ANALISIS Cerpen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS

1. Unsur Intrinsik
a. Tema
b. Alur
c. Penokohan
d. Sudut pandang
e. Latar
f. Amanat
g. Majas
2. Unsur Ekstrinsik
a. Nilai budaya
b. Nilai agama
c. Nilai social
d. Nilai moral
e. Dst
3. Struktur
a. Abstrak/ringkasan
b. Orientasi : pengenalan
c. Komplikasi : muncul konflk samapai puncak konflik
d. Evaluasi : mengarah pada pemecahan masalah
e. Resolusi : konflik sudah terpecahkan
f. Koda : akhir cerita/pelajaran yang dapat diambil
No Unsur Intrinsik Bukti
1. Tema Persahabatan

Seorang perempuan yang tepat duduk


disampingku adalah sahabatku, sahabat masa
kecilku, perempuan yang dulu terlihat kumal.

2. Alur Maju

3. Penokohan a. Alsava
- Pekerja keras dan rajin menabung : aku hanya
ingin menabung untuk membantu ibuku agar
meringankan beban ibuku.

b. Azkia
- Penyabar : Jujur, aku ingin marah kepadanya,
tetapi dia adalah sahabat dekatku. Jadi, sebisa
mungkin aku menahan amarahku agar tidak
menyakiti dirinya.
- Penyayang : Seperti apa kamu, seperti apa
keadaanmu, selamanya kau tetap sahabatku,”
kataku sambil berpelukan tanda persahabatan.
- Bijak : Azkia memberikan nasihat panjang
lebar kepada Alsava, jangan sampai saat ini
Alsava berhenti sekolah.
- Menerima apa adanya : Seperti apa kamu,
seperti apa keadaanmu, selamanya kau tetap
sahabatku,” kataku sambil berpelukan tanda
persahabatan.

c. Azkio
- Pendengar yang baik : Azkio, kembaranku,
duduk di sampingku mendengarkan dengan
setia.
4. Sudut pandang a. Sudut pandang orang pertama : Akhirnya,
aku pun memutuskan untuk mengikutinya
sepulang sekolah.
b. Sudut pandang orang ketiga : Setelah aku
sedikit mendekat, ternyata benar, dia
adalah Alsava, sahabat dekatku.
5. Latar a. Tempat
- Gerbang sekolah : Namun, tidak dengan
Alsava, perempuan kelas tiga SMP itu berlari
menuju gerbang sekolah dengan cepat dan
bergegas segera pulang.
- Persimpangan jalan : Sesampainya di
persimpangan jalan, aku kehilangan jejak
Alsava.
- Toilet umum : Tak jauh dari tempatku berdiri,
mataku terhenti melihat sosok remaja yang
keluar dari toilet umum dengan penampilan
yang sangat kumal, kotor, dan berantakan.
b. Waktu
- Siang hari :
 Siang itu, matahari memancarkan sinar
teriknya, seakan membakar kulit para
insan yang sedang berada dibawahnya.
 Sepulang sekolah, Azkio dan Azkia
bergegas pergi ke persimpangan jalan
tempat Alsava berada.
- Pagi hari :
 Keesokan harinya, aku mencoba bertanya
kembali kepada Alsava, tetapi jawabannya
tetap sama.
 Esok hari di sekolah, tiba-tiba saja ada
seorang anak yang menghantarkan
sepucuk surat kepadaku.
c. Suasana
- Bahagia : “Azkia Fredella Ulani, sekarang
juga boleh,” mereka tenggelam dalam
kebahagiaan yang tak akan pernah terlupakan.
- Sedih : Pepohonan di sekitar persimpangan
jalan saat itu tampak sedih melihat Azkia dan
Alsava.
- Sedih : …Apakah alsava mau menjauh dari
kita hanya karena dia pengamen? Aku enggak
ngerti. Apa sih yang ada di pikiran Alsava
saat menulis surat ini?” tanya Azkia sedih.

6. Amanat Ketika ada seseorang yang sedang berada dalam


keadaan yang sulit, kita harus bersedia membantu
dan memberikan dorongan serta semangat agar dia
dapat bangkit dari keterpurukannya.
7. Majas a. Majas Personifikasi
- Pepohonan di sekitar persimpangan jalan
tampak sedih melihat Azkia dan Alsava.

