Perjanjian Sewa Beli

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang

dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan
pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu
perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah
jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli.¹ Sewa beli tersebut merupakan suatu perjanjian
yang didasarkan pada “asas kebebasan berkontrak”. Hal tersebut sebagai asas pokok dari
hukum perjanjian yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi: Suatu perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan sepakat bersama kedua pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik Sewa beli merupakan suatu
perjanjian yang dikelompokkan dalam perjanjian tidak bernama (Onbenoemde Contracten).
Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa sistem dalam KUH Perdata memungkinkan para pihak
mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali belum diatur dalam KUH Perdata
maupun peraturan perundang-undangan. J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud
dengan perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya
secara khusus di dalam undang-undang, baik dalam KUH Perdata maupun undangundang
lainnya. Karena belum diatur tersebut maka dalam praktiknya didasarkan pada kebiasaan-
kebiasaan masyarakat dan putusan pengadilan atau yurisprudensi.²

Dalam hal ini maksud dari suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum harta
benda/kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada salah satu
pihak untuk memperoleh prestasi dan mewajibkan pihak lain untuk melaksanakan prestasi.³
Sistem dalam KUH Perdata merupakan sistem terbuka. Artinya, diakui adanya asas kebebasan
berkontrak, seperti dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Berdasarkan asas tersebut, para pihak
dapat mengadakan persetujuanpersetujuan yang sama sekali belum diatur dalam KUH Perdata

¹ Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli,
Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.

² J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. 1992.


maupun undang-undang lain. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak tersebut maka lahirlah
sewa beli sebagai terobosan dari jual beli tunai dan merupakan varian jual beli angsuran.

Dalam hal sewa beli dikelompokkan pada jual beli ataukah sewa-menyewa. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian tersebut merupakan perjanjian campuran di mana
dalam ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis, sehingga
setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada.⁴ Sewa beli ini dalam masa pembayarannya, hak
milik barang masih berada di tangan penjual, sehingga selama pembayaran angsuran dianggap
sebagai sewa, sampai seluruh harga barang dipenuhi baru kepemilikan secara otomatis akan
beralih.

Meskipun antara jual beli tunai dan sewa-menyewa sama-sama diatur dalam KUH Perdata,
tetapi keduanya mempunyai perbedaan yaitu:

a. Pada perjanjian jual beli tunai, hak kepemilikan terhadap suatu barang langsung beralih dari
penjual ke pembeli.

b. Pada perjanjian sewa-menyewa, pihak penjual hanya memberikan kenikmatan atas suatu
barang, tentu saja hal tersebut didasarkan pada imbalan/kontraprestasi berupa pembayaran
sejumlah uang yang telah ditetapkan sebelumnya.

Umumnya sewa beli menggunakan bentuk perjanjian baku (standard form contact) yang
mengikat penjual dan pembeli. Klausul-klausul dalam perjanjian tersebut telah dibuat
sebelumnya oleh pihak penjual tanpa melibatkan pihak pembeli dan pembeli hanya tinggal
menandatanganinya. Pembeli yang membutuhkan kendaraan bermotor harus menerima
klausul-klausul yang telah disiapkan oleh penjual. Dalam perjanjian di mana bentuk, syarat, atau
isi yang dituangkan dalam klausul-klausul telah dibuat secara baku (standard contract) maka
kedudukan hukum (recht positie) pembeli tidak leluasa atau tidak bebas dalam mengutarakan
kehendaknya. Hal ini bisa terjadi karena pembeli tidak mempunyai kekuatan menawar
(bargaining power). Dalam standard form contract, pembeli disodori perjanjian dengan syarat-
¹ Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli,
Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.

² J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. 1992.


syarat yang ditetapkan sendiri oleh penjual, sedangkan pembeli hanya dapat mengajukan
perubahan pada hal-hal tertentu saja, seperti tempat penyerahan barang dan cara
pembayaran, di mana hal ini pun bila dimungkinkan oleh penjual.

Pada umumnya, dalam perjanjian baku, hak-hak penjual lebih menonjol daripada hak-
hak pembeli, karena pada umumnya syarat-syarat atau klausul-klausul bagi pembeli adalah
kewajiban-kewajiban saja, sehingga dengan demikian hak dan kewajiban antara penjual dan
pembeli tidak seimbang. Penjual mempunyai lebih banyak hak dibanding pembeli sedangkan
kewajiban pembeli lebih besar daripada kewajiban penjual.

Perjanjian baku yang ditetapkan satu pihak tersebut, menunjukkan bahwa sewa beli
dalam praktiknya memiliki ciri tersendiri, yaitu upayauntuk memperkuat hak penjual dari segala
kemungkinan terburuk, selama masa kontrak atau sebelum waktu pelunasan angsuran, untuk
kepentingan penjual sendiri. Hal ini yang membuat perjanjian baku yang dipergunakan dalam
sewa beli sering menjadi penyebab utama timbulnya masalah di pihak pembeli.

¹ Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli,
Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.

² J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni. 1992.

Anda mungkin juga menyukai