arya Salaka pun menaruh kepercayan yang kuat terhadap gurunya itu.
Kepercayaan yang sedikit terdesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Ia tahu pasti,
bahwa seperti bisanya gurunya akan membawanya lewat jalan yang paling bersih dari
kemungkinan noda-noda yang dapat memercik pada dirinya. Tetapi disamping itu,
ketidaksabarannya telah memukul-mukul dadanya, seolah-olah akan pecah. Mahesa Jenar
pun tahu, bahwa kalau kemudian Arya Salaka itu diam, bukanlah karena ia dapat
meyakini kata-katanya. Kediaman anak itu baginya, seperti api yang tertutup sekam.
Namun api itu tetap menyala di dalam. Karena itulah Mahesa Jenar harus dapat
mengambil sikap yang sebijaksana mungkin. Ia harus tidak mematahkan anak-anak
Banyubiru, namun ia pun tidak dapat membiarkan anak-anak Banyubiru itu menjadi
korban ketergesa-gesaan mereka. Setelah berpikir sesaat terdengarlah Mahesa Jenar
berkata, ”Arya Salaka, siapkanlah laskarmu. Kita berangkat bersama-sama.”
Sambutan atas ucapan itu, terdengar seperti gunung meledak. Laskar Banyubiru itupun
bersorak dengan riuhnya. Tiba-tiba di dalam ruangan itu menari-narilah ujung-ujung
senjata, seperti anak-anak yang riang berloncat-loncatan. Berkilat-kilat ujung-ujung
pedang, tombak, keris dan sebagainya. Diiringi oleh janji setia yang diucapkan tak teratur
berebut keras.
Kebo Kanigara pun agaknya menemui kesulitan dalam persoalan ini. Perlahan-lahan ia
berkata, ”Mahesa Jenar, tipislah harapan kita, untuk menempuh jalan lain, kecuali
bertempur. Sebab laskar Banyubiru sudah sedemikian lama menahan diri. Dan Arya
Salaka sendiri tampaknya tidak sabar lagi.”
”Kalau Arya dapat kau tenangkan, Mahesa Jenar, mungkin seluruh laskar inipun akan
tunduk pada perintahnya. Sebab api didalam dada mereka itupun semakin berkobar ketika
Arya Salaka berada di antara mereka,” lanjut Kebo Kanigara.
”Tak ada jalan untuk berbuat demikian Kakang. Arya telah waringuten. Agaknya ia tak
dapat diajak berunding lagi. Meskipun seandainya ia diam, namun kediamannya itu justru
berbahaya bagi dirinya,” jawab Mahesa Jenar.
Tiba-tiba dalam kesenyapan itu terdengar Rara Wilis berkata kepada Endang Widuri,
”Endang, bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kau bergembira pula seperti Arya
Salaka?” Widuri tidak tahu arah persoalannya. Meskipun ia mendengar pembicaraan
ayahnya dan Mahesa Jenar, namun sebenarnya ia lebih setuju dengan pendapat Arya
Salaka. Kenapa Banyubiru itu tidak digempur saja.
Karena itu iapun menjawab, ”Aku bergembira seperti Kakang Arya Salaka. Aku kagum
pada sikap jantan yang dimilikinya.”
”Aku hanya sekadar bergembira melihat sikapnya.” Rara Wilis tersenyum. Seperti
bergumam ia berkata kepada diri sendiri, ”Aku teringat pada cerita Purwa, pada saat
menjelang Baratayuda. Orang-orang Pandawa pun menjadi ragu-ragu. Apakah mereka
harus berjuang melawan sanak kadang mereka sendiri. Tetapi akhirnya pertempuran
itupun tak dapat dihindari. Tak dapat dihindari, meskipun segala usaha damai telah
dicoba. Prabu Duryudana lebih senang mendengar nasihat Durna daripada pamannya
sendiri. Diantaranya Resi Bima, seorang Resi yang bijaksana, dan Prabu Salya, mertua
Prabu Duryudana sendiri.
”Ketika Bisma gugur...” lanjut Wilis, ”Para kadang Pandawa masih sempat menghadap
Resi yang dipundhi-pundhi itu. Mereka masih sempat minta maaf dan minta pangestu
kepadanya. Demikian juga sebelum Prabu Salya gugur. Nakula dan Sadewa sempat
mengharap orang tua yang sakti itu. Dengan air mata mereka berdua minta agar mereka
dijauhkan dari dosa mereka, karena mereka harus bertempur melawan saudara-saudara
mereka yang lebih tua.”
