0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
169 tayangan17 halaman

Sejarah Karantina Tumbuhan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 17

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KARANTINA TUMBUHAN DI INDONESIA

Oleh :
Wahono Diphayana

Disampaikan pada :
Kegiatan Penguatan SDM Dasar Fungsional dan Teknis Dasar Perkarantinaan
Bagi Calon POPT Ahli dan POPT Terampil
Di Lingkungan Badan Karantina Pertanian
12 Pebruari 2020

Pendahuluan

Pelaksanaan tindak karantina di dunia dalam bentuk pemisahan yang sakit dari
yang sehat sudah berlangsung sejak abad ke-6 Masehi. Tindak karantina yang
awalnya berkaitan dengan wabah penyakit yang menyerang manusia, kemudian
berkembang memunculkan karantina hewan dan tumbuhan.

Di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1877 pemerintah Hindia Belanda


mengeluarkan sebuah ordonansi (Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 262)
yang bertujuan mencegah masuknya cendawan Hemileia vastatrix yang merusak
pertanaman kopi di Srilanka agar tidak masuk ke Indonesia. Ini merupakan
peraturan karantina tumbuhan yang pertama baik di Indonesia maupun di dunia.

Dari sisi organisasi, dinas karantina tumbuhan lahir pada tahun 1914, ketika
Direktur Department van lanbouw, Nijverheid en Handel menunjuk Instituut
voor Plantenziekten en Cultures untuk melaksanakan pemeriksaan kesehatan
impor buah-buahan segar dari Australia di tiga pelabuhan, yaitu Tanjung Priok,
Semarang dan Surabaya, dalam upaya pencegahan masuknya lalat buah
Ceratitis capitata.

Sejak saat itu organisasi karantina tumbuhan terus berkembang sampai saat ini
berada di bawah Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian. Dalam
makalah ini akan diuraikan sejarah karantina secara umum dan lahirnya serta

1
perkembangan organisasi karantina tumbuhan di Indonesia sampai terbentuknya
Badan Karantina Pertanian di bawah Departemen Pertanian.

Sejarah Karantina Secara Umum

Praktik karantina dalam bentuk upaya pemisahan yang sakit dari yang sehat
sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Pada tahun 549, pada waktu
terjadinya wabah penyakit pes yang hebat yang tercatat dalam sejarah, kaisar
Byzantium yang bernama Justinian mengeluarkan sebuah peraturan untuk
menghindari dan mengisolasi orang-orang yang datang dari wilayah-wilayah
yang tertular penyakit pes. Pada tahun 600-an China telah mempunyai kebijakan
untuk menahan para pelaut ataupun pendatang asing yang terkena wabah di
pelabuhan-pelabuhan laut. Di tahun 1300-an, sejumlah Negara di Eropa dan
Asia telah melaksanakan tindakan karantina terhadap wilayah-wilayah yang
tertular wabah dengan cara menggunakan tentara bersenjata untuk menjaga dan
mengelilingi wilayah tersebut. Orang-orang yang ketahuan melarikan diri dari
wilayah yang dikarantina tersebut akan dikembalikan ke wilayah tersebut dan
seringkali juga dihukum mati.

Konsep modern mengenai karantina sangat berhubungan dengan wabah


penyakit pes atau yang dikenal sebagai Black Death, dimana pada tahun 1377
pemerintah kota Ragusa di Venice (sekarang disebut Dubrovnik di Kroasia),
menetapkan apa yang disebut “trentina” (bahasa Italia ynag berasal dari kata
“trenta” yang berarti 30), yaitu 30 hari masa isolasi. Kapal yang datang dari
tempat yang tertular atau diduga tertular wabah penyakit pes harus membuang
jangkar dan menunggu selama 30 hari sebelum boleh merapat ke pelabuhan.
Lama waktu 30 hari ini kemudian berubah menjadi 40 hari, dikarenakan waktu 30
hari dianggap tidak cukup untuk mencegah penyebaran penyakit. Lama waktu 40
hari, yang dalam bahasa Italia “quaranta” atau dalam bahasa Latin “quarantum”
merupakan asal kata karantina yang kita kenal sekarang ini (Morschel, 1971;
Gensini, Yacoub dan Conti, 2004).

2
Penerapan lama waktu masa isolasi 30 sampai 40 hari, bukan hanya karena
alasan kesehatan semata, tetapi juga didasarkan pada alasan ekonomi,
dikarenakan kualitas dan keamanan arus perdagangan harus dilindungi dari
Black Death. Penguasa Ragusa dapat dianggap sebagai penguasa resmi
pertama di dunia yang melaksanakan tindakan karantina sebagai sistem legal
dengan tujuan untuk melindungi sekaligus kesehatan dan perdagangan (Frati,
2000 dalam Gensini, Yacoub dan Conti, 2004).

