Marātib Al-Ta Dīl
Marātib Al-Ta Dīl
Marātib Al-Ta Dīl
Kata maratib berasal dari kata martabah dalam bentuk jama’, yang artinya
susunan, derajat, tingkatan, level. Dan jika digabungkan antara kata maratib dan
ta’dil, maka akan ditemukan arti sebagai berikut, secara bahasa ia berarti tingkatan-
tingkatan ta’dil, sedangkan dalam istilah adalah tingkatan atau susunan dengan
menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang menunjukkan kualitas keadilan perawi.
Terdapat beberapa pendapat dari para ulama hadis mengenai jumlah tingkatan-
tingkatan tersebut, seperti Ar-Razi, Ibnu Shalah dan An-Nawawy yang berpendapat
empat tingkatan. Adz-Dzahaby, Al-’Iraqy dan Al-Harawy berpendapat lima tingkatan.
Dan terakhir Ibnu Hajar dan As-Suyuthi berpendapat enam tingkatan.
Menurut Ajaz al-Khatib, terdapat dua cara untuk mengetahui ‘adilnya seorang
perawi.7
1. Melalui kepopuleran keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi tidak perlu
diragukan lagi apabila seorang perawi tersebut sudah masyhur dan terkenal
sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri.
2. Melalui tazkiyah atau pernyataan seorang yang adil kepada perawi yang belum ia
kenal sebelumnya.
4
Ibid, hal 145.
5
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hal. 359.
6
M. Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wamusthalahuhu, (Beirut: Dar el Fikr, 1989), hal. 266-267.
7
Ibid, Ajjaj Khatib, h. 267.
Proses penulisan hadis yang dimulai setelah wafatnya nabi dan diresmikan pada
200 tahun setelah Nabi wafat. Terdapat kemungkinan adanya pemalsuan dan
perubahan dalam segi sanad maupun matannya, sehingga menyebabkan hal yang
dapat menjadikan para periwayat hadis menyalahi apa yang sebenarnya barasal dari
Nabi.8
Sejatinya jarh wa ta’dil telah dilakukan sejak masa sahabat, pada saat itu masih
sedikit sekali rawi yang di nilai. Beberapa sahabat tersebut ialah Ibnu Abbas (68 H),
Ubadah bin Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (93 H). lalu dari kalangan tabi’in
ialah: Asy Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H) dan Said bin Al-Musayyab (94 H).9
Pada tahun 150 H, mulai ramai ulama menekuni ilmu ini. Ulama yang
memberikan perhatian besarnya pada bidang ini diantaranya ialah Yahya bin Said Al-
Qatthan (189 H) dan Abdurrahman bin Mahdy (198 H), lalu Yazid bin Harun (189 H),
Abu Dawud Ath-Thayalisy (204 H), Abdurrazaq bin Human (211 H). Para ulama
telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi. Mereka berupaya keras untuk
membaginya dan menjelaskan status-statusnya. Tulisan yang pertama kali sampai
kepada kita (Nuruddin ‘Itr, hlm. 99), adalah karya tokoh kritikus al- Imam bin al-
Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), dalam kitabnya yang besar al-
Jarh wa ‘al-Ta’dil.
Para ulama pada bidang hadits yang menyusun pembahasan seputar tingkatan-
tingkatan jarh dan ta’dil dalam karya kitab yang membahas ilmu jarh dan ta’dil ini,
diantaranya10:
Menurut Ibn Abi Hatim, Ibn as Salah dan Imam Nawawi dalam Ramli Abdul
Wahid dalam menta’dil perawi lafal tersebut disusun menjadi empat tingkatan,
menurut Az Zahabi dan Al Iraqi lafalnya ada lima tingkatan, Ibnu Hajar menyusunnya
enam tingkatan. Sedangkan menurut ulama kontemporer mereka membaginya
8
Mina Mudrikah Zain, Perbedaan Maratib Ta’dil di Kalangan Ulama’, (Diroyah: Jurnal Hadis 2, 2017), hal. 15.
9
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hal. 155-156.
10
Mina Mudrikah Zain, Perbedaan Maratib Ta’dil di Kalangan Ulama’, (Diroyah: Jurnal Hadis 2, 2017), hal. 16.
menjadi enam tingkatan. Para ulama Hadis menyatakan keshahihan sanad dari empat
bagian pertama lafal tingkatan ta’dil. Sementara tingkatan kelima dan keenam
diterima apabila ada sanad serupa yang lain sebagai penguat11. Bentuk-bentuk lafalnya
ialah:
a. orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya.
أوثق الناس، ليس له نظير،أضبط الناس
Lafadz ini menunjukkan capaian tertinggi dalam ketsiqohan seorang perawi.
b. Fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi
keadilannya.
e. Benar, jujur, tidak ada masalah. (lafal ini menunjukkan seorang yang adil tapi
tidak dhabit)
ال بأس به قصدو,مأمون
f. Syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar. (lafal ini mendekati
jarh)
صدوق إن شاءه, صويلح, ليس ببعيد من الصواب,شيخ
Dalam menilai ‘adilnya perawi, para ulama hadis sangat beragam dalam
penilaiannya. Ke-sighat-an para rawi dilihat dari prespektif para jarih wa mu’addil
sangat bergantung kepada sudut tinjaunya masing-masing. Tetapi kenyataan,
periwayatan bi al- lafzhi menjadi tolak ukur utama ke-istighat- an rawi.12
Ibn Hajar
11
Ibid, Ramli Abdul Wahid
12
M. Abdurrahman, & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 158.
13
Zain, Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis 2, 1,2017 hal. 20
Lafal Al- Ibn Al- Al- Al- Al-
dan al-
Razi Shalah Nawa Dzahabi Iraqi Harawi
Suyuthi
wi
أوثق الناس 1 1
ثقة قث ة 1 1 2 2
ثقة 1 1 1 2 2 2 3
صدوق 2 2 3 3 3 4
البأس به 2 2 2 3 3 3 4
شيخ 3 3 3 4 4 4 5
صاحل احلديث 4 4 4 4 5 5 5
البأس أرجو أن
5 5 6
Berikut adalah satu contoh penggunaan lafadz ta’dil dalam menilai kualitas
ketsiqohan rawi, biasanya dilakukan ketika mentakhrij hadis. Hadis yang digunakan
adalah hadis yang terdapat kitab Shahih Bukhari, Kitab Iman, Bab Mencintai
Rasulullah bagian dari iman, Kitab, Nomor Hadist 13 15
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل فَ َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِد ِه اَل ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه
َ ِ أَ َّن َرسُو َل هَّللا
14
Dr. Mahmud Thahhan, Taisiru Musthalahil Hadis, (Madinah: Syari’u Faishal, 1976) hal, 195
15
Aplikasi Jami’u Kutubu tis’ah
Pendapat ulama’: Ibnu Hajar Al-Asyqalani (sahabat, sudah tentu adil)
Pendapat ulama’: Ibnu Sa’d (Tsiqah), Ibnul Madini (Tsiqah), Al ‘Ajli (Tsiqah), Abu
Zur’ah (Tsiqah), Ibnu Kharasy (Tsiqah), Ibnu Hibban (disebutkan dalam ‘ats tsiqaat),
Ibnu Hajar Al-Asyqalani (tsiqat tsabat)
Pendapat ulama’: Ahmad bin Hambal (Tsiqah), Abu Zur’ah (Tsiqah), Yahya bin
Ma’in (Tsiqah), Al ‘Ajli (Tsiqah), Abu Hatim (Tsiqah, faqih), As-Saji (Tsiqah), An-
Nasa’i (Tsiqah), Al “Ajli (Tsiqah), Ath Tabrani (Tsiqah), Ibnu Hibban (disebutkan
dalam ‘ats tsiqaat), Ibnu Hajar Al-Atsqalani (Tsiqah, faqih), Adz Dzahabi (Tsiqah
tsabat)
Pendapat ulama’: Ahmad bin Hambal (Tsabat tsiqah), Yahya bin Ma’in (Tsiqah),
Ya’kub bin Syaibah (Tsiqah), Al ‘Ajli (Tsiqah), Abu Hatim (Tsiqah), An-Nasa’i
(Tsiqah), Ibnu Hibban (disebutkan dalam ‘ats tsiqaat), Ibnu Hajar Al Atsqalani
(Tsiqah ahli ibadah), Adz Dzahabi (Hafizh)
Pendapat ulama’: Yahya bin Ma’in (Tsiqah), Abu Hatim Ar Rozy (Tsiqah Shaduuq),
Al ‘Ajli (la ba’sa bih), Ibnu Hibban (disebutkan dalam ‘ats tsiqaat)
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.
Zain, Mina Mudrikah, Perbedaan Maratib Ta’dil di Kalangan Ulama’, Diroyah: Jurnal Ilmu
Hadis 2, September 2017.
Rosdakarya, 2011.