1351 NG
1351 NG
1351 NG
Pasingsingan menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang
aneh-aneh seperti perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang
disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya. Perlahan-
lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata kasar,
”Mendekatlah. Aku tidak akan mengganggumu.”
LAWA IJO yang lemah itu kemudian berusaha untuk melemparkan senjata-senjatanya.
Pisau belati yang selama ini menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang
diikatnya dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.
Endang Widuri melihat semuanya dengan jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-
ragu. Tetapi ada sesuatu yang mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo
itu. Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara Wilis pun meloncat ke
arahnya, sambil berkata, ”Widuri.”
Kembali langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun
kemudian menjadi sesak oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah hampir
sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis kecil itu. Maka
perlahan-lahan ia berkata, ”Aku adalah manusia seperti kalian, meskipun apa yang aku
lakukan selama ini tidak ubahnya seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku
alami, sesudah aku menginjak alam lain, namun di perbatasan ini aku tidak akan
menambah dosa.”
Tiba-tiba hati Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah
sekeras baja. Ketika Widuri memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga
Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati hantu dari Alas Mentaok
yang hampir sampai ajalnya itu. ”Senjatamu benar-benar ampuh, melampaui senjata yang
pernah aku kenal,” desis Lawa Ijo.
”Namun ia akan bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi
itu.” Widuri tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih
memegang rantai beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu.
Lawa Ijo kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan mata akik yang
berwarna merah menyala.
”Lawa Ijo...!” Pasingsingan berkata lantang. ”Apakah yang kau berikan itu?”
”Gila, jangan kau lakukan,” sahut Pasingsingan. ”Akik Kelabang Sayuta adalah ciri
Pasingsingan yang hanya aku pinjamkan kepadamu.”
”Biarlah Guru. Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah Lawa Ijo dengan suara
gemetar. Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati muridnya yang hampir
mati itu. Namun dengan demikian, tanpa dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan
bahaya dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat pemecahan
yang mengerikan.
”Biarlah akik itu diberikan, namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari
tangannya.” Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo menyerahkan
cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu. Widuri pun seperti orang yang
kehilangan dirinya. Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian Lawa Ijo itu.
Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan Widuri seorang diri
berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya dengan pedang terhunus di
tangannya.
”Kutuk anakku itu telah sampai pada suatu kenyataan.” Terdengar suara Lawa Ijo
gemetar. ”Mudah-mudahan aku dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah
kau menerima cincin itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-hatilah
dengan cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar. Aku
tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut jalan
hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat menolongmu.”
Lawa Ijo berhenti.
Lawa Ijo berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia
menggeliat lemah. Kemudian berbisik kembali perlahan-lahan. ”Tetapi ternyata aku salah
sangka.” Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk membuka matanya, lalu
meneruskan, ”Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki itu yang berbuat bengis.
Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku adalah korban nafsu
kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia. Aku jadi menyesal. Apalagi
ketika satu-satunya anakku itu mati pula. Akhirnya aku kehilangan keseimbangan. Dan
jadilah aku seekor binatang pula. Tetapi aku tidak mau mendekatkan diri kepada
perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Aku hanya ingin membunuh, berkelahi
dan membuat orang lain menjadi putus asa dan menderita. Kadang-kadang aku rampas
harta bendanya, pusaka-pusakanya dan kadang-kadang aku bunuh keluarganya, anak-
anaknya yang tak berdosa. Akhirnya aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru
kepada Bapa Pasingsingan.”
Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya satu-satu masih mengalir
lewat hidungnya. Tetapi sesaat kemudian ia berusaha untuk tersenyum. Bersamaan
dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah nafasnya yang terakhir.
Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk oleh kata-kata terakhir Lawa
Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan masa depannya, karena ia salah duga terhadap
istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi
berkembang dengan pesatnya, sehingga menemukan bentuk puncaknya.
Endang Widuri masih berjongkok di samping Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi panas.
Kematian lawannya itu ternyata mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia
mengamat-amati benda pemberian Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik yang merah
menyala. Kelabang Sayuta.
Tetapi ia menjadi terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang
seperti bergulung-gulung di dalam perutnya. ”Widuri, agaknya kau telah berhasil merebut
hati muridku pada saat-saat terakhirnya. Karena kenangannya yang melambung pada
masa lampaunya, pada almarhum istri dan anaknya itulah, maka sejak di Gedong Sanga
ia selalu berpesan untuk membebaskan kau dari tanganku. Sebelum mati ia pun berpesan
demikian pula untuk tidak mengganggumu. Tetapi Lawa Ijo sekarang sudah tidak ada
lagi. Pesannya akan hilang bersama hilangnya nyawamu. Sekarang aku akan melakukan
rencanaku. Mengikat kalian di belakang kuda, dan mengantarkan kuda-kuda itu ke
Pamingit.”
Setiap hati yang mendengar kata-kata Pasingsingan itu menjadi bergetar cepat. Mereka
menjadi seperti tersadar dari mimpinya. Ketika mereka mendengar kata-kata terakhir
Lawa Ijo, mereka seolah-olah terlempar ke dalam satu dunia yang asing. Namun sekarang
kembali mereka berdiri di atas tanah. Mereka berhadapan dengan iblis bertopeng dari
Alas Mentaok. Mantingan tiba-tiba meloncat dengan cepatnya, meraih trisulanya yang
masih menggeletak di samping Lawa Ijo setelah berhasil menyobek dada pemimpin
gerombolan yang kehilangan masa depannya itu. Pedang Rara Wilis juga diangkatnya
kembali. Widuri yang masih berjongkok disamping Lawa Ijo pun berdiri. Dengan hati-
hati ia mengenakan cincin pemberian Lawa Ijo di jarinya, meskipun agak terlalu longgar,
namun karena tangannya kemudian menggenggam ujung rantainya, maka cincin itu tidak
akan lari karenanya.
Wirasaba yang berdiri tegak agak jauh dari mereka, juga segera membelai kapaknya,
seolah-olah ia ingin menanyakan kepada senjata itu, apakah yang dapat dilakukan untuk
melawan orang yang bernama Pasingsingan itu.
Yang terdengar kemudian adalah suara Sura Sarunggi, disamping gelaknya yang riuh.
”Aku menjadi geli melihat kelinci-kelinci ini mempersiapkan senjata-senjata mereka.
Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menduga-duga
kekuatanmu, Pasingsingan?”
Pasingsingan tidak menjawab. Malahan ia berkata kepada Jaka Soka, ”Soka, masihkah
kau perlukan perempuan itu?”
Jaka Soka terkejut. Selama itu ia pun seperti orang yang kehilangan kesadaran. Namun
akhirnya ia menjawab, ”Perempuan itu sangat berbahaya, Paman.”