Pada tahun 1348, Venice menerapkan sistem karantina yang pertama di dunia
dengan menahan kapal laut, barang muatan dan penumpang di laut selama 40
hari sebelum diperbolehkan untuk merapat ke pelabuhan. Tindakan tersebut
dilakukan di tengah-tengah berkecamuknya wabah penyakit pes yang dikenal
sebagai Black Death yang telah mematikan 14 sampai 15 juta penduduk Eropa,
atau seperlima dari keseluruhan jumlah penduduk.

Pada tahun 1374 Duke dari Milan mengeluarkan maklumat dimana seluruh
penduduk yang terkena penyakit pes harus dikeluarkan dari dalam kota sampai
mereka sembuh atau meninggal. Tiga tahun kemudian kota Ragusa membangun
stasiun karantina dimana orang-orang yang tiba dari wilayah tertular wabah
harus diisolasi selama satu bulan untuk “disucikan oleh angina dan sinar
matahari”.

Pada tahun 1403 Venice membangun stasiun karantina yang pertama di dunia
yang disebut “lazaretto” di sebuah pulau di dekat kota Santa Maria di Nazareth.
Sistem karantina yang dilaksanakan oleh Venice ini kemudian menjadi sebuah
model yang diikuti berbagai negara lain di Eropa. Pembangunan karantina
maritime diikuti oleh Perancis pada tahun 1521, di Marseilles. Seabad kemudian,
penguasa kota tersebut menerapkan peraturan yang melarang pendatang untuk
memasuki kota tanpa melalui pemeriksaan kesehatan (Sehdev, 2002 dalam
Gensini, Yacoub dan Conti, 2004).

3
Pada abad ke 17, berbagai Negara di dunia mulai menerapkan berbagai
peraturan terkait karantina. Pada tahun 1647, dengan alasan pencegahan
penyakit menular, pejabat di Boston, Amerika, menerapkan peraturan untuk
semua kapal yang maemasuki pelabuhan Bostos harus berhenti sebentar di
pintu masuk pelabuhan atau berisiko dikeani denda sebesar $100.

Pada tahun 1656, setelah terjadinya endemis wabah yang membunuh sekitar
100.000 orang di Naples, Roma mulai melakukan pemeriksaan terhadap semua
kapal yang masuk dan melakukan patroli di perbatasan untuk mencegah
masuknya wabah.

Pada tahun 1663, karena adanya wabah penyakit pes yang menyerang
berbagai negara di daratan Eropa, kerajaan Inggris mengeluarkan dekrit untuk
membangun karantina permanen. Seluruh kapal, baik kapal Inggris maupun
Asing, harus berhenti di mulut sungai River selama 40 hari, dan kadang-kadang
sampai 80 hari, untuk mencegah masuknya wabah ke Inggris.

Akan tetapi tindakan ini gagal, sehingga pada tahun 1665-1666 negara Inggris
terserang oleh wabah penyakit pes tersebut. Pada tahun 1664-1665 pada saat
wabah penyakit pes sampai ke Rusia, pemerintah di sana melaksanakan
tindakan karantina dengan cara melarang orang dari negara lain memasuki
Moskow, dan yang melanggar diancam dengan hukuman mati. Pada tahun
1666, kota Frankfurt, Jerman, mengeluarkan peraturan yang melarang penduduk
yang tinggal di rumah yang telah tertular wabah penyakit pes untuk mengunjungi
gereja dan pasar, dan dilarang memindahkan atau menjual pakaian korban
wabah sebelum difumigasi, dicuci dan dikeringkan.

Sejak abad ke 18, berbagai Negara di dunia mulai mengeluarkan undang-


undang atau peraturan menyangkut karantina, khususnya karantina manusia.
Pada tahun 1712, Inggris mengeluarkan Quarantine Act yang mengharuskan

4
kapal dikarantina selama 40 hari yang memasuki Inggris, dan semua barang
muatan tidak boleh dibongkar sebelum melewati masa karantina 40 hari.
Undang-undang ini diterbitkan akibat mewabahnya penyakit pes di negara-
negara di sekitar laut Baltik di antara tahun 1709-1712 (Hardy, 2010).