Sekali lagi Rara Wilis diam sesaat. Widuri mendengarkan dengan penuh minat. Tetapi
wajahnya telah berubah dari semula. ”Ketika kedua junjungan para darah Barata itu
gugur, menyesallah kedua belah pihak. Tetapi lebih menyesal lagi mereka, seandainya
mereka tidak sempat menghadap sebelumnya. Mohon maaf segala kekhilafan lahir batin.
Dan akan lebih menyesal pulalah mereka, seandainya sebelum Baratayuda itu mulai,
mereka belum bersimpuh di hadapan para junjungan itu.”
Widuri memandang ayahnya, Mahesa Jenar, Wilis dan orang-orang lain di dalam
ruangan itu dengan senyum yang kecil. Tiba-tiba ia merasa berbahagia menerima tugas
itu. ”Tidak adakah orang lain yang dapat berbuat demikian...?” bisik hatinya.
”Akan aku coba,” katanya, ”Supaya Kakang Arya Salaka tidak berbuat kesalahan.
Bukankah maksud bibi sebaiknya Arya Salaka sowan eyang Ki Ageng Sora Dipayana?
Bukankah dengan demikian Paman Mahesa Jenar dapat melaksanakan rencananya?
Namun apabila rencana itu gagal, Arya Salaka tidak akan menyesal seandainya eyangnya
itu gugur seperti Resi Bisma. Sebab ia telah bersujud di bawah kakinya.
SEMUA yang mendengar percakapan itu menarik nafas dalam-dalam. Mahesa Jenar
mengucap syukur dalam hati atas kelincahan perasaan Rara Wilis. Sebagai seorang gadis,
ia mempunyai tanggapan yang lebih halus terhadap pergaulan Arya Salaka dan Endang
Widuri.
Tanpa disengaja, ia mengamat-amati gadis itu seperti belum pernah melihat sebelumnya.
Dalam keadaan yang sedemikian, Mahesa Jenar sempat juga sekali lagi mengagumi gadis
itu. Namun di dalam hatinya, Rara Wilis bukanlah gadis belasan tahun lagi. Bahkan ia
sudah melampaui dunia remaja, yang tak pernah dinikmatinya seperti gadis-gadis yang
lain. Hidupnya penuh dengan persoalan-persoalan yang rumit, yang menuntut ketabahan
hati dan malahan akhirnya menjadikan gadis itu tidak saja berhati tabah, tetapi juga
bertubuh kuat dan berilmu cukup tinggi. Meskipun demikian ia tidak dapat menerima
uluran tangan saudara tua seperguruannya, untuk menikmati kelimpahan raja brana,
sebagai seorang isteri Demang yang kaya raya. Ia lebih senang menunggunya, seorang
kleyang kabur kanginan. Bahkan ikut serta dengan dirinya, menempuh penghidupan yang
penuh dengan bahaya dalam pengabdiannya kepada Tuhan, manusia serta kemanusiaan.
Memancarkan cinta kasih abadi dari sumbernya yang tertinggi.
Disamping itu, iapun mengagumi ketangkasan berpikir Endang Widuri. Gadis itu
agaknya mempunyai keistimewaan yang tak dapat diduga-duga. Dalam pada itu, Mahesa
Jenar pun tidak heran, bahwa Endang Widuri adalah tetesan darah Pengging. Anak Kebo
Kanigara. Widuri kemudian tidak menunggu terlalu lama. Iapun segera berlari ke luar. Ia
sudah bertekad untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya.
Dengan berlari-lari kecil ia mencari Arya Salaka diantara keributan para anggota laskar
Banyubiru itu. Widuri menemukan Arya Salaka di ujung perkemahan itu. Anak muda itu
sedang berdiri tegak di atas sebuah batu yang besar. Seperti sebuah tonggak ia tak
bergerak, memandang ke arah pegunungan yang terbujur di hadapannya. Telamaya.
Ketika Arya Salaka mendengar langkah-langkah kecil berjalan ke arahnya, iapun
menoleh.
”Tidak ada,” jawab gadis itu singkat. Namun kemudian gadis itupun dengan lincahnya
meloncat ke atas batu itu. Ia ingin menyampaikan pesan bibi Wilis itu perlahan-lahan,
supaya Arya Salaka dapat menangkap urutan maksudnya.
Tetapi sebelum ia mulai berceritera terdengarlah Arya Salaka berkata, ”Sebentar lagi aku
akan pergi ke bukit itu.”