”Bagus,” sahut Pasingsingan, ”Perempuan itulah yang pertama-tama akan aku ikat di
belakang kuda bersama-sama dengan gadis yang bernama Widuri itu. Seorang laskar
akan memacu kuda itu dan melepaskannya di Pamingit.”
Tiba-tiba terdengar Jaka Soka bergumam, ”Sayang.” Tetapi Pasingsingan sudah tidak
mendengarnya lagi.
Topengnya tiba-tiba tampak menjadi liar. Dipandangnya satu demi satu, Mantingan,
Wilis, Widuri kemudian Wirasaba. Yang terakhir adalah mayat muridnya. ”Ia mati di luar
lingkungan kami,” desisnya.
”Ya,” sahut Sura Sarunggi. ”Ia mati setelah menanggalkan kejantanan golongan kami.
Aku tidak tahu bagaimana kedua muridku mati. Mudah-mudahan mereka mati sebagai
Uling Rawa Pening.”
Namun bagi Pasingsingan, senjata-senjata itu tak akan banyak berarti. Meskipun
demikian, ia pun berhati-hati. ”Mulailah Pasingsingan,” kata Sura Sarunggi, ”Mungkin
orang-orang Pamingit akan segera menyusul kita. Bukankah pekerjaan utama kita belum
selesai?”
”Ya,” jawab Pasingsingan. ”Aku menduga kalau keris-keris itu disembunyikan oleh
Gajah Sora. Tetapi jangan takut mengenai orang-orang Pamingit atau Banyubiru yang
akan menyusul kita. Aku telah meletakan beberapa penjaga untuk memberikan tanda-
tanda dengan kentongan apabila mereka terpancing oleh api di sana.”
Sura Sarunggi pun kemudian tertawa sambil berkata, ”Kau benar-benar iblis. Tetapi
memang benar-benar menyenangkan. Meskipun demikian jangan terlalu lama. Apakah
aku harus membantu? Kau akan kecewa kalau mereka mati ketakutan sebelum terseret
oleh kuda-kuda kita.”
”Aku akan dengan mudah membunuh mereka bersama-sama. Tetapi aku akan menemui
kesulitan untuk menangkap mereka hidup-hidup. Bantulah supaya pekerjaanku segera
selesai.”
Sura Sarunggi tertawa. Ia melangkah maju mendekati empat orang yang berdiri dalam
satu lingkaran beradu punggung.
Pasingsingan pun melangkah dari arah lain. Udara di halaman Pendapa Banyubiru itu
kemudian diliputi oleh ketegangan. Masing-masing seakan-akan tidak berani menarik
nafas dengan leluasa. Mantingan, Rara Wilis, Endang Widuri dan Wirasaba telah
bertekad untuk bertempur mati-matian.
Mereka lebih baik mati dalam perkelahian itu, daripada harus terserat di belakang kaki
kuda di sepanjang jalan ke Pamingit. ”Mahesa Jenar dan sahabatnya di Pamingit akan
berterima kasih atas hadiah-hadiah kita ini, Sarunggi,” desis Pasingsingan.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Sura Sarunggi yang tinggal beberapa langkah
dari korbannya, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Demikian pula Pasingsingan.
”Hem....” geram Pasingsingan, ”Apakah ini?” Mata Sura Sarunggi menjadi liar.
Mantingan dan kawan-kawannya yang telah hampir kehilangan harapan untuk dapat
menyaksikan matahari terbit di balik bukit-bukit besok pagi, menjadi heran. Apakah yang
mengganggu mereka. Ketika mereka melihat berkeliling, mereka tidak melihat apapun
juga. Yang mereka lihat di langit yang kelam, mendung mulai mengalir dari arah utara.
Satu-satu bintang-bintang yang gemerlapan itu tertelan dan hilang di belakang tabir yang
kelabu.
Angin yang basah bertiup semakin lama semakin keras. Dan udara di atas Banyubiru
menjadi semakin dingin.
Tetapi Pasingsingan dan Sura Sarunggi masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan
kemudian Jaka Soka pun menjadi heran. Apakah yang ditunggu lagi? Tak seorangpun
yang akan dapat menghalang-halangi mereka. Apa yang akan mereka perlakukan...?
Sendang Parapat, Wanamerta yang kaku seperti tonggak, para penjaga di gardu, tak ada
yang mampu berbuat apapun. Meskipun Sendang Parapat dan Wanamerta tak akan
tinggal diam. Ternyata dengan senjata-senjata di tangan mereka. Namun mereka sadar,
bahwa terhadap Jaka Soka itupun mereka tak akan mampu melawan.
Tiba-tiba Sura Sarunggi dan Pasingsingan menjadi tegang. Sesaat kemudian terdengar
Sura Sarunggi berkata, ”Jangan bersembunyi. Siapakah kau? Mahesa Jenar, Pandan Alas,
Titis Anganten atau Sura Dipayana?”
Mendengar nama-nama itu, tergetarlah dada orang Banyubiru. Mantingan dan kawan-
kawannya. Bahkan Widuri terpekik kecil, ”Ayah barangkali?”
Tetapi tak ada jawaban. Karena itu kembali Mantingan dan kawan-kawannya menjadi
tegang. Seperti Sura Sarunggi dan Pasingsingan pun bertambah tegang. Mahesa Jenar,
sahabatnya yang berhasil membunuh Nagapasa, Pandan Alas atau orang-orang lain pasti
tidak akan membiarkan anak-anak mereka, atau sahabat-sahabat mereka itu menjadi
ketakutan. Mereka pasti akan segera menampakkan diri. Bahkan mereka pasti datang
dengan tergesa-gesa di atas kuda yang derap kakinya akan memberitahukan kehadiran
mereka.
”Tetapi siapakah selain mereka?” bisik Sura Sarunggi di dalam hatinya. Namun
Pasingsingan menjadi gelisah. Ia pernah bertemu dengan orang-orang aneh itu beberapa
saat lampau di Rawa Pening. Ketika ia hampir saja membunuh Mahesa Jenar beserta
empat kawannya. Yang seorang adalah Dalang Mantingan itu. Dua orang aneh itu
berhasil membebaskan mereka. Sekarang, ketika Mantingan berada di ujung maut, terasa
sesuatu yang aneh di halaman itu.
”Pasingsingan,” jawab suara itu. Berdesirlah setiap dada yang mendengar jawaban itu.
Pasingsingan...?
”Ah, orang itu pasti berolok-olok saja,” pikir mereka. Namun suara itu bergulung-gulung
di dalam perut, seperti suara Pasingsingan. Ketika kemudian kilat memancar di langit,
maka kembali di halaman itu seakan-akan menjadi runtuh karena setiap orang terkejut
karenanya. Dari arah suara itu, di dalam cahaya kilat yang hanya sesaat tampaklah
seorang yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan bertopeng yang kasar di wajahnya.