Munculnya penyakit kolera yang berasal dari Asia di Eropa pada tahun 1830,
menganggap bahwa upaya karantina tidak efektif dalam upaya pencegahan
masuknya wabah. Sejak pertengahan tahun 1820-an, mereka yang
berkepentingan dengan bisnis dan perdagangan mulai memprotes pembatasan-
pembatasan yang terjadi akibat pemberlakuan sistem tersebut. Inggris dan
Perancis, sebagai negara kolonial yang mempunyai kepentingan bisnis
internasional yang besar, mulai mempertanyakan pentingnya tindakan karantina
yang waktu itu dilakukan, seperti misalnya dengan penahanan kapal sampai 40
hari. Pada tahun 1851, Inggris mulai melakukan sistem pengawasan atau
supervisi dalam pelaksanaan karantinanya.

Sejak tahun 1852 sampai tahun 1892 beberapa kali pertemuan dilakukan oleh
negara-negara Eropa, dalam upaya mencegah masuknya wabah penyakit dari
timur ke Eropa. Pertemuan-pertemuan tersebut terutama membahas wabah
kolera. Tidak diperoleh hasil yang signifikan dari pertemuan yang dilakukan di
Paris tahun 1852, di Konstantinopel tahun 1866, di Wina tahun 1874 dan di
Roma tahun 1885, terkecuali kesepakatn untuk meninggalkan doktrin. karantina
yang sangat ketat untuk kapal yang masuk dari luar negeri, dan penerapan
sistem karantina seperti apa yang dilakukan oleh Inggris. Walaupun demikian,
beberapa negara Eropa masih menerapkan sistem karantina lama. Negara-
negara tersebut adalah Spanyol, Portugal, Turki, Yunani dan Rusia termasuk
beberapa wilayah yang dikuasai Inggris saat itu, yaitu Gibraltar, Malta dan
Siprus.

Selanjutnya pada tahun 1892 dilakukan pertemuan di Venice mengenai


pencegahan penyebaran wabah kolera melalui terusan Suez. Tahun 1892

5
dilakukan pertemuan di Dresden membahas wabah kolera di dalam negara-
negara Eropa, tahun 1894 di Paris membahas penyebaran wabah kolera melalui
peziarah, dan tahun 1897 di Venice terkait dengan terjadinya outbreak wabah
penyakit di timur. Pada pertemuan tahun 1897 ditetapkan masa inkubasi untuk
penyakit kolera untuk keperluan administrasi. Diakui bahwa masa inkubasi
penyakit kolera tidak terlalu lama, yaitu sekitar tiga atau empat hari, dan setelah
dilakukan diskusi masa inkubasi penyakit kolera untuk kepentingan administrasi
masa karantina ditetapkan selama 10 hari.

Selanjutnya prinsip notifikasi penyakit diakui, dimana setiap negara harus


menginformasikan ke negara lain wabah penyakit yang ada di negaranya dan
upaya-upaya pencegahan yang dilakukannya. Diketemukannya telegrap yang
telah memudahkan komunikasi internasional, menyebabkan bukan hanya
memudahkan penyebaran informasi mengenai penyakit yang ada di suatu
negara, tetapi juga informasi mengenai rute kapal, kondisi yang ada atau
dihadapi, dan perkiraan waktu sampainya kapal.

Seiring perkembangan waktu, dari sudut karantina yang dianggap penting bukan
hanya penyebaran wabah penyakit yang menyerang manusia, tapi juga hama
atau penyakit yang menyerang tumbuhan dan hewan. Kemudian munculan
istilah karantina tumbuhan dan karantina hewan.

Sejarah Lahirnya Karantina Tumbuhan di Indonesia

Srilanka (Ceylon) dahulu merupakan suatu negara produsen kopi terbesar di


dunia, dengan hasil jenis kopi Arabika kualitas utama. Pada tahun 1876 di sana
telah berjangkit penyakit kopi yang tidak diketahui dari mana asalnya. Akibatnya
produksi kopi dengan cepat sekali menurun. Kalau dalam tahun 1870 produksi
kopi Srilanka mencapai jumlah 400 juta pound, maka dalam tahun 1880 hanya
18 juta pound. Sampai akhirnya pada tahun 1892 tidak satupun pohon kopi yang
sehat di Srilanka. Penyakit kopi yang hebat ini disebabkan oleh sejenis

6
cendawan yang bernama Hemileia vastatrix, atau lebih dikenal sebagai penyakit
karat daun kopi. Dari Srilanka penyakit ini kemudian menjalar ke India dan
menghancurkan pertanaman kopi di sana.

Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) sebagai salah satu negara penghasil
kopi terbesar di dunia menjadi cemas. Langkah-langkah untuk mencegah
masuknya cendawan Hemileia vastatrix yang merusak pertanaman kopi di
Srilanka harus segera diambil. Demikianlah pada tanggal 19 Desember 1877
dikeluarkan sebuah ordonansi (Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 262)
yang bunyinya sebagai berikut.
(1) Pemasukan tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka sampai ada
pengumuman lebih lanjut adalah terlarang.
(2) Pelanggaran terhadap larangan ini dihukum dengan denda sebesar
1.000 gulden sampai 10.000 gulden.
(3) Ordonansi ini mulai berlaku pada tanggal diumumkan,
Peraturan tersebut merupakan ordonansi yang pertama dikeluarkan Belanda
dalam bidang karantina tumbuhan, yang juga merupakan peraturan karantina
tumbuhan pertama di dunia. Dari pasal-pasal ordonansi tersebut menunjukkan
sifatnya yang semata-mata melarang, bukan mengawasi. Karena itu tidak
diperlukan suatu badan khusus. Oleh karena itu pula, maka instansi atau dinas
karantina tumbuhan belum terbentuk pada saat itu.

Ordonansi yang pertama ini disusul oleh ordonansi lainnya dalam tahun-tahun
berikutnya. Akan tetapi aktivitas dalam bidang karantina tumbuhan baru dimulai
dalam tahun 1914, ketika dengan Staatsblad No. 161 ditetapkan antara lain
bahwa setiap pemasukan buah-buahan segar dari Australia (karena pada waktu
itu hampir semua impor buah-buahan berasal dari Australia) harus melalui
pemeriksaan dari ahli yang ditunjuk oleh Menteri pertanian, untuk mencegah lalat
buah Ceratitis capitata.

7
Sebagai informasi tambahan, di Amerika Serikat, tindakan karantina tumbuhan
boleh dikatakan baru dimulai pada tahun 1891, ketika California melakukan
tindakan karantina terhadap tumbuhan di pelabuhan San pedro. Tindakan ini
kemudian dinyatakan sebagai tindakan karantina tumbuhan yang pertama di
dunia. Kemudian dalam tahun 1903, gubernur California mengeluarkan undang-
undang untuk melengkapi peraturan sebelumnya, guna melindungi pertanian di
negara bagian tersebut. Pada tahun 1912, setelah melampaui perjuangan
selama 20 tahun oleh para ahli hukum karantina tumbuhan, barulah disyahkan
Undang-Undang Karantina Tumbuhan Federal yang pertama, yang berlaku di
seluruh negara bagian Amerika Serikat.

Perkembangan Organisasi Karantina Tumbuhan

Perkembangan organisasi Karantina Tumbuhan tidak dapat dilepaskan dari


perkembangan organisasi Departemen Pertanian, sejak zaman penjajahan
Belanda. Dalam abad 19, di Indonesia (Hindia Belanda) hanya terdapat satu
lembaga yang melakukan penelitian ilmiah terkait botani dan zoologi, yaitu Lands
Plantentuin (Kebun Raya Bogor), yang didirikan pada tahun 1817. Penelitian
yang pertama kali yang dilakukan dalam bidang hama penyakit tanaman adalah
penelitian penyakit sereh pada tebu, penyakit karat daun kopi dan penyakit
kanker kina, yang dilakukan selama tahun 1880-1890. Sesudah tahun 1890,
Lands Plantentuin mengalami reorganisasi dengan dibentuknya Botanische
Laboratoria (Laboratorium Botani) dengan tugas melakukan penelitian penyakit
tanaman budidaya tropika.

Pada tahun 1905 didirikan Department van Lanbouw, Nijverheid en Handel


(Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan). Botanische Labotaria
selanjutnya ditempatkan di bawah Departemen tersebut. Pada tanggal 1 Januari
1912, dibentuk Afdeeling voor Plantenziekten (Bagian Penyakit Tanaman) di luar
Botanische Laboratoria, dikarenakan makin meningkatnya kegiatan di dalam

8
bidang penelitian hama dan penyakit tanaman. Bagian ini berada langsung di
bawah pengawasan Department van Lanbouw, Nijverheid en Handel.

Pada tanggal 1 Januari 1914 dibentuk Instituut voor Plantenziekten en Cultures


(Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya), yang terdiri dari empat
bagian, yaitu Laboratorium voor Plantenziekten (Laboratorium Penyakit
Tanaman, yang merupakan pengganti Afdeeling voor Plantenziekten),
Cultuurtuin (Kebun Budidaya), Proeftuin van Bagelen (Kebun Percobaan
Bagelen) dan Afdeeling Veredeling van Overjarige Gewassen (Bagian Pemuliaan
Tanaman Berumur Panjang).