”Di sana akan kita jumpai reruntuhan dari gedung yang dibangun sejak Eyang Sora
Dipayana, sampai ayah Gajah Sora. Tugas kita adalah membangun reruntuhan itu,
menjadikan gedung yang megah dan kuat. Kalau mungkin melampaui masa-masa yang
lewat.”
”Ya.”
”Banyubiru harus dapat memancarkan kecemerlangannya kembali. Api yang menyala di
jantungnya, yang telah hampir padam karena pokal Paman Lembu Sora, harus aku
nyalakan kembali sebesar-besarnya.”
”Ya.”
Widuri mulai gelisah. Agaknya ia tidak akan dapat kesempatan untuk menyampaikan
ceriteranya. Apalagi ketika ia sudah nekad untuk memotong angan-angan Arya Salaka
itu, tiba-tiba terdengarlah sangkalala berbunyi.
”Marilah kita bersiap,” ajak Arya. Arya tidak menunggu jawaban Endang Widuri.
Dengan serta merta ditangkapnya gadis itu dan ditariknya menghambur ke arah bunyi
sangkalala yang menjadi semakin nyaring. Suaranya menyusup lembah-lembah,
menghantam bukit-bukit, meraung-raung seperti suara Naga Raja yang marah menuntut
balas.
Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka melihat laskar Banyubiru itu telah hampir
siap. Mantingan, Wirasaba, Bantaran dan Penjawi telah mengenakan pakaian tempur,
sambil menjinjing perisai yang belum diterapkan.
Melihat pelengkapan itu, dada Arya Salaka berdesir. Ia jarang melihat orang bertempur
dengan perisai. Sekarang ia melihat perlengkapan yang luar biasa. Perisai, tombak
larakan yang panjangnya lebih dari dua depa. Panah dan bandil. Tanpa diketahuinya,
merayaplah suatu perasaan yang aneh di dalam dadanya.
Ia sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara,
Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit
yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar.
Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka tidak melihat
perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia melihat laskar Banyubiru itu
memanggul senjata mereka, disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan
bahan makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat
peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu.
Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap
untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan seperti
itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan Banyubiru seperti padang ilalang
yang berdaun baja. Runcing dan tajam.
Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula. Satu-satu ia memandang
wajah yang riang di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam
perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.
Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri diam, iapun
berkata, ”Arya bersiaplah. Bawalah tombakmu Kyai Bancak.”
Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab, ”Belum. Aku belum sempat berkata
sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak
ada putus-putusnya.”
Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun
mereka tersenyum.
”Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara, meskipun ia tahu bahwa
gadisnya itu tak mungkin mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh,
jawabnya, ”Apakah aku harus tinggal di sini?”
”Tidak mau,” jawab Widuri. Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.
”Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan. ”Aku
tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah
Widuri.
”Menurut bibi Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”
Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan
berteriak sesukanya. Meskipun demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu.
”Kalau kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.” Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap
untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke kemahnya,
untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana latihannya. Kain pendek di luar, dan
yang tak dilupakannya adalah rantai peraknya.
Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan
pada ikat pinggangnya.
Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya, dan menempatkan dirinya
di belakang ayahnya. Arya Salaka pun telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar,
dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Di hadapan mereka, berbarislah dalam
kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang
bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan setiap hari ke garis
terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan
mereka.
Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata
kepada mereka, ”Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita
terpaksa bertempur, maka setiap orang diantara kalian, mempunyai kemungkinan untuk
gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap untuk berkorban dengan milik kalian yang
paling berharga, yaitu jiwa kalian, aku persilahkan meninggalkan berisan.”
Dengan semangat yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.
”Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan, ”Ternyata kalian telah merelakan jiwa raga
kalian dalam pengabdian yang luhur ini. Namun, meskipun demikian, dengarkanlah
keterangan ini. Bahwa tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”
Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun
sampai menoleh kepadanya. Mahesa Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan,
”Tujuan kalian yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di atas
pemerintahan Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur adalah cara yang terakhir.
Tetapi bukanlah tujuan. Jangan dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan
Banyubiru dapat dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur, tanpa
setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian, janganlah kalian mencari
perkara.”
Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada diantara mereka yang mencabut
senjata, mengangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-
teriak. ”Kami telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah tercinta.”
Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas mereka. Kemudian ia
mengangkat tangannya. Suara yang mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya
diam. Terdengarlah Mahesa Jenar berkata, ”Tanahmu adalah tanah pusaka. Tanah yang
dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu
adalah di tangan Tuhanmu. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”
Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun demikian di dalam dada
mereka, sekali-kali terngiang pula kata-kata Mahesa Jenar, ”Bertempur adalah cara yang
terakhir. Tetapi bukan tujuan.”
Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang. Sesaat
kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka, ”Arya, semuanya sudah siap.
Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”
Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata
keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin
laskarnya, iapun tahu apa yang harus dikerjakannya. Maka Arya Salaka pun melangkah
maju. Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah
tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah perdikan sejak
eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya.
Sekarang Arya Salaka tidak mau meninggalkannya. Ketika Wanamerta telah berdiri di
sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian
sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda, bahwa barisan itu harus
berkemas. Setiap orang segera memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan
apakah yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka. Sebentar kemudian Arya
Salaka mengangkat tombaknya untuk yang kedua kali. Suara bende itupun
berkumandang untuk kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera
bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya, yang
memberi perintah kepada seluruh barisan itu untuk segera berangkat.
Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan
pandangannya kepada seluruh barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar
Banyubiru itu berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh lebih
kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu, ketika ayahnya
hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Demak.
Namun meskipun demikian, umbul-umbul inipun memberinya kesan yang
menggetarkan. Di tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji
kebanggaan tanah perdikannya, Dirata Sakti. Apalagi ketika matanya tertumbuk pada
panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak, hatinya bergetar deras. Panji-panji itu
pulalah yang memaksa ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan
kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak
berdaya untuk menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan
Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar Banyubiru
menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh orang-orang Pamingit.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan
yang luar biasa. Sebagai seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir
dan batin dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang
pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada tindakannya.
Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi, diangkatnya tombaknya tinggi-
tinggi.
Dan sesaat kemudian menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti
jerit harimau lapar. Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara
sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama dengan gemuruhnya
darah laskar Banyubiru itu. Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan
Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis
dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-
amati barisan itu.
Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang Widuri kepada Rara Wilis,
”Akan aku coba, Bibi, sebelum barisan itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”
RARA WILIS mengangguk sambil tersenyum, jawabnya, ”Kalau kau berhasil Widuri,
dan kemudaian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan
darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan ini dapat
diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan mengukir di dalam hatinya, bahwa
seseorang telah membendung air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka
kehilangan suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan kembali nama
bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan selamat dari pertumpahan yang urung
nanti.” Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya.
Dengan tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah perasaannya kalau
pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba
ayahnya memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran
dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih rapat lagi.
Dengan berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya, ”Inilah bandul
kalungmu. Pasanglah.”
Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang
berkilat-kilat di tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya
memancar cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api
yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi tajam.
”Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan. Ia belum pernah melihat
benda itu sebelumnya.
”Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.
”Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah
aku dapat menggugurkan bukit Merbabu itu?”
Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli
mendengar jawaban ayahnya. Katanya, ”Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu
menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat
pada pekerjaannya yang diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah
lebih cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
”Kakang...” bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya
Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak
sempat untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata, ”Kakang lihat ini.”
”Bagus,” gumam Arya Salaka, ”Lihat.”- Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya
Salaka yang mengaguminya.
Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah kelengkapan kalung Endang Widuri.
Dengan senjata itu Widuri akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam
pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan,
rantai gadis itu sama sekali tidak berbandul.
Dengan rantai itu saja Bagolan sama sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di
ujung rantainya tersangkut senjata itu.
Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya,
”Kakang, apakah barisan ini sekarang juga akan mulai dengan gelar perang?”
”Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri
pula.
Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia mendapat petunjuk-
petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui
dengan pasti, apakah yang harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan
kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja. Ia harus membagi pasukannya dalam tiga
bagian. Sayap kiri, kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya
melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk kemudian menguasai
daerah Banyubiru bagian timur. Sedang sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah
barat. Namun di samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan,
apabila datang bantuan dari Pamingit.
Akhirnya terdengar Arya bergumam. ”Hari ini aku akan menghadapkan laskarku ke
perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai berkembang. Besok pagi aku mulai
dengan gerakan memasuki kota.”
"Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia
mempunyai pandangan yang luas dan dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira
Sawung Saritipun akan memiliki sifat-sifat itu juga."
"Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera
Baratayuda." Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
"Mungkin," gumamnya.
Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis.
Ternyata Widuri benar-benar memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati
ia mengemukakan persoalan demi persoalan. Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata
sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka orang
lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain.
Tetapi kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari Endang
Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri tidak tahu, pengaruh
apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian
meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti, apabila
eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini.
Tetapi Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo
Kanigara.
Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya
akan berpihak kepada pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya
dan berkata, "Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu."
Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada pikiran yang sejalan
dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata
kepada pamannya, "Lembu Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada
anak yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora."
Lalu pamannya itu menjawab, "Baiklah ayah." Bukankah dengan demikian pertempuran
dapat dihindari?
Tetapi Lembu Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian. Untuk beberapa lama
Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku
pada bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit kecil
di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul kembali, seakan-akan
tersembul dari dalam tanah.
Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong
terasa seperti membakar kulit. Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang
bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya. Tetapi iapun
berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang tetap mengikuti irama langkah barisan
anak-anak Banyubiru itu. Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah
pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang dihadapannya. Ia
mengira bahwa Arya akan segera menebarkan barisannya dalam gelar perang. Tetapi
sampai beberapa lama aba-aba itu sama sekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu
masih saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit
menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu terbentang padang rumput yang luas, yang
di sana sini terdapat beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang
berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak batang-batang ilalang yang
memanjat sampai ke lambung. Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka
sampai ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan. Diseberang sawah
itulah mereka baru akan menjumpai desa yang pertama.
Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang
mengepul. Mata Arya yang tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang
Widuri dan Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik, "Kau lihat debu itu,
Widuri?"
Endang Widuri mengangguk. "Kuda," desisnya. "Ya, orang berkuda." Arya Salaka
melengkapi.
Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh,
untuk kemudian seperti hilang ditelan cakrawala. Untuk beberapa saat, orang berkuda itu
mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan, "Biarlah
seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu Sora. Kami sudah siap
menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan halus."
Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda itu benar-benar
menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang
berkuda itu, salah seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat.
Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa yang pertama
tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
mempunyai tanggapan yang lain.
MAHESA JENAR kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah
mengetahui adanya orang berkuda yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau
mempengaruhi rencana anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan
Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar
ini menuju kedalam bahaya.
Dengan isyarat Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang
kepadanya. ”Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin laskarnya. Kemudian
kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata, ”Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap
kiri, yang akan masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga
kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan
langsung menuju ke jantung kota, serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan
pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta membuat pertahanan-
pertahanan baru.
” Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus dilakukan, sebab perintah itu
adalah perintah ulangan seperti yang mereka dengar sebelumnya.
”Tetapi...” kemudian Arya Salaka meneruskan, ”Kalian jangan bergerak lebih dahulu
sebelum aku memberi perintah. Aku harus mendapat keyakinan bahwa dengan sekali
tusuk, rencana kita berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-
baiknya.”
Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-
apa. Tugas mereka, menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau
nanti malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka masih
harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka telah berada di garis
perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab orang-
orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan dengan tiba-tiba. Karena itu mereka
selalu bersiap.
Tempat itu mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan
menjadi ujung-ujung sayap. Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan
diri di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta Mantingan. Sedang
sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan Wirasaba.
Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan langsung berada di tangan Arya
Salaka. Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya
Salaka belum memberikan perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-
mudahan nanti malampun belum.
Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada
orang-orang berkuda yang hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin
mendapat pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa Jenar. Ia
mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang
kering bersama-sama dengan Rara Wilis.
”Paman...” katanya setelah ia pun duduk, ”Apakah tanggapan Paman Mahesa Jenar dan
Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya, katanya, ”Apa katamu tentang itu...?” Mahesa Jenar bertanya
pula.
Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi
lenyap. Tetapi di sana sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun
telah lenyap. Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu sama sekali bukan pengawas dari
Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh oleh orang berkuda itu, menjauhi
Banyubiru.
”Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya menjawab. ”Orang itu
mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”
”Kalau bukan...?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan. ”Kalau bukan, ia adalah orang dari
gerombolan hitam,” sahut Arya, ”Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung
Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”
MENURUT anggapan mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk
Inten, berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari Banyubiru dan
Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang kekuasaan tertinggi. Demak. Meskipun di
dalam dada mereka itu masih selalu terngiang pertanyaan-pertanyaan, ”Lalu siapakah
orangnya yang akan memegang kekuasaan tertinggi diantara golongan hitam itu?
Pasingsingan? Sima Rodra? Atau dari angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau Jaka
Soka atau yang lain lagi...?”
”Aku kira orang-orang dari golongan hitam itu akan menggunakan kesempatan sebaik-
baiknya.” Terdengar Arya kemudian berkata. ”Mereka akan menggempur kita, apabila
tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran kita melawan orang-orang
Pamingit.”
”Aku kira aku harus membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan itu
harus tetap segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan datang kemudian.”
Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan dengan langkah gontai ke arah
mereka.