”Tak ada dua Pasingsingan di dunia ini,” teriak Pasingsingan. ”Aku satu-satunya.”
”Kau salah!” Tiba-tiba terdengar suara itu di arah lain. ”Aku juga Pasingsingan
KETIKA semua orang menoleh ke arah suara itu, dalam keremangan cahaya obor,
tampaklah seseorang lagi yang berdiri tegak dengan jubah abu-abu dan topeng kasar di
wajahnya, sehingga serasa akan meledaklah dada mereka.
Dua orang yang sama-sama mengenakan jubah abu-abu dan topeng kasar di wajah
mereka. Pasingsingan menjadi marah sekali karenanya, sehingga tiba-tiba tubuhnya
menjadi gemetar. Dengan pandangan liar ia mengawasi kedua orang yang mirip dengan
dirinya itu berganti-ganti. Kemudian sambil menggeram ia berkata, ”Apakah kalian tidak
sadar, bahwa permainan kalian itu akan berakibat maut?”
Kedua orang yang menamakan diri mereka Pasingsingan itu tidak menjawab, tetapi
perlahan-lahan mereka melangkah mendekat. Seorang di antaranya berdiri di samping
Mantingan dan kawan-kawannya, sedang seorang yang lain berdiri bertentang pandang
dengan Sura Sarunggi.
Namun kemudian terdengar suara Sura Sarunggi tertawa. Katanya, ”Suatu permainan
yang bagus, Pasingsingan. Tetapi dengan mengenakan jubah abu-abu dan topeng yang
jelek itu, bukankah permainan terakhir bagi kalian? Sebab kalian pasti akan mengambil
keputusan untuk membuktikan bahwa Pasingsingan memang hanya satu. Kalau sekarang
tiba-tiba ada tiga, atau barangkali nanti muncul yang lain, empat, lima, enam, sepuluh,
maka nanti akhirnya Pasingsingan benar-benar akan tinggal satu.”
”Tetapi terletak di tangan Yang Maha Agung. Tak seorangpun dapat meramalkan,
apakah satu dari sekian banyak Pasingsingan itu adalah kau. Tak seorangpun yang tahu,
apakah kau dibenarkan untuk tetap hidup. Apakah aku atau orang itu yang juga
menamakan dirinya Pasingsingan.”
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang Widuri masih dapat bertahan diri, berdiri
tegak dalam lingkaran beradu punggung. Meskipun demikian mereka harus berjuang
mati-matian agar mereka tetap dalam kesadaran. Sebab mereka tidak tahu apa yang akan
terjadi dengan tiga orang yang masing-masing menamakan diri mereka Pasingsingan.
Apakah Pasingsingan yang lain itu tidak kalah jahatnya dengan Pasingsingan yang
pertama. Apakah justru kedua orang yang lain itu lebih berbahaya bagi mereka.
Pasingsingan masih terus tertawa dengan nyaringnya. Beberapa orang penjaga, bahkan
Sendang Parapat, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka menjadi seperti orang yang
terlepas dari keadaan sekitarnya. Dan karena itu mereka menjadi terbaring lemah tanpa
daya. Hatinya menjadi nyeri dan pedih. Mantingan dan kawan-kawannya pun semakin
lama menjadi semakin lemah.
Bahkan akhirnya ia tersenyum dan berkata, ”Gelap Ngampar adalah ilmu ajaib.
Pasingsingan yang lain pun mampu berbuat demikian?”
Namun kedua Pasingsingan yang lain itu tidak menjawab. Mereka tegak seperti patung
saja di tempatnya. Tetapi tiba-tiba terasa udara yang aneh bertiup di halaman itu.
Perlahan-lahan hanyut di sela-sela arus angin basah dari lembah. Pasingsingan yang
berdiri dekat Mantingan itu tampak melipat tangan di dadanya. Sejalan dengan arus udara
yang aneh itu, terasa sesuatu merayap-rayap di dada Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba
dan Endang Widuri. Seakan-akan mereka menemukan kesegaran baru di dalam dirinya.
Perasaan nyeri dan pedih yang ditusukkan oleh aji Gelap Ngampar di dalam tubuh
mereka perlahan-lahan menjadi berkurang. Dan angin masih mengalir mengusap tubuh
mereka membawakan ketenangan dalam diri. Bagaimanapun juga Mantingan adalah
seorang yang memiliki pengalaman yang cukup. Ia adalah seorang dalang yang banyak
mempelajari keajaiban dan kekuatan- kekuatan yang tersembunyi di balik alam yang
kasatmata. Karena itu tergetarlah hatinya.
WIDURI, Wilis dan Wirasaba mendengar bisikan itu. Karena itu mereka menjadi
gelisah. Dua raksasa dapat bertempur tanpa luka pada kulit mereka, namun kelinci-
kelinci dapat terinjak mati di tengahnya.
”Hem...” geram orang berjubah yang menyilangkan tangannya. ”Kau masih tidak
percaya bahwa aku bernama Pasingsingan.”
”Setiap orang dapat menyebut dirinya Pasingsingan. Mengenakan jubah abu-abu dan
topeng kasar. Namun aji Gelap Ngampar tak dimiliki oleh setiap orang,” sahut
Pasingsingan hampir berteriak. Orang yang menamakan dirinya Pasingsingan, yang
berdiri di samping Mantingan sambil melipat tangannya itu, mengangkat wajahnya.
Terdengar ia menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia menoleh kepada Pasingsingan
yang seorang lagi.
”Kau juga bernama Pasingsingan? Orang itu bertanya dengan suara yang dalam.
”Akulah Pasingsingan itu,” jawab orang itu.
Pasingsingan menjadi semakin marah. Katanya lantang, ”Aku tidak peduli apakah kau
menyebut dirimu Pasingsingan atau Setan Belang. Tetapi selama kau tak mampu
menunjukkan ciri-ciri Pasingsingan, maka kau hanya akan ditertawakan orang sebelum
kau terbunuh olehku.”
Namun Sura Sarunggi terpaksa berpikir. Orang-orang itu berhasil membebaskan dirinya
dari pengaruh Gelap Ngampar, sehingga dengan demikian orang-orang itu bukanlah
kelinci-kelinci seperti Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri. Apalagi Wanamerta
dan Sendang Parapat yang kini benar-benar seperti orang yang tak tahu keadaan diri.
