Marātib Al-Ta Dīl

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

MARĀTIB AL-TA‘DĪL

Afrani Felda Rahma (2000027064)

Zulfa Laila Fitri (2000027068)

1. Pengertian Marātib al-Ta‘dīl 

Sebelum membahas pengertian maratib at-ta’dil akan dijelaskan sedikit


mengenai makna dari ta’dil itu sendiri. Ta’dil secara bahasa artinya meluruskan,
membetulkan, membersihkan. Sedangkan secara istilah, ta’dil artinya mensifatkan si
perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu
(puncak) penerimaan riwayatnya.1
Nur Ad-Din memberikan definisi ta’dil dengan:
‫اكسه هو تزكية الراوي واحلكم عليه بأنه عدل أو ضابط‬
“Yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan,bahwa ia ‘adil atau
dhabith.”2

Kata maratib berasal dari kata martabah dalam bentuk jama’, yang artinya
susunan, derajat, tingkatan, level. Dan jika digabungkan antara kata maratib dan
ta’dil, maka akan ditemukan arti sebagai berikut, secara bahasa ia berarti tingkatan-
tingkatan ta’dil, sedangkan dalam istilah adalah tingkatan atau susunan dengan
menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang menunjukkan kualitas keadilan perawi.
Terdapat beberapa pendapat dari para ulama hadis mengenai jumlah tingkatan-
tingkatan tersebut, seperti Ar-Razi, Ibnu Shalah dan An-Nawawy yang berpendapat
empat tingkatan. Adz-Dzahaby, Al-’Iraqy dan Al-Harawy berpendapat lima tingkatan.
Dan terakhir Ibnu Hajar dan As-Suyuthi berpendapat enam tingkatan.

2. Aspek-Aspek yang Dita‘dīl


 
Sebelum melakukan ta’dil ada hal-hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu.
Seperti syarat utama perawi, bagaimana membuktikan keadilan perawi, kaidah dalam
menta’dil, dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menta’dil.

a. Syarat-syarat utama seorang perawi:


1.) ‘Adalah: seorang muslim, baligh, berakal, terbebas dari sifat fasiq
dan kerusakan muru’ah
2.) Dhabit: tidak berselisih dengan rawi yang lebih tsiqah, kuat
hafalannya, tidak berlaku buruk, tidak lalai dan tidak mengada-ada3
b. Cara membuktikan keadilan perawi:
1
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 279.
2
Drs. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 96.
3
Dr. Mahmud Thahhan, Taisiru Musthalahil Hadis, (Madinah: Syari’u Faishal, 1976) hal, 145.
1.) Bi tanshishil mu’addilin ‘alaiha atau dengan catatan-catatan para
penta’dil tentang keadilan perawi tersebut, satu ataupun lebih.
2.) Bil istifadhah wa syuhrah atau dengan ketenaran dan kemasyhuran
rawi mengenai keadilannya.4
c. Kaidah dalam melakukan ta’dil:
1.) Naqdun Kharijiyyun atau kritik eksternal, kritik eksternal ini berupa
penelitian tentang bagaimana cara perawi dalam meriwayatkan hadis,
apa lafadz yang digunakannya ketika meriwayatkan suatu hadis yang
berdampak pada kualitas keshahihan hadis nantinya, lalu tetang
bagaimana keadaan perawi dan kadar kepercayaannya orang-orang
terhadapnya.
2.) Naqdun Dakhiliyyun atau kritik internal, yaitu berupa penelitian dari
nash atau teks hadis itu sendiri, dari segi matan apakah hadis tersebut
memiliki makna yang shahih atau sesuai dengan apa yang dikatakan
Nabi, dan tidak berimplikasi pada kepentingan suatu kelompok/
madzhab, lalu dari segi sanad bagaimanakah jalur-jalur
periwayatannya yang menetukan shahih atau tidaknya hadis.5
d. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menta’dil:
1.) Bersikap jujur dan profesional dalam mengemukakan keadaan rawi,
apa adanya.
2.) Cermat dan korek dalam melakukan penelitian, seperti dapat
membedakan antara dhaifnya hadis karena lemahnya agama perawi
dan dhaifnya hadis karena tidak kuatnya hafalan perawi.
3.) Menjaga batas-batas kesopanan, terutama dalam menyampaikan hasil
jarh maupun ta’dil, menggunakan etika ilmiah dan santun yang
tinggi.
4.) Bersifat global dalam menta’dil tanpa disebutkan sebab-sebab
keadilan rawi, karena apabila disebutkan akan terlampau banyak.6

3. Ulama yang Menyusun Tingkatan Ta‘dīl 

Menurut Ajaz al-Khatib, terdapat dua cara untuk mengetahui ‘adilnya seorang
perawi.7
1. Melalui kepopuleran keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi tidak perlu
diragukan lagi apabila seorang perawi tersebut sudah masyhur dan terkenal
sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri.
2. Melalui tazkiyah atau pernyataan seorang yang adil kepada perawi yang belum ia
kenal sebelumnya.

4
Ibid, hal 145.
5
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hal. 359.
6
M. Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wamusthalahuhu, (Beirut: Dar el Fikr, 1989), hal. 266-267.

7
Ibid, Ajjaj Khatib, h. 267.
Proses penulisan hadis yang dimulai setelah wafatnya nabi dan diresmikan pada
200 tahun setelah Nabi wafat. Terdapat kemungkinan adanya pemalsuan dan
perubahan dalam segi sanad maupun matannya, sehingga menyebabkan hal yang
dapat menjadikan para periwayat hadis menyalahi apa yang sebenarnya barasal dari
Nabi.8

Sejatinya jarh wa ta’dil telah dilakukan sejak masa sahabat, pada saat itu masih
sedikit sekali rawi yang di nilai. Beberapa sahabat tersebut ialah Ibnu Abbas (68 H),
Ubadah bin Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (93 H). lalu dari kalangan tabi’in
ialah: Asy Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H) dan Said bin Al-Musayyab (94 H).9

Pada tahun 150 H, mulai ramai ulama menekuni ilmu ini. Ulama yang
memberikan perhatian besarnya pada bidang ini diantaranya ialah Yahya bin Said Al-
Qatthan (189 H) dan Abdurrahman bin Mahdy (198 H), lalu Yazid bin Harun (189 H),
Abu Dawud Ath-Thayalisy (204 H), Abdurrazaq bin Human (211 H). Para ulama
telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi. Mereka berupaya keras untuk
membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai
kepada kita (Nuruddin ‘Itr, hlm. 99), adalah karya tokoh kritikus al- Imam bin al-
Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), dalam kitabnya yang besar al-
Jarh wa ‘al-Ta’dil.

Para ulama pada bidang hadits yang menyusun pembahasan seputar tingkatan-
tingkatan jarh dan ta’dil dalam karya kitab yang membahas ilmu jarh dan ta’dil ini,
diantaranya10:

 Al- Jarh wa al-Ta’dil, karya Imam Ibn Abi Hatim al-Razi.


 Ulum al-Hadi, karya Ibn Shalah.
 At- Taqribu an-Nawawy, karya imam al-Nawawi.
 Mizan al-‘Itidal, karya al-Hafidh ad-Dzahaby.
 Taqrib al-Tahdzi, karya Imam Ibn Hajar al-Asqalani.
 Manhaj Dzawin Nazhar, karya Muhammad Mahfuzh al- Tarmasi.
 Alfiyah al-‘Iraqy, Karya Imam Al-‘Iraqy.

4. Bentuk-Bentuk Lafaz yang Digunakan 

Menurut Ibn Abi Hatim, Ibn as Salah dan Imam Nawawi dalam Ramli Abdul
Wahid dalam menta’dil perawi lafal tersebut disusun menjadi empat tingkatan,
menurut Az Zahabi dan Al Iraqi lafalnya ada lima tingkatan, Ibnu Hajar menyusunnya
enam tingkatan. Sedangkan menurut ulama kontemporer mereka membaginya

8
Mina Mudrikah Zain, Perbedaan Maratib Ta’dil di Kalangan Ulama’, (Diroyah: Jurnal Hadis 2, 2017), hal. 15.
9
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hal. 155-156.
10
Mina Mudrikah Zain, Perbedaan Maratib Ta’dil di Kalangan Ulama’, (Diroyah: Jurnal Hadis 2, 2017), hal. 16.
menjadi enam tingkatan. Para ulama Hadis menyatakan keshahihan sanad dari empat
bagian pertama lafal tingkatan ta’dil. Sementara tingkatan kelima dan keenam
diterima apabila ada sanad serupa yang lain sebagai penguat11. Bentuk-bentuk lafalnya
ialah:
a. orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya.
‫ أوثق الناس‬،‫ ليس له نظير‬،‫أضبط الناس‬
Lafadz ini menunjukkan capaian tertinggi dalam ketsiqohan seorang perawi.
b. Fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi
keadilannya.

‫ال يسال عنه أو عن مثله فالن‬

c. Terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai


kekuatan hafalan yang baik.
‫ ثقة حفظ‬،‫ ثقة مأْمون‬،‫ثقة ثقة‬
Lafadz ini menekankan pada satu sifat atau dua sifat dari karakteristik
ketsiqohan
d. Kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit.
‫ عدل ضابطثبت‬,‫ عدل حافظ‬,‫ إمام‬,‫ حجة‬,‫متقن‬
Lafadz yang mengungkapkan sifat yang menunjukkan ketsiqohan tanpa
penekanan

e. Benar, jujur, tidak ada masalah. (lafal ini menunjukkan seorang yang adil tapi
tidak dhabit)
‫ ال بأس به قصدو‬,‫مأمون‬
f. Syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar. (lafal ini mendekati
jarh)
‫صدوق إن شاءه‬, ‫ صويلح‬,‫ ليس ببعيد من الصواب‬,‫شيخ‬

Dalam menilai ‘adilnya perawi, para ulama hadis sangat beragam dalam
penilaiannya. Ke-sighat-an para rawi dilihat dari prespektif para jarih wa mu’addil
sangat bergantung kepada sudut tinjaunya masing-masing. Tetapi kenyataan,
periwayatan bi al- lafzhi menjadi tolak ukur utama ke-istighat- an rawi.12

Terdapat dalam sebuah Jurnal yang berjudul “Perbedaan Maratib al-Ta’dil di


Kalangan Ulama Hadis” oleh Mina Mudrikah Zain, berikut adalah komparasi
tingkatan ta’dil diantara para ulama hadits.13

Ibn Hajar
11
Ibid, Ramli Abdul Wahid
12
M. Abdurrahman, & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 158.

13
Zain, Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis 2, 1,2017 hal. 20
Lafal Al- Ibn Al- Al- Al- Al-
dan al-
Razi Shalah Nawa Dzahabi Iraqi Harawi
Suyuthi
wi
‫أوثق الناس‬ 1 1
‫ثقة قث ة‬ 1 1 2 2
‫ثقة‬ 1 1 1 2 2 2 3
‫صدوق‬ 2 2 3 3 3 4
‫البأس به‬ 2 2 2 3 3 3 4
‫شيخ‬ 3 3 3 4 4 4 5
‫صاحل احلديث‬ 4 4 4 4 5 5 5
‫البأس أرجو أن‬
5 5 6

Mengenai hukum-hukum tingkatan tersebut, para ulama membaginya dalam


tiga tingkatan14:
a) Tingkatan pertama dapat dijadikan hujjah, meski kekuatannya berbeda.
b) Tingkatan keempat dan kelima perawinya tidak dapat dijadikan hujjah,
namun haditsnya masih bisa dicatat atau diberitakan.
c) Tingkatan keenam dipastikan perawinya tidak dapat diambil sebagai hujjah,
hadis yang mereka catat masih bisa diambil sebagai pelajaran.

5. Contoh Penggunaan Ta‘dīl

Berikut adalah satu contoh penggunaan lafadz ta’dil dalam menilai kualitas
ketsiqohan rawi, biasanya dilakukan ketika mentakhrij hadis. Hadis yang digunakan
adalah hadis yang terdapat kitab Shahih Bukhari, Kitab Iman, Bab Mencintai
Rasulullah bagian dari iman, Kitab, Nomor Hadist 13 15

ِ ‫ج ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ َر‬


ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬ ِ ‫الزنَا ِد ع َْن اأْل َ ْع َر‬
ِّ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ْاليَ َما ِن قَا َل أَ ْخبَ َرنَا ُش َعيْبٌ قَا َل َح َّدثَنَا أَبُو‬

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه اَل ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه‬
َ ِ ‫أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬

“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata, telah mengabarkan


kepada kami Syu'aib berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Az Zanad dari Al
A'raj dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian
hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya".

Nama: Abdurrahman bin Sakhr (Abu Hurairah)

14
Dr. Mahmud Thahhan, Taisiru Musthalahil Hadis, (Madinah: Syari’u Faishal, 1976) hal, 195
15
Aplikasi Jami’u Kutubu tis’ah
Pendapat ulama’: Ibnu Hajar Al-Asyqalani (sahabat, sudah tentu adil)

Nama: Abdurrahman bin Hurmuz (Abu Daud)

Pendapat ulama’: Ibnu Sa’d (Tsiqah), Ibnul Madini (Tsiqah), Al ‘Ajli (Tsiqah), Abu
Zur’ah (Tsiqah), Ibnu Kharasy (Tsiqah), Ibnu Hibban (disebutkan dalam ‘ats tsiqaat),
Ibnu Hajar Al-Asyqalani (tsiqat tsabat)

Nama: Abdullah bin Dzakwan Abu Az-Zanad

Pendapat ulama’: Ahmad bin Hambal (Tsiqah), Abu Zur’ah (Tsiqah), Yahya bin
Ma’in (Tsiqah), Al ‘Ajli (Tsiqah), Abu Hatim (Tsiqah, faqih), As-Saji (Tsiqah), An-
Nasa’i (Tsiqah), Al “Ajli (Tsiqah), Ath Tabrani (Tsiqah), Ibnu Hibban (disebutkan
dalam ‘ats tsiqaat), Ibnu Hajar Al-Atsqalani (Tsiqah, faqih), Adz Dzahabi (Tsiqah
tsabat)

Nama: Syu’aib bin Abi Hamzah Dinar

Pendapat ulama’: Ahmad bin Hambal (Tsabat tsiqah), Yahya bin Ma’in (Tsiqah),
Ya’kub bin Syaibah (Tsiqah), Al ‘Ajli (Tsiqah), Abu Hatim (Tsiqah), An-Nasa’i
(Tsiqah), Ibnu Hibban (disebutkan dalam ‘ats tsiqaat), Ibnu Hajar Al Atsqalani
(Tsiqah ahli ibadah), Adz Dzahabi (Hafizh)

Nama: Al Hakam bin Nafi’

Pendapat ulama’: Yahya bin Ma’in (Tsiqah), Abu Hatim Ar Rozy (Tsiqah Shaduuq),
Al ‘Ajli (la ba’sa bih), Ibnu Hibban (disebutkan dalam ‘ats tsiqaat)

DAFTAR PUSTAKA

Thahhan, Mahmud, Taisiru Musthalahil Hadis, Madinah: Syari’u Faishal, 1976.

Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.

Zain, Mina Mudrikah, Perbedaan Maratib Ta’dil di Kalangan Ulama’, Diroyah: Jurnal Ilmu
Hadis 2, September 2017.

Jumantoro,Totok. Kamus Ilmu Hadis, Jakarta:Bumi Aksara, 2002.


Abdurrahman, M., dan Elan Sumarna.Metode Kritik Hadis, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2011.

Anda mungkin juga menyukai