Pada tahun 1914 diterbitkan Ordonasi 28 Januari 1914 (Staatsblad No. 161)
yang berjudul : Invoer Vruchten. Instelling van een dekundige controle op den
invoer in Nederlandsch-Indie van uit Australie afkonstige verseche vructen
(Pemasukan Buah-buahan. Penetapan pengawasan ahli atas pemasukan buah-
buahan segar dari Australia ke Indonesia). Tujuan dari peraturan ini adalah untuk
mencegah masuknya lalat buah Laut Tengah (Ceratitis capitata), yang telah
terdapat di bagian barat benua Australia ke Indonesia. Pada saat itu sebagian
besar impor buah-buahan ke Indonesia berasal dari Australia. Direktur
Department van Lanbouw, Nijverheid en Handel menunjuk Instituut voor
Plantenziekten en Cultures untuk melaksanakan ordonansi tersebut di tiga
pelabuhan, yaitu Tanjung Priok, Semarang dan Surabaya, yang ditunjuk sebagai
pelabuhan pemasukan buah-buahan segar. Ini merupakan kelahiran dinas
karantina tumbuhan di Indonesia. Semua kegiatan karantina tumbuhan di tiga
pelabuhan pemasukan buah-buahan segar tersebut diawasi secara terpusat oleh
Direktur Instituut voor Plantenziekten en Cultures.

Pada tanggal 1 Januari 1919 dibentuk Instituut voor Plantenziekten (Balai


Penyelidikan Penyakit Tanaman), yang terdiri dari Zoologische Onderafdeeling
(Subbagian Zoologi) dan Botanische Onderafdeeling (Subbagian Botani).

9
Pengawasan terpusat atas kegiatan karantina tumbuhan selanjutnya berada di
bawah Direktur Balai yang baru dibentuk ini.

Dalam tahun 1926, Instituut voor Plantenziekten ditempatkan di bawah


Algemeen Proefstation voor den Lanbouw (Stasiun Percobaan Pertanian
Umum), yang telah dibentuk sejak tahun 1918. Sampai tahun 1930, kegiatan
karantina tumbuhan di berbagai pelabuhan masih di bawah pengawasan sentral
pimpinan Instituut voor Plantenziekten. Pada tahun 1930, pengawasan sentral
tersebut diserahkan kepada seorang pegawai pada Instituut voor
Plantenziekten, yang dalam tahun 1937 diberi pangkat keuringscontroleur
(penilik pemeriksaan), yang kemudian sejak tahun 1941 menjadi
plantenziektenkundige ambtenaar (pegawai ahli penyakit tanaman). Sejak tahun
1939, Plantenquarantaine Dienst (Dinas Karantina Tumbuhan) di bawah Instituut
voor Plantenziekten dipimpin oleh R.H. Lanooy.

Berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Departement van Economische Zaken


(Departemen Perekonomian), sebagai pengganti Department van Lanbouw,
Nijverheid en Handel pada tahun 1933, No. 4772/L/P tahun 1939 tentang
pemasukan biji-biji, buah-buahan segar, tanaman hidup dan bagian-bagiannya,
dan No. 4773/L/P tahun 1939 tentang pemeriksaan bahan tanaman ekspor,
ditetapkan 27 pelabuhan sebagai tempat pemeriksaan bahan tanaman yang
diimpor dan diekspor, yang terdiri 12 pelabuhan impor-ekspor (Jakarta,
Semarang, Surabaya, Oelee Lheue, Padang, Palembang, Medan,
Pangkalpinang, Pontianak, Samarinda, Menado dan Makassar), delapan
pelabuhan impor (Sabang, Jambi, Rengat, Bengkalis, Tanjung Pandan,
Lingkas/Tarakan, Balikpapan dan Bula) dan tujuh pelabuhan ekspor (Bogor,
Bandung, Cilacap, Banyuwangi, Banjarmasin, Tanjungkarang dan Ambon).

Dengan keluarnya Besluit Sekretaris Negara untuk Pertanian dan Perikanan N0.
365/HAD/LV tahun 1948 dan Besluit No. 366/HAD/LV tahun 1948, maka jumlah
pelabuhan karantina tumbuhan berkurang menjadi 25 buah, yaitu 10 pelabuhan

10
impor-ekspor (Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang,
Pangkalpinang, Pontianak, Samarinda, Makassar dan Manado), delapan
pelabuhan impor (Sabang, Pakanbaru, Jambi, Padang, Tanjungpandan, Kuala
Tungkal, Balikpapan, dan Lingkas/Tarakan) dan tujuh pelabuhan ekspor (Bogor,
Bandung, Cilacap, Banyuwangi, Telukbetung, Banjarmasin dan Ambon).