”Aji Gelap Ngampar adalah aji yang dahsyat,” kata orang yang berjubah abu-abu yang
berdiri di sebelah Sura Sarunggi itu. ”Tetapi aji Gelap Ngampar adalah aji yang kurang
sempurna. Aji yang tak akan dapat dipergunakan dalam pertempuran besar, dimana
dalam pertempuran itu terdapat kawan dan lawan. Sebab demikian aji itu dilontarkan,
maka tidak saja lawan-lawan kita yang terbunuh, namun kawan sendiripun akan
menderita karenanya.”
”Ki Sanak yang menamakan diri Pasingsingan, apa yang dapat kau lakukan dengan
Gelap Ngampar sekarang ini? Kalau kau akan membunuh aku, misalnya, dapatkah kau
pergunakan Gelap Ngampar? Dengan aji itu, kau hanya mampu membunuh orang-orang
ini, yang berkerumun ketakutan melihat topeng-topeng kita yang kasar.”
Kembali Pasingsingan menggeram dahsyat sekali. ”Jangan banyak bicara. Aku berkata
tentang kebenaran dan kenyataan tentang Pasingsingan.” Pasingsingan yang berdiri di
samping Sura Sarunggi itu bertawa terkekeh-kekeh dibalik topengnya yang jelek,
jawabnya, ”Kau mengigau tentang kebenaran dan kenyataan Pasingsingan? Aku tidak
tahu kebenaran dan kenyataan yang kau maksudkan. Bahkan cara berpikir yang demikian
itulah yang menyebabkan dunia ini selalu bergoncang. Kebenaran yang terpancar dari
kedengkian diri serta kenyataan yang ditabiri oleh pamrih dan nafsu. Kalau setiap orang
berpikir demikian, tak ada ukuran tata pergaulan manusia. Kebenaran akan bertentangan
dengan kebenaran yang lain, menurut kepentingan diri sendiri.”
”Huh...” potong Pasingsingan, ”Tak ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih. Dunia
ini terbentang di hadapan kita untuk kita nikmati. Kalau kita tidak berbuat sesuatu adalah
salah kita sendiri. Karena itu sudah sewajarnya kalau kita teguk airnya sepuas-puasnya,
dan kita makan pala gumantung dan pala kependhem sekenyang-kenyangnya. Nah, aku
sekarang sedang menikmati pala keduanya kini. Jangan melintang di jalan yang akan aku
lewati. Aku sedang mendaki puncak kebesaran. Apakah kau kira kenikmatan dan
kebesaran hanya dapat dimiliki oleh seseorang? Huh. Akupun berhak. Dan agaknya
kaupun sedang berusaha.”
”Apa yang sedang kau usahakan?” tanya Pasingsingan yang berdiri di samping
Mantingan. ”Jangan berpura-pura,” jawab Pasingsingan.
”Hem...” desah orang yang berdiri di sebelah Sura Sarunggi. ”Apakah kau sedang
mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
”Bukankah kau juga sedang mencarinya?” potong Pasingsingan. ”Apakah yang kalian
perdebatkan?” sahut Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. ”Kyai Nagasasra
dan Sabuk Inten? Kalau itu yang kaucari, tak akan kau ketemukan di sini. Kalau itu yang
dimaksud dengan kebesaran yang setiap orang berhak menikmatinya, bukankah dengan
demikian kau bermaksud merajai Demak?”
APA PEDULIMU?” bentak Pasingsingan yang berjubah abu-abu, guru Lawa Ijo.
Orang bertopeng di samping Sura Sarunggi itu berkata pula, ”Kalau keris-keris yang kau
kehendaki, mengapa kau berbuat hal yang aneh-aneh? Mengapa kau akan membunuh
orang-orang ini?”
”Kalau seseorang berusaha menemukan keris Nagasasra dan Sabuk Inten untuk
diserahkan kepada yang berhak, kau berusaha untuk dirimu sendiri. Adakah kita akan
berpihak padamu?” tanya Pasingsingan di samping Mantingan.
”Jangan merintangi aku!” Guru Lawa Ijo hampir berteriak, ”Atau kau akan tergilas roda
perjuanganku. Mati tanpa arti?”
”Kebesaran yang akan kau dapatkan itu tak akan berarti bagiku, bagi orang-orang ini dan
bagi kawula Demak. Kebesaran itu hanya akan berarti bagimu sendiri, bagi kawan-
kawanmu. Nah, urungkan niatmu,” jawab Pasingsingan di samping Mantingan itu.
”Persetan dengan kalian,” sahut Pasingsingan. ”Kita berhadapan sebagai lawan. Tetapi
tunjukkan dahulu bahwa kau berhak bernama Pasingsingan.”
Tiba-tiba terdengar Sura Sarunggi tertawa. ”Kalian berbicara tanpa ujung dan pangkal.
Tetapi aku sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa kalian sedang bersaing. Meskipun
demikian aku harus mempunyai pilihan. Nah, aku berpihak pada Pasingsingan yang
datang bersama aku di sini. Sebab bagiku kedua Pasingsingan yang lain tak akan berarti.
Meskipun seandainya mereka mampu melepaskan aji Gelap Ngampar, aji Alas Kobar dan
segala macam ciri-ciri Pasingsingan yang lain.”
Kepada Pasingsingan di samping Sura Sarunggi ia berkata, ”Kau juga ingin melihat
kebenaran itu?”
Tak ada jawaban. Pasingsingan guru Lawa Ijo itu berdebar-debar. ”Apakah orang-orang
itu benar-benar memiliki Gelap Ngampar seperti dirinya?
Tetapi yang lebih gelisah lagi adalah Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Endang
Widuri.
Kecuali mereka, Jaka Soka pun menjadi berdebar-debar. Agaknya benar-benar akan
terjadi pertempuran ilmu yang dapat merontokkan isi dada mereka.
Jaka Soka akhirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu sebelum ia
mati terhimpit dua kekuatan yang tak dapat dihindarinya. Meskipun demikian, ia harus
menunggu sampai saat yang tepat baginya.
Tiba-tiba terdengar Pasingsingan guru Lawa Ijo itu tertawa. ”Nah, kau mencari alasan
untuk mengelak?”
”Tidak... tidak,” sahut Pasingsingan itu. ”Tetapi kalau aku ingin memetik buahnya,
jangan digugurkan daun-daunnya tanpa maksud.”
”Omong kosong. Apa padulimu dengan daun-daun yang tak berarti?” jawab guru Lawa
Ijo.
”Tidakkah kau bertanya kepadaku, apakah aku mampu melepaskan aji itu?” kata
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu.
”Akan datang saatnya nanti,” sahut guru Lawa Ijo. Meskipun hatinya menjadi gelisah.
Apakah benar kedua-duanya mampu berbuat demikian?
”Marilah kita bertempur, Pasingsingan,” katanya kepada Pasingsingan guru Lawa Ijo.
”Yang mana kau pilih? Menilik ketahanan mereka, kita harus melawan satu demi satu.