”Aku melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama dengan Paman Mantingan
menangkap kelinci-kelinci liar,” jawabnya.
”Jangan takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya, ”Dengan demikian benda itu akan
menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”
”Kau memang terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan. ”Sekali-kali aku masih ingin
menarik kupingmu.” ”Jangan ayah,” potong Widuri, ”Bahkan mungkin Kakang Arya
menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku mondar-mandir, sebab ada yang dapat aku
lihat di ujung desa sebelah.”
Segera teringatlah ia pada saat Lembu Sora mencegat laskar Demak yang membawa
Gajah Sora. Orang-orangnya memberikan tanda-tanda dengan benda yang berkilat-kilat.
”Aku lihat cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan dari desa yang jauh itu,”
jawab Widuri.
Mendengar keterangan Widuri itu Arya mengangkat wajahnya, memandang jauh ke arah
desa yang ditunjuk oleh Endang Widuri. Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik
perhatian. Bahkan Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya
memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah di dalam otaknya,
pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana. Sehingga seolah-olah pada setiap batang
didalam desa itu, berdiri seorang laskar Lembu Sora, yang siap menanti kedatangan
laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan.
Kedua orang itupun segera menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun kedua orang itu
masih belum membawa perintah kepada sayap-sayap pasukan itu untuk bergerak.
Disamping kepada kedua orang itu, kepada Sendang Papat yang berada di dalam pasukan
induk itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk memisahkan sebagian laskarnya
yang harus tetap segera untuk menghadapi lawan baru yang setiap saat dapat
mengancamnya. Tetapi keterangan yang diberikan kepada sayap-sayap laskarnya, sangat
mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan hitam akan mengail di air yang keruh. Kenapa
ia mesti mengeruhkan airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya.
APA yang dilakukan Arya Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau
pamannya tidak melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang berlaku, maka iapun
tidak akan melakukan perjuangan dengan kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab dari
keributan yang bakal terjadi adalah terletak di pundak pamannya.
Sekali lagi Arya menengokkan wajahnya ke langit. Matahari telah semakin rendah, dan
sebentar lagi akan hilang dibalik bukit-bukit di sebelah barat. Burung-burung seriti dan
manyar telah berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat bermalam di atas pohon-
pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.
”Baik, kami atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,” kata Arya Salaka kemudian.
”Sebentar lagi malam tiba.”
”Ya,” jawab Mahesa Jenar, ”Tetapi mungkin besok pagi-pagi benar sebelum pecah fajar,
kau harus sudah bertempur.”
Mahesa Jenar melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Arya Salaka, seperti
ceritera tentang Arjuna yang ragu-ragu pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi
apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan
Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk sementara membiarkan saja Arya Salaka
diganggu oleh kegelisahannya.
”Sampai malam nanti...” pikir Mahesa Jenar. Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini
bukanlah pamannya itu sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan ceritera Baratayuda
itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah berbahaya. Bahkan laskar hitam itu sama
sekali tidak terikat pada suatu tata kesopanan ataupun kepercayaan yang dapat
mengendalikan kebiadaban serta kekejaman mereka.
Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan, ”Bawalah untuk besok pagi,
sebelum ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Kedudukan-kedudukan baru
akan segera kami beritahukan, apabila pertempuran sudah mulai.”
”Paman...” akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan, ”Bagaimanakah kalau aku mulai
melepaskan sayap-sayap laskarku?”
Mahesa Jenar pun telah merasa bahwa pada suatu ketika ia akan menghadapi pertanyaan
seperti itu. Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia
masih belum melepaskan usahanya. Katanya, ”Adakah kau sudah menganggap cukup
waktu?” Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya, ”Kalau aku kehilangan waktu, apakah
itu tidak membahayakan kedudukan kita ini Paman?”
Arya Salaka benar. Sedang orang-orang Pamingit itu telah siap di hadapannya. Mungkin
mereka akan membuka gelar lebih dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi
mereka tak akan dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan kedua
sayapnya agak jauh. Meskipun demikian orang-orang Pamingit dapat memotong sayap-
sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk pasukan dengan gelar yang sempit.
Cakra Byuha atau Dirada Meta atau Gedong Minep. Namun menilik watak Senapati yang
akan memimpin laskar Pamingit itu, baik Sawung Sariti maupun Lembu Sora sendiri,
pasti tidak akan mempergunakan gelar terakhir. Mereka pasti lebih senang memilih gelar
Cakra Byuha atau Dirada Meta. Bahkan mungkin seperti apa yang pernah mereka
lakukan terhadap pasukan Demak dengan jumlah yang sangat besar, Glatik Neba atau
Samodra Rob.
