0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
172 tayangan3 halaman

Nasihat Guru Kepada Muridnya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 3

NASIHAT GURU KEPADA MURIDNYA

Wahai anakku, semoga Allah memberimu petunjuk dan pertolongan untuk selalu beramal sholih.
Sesungguhnya bagiku engkau ibarat seorang anak yang berada di sisi ayah yang dicintainya. Aku akan
bahagia dirimu berbadan sehat, berpendirian kuat, suci hati, berakhlak mulia, menjaga adab, menjauhi
perkataan tercela, lemah lembut dalam bergaul, menyayangi sesama, menolong fakir, belas kasih
terhadap yang lemah, pemaaf, tidak meninggalkan sholat, dan tidak menunda-nunda waktu untuk
beribadah kepada Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasamu.

Wahai anakku, seandainya engkau mau menerima nasihat dari seseorang, maka akulah orang yang
pantas untuk kau terima nasihatnya. Aku adalah gurumu, pendidikmu yang membantu memelihara
jiwamu. Engkau tidak akan mendapat seorangpun yang telah mengharapkan kebaikan darimu sesudah
orang tuamu kecuali aku (gurumu).

Wahai anakku, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi nasihat yang patut nutuk dipercaya. Karena
itu, terimalah dengan ikhlas segala nasihatku, dan amalkanlah dalam hidupmu serta dalam pergaulan
dengan teman-temanmu.

Wahai anakku, bila engkau tidak mengamalkan segala nasihatku dalam kesendirianmu, maka engkau
tidak akan dapat mengamalkannya di kala bergaul dengan teman-temanmu.

Wahai anakku, bila engkau tidak menuruti nasihatku, siapakah yg akan engkau ikuti?, apakah artinya
engkau memaksa dirimu untuk duduk dihadapanku?!

Wahai anakku, sesungguhnya seorang guru menyayangi anak didiknya yang taat dan sholih, sukakah
engkau bila guru yang telah mendidikmu tidak rela dan tidak mengharap suatu kebaikan atas dirimu?

Wahai anakku, sesungguhnya aku sangat mengharapkanmu agar selalu beramal shalih. Karena itu
bantulah aku menyampaikan kebaikan itu kepadamu dengan cara kamu mentaati dan melaksanakan
akhlak karimah yang kuperintahkan kepadamu.

Wahai anakku, akhlak yg paling baik adalah hiasan bagi insan, baik bagi dirinya dalam bergaul dengan
teman, keluarga dan sanak-saudaranya. Karena itu, jadilah engkau seorang yang memiliki akhlaqul
karimah, tentu setiap orang akan memuliakan dan menyayangimu.

Wahai anakku, bila engkau tidak menghiasi ilmu dengan akhlaq yang mulia, maka ilmu itu akan lebih
membahayakanmu dari pada kebodohanmu. Karena orang yang bodoh dimaafkan karena
kebodohannya dan tiada maaf bagi seorang yang alim (pandai) dihadapan manusia bila tidak menghiasi
diri dengan akhlaq yang baik.

Wahai anakku, jangan engkau hanya menanti saran dan kritik dariku, sesugguhnya mawas diri itu lebih
utama dan lebih besar manfaatnya.

Wahai anakku, Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah mensucikan agama ini (Islam)
karena diri-Nya. Tidak akan suci agamamu kecuali dengan sifat dermawan dan baik budi pekerti. Hiasilah
agamamu dengan keduanya.”(HR. Ath-Thabrani dari Imran bin Husain. Imam As-Suyuthi menyatakan
bahwa hadits ini dha’if).

Guru; Dipuja dan Disia-Sia Sabtu, 24 November 2007 | 14:05 WIB BAGIKAN: Oleh: Irham Sya’roni *
Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru//Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku//Semua
baktimu akan kuukir di dalam hatiku//S’bagai prasasti trima kasihku ‘tuk pengabdianmu//Engkau bagai
pelita dalam kegelapan//Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan//Engkau patriot pahlawan
bangsa, tanpa tanda jasa// Bait yang indah dan selalu dikenang, terlebih setiap 25 November dalam
rangkaian peringatan Hari Guru Nasional. Tak ada yang menampik bahwa lagu ini memang indah.
Sayang, keindahannya tidak berjalan linier dengan nasib penciptanya, Sartono, guru kesenian di SLTP
Kristen Santo Bernandus Madiun, Jawa Timur. Juga nasib mayoritas guru di Indonesia. <> 27 tahun
sudah usia hymne ini. Selama itu pula gelar 'pahlawan tanpa tanda jasa' selalu disandangkan kepada
guru. Di satu sisi gelar ini amat menyanjung, namun di sisi yang lain justru kurang menguntungkan bagi
profesi guru. Pasalnya, seringkali penghargaan yang mereka terima tak lebih dari sekadar pemanis bibir,
sloganistis, dan bernuansa verbalisme. Akibat verbalisme dan sloganisme inilah dunia pendidikan di
Indonesia tak kunjung membaik, bahkan terpuruk. Termasuk di dalamnya adalah keterpurukan nasib
mayoritas guru itu sendiri. Guru dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan
”tulus” tanpa boleh menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya. Kesejahteraan dalam arti luas
bukan hanya persoalan gaji, melainkan lebih dari itu juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan
pangkat, rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesinya, kepastian karier, hubungan
antarpribadi, dan perlindungan hukum. Terkait rasa aman dan perlindungan hukum, kisah Komunitas Air
Mata Guru dapat kita jadikan contoh betapa profesi guru belum sepenuhnya dilindungi dan diberkati
rasa aman. Para guru yang tergabung dalam komunitas tersebut semestinya menerima kalungan medali
karena telah berjasa mengungkap banyak kekurangan dan kecurangan UN 2007 kemarin. Namun, apa
yang terjadi? Mereka justru diintimidasi, diisolasi, bahkan diberi sanksi administratif oleh pihak sekolah
dan juga dinas pendidikan setempat. Sementara terkait rasa nyaman dan perlakuan humanis, “tragedi
insentif di Diknas Sleman” dapat kita jadikan amsal. Dua hari menjelang Idul Fitri 1428 H, para guru
membanjiri Kantor Diknas Sleman untuk mengambil insentif tambahan. Mereka dipaksa menunggu
berdesak-desakan selama berjam-jam (karena jadwal pembagian molor lebih dari dua jam). Saat itulah
pemandangan ironis dipertontonkan. Ada yang bersimpuh (glesotan, klekaran) di lantai sambil
menggendong bayinya, ada pula yang berebut posisi antrian. Sontak suasana menjadi gaduh. Seornag
petugas pembagi insentif berusaha mengondisikan massa (para guru). Dengan nada kelakar ia berteriak,
“Ayo, adik-adik, tenang! Antri yang rapi ya!” Bagi non-Jawa, kalimat ini barangkali tidak begitu mengusik.
Namun, bagi masyarakat Jawa yang memang sensitif, kalimat itu sungguh menyakitkan, merendahkan
martabat. Sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai hak-
hak profesinya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, sebagai sebuah profesi, guru juga harus
menepati kewajiban-kewajibannya secara baik, penuh tanggung jawab, dan profesional. Guru Inspiratif
Pendidikan dan guru laksana dua sisi mata uang, sama-sama penting dan saling bergantung. Pendidikan
yang baik hanya dapat terwujud manakala dilengkapi dengan guru-guru yang berkualitas, kreatif,
berwatak pembebas, berintegritas tinggi, demokratis, dan tidak tertelikung oleh birokrasi pemerintahan
maupun politik. Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan, namun
tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan. Perubahan kurikulum dengan
beragam julukannya --CBSA, KBK, KTSP, atau apa pun sebutannya-- tidak akan membawa perbaikan yang
signifikan manakala manusia dewasa yang bernama guru itu tidak memahami dan menjalankan
profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab. Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara
birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreatifitas mereka. Guru yang
cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekpresi, sehingga ia tidak selalu dalam
bayang-bayang kekhawatiran “salah prosedur” atau menyalahi standar birokrasi. Dalam meneropong
persoalan ini, Ketua Program Magister Manajemen Uinversitas Indonesia Rhenald Kasali mengklasifikasi
guru dalam dua tipe: guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum
dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Yang ia ajarkan
hanyalah sesuatu yang standar (habitual thinking). Sementara tipe kedua bukanlah guru yang mengejar
kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-
muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengelola dan meramunya di dalam, lalu
membawa kembali keluar untuk masyarakat luas. Jika tipe pertama menghasilkan manajer-manajer
yang andal, maka tipe kedua melahirkan pemimpin-pemimpin yang berani merobohkan kebiasaan lama
yang kontraproduktif. Kedua tipe ini sama-sama dibutuhkan, karena salig melengkapi. Tetapi ironisnya,
sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Padahal guru inspiratif amat
menentukan masa depan bangsa agar keluar dari krisis. Ketika guru inspiratif kian dibelenggu dan
dikerangkeng, maka semakin sulit bangsa ini keluar dari krisisnya. Semula kita amat berharap kepada
kurikulum muda yang bernama KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang kemudian berganti baju
menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pada dasarnya kurikulum ini menuntut guru
bertindak aktif-kreatif, bukan sekadar menjadi robot-robot birokrasi. Guru dituntut bisa mendorong
peserta didik untuk sadar akan potensi yang dibawanya, kemudian menemukan pengetahuan dan
menguasai kompetensi-kompetensi tertentu sesuai potensi-potensi tersebut baik di ranah kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Namun, idealisme ini tampaknya hanya ada di angan. Guru tetap saja pasif
dan cenderung taken for granted terhadap pernak-pernik kurikulum yang dititahkan oleh birokrasi
pendidikan. Entah guru yang salah ataukah memang demikian skenario buruk yang dirancang birokrat
untuk mengegolkan “proyek-proyeknya”? Wallahu a'lam Lantas, kreativitas apa yang sudah dimainkan
guru selama ini? Tak lain sekadar melakukan transfer pengetahuan dari dalam buku pelajaran, kemudian
menyimpannya di dalam otak peserta didik, lalu mengeluarkannya manakala ujian digelar. Hasil
pungkasannya adalah angka-angka fantastis di atas selembar ijazah. Semoga momentum 25 November
menjadi tonggak kebangkitan dunia pendidikan kita, sekaligus perbaikan nasib para Oemar Bakrie yang
selalu dikebiri. Di samping juga kebangkitan para guru dalam meningkatkan profesionalismenya. *)
Ketua Forum Kajian Lereng Merapi (For KaLeM) Yon-Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber: https://nu.or.id/opini/guru-dipuja-dan-disia-sia-OZOnZ

https://www.jogloabang.com/pendidikan/pedoman-peringatan-hari-guru-nasional-2021

Anda mungkin juga menyukai