Kecuali kalau mereka mau menyingkir.”
Sura Sarunggi itu tidaklah seperti suara guru Lawa Ijo yang mengerikan. Suara itu
adalah suara yang sederhana saja, seperti lazimnya orang tertawa. Lunak dan tidak
mengandung kebengisan. Namun yang terasa di dada orang yang mendengarnya adalah
goncangan-goncangan yang dahsyat.
Pada saat goncangan-goncangan itu menyerang dada Mantingan, berdesislah ia, ”Aji
Gelap Ngampar.”
Dan berusahalah ia menjaga dirinya. Demikian juga Rara Wilis, Wirasaba, Widuri dan
Jaka Soka. Sedang orang-orang lain menjadi tak berdaya untuk berbuat sesuatu,
mengatasi goncangan-goncangan di dada mereka, sehingga tak mampu bertahan lebih
lama lagi. Tubuh mereka pun mulai jatuh terkulai tak sadarkan diri.
MANTINGAN dan kawan-kawannya, bahkan Jaka Soka pun tak mampu bertahan lebih
lama lagi. Tubuh mereka mulai bergetar, dan tulang-tulang mereka seakan-akan terasa
lolos dari persendian. Mereka mengeluh dalam hati. Mereka berada di medan
pertempuran yang dahsyat, namun mereka tak mampu mengayunkan senjata-senjata
mereka untuk turut serta di dalamnya. Mereka hanya dapat bertahan atas serangan yang
dahsyat, yang jauh berada di atas kemampuan mereka. Sehingga dengan demikian
mereka tidak lebih dari daun-daun kering yang berguguran di halaman itu. Meskipun
demikian, terasa perbedaan pada kedua aji Gelap Ngampar yang sama-sama
menggoncangkan dada mereka.
Meskipun keduanya dapat membunuhnya, namun tenaga ini tidak sekasar tenaga yang
pertama. Namun, ketika dada mereka akan runtuh, dari sela-sela angin basah yang
mengalir semakin kencang, menyusuplah di dalam tubuh mereka, getaran-getaran udara
yang segar. Perlahan-lahan namun pasti, membebaskan mereka dari kengerian aji Gelap
Ngampar itu. Dan sejalan dengan itu, suara tertawa Pasingsingan itupun terhenti pula.
”Hem...” geramnya, ”Kau mampu melawan aji Gelap Ngampar,” katanya kepada
Pasingsingan yang berdiri di samping Sura Sarunggi. Orang itu masih tegak di tempatnya
sambil menyilangkan kedua tangannya terlipat di dada. Sebelum orang itu menjawab,
terdengar Sura Sarunggi tertawa, ”Permainan yang mengasyikkan,” katanya.
”Jangan bermain-main terlalu lama. Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang
bersamaan. Pasingsingan yang datang kemudian berdua adalah seperti seperguruan.
Entahlah hubungan kalian dengan Guru Lawa Ijo itu, sehingga kalian memiliki ilmu
Gelap Ngampar. Meskipun terasa beberapa perbedaan, namun kalian bersumber dari
mata air yang sama.”
Pasingsingan guru Lawa Ijo itupun berdiri tegak sambil menahan marahnya. Karena itu
tubuhnya tiba-tiba bergetar. Dengan suara yang berat ia berkata pula, ”Gila. Kalian
memiliki aji gelap Ngampar. Jangan berpura-pura, dan yang satu itu jangan mencoba
melepaskan pula. Tetapi itu belum berarti bahwa kau bisa menamakan diri
Pasingsingan.”
”Adakah aku harus melepaskan aji Alas Kobar?” tanya Pasingsingan di samping
Mantingan. ”Mungkin kau mampu pula, menirukan setelah kau atau gurumu berhasil
mencuri ilmu itu. Tetapi yang tak dapat kau curi adalah pusaka Pasingsingan. Apakah
kau memiliki pisau yang bernama Kyai Suluh?” tanya Pasingsingan dengan pasti.
Tiba-tiba kembali halaman itu bergetar ketika Pasingsingan Guru Lawa Ijo itu berteriak
nyaring. Seperti hantu kelaparan yang kehilangan mangsanya. ”Gila, darimana kau
dapatkan benda itu?”
Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi semakin marah. Darahnya serasa mendidih di
dalam rongga dadanya. Karena itu tanpa disengaja, tiba-tiba tangannyapun telah menarik
pusakanya. Sebuah belati panjang yang berkilau. Kni ketiga orang yang menamakan diri
Pasingsingan itu masing-masing telah menggenggam senjata yang serupa. Senjata yang
selama ini menjadi ciri Pasingsingan. Pusaka yang ampuh luar biasa.
Namun tiba-tiba Pasingsingan yang selama ini merasa tiada duanya, menjadi heran,
marah dan bingung, ketika ada dua orang yang menamakan diri Pasingsingan, serta
memiliki beberapa ciri kekhususannya Aji Gelap Ngampar serta pisau belati panjang
yang kuning berkilauan. Dengan suara yang bergetar guru Lawa Ijo itu berkata, ”Setan.
Kalian dapat membuat senjata yang serupa dengan senjata ini. Tetapi ada lagi satu senjata
Pasingsingan yang tak dapat dibuat oleh empu yang bagaimanapun saktinya. Senjata
yang diberikan oleh alam kepadaku. Adakah kalian mempunyai akik yang berwarna
merah menyala dan bernama Kelabang Sajuta?”
Untuk sesaat halaman itu menjadi hening sepi.Angin lembah semakin lama semakin
kencang.Dan awan yang kelabu menjadi bertambah tebal tergantung di langit. Sekali-kali
guntur bergelegar di kejauhan, memukul-mukul tebing dan pecah menggema diseluruh
relung-relung pegunungan. Sinar-sinar api memancar di udara seperti Ular Gundala
raksasa yang meloncat-loncat dilangit.
Menurut ceritera yang menjalar dari mulut ke mulut, di langit pada saat itu sedang terjadi
pertempuran antara Ular Gundala Seta, senjata Wisnu yang sedang menyelamatkan bumi
dari keangkaramurkaan, melawan Ular Gundala Wereng, senjata Kala yang sedang
berusaha menghancurkan bumi karena ketamakannya.
Tetapi pada saat itu, di halaman Banyubiru itu pun sedang berhadapan dua kekuatan
raksasa. Pasingsingan guru Lawa Ijo dan Sura Sarunggi di satu pihak, dan dua orang
Pasingsingan di pihak lain. Mereka sedang tegak dengan tegangnya dalam pendirian
masing-masing. Ketika kedua orang Pasingsingan itu belum juga berkata sepatah
katapun, guru Lawa Ijo itu tertawa pendek, katanya, ”Ha apa katamu tentang akik
Kelabang Sayuta hadiah alam kepada Pasingsingan?”