Dalam menilai keadaan, Mahesa Jenar tidak dapat menutup kenyataan bahwa bukan
salah Arya atau kalau Arya kini tertekad bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak
melakukan itu, ia akan digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang
merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya. Maka kemungkinan satu-
satunya yang dapat dilakukan oleh Arya, apabila ia akan menghadap eyangnya, adalah
sekarang. Dan ia harus kembali sebelum tengah malam. Apabila keadaan tidak
menguntungkan, sayap-sayapnya masih akan dapat mencapai tempat yang ditentukan
sebelum fajar, dan memukul Banyubiru dari tiga jurusan. Tetapi adakah Arya bermaksud
demikian?
UNTUK menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata, "Siapakah menurut
dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari Pamingit pagi besok? Lembu Sora, Sawung
Sariti atau eyangnya Sora Dipayana?"
Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar
eyangnya itu yang memimpin pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada
Lembu Sora? Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap untuk dapat
membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya. Karena itu ia mendesak, "Kalau
eyangmu yang memimpin pasukan itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo
Kanigara yang akan membinasakan."
Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya
bahwa Mahesa Jenar sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata
gurunya, bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu.
Tetapi bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka
pada ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat dengan
Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka
terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena desakan hati mereka yang
putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun
mereka mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang
bernama Srikandi-lah yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung.
Demikian juga Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus
membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf
atas segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden itu.
Tiba-tiba terdengar Arya berdesis, "Bagaimanakah kalau Eyang Sora Dipayana yang
memimpin laskar Pamingit?"
Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba
mengambanglah airmatanya yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus
menghadapi keadaan yang sedemikian pahit.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan. "Kenapa kau
berduka? Adakah kau takut kehilangan aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan
oleh eyangmu itu."
Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab.
Yang terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar, "Atau kau cemaskan nasib
eyangmu?"
Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa yang demikian itu sama
sekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa
Jenar untuk sekali lagi menghadap ke Banyubiru.
Tiba-tiba terasa sekarang, bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang
pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit
yang akan mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu.
Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka
katanya, "Kalau kau ingin menghadap eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo
Kanigara menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta.
Kalau orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya,
sambil memberi tanda kepada pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman
Wanamerta membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara, atau anak
panah api."
Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh
kesulitan perasaan yang dihadapinya.
"Kita berangkat sekarang," sambung Mahesa Jenar, "berkuda, dan membawa obor di
tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud baik. Bukan mata-mata yang
menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di tengah-
tengah laskar ini."
Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar
memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera
bersiap-siap pula.
Kepada Rara Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya
Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah apinya
menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak.
Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka
bertanyalah ia, "Apakah yang akan kau lakukan Adi Arya Salaka?"
"Aku punya alasan," potong Arya, "Aku akan berpura-pura menghadap Eyang Sora
Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran."
"Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?" tanya Sendang Papat.
"Mudah-mudahan mereka cukup jantan," jawab Arya.
SENDANG PAPAT tidak bertanya lagi. Alasan Arya Salaka dan cara yang akan
dilakukan memang masuk akal, meskipun Arya Salaka terpaksa memutar balik, agar
laskarnya tidak dikecewakan.
”Baik....” Akhirnya Sendang Papat menjawab, ”Akan aku siapkan beberapa orang
pelopor yang apabila keadaan memaksa akan menembus pasukan Pamingit langsung ke
arah tanda-tanda yang akan kau berikan, untuk membantu. Sedang yang lain akan aku
kerahkan untuk memberi tekanan kepada mereka, sampai kau dan Tuan Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara dan Kiai Wanamerta dapat membebaskan diri.”
”Bagus,” jawab Arya, ”Kami akan berangkat. Beritahu kepada sayap-sayap laskar ini,
supaya mereka tidak terkejut melihat tanda-tanda apabila terpaksa aku berikan, siapkan
sayap-sayap itu.”
Demikianlah dalam waktu yang singkat, rombongan Arya Salaka telah terpisah jauh dari
laskarnya. Mereka berjalan dijalan-jalan persawahan yang membujur diantara tanah-
tanah yang diterangi oleh batang-batang padi yang sedang berbunga. Sedang dekat di
hadapan mereka tampaklah seperti bukit-bukit kecil, desa-desa yang pertama. Dari desa-
desa itulah sore tadi Endang Widuri melihat cahaya yang berkilat-kilat bersahut-sahutan.
Dalam keheningan malam itu terdengarlah suara Mahesa Jenar perlahan-lahan, ”Arya,
batang-batang padi sedang berbunga.”
”Kalau kau berjalan beriring dengan laskarmu dalam gelar perang, atau orang-orang
Pamingit yang maju dalam gelar pula, batang-batang padi yang sedang berbunga itu akan
binasa oleh kaki-kaki laskar yang akan bergulat diantara hidup dan mati. Tetapi
disamping laskar itupun masih ada lagi orang-orang yang akan bergulat melawan lapar,
sebab tanah harapannya telah hancur dilanda arus peperangan. Perempuan-perempuan
akan menangis karena kehilangan suami, sedang anak-anak mereka akan menangis
karena lapar.”
Peperangan adalah peristiwa yang terkutuk. Yang dapat mematahkan cinta antara
manusia, cinta antara keluarga, cinta antara suami istri dan anak-anak mereka.
Tetapi gurunya itupun pernah berkata kepadanya, ”Arya, ada beberapa tingkat dalam
bercinta. Cinta kita kepada sesama, cinta antara pria dan wanita, cinta antara orang tua
dan anak-anak, cinta antara manusia. Kemudian meningkatlah cinta kita kepada tanah
kelahiran, kepada kampung halaman, kepada tanah air dan bangsa. Tanah yang diberikan
oleh Tuhan kepada kita serta lingkungan hidup di atasnya. Dan tingkat yang tertinggi dari
cinta kita adalah cinta kita kepada sumber cinta itu sendiri. Kepada yang memberi kita
gairah atas sesama manusia, yang memberikan tanah tumpah darah dan lingkungan hidup
di atasnya. Yaitu cinta kita kepada Tuhan itu sendiri. Cinta kita kepada Yang Maha
Pencipta. Tak ada yang dapat dipertentangkan dengan cinta kita kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Cinta itu adalah cinta yang paling luhur. Tetapi kadang-kadang kita
dihadapkan kepada persoalan yang seolah-olah merupakan pertentangan antara kedua
pancarannya. Cinta kita kepada tanah tumpah darah, cinta kita kepada bangsa yang
seolah-olah bertentangan kepentingan dengan cinta kita pada kemanusiaan dan manusia.”
”Tidak,” kata gurunya itu, ”Kita bisa menempatkan kedua-duanya. Kita harus
menempatkan cinta kita kepada tanah tumpah darah berdasarkan cinta kita kepada
manusia. Kepada manusia yang akan kita lahirkan. Kepada manusia yang akan mewarisi
hidup kita kelak, supaya mereka dapat menikmati hidup mereka. Supaya mereka dapat
menikmati cinta yang kudus. Cinta kepada Tuhannya tanpa merasa takut dan cemas.
Tanpa terganggu oleh persoalan-persoalan duniawi.”
Arya menarik nafas dalam-dalam. Memang peperangan harus dicegah. Tetapi kalau ia
harus pecah, maka hendaknya perang itu dilandaskan kepada kepentingan kemanusiaan.
Bukan kepentingan diri dan keinginan-keinginan untuk diri sendiri. Demikianlah kalau
peperangan antara laskarnya melawan laskar Pamingit. Perang ini memang dapat
menimbulkan perlawanan atas rasa cinta, tetapi ia harus dilandaskan pada kecintaan dan
pengabdian yang lebih luhur. Karena itulah maka Arya sadar, bahwa gurunya bukan
bermaksud menganjurkan kepadanya untuk menerima nasibnya, nasib rakyatnya. Tetapi
gurunya hanya mencoba mencegah timbulnya pertentangan apabila kemungkinan itu
masih bisa dicapai.
Tiba-tiba tersentak dari lamunannya, ketika dengan tiba-tiba orang berkuda yang
berjalan di mukanya itu mendadak berhenti.
”Ada apa?” ia bertanya. Orang itu menujuk ke depan. Di pojok desa tampaklah beberapa
orang berdiri.
Ia tahu betul isyarat yang diberikan oleh orang-orang itu. Kalau ia tidak berhenti, maka
tombak yang kedua akan diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki
bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.
Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati
mereka. Sementara itu Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang
Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan dirinya di samping anak
muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu. Beberapa orang itu kemudian berdiri
mengitari Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-
rapat.
Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak
pinggang ia berkata, ”Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud
kalian?”
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab, ”Ki Sanak, kami adalah orang-orang
Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga orang Banyubiru?”
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat
seseorang sambil berteriak, ”Kalian merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?”