Setelah kemerdekaan, Instituut voor Plantenziekten yang berada di bawah


Algemeen Proefstation voor den Lanbouw, berubah namanya menjadi Balai
Penyelidikan Hama Tumbuh-tumbuhan dari Balai Besar Penyelidikan Pertanian,
yang terdiri dari Bagian Entolomologi, Bagian Fitopatologi dan Dinas Karantina
Tumbuh-tumbuhan, yang berstatus seksi. Dinas Karantina Tumbuhan-tumbuhan
tersebut pertama kali dipimpin oleh Wildermar Harahap, yang digantikan
Mohammad Saleh dan kemudian sejak 3 Nopember 1953 oleh M.S. Harahap.
Dalam tahun 1957 Dinas Karantina Tumbuh-tumbuhan berubah status menjadi
Bagian Karantina Tumbuh-tumbuhan, dan dipimpin oleh M.S. Harahap.

Pada tahun 1961, dengan adanya reorganisasi di lingkungan Departemen


Pertanian, Balai Penyelidikan Hama Tumbuh-tumbuhan diganti oleh Lembaga
Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman, yang merupakan salah satu dari 28
lembaga penelitian di dalam lingkungan Departemen Pertanian. Struktur
organisasi dibawah Lembaga Penelitian tersebut masih sama dengan struktur
organisasi Balai Penyelidikan Hama Tumbuh-tumbuhan.

Dalam tahun 1961 dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian No. 6 dan No.
7 tahun 1961, masing-masing tentang pengeluaran dan pemasukan jenis-jenis
tanaman dan bibit tanaman tertentu, sebagai pelaksanaan Undang-Undang No.
2 tahun 1961, ditetapkan 30 pelabuhan tempat pengeluaran dan pemasukan
jenis-jenis dan bibit tanaman, yaitu 24 pelabuhan impor-ekspor (Jakarta,
Cirebon, Semarang, Surabaya, Sabang, Medan, Palembang, Pangkalpinang,
Pekanbaru, Tanjung Pinang, Jambi, Padang, Samarinda, Banjarmasin,
Pontianak, Balikpapan, Lingkas/Tarakan, Manado, Bitung, Makassar, Ambon,

11
Singaraja, Mataram dan Kupang), satu pelabuhan impor (Tanjung Pandan) dan
lima pelabuhan ekspor (Bogor, Bandung, Cilacap, Banyuwangi dan
Telukbetung). Karena keterbatasan pegawai atau pemeriksa karantina
tumbuhan, maka baru 11 lokasi yang diawasi oleh pemeriksa karantina,
sedangkan untuk lokasi lainnya diserahkan kepada pengawasan pejabat Dinas
Pertanian setempat

Pada pertengahan tahun 1966, terjadi lagi reorganisasi di lingkungan lembaga-


lembaga penelitian pertanian, dengan dibentuknya Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian (LP3). Di dalam struktur organisasi LP3 tidak terdapat Bagian
Karantina Tumbuh-tumbuhan, yang ada adalah Bagian Hama dan Penyakit
Tanaman, yang merupakan penggabungan Bagian Entomologi dan Bagian
Fitopatologi. Akibatnya kedudukan Dinas Karantina Tumbuh-tumbuhan dalam
Departemen Pertanian menjadi tidak menentu.

Dengan keluarnya Surat Keputusan Presidum Kabinet AMPERA No. 75 tanggal


3 Nopember 1966, Dinas Karantina Tumbuh-tumbuhan menjadi Bagian
Karantina Tumbuh-tumbuhan di bawah Biro Hubungan Luar Negeri, Departemen
Pertanian. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 22 tahun 1967,
ditetapkan Bagian Karantina Tumbuh-tumbuhan terdiri dari empat Subbagian,
yaitu Subbagian Administrasi, Hama dan Penyakit, Pengobatan, dan Perundang-
undangan. Sebagai Kepala Bagian ditunjuk M.S. Harahap. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian No. 255 tahun 1968, Bagian Karantina Tumbuh-
tumbuhan kemudian ditempatkan langsung di bawah Sekretariat Jenderal,
Departemen Pertanian.

Dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 284 tahun 1969,
dibentuk Direktorat Karantina Tumbuh-tumbuhan, yang secara administratif
berada di bawah Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, dan secara
operasional berada di bawah Menteri Pertanian. M.S. Harahap diangkat sebagai
Direktur dari Direktorat tersebut.

12
Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 45 tahun 1974, dibentuk Pusat
Karantina Pertanian, yang merupakan salah satu eselon-2 di bawah Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Karantina Pertanian terdiri dari
dua bidang, Bidang Karantina Tumbuh-tumbuhan dan Bidang Karantina Hewan.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres tersebut, Menteri Pertanian menerbitkan
Surat Keputusan No. 190 tahun 1975 tentang organisasi seluruh Departemen
Pertanian. Di dalam surat keputusan tersebut ditetapkan adanya Instalasi
Karantina Tumbuh-tumbuhan, sebagai salah satu unit pelaksana teknis di
lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang ditempatkan
langsung di bawah Kepala Badan tersebut, sehingga Pusat Karantina Pertanian
tidak mempunyai garis komando dengan Instalasi Karantina Tumbuh-tumbuhan.
Akan tetapi di dalam surat keputusan tersebut tidak ditetapkan susunan
organisasi dan uraian tugas Instalasi Karantina Tumbuh-tumbuhan, sehingga
pada saat itu dinas karantina tumbuhan masih bernama Direktorat Karantina
Tumbuh-tumbuhan, walaupun sudah resmi menjadi salah satu unit pelaksana
teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Untuk memangku
jabatan Kepala Pusat Karantina Pertanian diangkat M.S. Harahap, dengan tidak
membebaskannya dari jabatan Direktur Karantina Tumbuh-tumbuhan, dan
Wimbaryono diangkat sebagai Kepala Bidang Karantina Tumbuh-tumbuhan.
Pada bulan Agustus 1975. M.S. Harahap, yang pensiun, digantikan oleh Hamzah
Purakususmah sebagai Direktur Karantina Tumbuh-tumbuhan. Sementara
jabatan Kepala Pusat Karantina Pertanian diduduki oleh Dr. Ida Nyoman Oka.

Satu catatan penting adalah bahwa sejak tahun 1974 muncul terminologi
“karantina pertanian”, dengan suatu pemikiran untuk mengintegrasikan unit-unit
karantina, khususnya karantina hewan dan karantina tumbuhan, yang ada di
sub-sektor di dalam satu wadah.

Pada tahun 1983, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 861
ditetapkan Direktorat Karantina Tumbuh-tumbuhan menjadi Pusat Karantina

13
Pertanian, di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dengan
unit pelaksana teknis (UPT) terdiri dari 5 Balai (eselon IIIa), yang membawahi
Stasiun (eselon IVa) dan Pos (eselon Va) Karantina Pertanian. Penamaan
karantina pertanian digunakan untuk Balai, Stasiun dan Pos tersebut walaupun
isinya masih tetap unsur karantina tumbuhan.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 800 tahun 1994, terjadi
integrasi unsur karantina hewan, ikan dan tumbuhan di bawah Pusat Karantina
Pertanian, di mana masing-masing unsur karantina merupakan UPT yang tidak
saling mebawahi. UPT karantina tumbuhan menjadi 37 unit yang terdiri dari 5
Balai Karantina Tumbuhan (Belawan-Medan, Boombaru-Palembang,
Tanjungpriok-Jakarta, Tanjungperak-Surabaya, dan Unjungpandang), 15 Stasiun
Karantina Tumbuhan (Polonia, Pekanbaru, Telukbayur, Panjang, Soekarno-
Hatta, Cirebon, Tanjungemas-Semarang, Ngurah Rai, Lembar, Pontianak,
Trisakti-Banjarmasin, Balikpapan, Samarinda, Bitung dan Jayapura), dan 17 Pos
Karantina Tumbuhan (Malahayati, Tanjungpinang, Jambi, Pangkalpinang,
Tanjungpandan, Pulaubaai-Bengkulu, Adisucipto, Cilacap, Tenau, Dili, Tarakan,
Pantoloan, Kendari, Ambon, Sorong, Biak dan Merauke). Selain itu ditetapkan
juga sebanyak 129 lokasi sebagai wilayah kerja. Sampai tahun 2000, dari
keseluruhan wilayah kerja tersebut baru 110 lokasi yang sudah beroperasi dan
80 lokasi yang sudah memiliki kantor. Khusus untuk Dili, setelah Timor Timur
melepaskan diri dari Indonesia, Pos Karantina Tumbuhan tersebut dihilangkan.

Dalam periode tahun 1995-1996, pembinaan administratif Pusat Karantina


Pertanian berada di bawah Badan Agribisnis, Departemen Pertanian, namun
kemudian pada tahun 1996 pembinaan administratifnya dikembalikan lagi ke
Sekretariat Jenderal, Departemen Pertanian, sampai terbentuknya Badan
Karantina Pertanian pada tahun 2001 sebagai unit eselon I Departemen
Pertanian. Setelah Hamzah Purakusumah pensiun, jabatan Kepala Pusat
Karantina Pertanian berturut-turut dipegang oleh Iswoto dan Hardjono.

14
Lahirnya Badan Karantina Pertanian

Pada bulan Desember tahun 2000 telah lahir Badan Karantina Nasional
berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 166 tahun 2000, namun kemudian
Keppres ini dicabut, dan berdasarkan Keppres No. 58 tahun 2001, dibentuk
Badan Karantina Pertanian, sebagai unit eselon 1-A di lingkup Departemen
Pertanian. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 296 tahun 2001
ditetapkan antara lain unit eselon III dan IV Badan Karantina Pertanian. Dalam
struktur organisasi ini,di tingkat pusat terdiri dari Sekretariat Badan, Pusat
Karantina Hewan, Pusat Karantina Tumbuhan, dan Pusat Teknik dan Metoda
Karantina Hewan dan Tumbuhan. Sedangkan di tingkat Unit Pelaksana Teknis
(UPT) terdiri dari :
o Lima Balai Karantina Hewan;
o 14 Stasiun Karantina Hewan Kelas I;
o 20 Stasiun Karantina Hewan Kelas II;
o Lima Balai Karantina Tumbuhan;
o Balai Uji Standar Karantina Tumbuhan;
o 17 Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I;dan
o 21 Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas II.

Sejak tahun 2000 sampai awal 2020 Badan Karantina Pertanian berada di
bawah Kementerian Pertanian sebagai unit Eselon-1. Perubahan hanya terjadi di
unit Eselon-2 dan unit pelaksana teknis (UPT).

Penutup

Karantina tumbuhan di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang sangat


panjang yang dimulai dengan dikeluarkannya sebuah ordonansi (Staatsblad van
Nederlandsch-Indie No. 262) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 19
Desember 1877 yang bertujuan mencegah masuknya cendawan Hemileia
vastatrix yang merusak pertanaman kopi di Srilanka agar tidak masuk ke

15
Indonesia, yang merupakan peraturan karantina tumbuhan yang pertama baik di
Indonesia maupun di dunia.

Dalam bidang organisasi pada tahun 1914 Direktur Department van Lanbouw,
Nijverheid en Handel menunjuk Instituut voor Plantenziekten en Cultures
untuk melaksanakan Ordonasi 28 Januari 1914 (Staatsblad No. 161) yang
berjudul : Invoer Vruchten. Instelling van een dekundige controle op den invoer in
Nederlandsch-Indie van uit Australie afkonstige verseche vructen (Pemasukan
Buah-buahan. Penetapan pengawasan ahli atas pemasukan buah-buahan segar
dari Australia ke Indonesia) di tiga pelabuhan, yaitu Tanjung Priok, Semarang
dan Surabaya, yang ditunjuk sebagai pelabuhan pemasukan buah-buahan
segar. Ini merupakan kelahiran dinas karantina tumbuhan di Indonesia.

Sejak saat itu organisasi karantina tumbuhan terus berkembang dan sekarang
berada di bawah Badan Karantina Pertanian dengan peran yang makin penting
karena bertambahnya tugas di luar upaya pencegahan masuk dan tersebarnya
OPTK.

Daftar Bacaan

Dano, T. 1977. Seratus Tahun Karantina Tumbuh-tumbuhan Indonesia.


Direktorat Karantina Tumbuh-Tumbuhan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Dukes, T.W. dan B. Labonte. 1991. “A hundred years of importation : The first
animal quarantine station in North America; Levis, Quebec, 1876-1982”
Canadian Veterinary Journal. June; 32(6) : 375-381

Frati, P. 2000. Quarantine, trade and helath policies in Ragusa-Dubrovnik until


the age of George Armmenius-Baglivi. Med Secoli (12) : 103-127

Gensini, G.F., M.H. Yacoub dan A.A.Conti. 2004. The concept of quarantine in
history : from plague to SARS. Journal of Infection (49), 257-261.

Hardy, A. 2010. “World of the body : Quarantine”.


(http://www.answers.com/topic/quarantine)

Last, J.M. 2010. “Encyclopedia of Public Health : Quarantine”.

16
(http://www.answers.com/topic/quarantine)

Sehdev, P.S. 2002. The origin of quarantine. Clin Infect Dis (35) : 1071-1072.

http://www.answers.com/topic/quarantine
http://www.experiencefestival.com/a/Quarantine/id/1896758
http://www.pbs.org/wgbh/nova/typhoid/quarantine.html
http://www.thehistorybox.com/ny_city/nycity_immi_quarantine_article00236.htm
http://www,aphis.usda.gov/about_aphis/history.shtml

17

Anda mungkin juga menyukai