”Hem...” desis Pasingsingan di samping Sura Sarunggi. ”Kau sedang mengarang sebuah
ceritera.”
”Diam!” bentak Pasingsingan guru Lawa Ijo. ”Aku beri kau waktu sepemakan sirih.
Tinggalkan halaman ini. Jangan campuri urusanku.”
”Bukan demikian adat yang pernah kau lakukan,” sahut Pasingsingan di samping
Mantingan, ”Kalau kau yakin dapat membunuh kami, kau tak akan melepaskan lagi.
Dengan demikian, maka sekarang kau tak yakin akan kemenanganmu. Karena itu,
bukankah lebih baik kita berbicara sebagai manusia terhadap manusia. Bukan sebagai
hantu-hantu yang berkeliaran dari satu kuburan kelain kuburan, mencari mayat.”
”Hem. Benar-benar suatu penghinaan,” geram Sura Sarunggi. Kepalanya yang besar itu
terangkat dan dengan lantang ia melanjutkan, ”Jangan merasa dirimu kadang dewa. Tak
ada waktu untuk berbicara sekarang. Pergilah atau kau akan terkubur di sini.”
Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba Pasingsingan dari Mentaok itu menggigil. Ia menjadi
curiga. Sejak orang yang menamakan diri Pasingsingan itu mampu melepaskan Gelap
Ngampar, hatinya telah bergetar. Kini kata-kata itu menambah keyakinannya bahwa ia
telah mengenal kedua orang itu. Meskipun demikian, ia masih mencoba untuk
menyakinkan, apakah dugaannya itu benar. Maka katanya, ”Apakah alasanmu? Apakah
untungnya kita berbicara dari hati ke hati?”
Sura Sarunggi kini benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Dengan suara yang
geram ia berkata, ”Persetan dengan mimpi yang jahat itu. Jangan mencoba meracuni jiwa
kami dengan hiasan kata-kata.” Kemudian kepada Guru Lawa Ijo ia berkata, ”Sudahkah
senjatamu itu siap?”
Tetapi dada Pasingsingan menjadi bergetar semakin cepat. Ada perasaan yang lain di
dalam dirinya. Sekarang ia hampir pasti dengan siapa ia berhadapan. Namun di hadapan
Sura Sarunggi, ia masih mencoba untuk bersembunyi. Ia tidak mau orang lain
mengetahui tentang dirinya, apalagi Jaka Soka, Mantingan beserta kawan-kawannya.
Meskipun ia berdiam diri, namun hati di dalam dadanya berteriak nyaring, ”Hai
Umbaran, yang berdiri di hadapanmu dengan ciri-ciri Pasingsingan adalah Radite dan
Anggara.”
Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah letusan yang dahsyat. Ketika
ia memandang kepada Sura Sarunggi, dilihatnya sahabatnya itu telah mengurai ikat
pinggangnya, yang kemudian dengan marahnya, ikat pinggang yang mirip dengan sebuah
cemeti itu dilecutkannya. Itulah senjata Sura Sarunggi, sebagaimana senjata-senjata yang
dipergunakan oleh murid-muridnya, Uling Putih dan Uling Kuning dari Rawa Pening.
PASINGSINGAN, Guru Lawa Ijo kini tidak mempunyai pilihan lain. Ia mencoba untuk
menenangkan dirinya dengan mereka, apakah yang telah terjadi selama ini. Ia merasa
bahwa pada saat-saat terakhir telah diketemukannya berbagai bentuk yang keras dari
ajinya, Gelap Ngampar, maupun Alas Kobar. Kemajuan-kemajuan yang dicapainya
dalam petualangannya. Lalu apakah yang telah didapatkan oleh kedua saudara
seperguruan itu. Meskipun pada masa-masa lampau, Radite dan Anggara tak dapat
diatasinya, namun kini Pasingsingan yang bernama Umbaran itu bukanlah Umbaran
beberapa tahun yang lampau. Dengan demikian akhirnya ia memutuskan, bahwa ia harus
berjuang dengan senjatanya itu.
”Tak ada yang akan disepakatkan,” sahut Sura Sarunggi, ”Kita berdiri berseberangan.
Kita tidak dapat hidup bersama-sama dalam satu naungan langit yang luas ini.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu agaknya lebih mudah tersinggung daripada
Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan. Ternyata ia menjawab lantang, ”Tidak
adakah jalan lain? Kalau demikian, kalau kau berpihak pada orang yang menamakan diri
Pasingsingan pemarah itu, maka aku akan berdiri di pihak Pasingsingan yang seorang
lagi. Sesudah itu, biarlah kami menentukan keadaan kami tanpa campur tanganmu.”
Pasingsingan di samping Sura Sarunggi itu menjawab tidak kalah lantangnya, ”Aku
lebih senang menempuh jalan lain. Tetapi kalau kau hadapkan aku pada satu pilihan yang
tak dapat aku elakkan, silahkanlah.”
Sura Sarunggi tertawa seperti orang mabuk. Katanya, ”Meskipun kau kekasih dewa-
dewa, meskipun kau berperisai guntur dan petir, tetapi kau belum mampu menjaring
angin, maka kau akan kehilangan hidupmu karena tanganku.”
”Aku bukan kekasih dewa-dewa, namun aku menyerahkan diriku pada Yang Maha
Kuasa,” jawab Pasingsingan itu. ”Kepada-Nya aku mohon kekuatan untuk melenyapkan
keingkaran atas hukum-hukum-Nya.”
Kembali terdengar iblis dari Rawa Pening itu tertawa. Sesaat kemudian bergema kembali
suara cemetinya menyusur lereng-lereng bukit. ”Hai, langit yang muram, angin yang
kencang. Saksikanlah kutuk yang akan menimpa orang ini.”
Sura Sarunggi menutup kata-katanya dengan derai tertawa yang mengerikan. Kemudian
ia pun bersiap untuk segera mulai dengan pertempuran melawan orang berjubah abu-abu
dan menyebut dirinya Pasingsingan itu. Sesaat kemudian ia pun meloncat dengan
garangnya.
Cemetinya berputar cepat sekali, melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin
ribut. Namun Pasingsingan itu pun telah bersiap pula. Tangan di balik jubah abu-abunya
berkembang seperti hendak terbang. Pisau belati panjangnya berkilauan memantulkan
cahaya api yang remang-remang.