No Unsur Ekstrinsik Bukti


1. Nilai Budaya …Hak yang biasa kami andalkan adalah
makanan dari desa. Kenduri, satu makanan
terenak yang dapat kami makan. Tak perlu
berebut, tak perlu garam, tak perlu kecap…

2. Nilai Agama …Aku hanya ingin merasakan pendidikan yang


layak, Ki. Aku selalu berdoa pada Tuhan
disetiap harinya, meminta pada hal yang sama.
Meminta agar esok hari aku dan ibuku dapat
merasakan makanan yang layak dan tak ditatap
sebelah mata oleh orang di sekitar…
3. Nilai Sosial ... Kamu tau kan biaya pendidikan sekarang itu
sangat mahal aku hanya ingin menabung untuk
membantu ibuku agar meringankan beban
ibuku…

Kutipan di atas menggambarkan Alsava yang


sopan dan mau membantu ibunya.
4. Nilai Moral a. “Aku nggak malu kok punya sahabat
sepertimu karena aku tau alasanmu
mengamen karena untuk sekolahmu, bukan
untuk hal negatif, malah aku bangga punya
sahabat sepertimu. Kamu mau melakukan
apa saja untuk pendidikanmu dan untuk
membanggakan kedua orang tuamu. Seperti
apa kamu, seperti apa keadaanmu, selamanya
kau tetap sahabatku,” kataku sambil
berpelukan tanda persahabatan.

Pada kutipan cerpen di atas, nilai moralnya


adalah walaupun Alsava memiliki keadaan
kurang mencukupi dari segi ekonomi dan dia
adalah seorang pengamen, Azkia masih mau
menerimanya. Jadi, Azkia menggambarkan
kerendahan hati menerima sahabat dalam
keadaan apapun.

No Struktur Bukti
1. Abstrak Seorang perempuan yang tepat duduk
disampingku adalah sahabatku, sahabat masa
kecilku, perempuan yang dulu terlihat kumal.
Namun, kini sudah tampak lebih rapi, dan
berwibawa dengan pakaian dan toganya. Tak
pernah terlintas di pikiranku dia akan menjadi
seorang yang berprestasi seperti ini, melihat
keadaan keluarganya yang kurang mencukupi.
Keadaan yang telah membawanya agar tetap
semangat untuk mencapai pendidikan dan cita-
cita yang tinggi, sehingga usaha yang selama
ini dia lakukan mampu menghantarkan dia
pada impiannya.

2. Orientasi Cerita ini berawal ketika Alsava meminjam


novelku beberapa hari yang lalu. Saat dia
mengembalikan, kulihat pada lembaran
novelku terdapat noda bekas tumpahan air
sehingga tulisannya menjadi luntur. Bukan itu
saja. Novelku juga sobek. Padahal, dia tau
kalau novel itu adalah novel kesayanganku.
Jujur, aku ingin marah kepadanya, tetapi dia
adalah sahabat dekatku. Jadi, sebisa mungkin
aku menahan amarahku agar tidak menyakiti
dirinya.
Aku hanya menasihatinya agar lain kali
lebih berhati-hati. Namun, dia malah marah.
Mungkin saja dia sedang ada masalah atau
banyak pikiran. Keesokan harinya, dia
memberiku novel dengan judul yang sama
dalam keadaan terbungkus plastik yang rapi.
Sungguh, perasaanku saat itu sangat tidak
enak, aku dihadapkan dengan dua pilihan sulit,
terima atau tidak. Akhirnya, kuterima buku itu
agar dia tidak merasa bersalah lagi.

3. Komplikasi Siang itu, matahari memancarkan sinar


teriknya, seakan membakar kulit para insan
yang sedang berada dibawahnya. Namun, tidak
dengan Alsava, perempuan kelas tiga SMP itu
berlari menuju gerbang sekolah dengan cepat
dan bergegas segera pulang. Aku merasa aneh
dengan tingkahnya, tidak biasanya Alsava
terburu-buru seperti itu.
“Alsavaaaaa…….,” teriakku memanggil
Alsava.
Alsava pun berhenti dan menengok ke
belakang. “Ada apa? Aku harus cepat-cepat
pulang.”, katanya.
“Kenapa sih cepet-cepet? Mau bantuin ibumu
jualan, ya? Tidak seperti biasanya kamu
terburu-buru atau kamu ingin menghindar
dariku? Kamu marah kepadaku?” tanyaku.
“Aku ada urusan, Ki, aku pulang duluan ya..,”
Alsava pun pergi meninggalkan Azkia dan
terus melangkah dengan pasti menuju arah
yang ditujunya.
Keesokan harinya, aku mencoba
bertanya kembali kepada Alsava, tetapi
jawabannya tetap sama. “Al, kamu kemarin
pulang sekolah kemana sih? Ada tempat main
baru ya? Kok nggak ngajak-ngajak sih?”
celotehan anak kelasku yang sangat bawel.
“Enggak kok, Ki. Kan aku sudah bilang kalau
aku ingin membantu ibuku,” jawab Alsava
dengan sedikit keraguan.
Awalnya aku percaya dengan apa yang
ia katakan. Namun, rasa ingin tahuku begitu
kuat hingga aku merasa ada yang tidak beres
dengan Alsava. Setelah beberapa hari, Alsava
masih memberikan sikap yang sama, tidak ada
yang berubah. Dia selalu terburu-buru setelah
pulang sekolah, seakan ada suatu hal yang tak
ingin dilewatkan. Itu membuat timbul
beberapa pertanyaan di benakku.
Akhirnya, aku pun memutuskan untuk
mengikutinya sepulang sekolah. Sesampainya
dipersimpangan jalan, aku kehilangan jejak
Alsava. Aku menengok ke kanan dan ke kiri,
mencari dimana perempuan cantik yang selalu
riang itu. Tak jauh dari tempatku berdiri,
mataku terhenti melihat sosok remaja yang
keluar dari toilet umum dengan penampilan
yang sangat kumal, kotor, dan berantakan. Dia
berjalan menuju persimpangan jalan. Saat
lampu merah menyala, dia turun ke jalan dan
menyanyi. Aku penasaran siapa anak itu. Anak
itu sangat mirip dengan sahabatku, Alsava.
Setelah aku sedikit mendekat, ternyata benar,
dia adalah Alsava, sahabat dekatku. Aku
sontak kaget melihatnya. Alsava yang pintar,
rajin, dan selalu riang tak peduli dengan
kondisi keluarganya, turun di jalanan dan
bekerja sebagai “Pengamen”.
“Alsava…” panggilku. Anak
perempuan itu menolehkan kepala mendengar
ada suara yang memanggil namanya. Aku
menghampirinya. Namun, anak itu berlari
dengan cepat. “Aduh…,” Alsava terjatuh
karena tersandung batu di depannya.
“Hai, Al. kenapa kamu lari dan
mencoba menghindar dariku? Kenapa kamu
menjadi seorang pengamen seperti ini? Ibumu
masih bisa membiayai semua kehidupanmu,
Al. Saat ini, tugasmu belajar sepertiku dan
tidak seharusnya kamu kemarin membelikanku
novel yang baru,” tegasku sambil
membantunya berdiri.
“Aku bukan kamu, Ki. Bukan Azkia.
Orang tuaku juga berbeda dengan orang
tuamu. Setelah ayahku meninggal, ibuku
membanting tulang sebagai penjual pisang
coklat, itupun tidak cukup untuk membiayai
kehidupan aku dan ibuku sehari-hari. Untuk
biaya sekolahku saja ibu harus berhutang
kesana kemari. Kamu tau kan biaya pendidikan
sekarang itu sangat mahal aku hanya ingin
menabung untuk membantu ibuku agar
meringankan beban ibuku. Ya, itu semua aku
lakukan dengan cara ini, mengamen. Aku
hanya ingin merasakan pendidikan yang layak,
Ki. Aku selalu berdoa pada Tuhan disetiap
harinya, meminta pada hal yang sama.
Meminta agar esok hari aku dan ibuku dapat
merasakan makanan yang layak dan tak ditatap
sebelah mata oleh orang di sekitar. Namun
apa? Keadaan ini tetap melekat pada diriku dan
keluargaku. Hak yang biasa kami andalkan
adalah makanan dari desa. Kenduri, satu
makanan terenak yang dapat kami makan. Tak
perlu berebut, tak perlu garam, tak perlu kecap.
Kami dapat membagi ayam sama rata,
membagi nasi pun sama rata. Cukup sederhana
menurut kalian, tapi sangat berharga bagi
kami. Apakah kamu malu, Ki? Malu setelah
tahu bahwa sahabatmu ini seorang pengamen
jalanan yang menurut banyak orang pengamen
itu adalah anak brandalan yang tidak tahu etika
yang hanya bisa meminta dan tidak mau
bekerja?”.
4. Evaluasi “Aku nggak malu kok punya sahabat
sepertimu karena aku tau alasanmu mengamen
karena untuk sekolahmu, bukan untuk hal
negatif, malah aku bangga punya sahabat
sepertimu. Kamu mau melakukan apa saja
untuk pendidikanmu dan untuk
membanggakan kedua orang tuamu. Seperti
apa kamu, seperti apa keadaanmu, selamanya
kau tetap sahabatku,” kataku sambil
berpelukan tanda persahabatan.
Esok hari di sekolah, tiba-tiba saja ada
seorang anak yang menghantarkan sepucuk
surat kepadaku. Perlahan-lahan aku membuka
surat itu. Azkio, kembaranku, duduk di
sampingku mendengarkan dengan setia.
Ternyata, isi dari surat itu adalah puisi dari
Alsava yang berpamitan. “Azkio, apa maksud
dari puisi ini? Apakah alsava mau menjauh
dari kita hanya karena dia pengamen? Aku
enggak ngerti. Apa sih yang ada di pikiran
Alsava saat menulis surat ini?” tanya Azkia
sedih.
“Aku juga, Ki. Jangan-jangan, dia sudah
berhenti sekolah karena malu ada yang
mengetahui siapa dirinya. Nanti sepulang
sekolah kita langsung ke tempat kamu bertemu
dengan Alsava,” lanjut Azkio.

5. Resolusi “Aku nggak malu kok punya sahabat


sepertimu karena aku tau alasanmu mengamen
karena untuk sekolahmu, bukan untuk hal
negatif, malah aku bangga punya sahabat
sepertimu. Kamu mau melakukan apa saja
untuk pendidikanmu dan untuk
membanggakan kedua orang tuamu. Seperti
apa kamu, seperti apa keadaanmu, selamanya
kau tetap sahabatku,” kataku sambil
berpelukan tanda persahabatan.
Esok hari di sekolah, tiba-tiba saja ada
seorang anak yang menghantarkan sepucuk
surat kepadaku. Perlahan-lahan aku membuka
surat itu. Azkio, kembaranku, duduk di
sampingku mendengarkan dengan setia.
Ternyata, isi dari surat itu adalah puisi dari
Alsava yang berpamitan. “Azkio, apa maksud
dari puisi ini? Apakah alsava mau menjauh
dari kita hanya karena dia pengamen? Aku
enggak ngerti. Apa sih yang ada di pikiran
Alsava saat menulis surat ini?” tanya Azkia
sedih.
“Aku juga, Ki. Jangan-jangan, dia sudah
berhenti sekolah karena malu ada yang
mengetahui siapa dirinya. Nanti sepulang
sekolah kita langsung ke tempat kamu bertemu
dengan Alsava,” lanjut Azkio.
Sepulang sekolah, Azkio dan Azkia
bergegas pergi ke persimpangan jalan tempat
Alsava berada. Benar saja, Alsava ada di sana.
Azkia langsung memanggil Alsava dan
menghampirinya. Azkia bertanya kepada
Alsava apa maksud dari surat yang
dikirimkannya tadi pagi. “Aku tak bermaksud
pergi dari kalian, aku hanya ingin mencari
uang untuk biaya sekolahku dan meringankan
beban ibuku,” jawab Alsava. Azkia
memberikan nasihat panjang lebar kepada
Alsava, jangan sampai saat ini Alsava berhenti
sekolah. Pepohonan di sekitar persimpangan
jalan saat itu tampak sedih melihat Azkia dan
Alsava.
“Sebelumnya, makasih, Ki, kalian memang
sahabat terbaikku. Tenang saja, besok aku
akan tetap masuk sekolah dan menjalankan
kegiatanku seperti biasa, dan aku berjanji aku
akan menjadi seorang sarjana dengan lulusan
terbaik,” jawab Alsava sambil tersenyum
penuh arti.
6. Koda Alsava, sahabatku yang seorang
pengamen kini bisa menepati janjinya dan
meraih mimpi menyelesaikan pendidikan di
perguruan tinggi. Tak peduli orang mencibir
dia seperti apa. Dia mampu membuktikan
bahwa seorang “pengamen” bisa menjadi
seorang sarjana.
“Alsava Kirania Pratista kapan kita
turun ke jalan untuk bernyanyi dan mengais
rezeki lagi?”. Candaku saat acara wisuda telah
selesai.
“Azkia Fredella Ulani, sekarang juga
boleh,” mereka tenggelam dalam kebahagiaan
yang tak akan pernah terlupakan.

Anda mungkin juga menyukai