Sura Sarunggi, iblis dari Rawa Pening itu bertempur seperti angin topan. Ia meloncat-
loncat dengan dahsyatnya mengelilingi lawannya, dan menyerangnya dari segenap
penjuru. Namun Pasingsingan itupun tidak membiarkan dirinya tersekat dalam lingkaran
cemeti lawannya. Dengan tangkasnya ia melontarkan dirinya, sekali-kali memotong
serangan lawannya. Dan bahkan kadang-kadang ia tegak menghadapi topan seperti bukit
Telamaya yang tak tergoyahkan oleh angin dan badai.
Mantingan, Rara Wilis, Wirasaba dan Widuri memandang perkelahian itu dengan mulut
ternganga. Kedahsyatan ilmu mereka telah menggemparkan dada masing-masing.
Demikian sengitnya perkelahian itu, sehingga akhirnya yang tampak di mata mereka
hanyalah bayang-bayang hitam yang berputar-putar seperti angin pusaran.
Jaka Soka tak luput pula dari perasaan itu. Heran dan berdebar-debar. Meskipun
demikian ia masih ingat akan keselamatan diri. Sehingga dengan diam-diam ia mencari
kemungkinan, ke mana ia harus melarikan diri. Sebab apabila Pasingsingan yang
sepasang itu terlibat pula dalam pertempuran, serta apabila kemudian Mantingan dan
kawan-kawannya telah berhasil menguasai diri mereka, bersama-sama menyerangnya,
maka sulitlah baginya untuk bertahan. Padahal ia masih ingin menikmati kebesaran
sebagai pimpinan bajak laut yang disegani.
JAKA SOKA tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan golongan hitam yang lain.
Dengan laskar Mentaok, Rawa Pening, Gunung Tidar dan lain-lainnya di Pamingit.
Karena itu selama ia masih mendapat kemungkinan, ia harus menyingkir dari halaman
itu.
Sementara itu Pasingsingan Guru Lawa Ijo telah mempersiapkan dirinya pula. Ia melihat
betapa sahabatnya telah terlibat dalam suatu pertempuran yang menentukan. Karena itu ia
menggeram dengan marahnya, ”Lihatlah betapa orang yang berani menyebut dirinya
Pasingsingan itu akan hancur lumat oleh cemeti Sura Sarunggi.”
Tetapi justru karena itulah maka guru Lawa Ijo itu menjadi semakin gelisah. Untuk
merapati kegelisahannya, ia berkata, ”Hai orang yang sombong, yang berani mengaku
bernama Pasingsingan, bersiaplah menghadapi saat-saat terakhirmu.”
”Jangan berkata demikian,” jawabnya perlahan-lahan, ”Apakah kau juga sekasar Sura
Sarunggi itu?”
”Jangan mencoba melunakkan hatiku,” sahut guru Lawa Ijo. ”Aku tahu bahwa hatimu
tak selunak yang aku harapkan,” kata Pasingsingan di samping Mantingan. ”Tetapi
jangan terlalu lama mengelabuhi dirimu. Aku yakin bahwa kau telah mengenal aku.”
Dada guru Lawa Ijo berdesir keras. Tetapi ia takut melihat kepada dirinya sendiri. Ia
menjadi takut, bahwa akhirnya ia benar-benar menyadari keadaannya. Karena itu ia
berteriak, ”Jangan mencoba meringankan kesalahanmu. Bersiaplah aku akan mulai.”
”Umbaran...” tiba-tiba terdengar suara yang lunak, selunak suara seorang kakak terhadap
adiknya. Mendengar nama itu, darah guru Lawa Ijo serasa berhenti mengalir. Telah
bertahun-tahun ia tidak mendengarnya orang memanggil nama yang diberikan oleh ayah
bundanya. Ia lebih senang dan bangga apabila orang menyebutnya dengan ketakutan,
”Pasingsingan.” Karena itu tiba-tiba ia menjadi bingung.
Dalam kebingungan itulah ia berteriak, ”Jangan mengigau. Umbaran telah mati. Aku,
Pasingsingan, yang telah membunuhnya.”
”Ya, Umbaran telah tak ada lagi,” jawab orang berjubah itu, ”Yang ada kemudian adalah
Pasingsingan. Tetapi, baginya masih ada jalan kembali.”
”Diam!” bentak guru Lawa Ijo. Darahnya yang beku itu tiba-tiba mendidih kembali.
Radite dan Anggara yang lenyap dari percaturan orang-orang sakti itu tak akan mampu
menambah ilmunya. Karena itu, ia pasti akan dapat mengatasinya. Tetapi ia menjadi
gelisah kembali ketika orang yang dibentak-bentaknya itu masih tetap tenang dan
berkata, ”Jangan marah Umbaran. Aku datang kepadamu dengan maksud baik. Kau
masih mempunyai kesempatan kembali ke perguruan kita. Guru kita yang bergelar
Pasingsingan dengan cita-cita yang putih.”
”Diam!” Pasingsingan berteriak semakin keras. ”Sayang, bahwa kau tak dapat mengikuti
jejaknya. Kau tak mampu menangkap ajaran- ajarannya, sehingga kau salah duga
terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah kehilangan kegairahannya terhadap
hidup dan kehidupan. Karena itu kau memilih jalanmu sendiri.”
”Omong kosong,” bantah guru Lawa Ijo, ”Apakah kau selama ini juga mentaati ajaran-
ajarannya? Apakah kau selama ini bersih dari noda-noda yang dilemparkan oleh
kehidupan disekitar kita kepadamu?”
”Tidak, Umbaran,” jawab orang itu. ”Aku merasa, betapa kotornya hati dan ragaku.
Namun aku telah berusaha untuk mengurangi kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi
kesalahan-kesalahan baru yang akan menambah beban kehidupan sukmaku.”
”Aku bukan orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut
masa depanku sebaik-baiknya,” kata guru Lawa Ijo. ”Aku bangga terhadap mereka yang
berjuang buat masa depannya. Namun mereka jangan mengorbankan masa depan orang
lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.” Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-
lahan, namun cukup jelas bagi guru Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah
menyusup ke tulang sungsumnya. Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu
yang bergelora berlebih- lebihan, kini benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun
dengan sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,
”Jangan menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau menjelang kebahagiaan
masa depanmu dengan mengorbankan orang lain pula? Manakah perempuan yang aku
hadiahkan kepadamu itu? Bukankah ia mati karena ketamakanmu?”
”Umbaran!” potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan. ”Aku minta
jangan kau sebut-sebut itu lagi.”
”Ha, kau menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak
kau lihat kotoran-kotoran yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu?
Mana perempuan itu? Mana...?”
”Jangan kau sebut itu, Umbaran,” kata orang itu. ”Biar, biar aku ulang seribu kali,” sahut
guru Lawa Ijo. ”Perempuan itu kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita.
Dan kau berjanji tidak akan mengganggu gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati.
Mati....”
PASINGSINGAN guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai tubuhnya terguncang-
guncang. Ia tertawa dan tertawa untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada
Sura Sarunggi dan lawannya ia berkata, ”Lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Anggara,
penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia akan binasa.”
Orang yang berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat
wajahnya, dan memandang kepada adik seperguruannya yang sedang bertempur.
Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar kuning pisau belati
lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang kelam. Ujung cemeti Sura
Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke mana ia harus mematuk. Namun ujung
belati lawannya seperti mempunyai mata, yang dapat melihat setiap serangan dari arah
manapun juga.
Maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur
dengan kasar dan bengis, sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh.
Ketika mereka sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran.
Lawannya dapat bertempur dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah
dikenalnya. Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa
pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan...?
Anggara pada saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-ciri perguruan
Pasingsingan. Ia sengaja menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-
ilmu ajaib dari orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya
supaya menjadi jelas bagi lawannya.
Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras. Dan Pasingsingan yang berdiri di samping
Mantingan masih memandangi Sura Sarunggi dan Anggara.
Orang yang bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya,
”Marilah kita lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan
kita.”
”Masa depanku jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan
bawa adikmu itu, atau kau berdua binasa.” Umbaran meneruskan, ”Jangan mimpi aku
berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.”
”Aku bicara tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita
tidak akan saling mengganggu,” sahut Umbaran.
”Aku tidak akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri
khusus Pasingsingan yang kau pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan
itu,” jawab Radite. ”Tetapi aku berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang
terkutuk.”
”Tidak,” jawab Radite, ”Aku mempunyai kepentingan sendiri. Aku tidak mau
menanggung beban dosamu lebih banyak lagi karena kesalahanku, menyerahkan
kesaktian Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan demikian kau telah menarik diri dari
persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain.
Bahkan kau telah menempatkan dirimu sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan
semuanya itu.”
”Ha, itulah akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab Umbaran. Sengaja ia ingin
memanaskan hati Radite. Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang
paling pedih dalam hidupnya, karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu,
setiap kali ia kehilangan kesabaran.
”Umbaran...” kata Radite dengan lantang, ”Kesabaran seseorang ada batasnya. Jangan
menunggu demikian.”
Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali ini ia
benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia masih berdiri
tegak.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung.
Akhirnya ia kehilangan kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa tanda itu
mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa Jenar atau Sora
Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab menyingkirpun
tak ada kesempatan.
Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat dengan garangnya sambil berteriak nyaring.
Pedangnya berkilauan menyambar leher Radite.
Umbaran dan Radie adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru
yang sama. Karena itu merekapun bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi ilmu
mereka masing-masing telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan pengaruh
keadaan dan waktu.
Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi semakin kasar, keras dan kejam.
Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran yang bersih. Meksipun demikian tidak
berarti bahwa Umbaran telah melampaui Radite dalam ketahanan tempurnya.
Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari bentuk mereka. Yang tampak hanyalah
pusaran yang kelam dari jubah mereka yang abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang
menyambar-nyambar mengerikan.
Umbaran yang mata gelap, bertempur dengan darah yang bergelora. Hatinya benar-benar
telah dikuasai oleh nafsu yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup udara
maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang dengan sengitnya.
Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian tubuh Radite.
Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar Umbaran berteriak,
”Kalau kau masih belum mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan
mengharap keluar dari halaman ini dengan ragamu.”
Radite diam saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya
yang terdalam, masih juga bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah
terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar pula, bahwa apabila ia
tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan banyak
menimbulkan bencana.
Kalau benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka
keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar segelar
sepapan, dan memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia menyatakan diri
sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu.
Dengan landasan kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta
kesesatan pandangan beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa
siapa yang memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan mampu merajai Nusantara, maka
Umbaran akan mendapatkan pengikut-pengikutnya.
Atau orang yang berotak licin itu dapat menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan
laskar hitam untuk menimbulkan bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung
daerah demi daerah. Namun kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia
menghadap Sultan dengan menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan
demikian ia akan mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat
melawan kekuasaan Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri
keris-keris itu kembali.
Tetapi karena Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia
terpaksa menghentikan usahanya mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang
murid dari perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.
Selain mereka yang bertempur, tak seorangpun yang menggerakkan tubuhnya oleh
ketegangan yang semakin memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada
pertempuran itu.
Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka. Kalau ia terlambat
mempergunakan waktu, sehingga Mantingan dan kawan-kawannya berhasil menguasai
diri mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diam-diam dan sangat hati-hati ia
berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah yang baik untuk
menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan yang seolah-olah
menjadi panas, sepanas bara api baginya. Maka, dengan tidak menarik perhatian,
akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan kemudian menghilang dari
halaman itu.
Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di antara anak buahnya dan perempuan-perempuan
yang dikumpulkan selama ini, daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang
dikatakan orang atasnya. Apakah orang akan mengatakannya pengecut, apakah penakut,
ia tidak keberatan. Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya
bekerja bersama-sama, namun mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang
jujur. Apabila mereka terbentur pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat
dianggapnya tidak berlaku.
Sementara itu, Arya Salaka memacu kudanya seperti angin topan. Meskipun demikian,
tarasa betapa lambatnya perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga
berkali-kali ia terpaksa mencambuknya.
Ketika dari kejauhan tampak api yang menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya
yang memegang tombak pusaka Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia
menyesal, bahwa ia terlambat.
MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara berpacu di belakangnya. Kedua orang itu pun tak
kalah gelisahnya. Juga kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera
mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan hitam
yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda mereka
dengan darah yang bergolak. Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah sepi
malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup pintu serapat-
rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah mendengar derap kuda itu. Mereka
memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka sambil berdoa, semoga Yang
Maha Kuasa melindungi mereka dari bencana. Arya Salaka melihat dua tiga orang
menyelinap ke halaman ketika kudanya menghambur terbang, tetapi ia tidak
memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak begitu tertarik kepada
orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi kentongan, mereka menyesal.
Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas, yang harus mengamat-amati kedatangan
orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat memutar kuda mereka kembali.
Dengan demikian waktu mereka akan semakin habis. Ketika Arya Salaka akan membelok
ke arah api yang menyala-nyala, terdengar Mahesa Jenar berteriak, ”Terus ke rumahmu,
Arya.”
Arya menarik kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri
tegak di atas kedua kaki belakangnya. ”Api,” jawab Arya. Pada saat itu kuda Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan
terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa menghentikan kudanya, "Itu adalah suatu cara
untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu".
Mahesa Jenar menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya, "Jangan
perdulikan", jawabnya "mereka hanya ingin menarik perhatian kita. Tempat yang
menyala itu adalah tempat-tempat yang tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah