Shalik - PROPOSAL PENELITIAN

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 71

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT STRES PASIEN KUSTA DENGAN


KEJADIAN REAKSI KUSTA DI RSUP dr. SITANALA
TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan


Program Sarjana Terapan Keperawatan

Disusun Oleh:

ABDUL SHALIK
NIM: P27906121001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANTEN
JURUSAN KEPERAWATAN
TANGERANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga peneliti dapat menyusun proposal
penelitian judul “Hubungan Tingkat Stres Pasien Kusta dengan Kejadian
Reaksi Kusta di RSUP dr. Sitanala Tangerang.”
Penyusunan proposal penelitian ini banyak pihak yang telah membantu,
oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu. Dalam penyusunan proposal penelitian ini tidak terlepas dari
keterbatasan peneliti, untuk itu peneliti sangat mengharapkan masukan, kritik
serta saran demi perbaikan proposal penelitian ini.

Tangerang, Mei 2022

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR SKEMA ......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian........................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian...................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 7
A. Penyakit Kusta.......................................................................... 7
B. Reaksi Kusta.............................................................................. 12
C. Konsep Stres.............................................................................. 19
D. Kerangka Teori.......................................................................... 38
BAB III OPERASIONALISASI PENELITIAN ....................................... 41
A. Kerangka Konsep....................................................................... 41
B. Hipotesa Penelitian..................................................................... 41
C. Definisi Operasional................................................................... 42
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.................................................. 43
A. Desain Penelitian....................................................................... 43
B. Populasi dan Sampel Penelitian................................................ 43
C. Waktu dan Lokasi Penelitian.................................................... 45
D. Instrumen Penelitian.................................................................. 45
E. Cara Pengumpulan Data............................................................ 48

iii
F. Manajemen Pengolahan Data.................................................... 49
G. Analisa Data.............................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 51
LAMPIRAN

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses


Fagositosis..................................................................... 35

Gambar 2.2 Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta.......................... 36

v
DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 2.1 Kerangka Teori.............................................................. 40

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian.......................................... 41

vi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penentuan Klasifikasi atau Tipe Kusta..................... 11


Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian..................... 42

vii
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Penjelasan Penelitian

LAMPIRAN 2. Lembar Persetujuan Responden

LAMPIRAN 3. Kuesioner

viii
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kusta merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium Leprae. Bakteri penyebab kusta ini pertama kali ditemukan

oleh seorang ilmuan Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874,

sehingga penyakit ini sering disebut sebagai Hansen’s disease atau Morbus

Hansen (Kemenkes RI, 2012).

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus

terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan

penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja (Brown dan Burns

dalam Rukua, dkk., 2015). Penyakit kusta banyak ditemukan di negara-negara

berkembang yang pada umumnya masih mengalami keterbatasan dalam

memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan dan tingkat sosial ekonomi

yang rendah. Jumlah penemuan pasien kusta baru didunia sampai tahun 2012

sebanyak 232.857 kasus. Jumlah tersebut tersebar di Asia Tenggara 71%,

Amerika 16%, Afrika 9%, Mediterania 2% dan Pasifik Barat 2%. Indonesia

merupakan penyumbang pasien kusta terbesar ketiga di dunia setelah India

dan Brasil. Jumlah pasien baru yang dilaporkan dari beberapa negara dalam

lima tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, sedangkan di Indonesia

cenderung tetap (WHO, 2014).

Angka penemuan kasus baru kusta di Indonesia selama periode 2008-

2013 merupakan yang terendah pada tahun 2013 yaitu sebesar 0,68 per

1
2

10.000 penduduk, namun belum mencapai target kurang dari 0,5 per 10.000

penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,96

per 10.000 dan telah mencapai target kurang dari 1 per 10.000 penduduk.

Kasus baru kusta dilaporkan pada tahun 2013 sebesar 16.856, lebih rendah

dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994 kasus, 83,4% kasus di

antaranya merupakan tipe multibasiler (Kemenkes RI, 2014).

Angka penemuan kasus baru maupun angka prevalensi kusta terjadi

trend penurunan pada tahun 2013 dikarenakan oleh adanya beberapa kegiatan

atau program preventif yang dilakukan kementerian kesehatan sejak tahun

2010 yaitu kemoprofi laksis di Sampang dan Bima, di mana Indonesia

menjadi pelopor di dunia. Kegiatan ini terdiri dari peningkatan penemuan

kasus secara dini seperti pemeriksaan kontak, kegiatan Rapid Village Survey

(RVS) dan intensifikasi penemuan kasus di lapangan serta pemeriksaan anak

sekolah (Ditjen PP dan PL, 2014).

Penyakit kusta di Propinsi Banten sampai dengan tahun 2012, tercatat

tersebar di 8 kabupaten atau kota dengan jumlah kasus baru 908 (Dinkes

Propinsi Banten, 2012). Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sitanala Tangerang

merupakan salah satu rumah sakit milik Kementerian Kesehatan di wilayah

Kota Tangerang. Data kunjungan pasien ke Poli Kusta RSUP dr. Siotanala

Tangerang perbulan sebanyak 200 pasien (Rekam Medik RSUP dr. Sitanala

Tangerang, 2022).
3

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang

menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan

hanya dari segi medis namun meluas sampai masalah sosial, ekonomi,

budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Penyakit kusta memberikan dampak

atau masalah pada pasien sendiri, keluarga, masyarakat dan negara

(Kemenkes, 2012).

Masalah yang dialami pasien kusta pada umumnya adalah merasa

rendah diri, merasa tertekan batin, takut terhadap keluarga dan masyarakat

sekitarnya, sehingga pasien cenderung untuk hidup menyendiri, apatis (masa

bodoh), bersikap ketergantungan terhadap orang lain, kehilangan peran di

masyarakat (dikucilkan), kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, tidak

mau sekolah (pada anak-anak), segan berobat karena malu pada masyarakat

sekitarnya. Adanya perilaku keluarga dan masyarakat yang cenderung

mengucilkan pasien kusta dapat menyebabkan masalah psikologis pada

pasien kusta (Julia, 2013).

Masalah psikologis merupakan masalah yang paling serius bagi pasien

kusta dari sekian banyak permasalahan yang muncul dengan kondisi

kesehatan yang demikian akan menjadi sumber stressor bagi pasien, sehingga

dapat mempengaruhi konsep dirinya, begitu pula dengan kecacatan yang

timbul akibat dari penyakit ini dapat mempengaruhi citra tubuh (Body Image)

pasien tersebut. Perubahan fisik pada tubuh seseorang dapat menyebabkan

gangguan citra tubuh, di mana identitas dan harga diri juga dapat dipengaruhi,

yang dapat mengganggu identitas dan harga diri seseorang. Pasien kusta
4

sendiri akan merasa rendah diri, merasa tertekan batin, takut menghadapi

keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan mereka kurang wajar. Hal

inilah yang menjadi penyebab terjadinya mekanisme koping yang buruk.

Stres pada pasien kusta akan memperlambat proses penyembuhan (Potter &

Perry, 2014).

Pasien kusta yang mengalami stres emosional akan cenderung

membutuhkan adaptasi yang berat pula. Pada keadaan stres akan mengalami

gangguan umum yang memicu terjadinya reaksi kusta. Reaksi kusta adalah

episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu

reaksi kekebalan baik seluler maupun humoral yang mengakibatkan

kerusakan jaringan. Terdapat 2 tipe reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 atau

reversal reaction (RR) dan tipe 2 atau erythema nodosum leprosum (ENL).

Reaksi tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler terhadap

kuman kusta dikulit dan saraf, yang dapat terjadi pada pasien kusta tipe

Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB). Reaksi tipe 2 merupakan

reaksi humoral dimana basil kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi

antigen yang terjadi pada pasien tipe MB (Mansjoer, et.al., 2013).

Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, terutama selama

pengobatan dan setelah pengobatan (Lockwood, et.al., 2012). Reaksi

merupakan penyebab pokok kerusakan saraf serta kecacatan, terjadi pada

sekitar sepertiga pasien kusta (Dogra, et.al., 2014). Studi kohort yang

dilakukan Sousa, et.al., (2012) memperkirakan bahwa kecacatan yang

disebabkan oleh penyakit kusta berkisar antara 16% s/d 56% utamanya
5

karena reaksi kusta. Pasien kusta yang mengalami kejadian reaksi tipe 1

mempunyai resiko 54,33 kali lebih besar untuk mengalami kecacatan

sedangkan reaksi tipe 2 memiliki resiko 20,67 kali dibandingkan mereka yang

tidak pernah mengalami kejadian reaksi setelah dikontrol variabel pekerjaan

dan tipe kusta (Widarsih, et.al., 2013).

Resiko kejadian reaksi pada pasien kusta MB lebih tinggi

dibandingkan dengan jenis kusta yang lain. Kejadian infeksi penyakit,

trauma, stres mental, vaksinasi, hamil dan melahirkan merupakan pencetus

kejadian reaksi kusta. Perbedaan intensitas paparan merupakan kondisi yang

mendasari terjadinya perbedaan besarnya resiko kejadian reaksi (Antunes,

et.al., 2013)

Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan reaksi pada tubuh

baik secara fisiologis maupun psikologis. Apabila stres tidak cepat

ditanggulangi atau dikelola dengan baik maka dapat berdampak lanjut. Untuk

itu diperlukan peran perawat dalam membantu pasien kusta mengatasi stres

tersebut sehingga rekasi kusta dapat dihindari. Penelitian tentang hubungan

tingkat stres pasien kusta dengan kejadian reaksi kusta belum banyak

dilakukan. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan

tingkat stres pasien kusta dengan kejadian reaksi kusta di RSUP dr. Sitanala

Tangerang.

II. Rumusan Masalah

Masalah psikologis merupakan masalah yang paling serius bagi pasien

kusta dari sekian banyak permasalahan yang muncul dengan kondisi


6

kesehatan yang demikian akan menjadi sumber stressor bagi pasien. Pada

keadaan stres akan mengalami gangguan umum yang memicu terjadianya

reaksi kusta. Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan tingkat stres pasien kusta dengan

kejadian reaksi kusta di RSUP dr. Sitanala Tangerang?

III. Tujuan Penelitian

A. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan tingkat stres pasien kusta dengan

kejadian reaksi kusta di RSUP dr. Sitanala Tangerang.

B. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien kusta di RSUP dr.

Sitanala Tangerang.

2. Untuk mengetahui gambaran tingkat stres pasien kusta di RSUP dr.

Sitanala Tangerang.

3. Untuk mengetahui gambaran kejadian reaksi kusta pada pasien kusta

di RSUP dr. Sitanala Tangerang.

4. Untuk mengetahui hubungan tingkat stres pasien kusta dengan

kejadian reaksi kusta di RSUP dr. Sitanala Tangerang.

IV. Manfaat Penelitian

A. Bagi RSUP dr. Sitanala Tangerang

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan

gambaran tingkat stres pasien kusta dan menjadi masukan bagi perawat
7

di RSUP dr. Sitanala dalam memberikan asuhan keperawatan pada

pasien kusta khususnya pasien kusta yang mengalami stres.

B. Bagi Poltekkes Banten

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna sebagai bahan

pustaka bagi Poltekkes Banten dalam pengembangan riset keperawatan

yaitu hubungan tingkat stres pasien kusta dengan kejadian reaksi kusta.

C. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi landasan pengembangan ilmu

keperawatan, yaitu keperawatan medikal bedah dan keperawatan jiwa.

D. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi

untuk penelitian lain yaitu untuk mengkaji variabel lain di luar model

penelitian ini, sehingga dapat dirumuskan berbagai konsep baru

mengenai hubungan tingkat stres dan reaksi kusta pada pasien kusta.
BAB II

LANDASAN TEORI

I. Penyakit Kusta

A. Pengertian Kusta

Kusta merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium leprae. Bakteri penyebab kusta ini pertama kali

ditemukan oleh seorang ilmuan Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada

tahun 1874, sehingga penyakit ini sering disebut sebagai Hansen’s

disease atau Morbus Hansen (Kemenkes RI, 2012).

Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf

tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran

pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot,

tulang dan testis (Amirudin, 2012).

B. Etiologi Kusta

Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang

ditemukan oleh warganegara Norwegia, Gerhard Armauwer Hansen

pada tahun 1873 dan sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam

media buatan. Kuman Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan

ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat gram

positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai

afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sistem retikulo

8
9

endothelial (Kosasih, et.al., 2017).

C. Masa Inkubasi Kusta

Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40

tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan

pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2 – 3 minggu dan di luar

tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9

hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu

27 – 300 C (Kosasih, et.al., 2017).

D. Diagnosis Kusta

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis,

bakteriologis dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis

merupakan yang terpenting dan paling sederhana. Sebelum diagnosis

klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan klinik

(pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk

menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu

tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu

(Amiruddin, 2012) :

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau

kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi).

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf

(neuritis perifer), bisa berupa:


10

a. Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)

b. Gangguan fungsi motoris (kelemahan otot, kelumpuhan)

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak

d. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan

jaringan kulit (Basil Tahan Asam/BTA positif).

E. Klasifikasi Kusta

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap

selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Dasar klasifikasi

penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu:

Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang terganggu.

Hasil pemeriksaan bakteriologis, yaitu skin smear basil tahan asam

(BTA) positif atau negatif. Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan

bila diagnosis meragukan.

Tujuan klasifikasi/tipe penyakit kusta penting untuk menentukan:

1. Jenis dan lamanya pengobatan penyakit

2. Waktu penderita dinyatakan Release from treatment/RFT

3. Perencanaan logistik

Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang

cukup menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-

Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi WHO. Sebagian besar penetuan

klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan

selular) dan jumlah kuman.


11

Pedoman untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut

WHO adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penentuan Klasifikasi atau Tipe Kusta


Tanda Utama PB MB
Jumlah lesi 1-5 Lebi dari 5
Penebalan Saraf yang Hanya 1 Saraf Lebih dari 1 Saraf
disertai Gangguan Fungsi
Sediaan Apus BTA Positif BTA Negatif
Sumber : Sasakawa Memorial Health Foundation (2014)

F. Pengobatan Kusta (Multi Drug Therapy / MDT)

Obat yang dipakai dalam pengobatan penyakit kusta adalah

(Kemkes, 2012):

1. Diamino Diphenil Sulfon / Dapson (DDS)

Dapson bersifat bakteriostatik atau menghambat pertumbuhan

kuman kusta. Dapson mempunyai efek samping berupa alergi

(manifestasi kulit), anemia hemolitik, gangguan saluran

pencernaan (mual, muntah, tidak nafsu makan), gangguan

persarafan (neuropati perifer, vertigo, sakit kepala, mata kabur).

2. Clofazimin

Clofazimin bersifat bakteriostatik dengan efek samping yaitu

perubahan warna kulit menjadi ungu sampai kehitaman, gangguan

pencernaan berupa mual, muntah, diare dan nyeri lambung.

3. Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid atau membunuh kuman kusta, 99 %

kuman kusta mati dalam satu kali pemberian. Efek samping yang

mungkin terjadi setelah pemberian rifampisin yaitu kerusakan hati,


12

gangguan fungsi hati, air seni warna merah dan munculnya gejala

influenza.

4. Vitamin

Sulfas ferros, untuk penderita yang anemia berat sedangkan

vitamin A, untuk penderita dengan kulit bersisik (iktiosis).

II. Reaksi Kusta

A. Pengertian Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis

penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan baik seluler

maupun humoral yang mengakibatkan kerusakan jaringan (Mansjoer,

et.al., 2013). Reaksi kusta adalah gambaran dari episode akut

hipersensitifitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan

dalam keseimbangan sistem imunologi (Roy dalam Prawoto, 2018).

B. Patogenesis Reaksi Kusta

Meskipun reaksi kusta merupakan manifestasi klinik yang berat,

penyebab pastinya belum diketahui dan patogenesisnya hanya sedikit yang

dapat diterangkan. Pada penderita kusta, Mycobacterium leprae dapat

ditemukan di seluruh tubuh seperti saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Perubahan patologik dari saraf biasanya merupakan respon dari

ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang memunculkan

reaksi imunologi pada penderita. Beberapa penderita mengalami

perluasan lesi dan rekuren yang berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan


13

bertahun-tahun sehingga menjadi kronik (Alencar, et.al., 2017).

Kusta tipe lepromatosa mempunyai dampak paling buruk, hal

ini karena tidak adanya respon imun seluler terhadap antigen

Mycobacterium leprae. Beberapa hipotesis menyatakan tidak adanya

respon imun seluler termasuk kekurangan IL - 1 atau IL - 2,

menurunnya reseptor IL - 2, adanya penekanan makrofag, dampak dari

limfosit T, kekurangan antigen spesifik dari limfosit T dan adanya

blokade reseptor (Fung dalam Prawoto, 2018).

Pada penderita yang menjalani pengobatan MDT, sebanyak

99,9% kuman kusta akan terbunuh. Sisa kuman kusta yang mati atau

pecah akan dibersihkan sistem imun tubuh yang terkadang memicu

terjadinya reaksi kusta. Pengobatan dengan obat anti kusta akan

mencetuskan erythema nodosum leprosum/ENL, karena beredarnya

material antigen dan juga dipengaruhi oleh antibody (anti PGL - 1).

Reaksi kusta tipe I merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hal

ini disebabkan rangsangan kuman patogen secara terus menerus dan

berkelanjutan (Fung dalam Prawoto, 2018).

C. Imunologi Reaksi Kusta

Respon imun pada penyakit kusta meliputi respon imun

humoral atau antibody mediated immunity dan respon imun seluler

atau cell mediated immunity (CMI). Pada respon imun humoral,

tubuh akan memproduksi antibodi untuk menghancurkan antigen yang

masuk. Dengan CMI, bahan asing atau antigen akan memacu


14

produksi sel pertahanan spesifik yang dapat dimobilisasi untuk

menghancurkan antigen dan akan memicu terjadinya reaksi kusta. Sel

pertahanan spesifik adalah limfosit, yang tidak berkemampuan

fagosit. Sedangkan makrofag dapat memakan Mycobacterium leprae.

Pada kusta terdapat respon imun seluler yang merupakan imunitas

protektif, sebanyak 90 % - 95 % manusia mempunyai imunitas ini

dengan berbagai tingkatan. Meskipun respon imun berfungsi sebagai

pertahanan tubuh terhadap bakteri atau antigen, tetapi respon imun

yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi kusta reversal maupun

ENL (Skilicorn, 2017).

Mycobacterium leprae bersifat patogen intraseluler dan dapat

mempengaruhi makrofag serta saraf tepi. Limfosit Th CD - 4 dan

Th1 keduanya dapat memproduksi sitokin yang mengaktifkan

makrofag dan efektif sebagai bagian respon imun seluler. Pada kusta

tipe lepromatosa aktivasi limfosit Th2 mempengaruhi produksi IL - 4

dan IL -10, yang akan menstimulasi respon imun humoral dan

intensitas produksi antibodi limfosit B. Karakteristik respon imun

yang diaktivasi limfosit Th2 oleh IL - 4 dan IL - 10 tidak

menyebabkan formasi dari sel epitel granuloma dan dapat aktifitas

makrofag. Sebanyak 15 % – 50 % kusta tipe lepromatosa berkembang

menjadi ENL. Reaksi ENL berhubungan dengan bakteri yang hancur,

antigen serta intensitas produksi antibodi. Berdasarkan tanda klinis

dan laboratorium, patogenesis ENL belum dapat ditetapkan dengan


15

jelas. Reaksi ENL sering terjadi pada kusta tipe borderline

lepromatous dan lepromatous (Lockwood, et.al., 2012).

Konsentrasi antigen dari bakteri yang tinggi dalam jaringan

akan meningkatkan level antibodi IgM dan IgG pada penderita tipe

lepromatosa. Formasi dan berkurangnya komplek imun serta aktivasi

sistem komplemen dengan meningkatnya mediator inflamasi,

merupakan mekanisme imunopatologi penting pada ENL. Selama

reaksi ENL terjadi penurunan tingkat IgM anti PGL -1 (phenol

glukolipid) yang berasal dari dinding M. leprae. Sesudah penderita

mengalami pemulihan, memacu antibodi IgM membentuk komplek

imun dengan konsentrasi yang berlebihan dari PGL -1 dalam jaringan.

Beratnya ENL disebabkan oleh meningkatnya produksi sitokin oleh

limfosit Th2 sebagai respon imun tubuh untuk mengatasi peradangan.

Sitokin tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interferon gamma

(IFN-γ), merupakan komponen sitokin spesifik pada ENL. Sirkulasi

TNF yang tinggi terjadi pada reaksi ENL, diduga akibat sel

mononuklear pada darah tepi penderita ENL yang dapat meningkatkan

jumlah TNF (Lockwood, et.al., 2012).

Sebaliknya reaksi reversal (RR) merupakan reaksi

hipersensitifitas tipe lambat yang dijumpai pada kusta tipe borderline.

Antigen Mycobacterium leprae muncul pada saraf dan kulit penderita

reaksi tipe ini. Infeksi Mycobacterium leprae akan meningkatkan

ekspresi major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan sel


16

makrofag dan memacu limfosit Th CD – 4 untuk menjadi aktif dalam

membunuh Mycobacterium leprae. Pada studi immunohistochemistry,

terjadi peningkatan bercak TNF pada kulit dan saraf penderita dengan

reaksi kusta tipe I dibandingkan penderita yang tidak mengalami

reaksi kusta (Lockwood, et.al., 2012).

D. Jenis Reaksi Kusta

Terdapat 2 tipe reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 atau reversal

reaction (RR) dan tipe 2 atau erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi

tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler terhadap kuman

kusta dikulit dan saraf, yang dapat terjadi pada penderita kusta tipe

Pausibasiler (PB) maupun Multibasiler (MB). Reaksi tipe 2 merupakan

reaksi humoral dimana basil kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi

antigen yang terjadi pada penderita tipe MB (Mansjoer, et.al., 2013).

E. Diagnosis Reaksi Kusta

Diagnosis reaksi kusta dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

klinis, meliputi pemeriksaan pada lesi kulit, saraf tepi dan keadaan

umum penderita. Pemeriksaan untuk mendiagnosis reaksi kusta

menggunakan formulir pencegahan cacat atau preventions of

disabillity (POD), yang dilakukan setiap satu bulan sekali. Formulir

POD digunakan untuk mencatat dan memonitor fungsi saraf serta

alat untuk mendeteksi dini adanya reaksi kusta. Fungsi saraf utama

yang diperiksa adalah saraf di muka (nervus facialis), tangan (nervus


17

medianus, nervus ulnaris dan nervus radialis) dan di kaki (nervus

peroneus, nervus tibialis posterior). Bila didapatkan tanda klinis

seperti adanya nodul, nodul ulserasi, bercak aktif atau bengkak di

daerah saraf tepi, nyeri tekan saraf, berkurangnya rasa raba dan

kelemahan otot serta adanya lagophalmus dalam 6 bulan terakhir,

berarti penderita sedang mengalami reaksi kusta (Mansjoer, et.al.,

2013).

Cara memeriksa gangguan fungsi saraf dan kelemahan otot

adalah dengan teknik voluntary muscle test (VMT) atau tes kekuatan

otot dan untuk memeriksa berkurangnya rasa raba dilakukan

sensitivity test (ST) atau tes rasa raba (PLKN 2002 dalam Prawoto,

2018).

F. Pengobatan Reaksi Kusta

Pengobatan reaksi kusta (Prawoto, 2018):

1. Prinsip Pengobatan Reaksi

a. Istirahat/imobilisasi

b. Pemberian analgetik/sedatif

c. Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat

d. MDT diteruskan dengan dosis tidak berubah

2. Pengobatan Reaksi Ringan

a. Berobat jalan dan istirahat di rumah

b. Pemberian analgetik dan sedatif bila perlu

c. Reaksi kusta ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6


18

minggu harus diobati sebagai reaksi kusta berat

3. Pengobatan Reaksi Berat

a. Pemberian prednison

b. Pemberian analgetik, bila perlu sedative

c. Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin

d. Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit

4. Skema Pemberian Prednison

a. Pada Orang Dewasa (Diberikan Pagi Hari Sehabis Makan)

Dua minggu I : 40 mg / hari

Dua minggu II : 30 mg / hari

Dua minggu III : 20 mg / hari

Dua minggu IV : 15 mg / hari

Dua minggu V : 10 mg / hari

Dua minggu VI : 5 mg / hari

b. Pada Anak-anak

Prednison untuk penderita reaksi kusta anak diberikan dengan

dosis awal maksimal 1 mg / kg BB, kemudian setiap 2 minggu

dievaluasi untuk penurunan dosis dengan lama pengobatan

minimal 2 minggu.

5. Pengobatan Reaksi Tipe II Berulang

Pengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain prednison, perlu

ditambahkan clofazimin dengan dosis dewasa sebagai berikut :

Selama 2 bulan : 3 X 100 mg / hari


19

Selama 2 bulan : 2 X 100 mg / hari

Selama 2 bulan : 1 X 100 mg / hari

III. Konsep Stres

A. Pengertian Stres

Stres adalah segala situasi berupa tuntutan non-spesifik

mengharuskan seseorang individu untuk berespon dan melakukan

tindakan (Selye dalam Potter & Perry, 2014). Stres dapat mengganggu

cara seseorang dalam menyerap realitas, menyelesaikan masalah,

berpikir secara umum; dan hubungan seseorang dan rasa memiliki.

Selain itu stres dapat mengganggu pandangan umum seseorang terhadap

hidup, sikap yang ditunjukkan kepada orang yang disayangi, dan status

kesehatan (Potter & Perry, 2014).

Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan

oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi oleh

lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut.

Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial atau

terhadap tekanan mental atau beban kehidupan (Hawari, 2016).

B. Komponen-Komponen Pemicu Stres

Taylor (2013) mengelompokkan beberapa hal yang memicu

timbulnya suatu peristiwa yang menegangkan, diantaranya yaitu :

1. Negative Events
20

Banyak peristiwa yang berpotensi untuk menjadi suatu tekanan

maupun ketegangan, terutama untuk persitiwa-peritiwa yang negatif.

Pada peristiwa-peristiwa negatif menunjukkan hubungan yang kuat

antara gangguan fisik dan kondisi psikologis seseorang saat berada

pada keadaan yang sulit. Dengan demikian, saat peristiwa negatif

terjadi hal tersebut sangat berpotensi mempengaruhi kondisi

psikologis dan kesehatan seseorang.

2. Uncontrollable Events

Uncontrollable Events atau kejadian yang tidak terkendali, seperti

yang sering terjadi misalnya kebisingan, keramaian, atau kegelisahan

tampaknya menjadi hal yang tak terpisahkan dengan tekanan yang

terjadi pada diri seseorang. Suatu penelitian menemukan, untuk dapat

mengantisipasi kejadian yang menegangkan atau hal yang mengarah

pada stres salah satunya yaitu dengan mengendalikan dan

kesanggupan menyesuaikan diri terhadap kejadian negatif yang

berlangsung.

3. Ambiguous Events

Peristiwa ambigu merupakan kejadian yang tidak terprediksi

sebelumnya yang membuat individu tidak memiliki kesempatan

untuk melakukan suatu tindakan antisipasi. Pada akhirnya yang dapat

dilakukan seseorang pada kejadian tersebut ialah mengerahkan

kemampuannya untuk dapat memahami situasi yang sedang terjadi,


21

namun hal tersebut justru menjadi sumber pelemahan tugas atau

aktifitasnya.

4. Overload

Orang dengan beban yang terlalu berat lebih merasa tertekan daripada

orang dengan beban yang lebih sedikit. Orang-orang yang memiliki

tugas terlalu banyak dikehidupannya melaporkan mengalami stres

dengan level yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang

mempunyai tugas lebih sedikit.

C. Klasifikasi Tingkatan Stres

Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda

terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,

pengalaman dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi

keluarga, tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan

stres serta mekanisme koping (Purwati, 2012).

Berdasarkan Psychology Foundation of Australia (2015), ditemukan

tingkatan stres menjadi lima bagian:

1. Stres Normal

Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian

alamiah dari kehidupan. Seperti dalam situasi: kelelahan setelah

mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian, merasakan detak jantung

berdetak lebih keras setelah aktifitas. Stres normal merupakan suatu hal

alamiah dan menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah

mengalami stres (Crowford & Henry, 2013).


22

2. Stres Ringan

Stres ringan merupakan stresor yang dihadapi secara teratur yang dapat

berlangsung beberapa menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur,

kemacetan atau dimarahi dosen. Stresor ini dapat menimbulkan gejala,

antara lain bibir sering kering, kesulitan bernafas (sering terengah-

engah), kesulitan menelan, merasa goyah, merasa lemas, berkeringat

berlebihan ketika temperatur tidak panas dan tidak dalam beraktifitas,

takut tanpa alasan yang tidak jelas, menyadari denyut jantung walaupun

tidak setelah melakukan aktifitas, tremor pada tangan, dan merasa sangat

lega jika situasi berakhir (Psychology Foundation of Australia, 2015).

3. Stres Sedang

Stres ini terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa hari.

Misalnya, masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan

teman atau pacar. Stresor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain

mudah marah, bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi, sulit untuk

beristirahat, merasa lelah karena cemas, tidak sabar ketika mengalami

penundaan dan menghadapi gangguan terhadap hal yang sedang

dilakukan, mudah tersinggung, gelisah, dan tidak dapat memaklumi hal

apapun yang menghalangi ketika sedang mengerjakan suatu hal

(Psychology Foundation of Australia, 2015).

4. Stres Parah

Stres parah adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa

minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan dengan dosen atau


23

teman secara terus-menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan,

dan penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan lama situasi stres,

makin tinggi resiko stres yang ditimbulkan. Stresor ini dapat

menimbulkan gejala antara lain merasa tidak dapat merasakan perasaan

positif, merasa tidak kuat lagi untuk melakukan suatu kegiatan, merasa

tidak ada hal yang dapat diharapkan di masa depan, sedih dan tertekan,

putus asa, kehilangan minat akan segala hal, merasa tidak berharga

sebagai seorang manusia, berfikir bahwa hidup tidak bermanfaat.

Semakin meningkat stres yang dialami seorang secara bertahap maka

akan menurunkan energi dan respon adaptif (Psychology Foundation of

Australia, 2015).

5. Stres Sangat Parah

Stres sangat parah adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam

beberapa bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang

yang mengalami stres sangat parah tidak memiliki motivasi untuk hidup

dan cenderung pasrah. Seseorang dalam tingkatan stres ini biasanya

teridentifikasi mengalami depresi berat.

D. Faktor yang Mempengaruhi Stres

Dengan menggunakan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan

Laria (2016), faktor pengaruh terjadinya stres dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Faktor Predisposisi

a. Faktor biologik
24

Stres dapat diakibatkan oleh gangguan perkembangan saraf otak

seperti genetika, neurobiologik, neurotransmitter, dan asam amino

yang beraneka ragam. Yang dapat mempengaruhi stres yang lihat

dari: faktor keturunan, status nutrisi, penyakit atau cidera kesehatan,

perkembangan. Tingkat perkembangan pada individu dapat

mempengaruhi respon tubuh dimana semakin matang dalam

perkembangannya, maka semakin baik pula kemampuan untuk

mengatasinya.

b. Faktor psikologik

Pada saat tidak teridentifikasi penyebab biologik dari stres maka

faktor-faktor psikologi, sosiologi, dan pengaruh lingkungan menjadi

fokus dari psikodinamika terjadinya gangguan. Diduga gangguan

dapat terjadi akibat karakter yang salah dari keluarga atau individu.

Faktor psikologi itu sendiri meliputi: kemampuan verbal,

pengetahuan moral, personal terhadap dirinya sendiri,

dorongan/motivasi, trauma.

c. Faktor sosial kultural dan lingkungan

Faktor sosial budaya meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, agama, keluarga,

masalah hokum, keuangan, lingkungan, masalah orang tua,

perkawinan serta pengetahuan (Hawari, 2016).

2. Faktor Presipitasi
25

Stresor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu

sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan dan yang dapat membutuhkan

energi ekstra untuk koping yang terdiri dari:

a. Sifat yaitu bagaimana individu menghadapi tantangan atau ancaman

baik yang datang dari internal maupun eksternal. Sifat stresor

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap

stresor. Sifat stresor ini dapat berupa tiba-tiba atau berangsur-angsur,

sifat ini pada setiap individu dapat berbeda tergantung dari

pemahaman tentang arti stresor.

b. Asal yaitu ancaman atau tantangan berasal dari keluarga atau

lingkungan.

c. Waktu yaitu kapan waktu ancaman atau tantangan datang yang dapat

mengancam individu. Lamanya stresor yang dialami pasien akan

mempengaruhi respon tubuh. Apabila stresor yang dialami lebih

lama, maka respon yang dialaminya juga akan lebih lama dan dapat

mempengaruhi dari fungsi tubuh yang lain.

d. Jumlah yaitu berapa banyak jumlah ancaman yang datang. Jumlah

stresor yang dialami seseorang dapat menentukan respon tubuh.

Semakin banyak stresor yang dialami pada seseorang, dapat

menimbulkan dampak yang besar bagi fungsi tubuh juga sebaliknya

dengan jumlah stresor yang dialami banyak dan kemampuan adaptasi

baik, maka seseorang akan memiliki kemampuan dalam

mengatasinya.
26

E. Penilaian Terhadap Stresor

Penilaian terhadap stresor atau respon terhadap stresor yaitu evaluasi

tentang makna stresor bagi seorang individu yang di dalam stresor tersebut

memiliki arti, intensitas dan kepentingan, penilaian atau respon tersebut

antara lain sebagai berikut (Stuart & Laraia, 2016):

1. Kognitif, respon yang ditandai dengan gangguan daya ingat

(menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal), perhatian dan

konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam

melakukan suatu hal.

2. Afektif, respon yang ditunjukan berupa mudah marah, kecemasan yang

berlebihan terhadap segala sesuatu, cemas, gelisah, mudah menangis,

depresi, putus asa dan ide bunuh diri.

3. Fisiologis, ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang

sedang mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang

berlebihan, gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, maag, mual,

muntah, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat

yang berlebihan di seluruh tubuh, jantung berdebar-debar, keringat

dingin, lesu, letih, kaku leher belakang sampai punggung, nyeri dada,

rasa tersumbat di kerongkongan, gangguan psikoseksual, gangguan

menstruasi (amenorhea), keputihan, kegagalan ovulasi pada wanita,

gairah seks menurun, kejang-kejang dan pingsan. Gejala fisiologis lain

menurut Potter dan Perry (2014) diantaranya peningkatan tekanan darah,

peningkatan ketegangan otot di leher, bahu dan punggung, peningkatan


27

denyut nadi dan frekuensi pernafasan, telapak tangan berkeringat, postur

tubuh tidak tegap, suara bernada tinggi, diare, mual, muntah, perubahan

frekuensi berkemih, susah tidur dan dilatasi pupil.

4. Perilaku, berupa tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang

mengalami stres pada aspek gejala perilaku antara lain suka melanggar

norma karena tidak bisa mengontrol perbuatannya kurang koordinasi

dan suka melakukan penundaan pekerjaan. Gejala perilaku lain menurut

Potter dan Perry (2014) adalah ansietas, depresi, perubahan dalam pola

aktifitas, kehilangan harga diri, kehilangan motivasi, penurunan

produktivitas, kecenderungan untuk berbuat kesalahan, mudah lupa dan

sulit berkonsentrasi.

5. Sosial, ditandai dengan mudah menyalahkan orang lain dan mencari

kesalahan orang lain dan bersikap tak acuh pada lingkungan

F. Adaptasi Stres

Ketika seseorang mengalami stres, seseorang tersebut menggunakan

energi fisiologis, psikologis, sosial budaya, dan spiritual untuk beradaptasi.

Jumlah energi yang dibutuhkan dan efektivitas upaya adaptasi tersebut

bergantung pada intensitas, lingkup dan jangka waktu stresor serta jumlah

stresor lainnya.

1. Adaptasi fisiologis

Riset klasik yang dilakukan Seyle (dalam Potter & Perry, 2014),

membagi adaptasi fisiologis menjadi sindrom adaptasi lokal (local


28

adaptation syndrome- LAS) dan sindrom adaptasi umum (general

adaptation syndrome- GAS).

a. LAS (Local Adaptation Syndrome)

LAS merupakan proses adaptasi yang bersifat lokal, misalnya ketika

daerah tubuh atau kulit terkena infeksi, maka daerah sekitar kulit

tersebut akan menjadi kemerahan, bengkak, terasa nyeri, panas, kram,

dan lain-lain.

Ciri-ciri LAS adalah sebagai berikut:

1) Bersifat lokal, yaitu tidak melibatkan keseluruhan sistem.

2) Bersifat adaptif, yaitu diperlukan stresor untuk menstimulasinya.

3) Bersifat jangka pendek, yaitu tidak berlangsung selamanya.

4) Bersifat restoratif, yaitu membantu memperbaiki homeostasis

daerah atau bagian tubuh.

b. GAS (General Adaptation Syndrome)

GAS adalah proses adaptasi yang bersifat umum atau sistemik.

Misalnya, apabila reaksi lokal tidak dapat diatasi, maka timbul

gangguan sistem atau seluruh tubuh lainnya berupa panas diseluruh

tubuh, berkeringat dan lain-lain. GAS terdiri dari tiga tahap, yaitu:

1) Tahap reaksi alarm. Merupakan tahap awal dari proses adaptasi,

yaitu dimana individu siap mengahadapi stresor yang akan masuk

ke dalam tubuh. Tahap ini dapat diawali dengan kesiagaan yang

ditandai dengan perubahan fisiologis pengaturan hormon oleh

hipotalamus, yang dapat menyebabkan kelenjar adrenal


29

mengeluarkan adrenalin, yang selanjutnya memacu denyut jantung

dan menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dangkal.

Kemudian, hipotalamus melepaskan hormon ACTH (hormon

adrenokortikotropik) yang dapat merangsang adrenal untuk

mengeluarkan kortikoid yang akan mempengarui berbagai fungsi

tubuh. Aktifitas hormonal yang ekstensif tersebut mempersiapkan

seseorang untuk fight-or-fight.

2) Tahap resistensi. Pada tahap ini tubuh sudah mulai stabil, tingkat

hormon, tekanan darah, dan output jantung kembali ke normal.

Individu berupaya beradaptasi dengan stresor. Jika stres dapat

diselesaikan, tubuh akan memperbaiki kerusakan yang mungkin

telah terjadi. Namun stresor tidak hilang, maka ia akan memasuki

tahap ketiga.

3) Tahap kelelahan. Tahap ini ditandai dengan terjadinya kelelahan

karena tubuh tidak mampu menanggung stres dan habisnya energi

yang diperlukan untuk beradaptasi. Tubuh tidak mampu

melindungi dirinya sendiri menghadapi stresor, regulasi fiiologis

menurun, dan jika stres terus berlanjut dapat menyebabkan

kematian.

2. Adaptasi psikologis

Adaptasi ini merupakan penyesuaian secara psikologis dengan cara

melakukan mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi atau

bertahan dari hal yang tidak menyenangkan. Adaptasi psikologis bisa


30

bersifat komunikatif dan destruktif. Perilaku yang konstruktif membantu

individu menerima tantangan untuk memecahkan konflik. Bahkan rasa

cemas bisa menjadi konstruktif, jika dapat memberi sinyal adanya suatu

ancaman sehingga individu mengambil langkah-langkah untuk

mengurangi dampaknya. Perilaku destruktif tidak membantu individu

mengatasi stresor. Bagi sebagian orang, penggunaan alkohol dan obat-

obatan mungkin tampak seperti perilaku adaptif, namun kenyatannya

justru menambah dan bukannya mengurangi stres. Perilaku adaptasi

psikologis juga mengacu pada mekanisme koping (coping mekhanism)

yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan mekanisme pertahanan

diri (ego oriented).

a. Reaksi yang berorientasi pada tugas.

Reaksi ini melibatkan penggunaan kemampuan kognitif untuk

mengurangi stres dan memecahkan masalah. Terdapat tiga perilaku

yang umum:

1) Menyerang, yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stresor,

atau memenuhi kebutuhan, misalnya berkonsultasi dengan orang

yang ahli.

2) Menarik diri dari stresor secara fisik ataupun emosi.

3) Berkompromi, yaitu mengubah metode yang biasa digunakan,

mengganti tujuan dan sebagainya.

b. Reaksi yang berorientasi pada ego.


31

Reaksi ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan diri secara

psikologis untuk mencegah gangguan psikologis yang lebih dalam.

Mekanisme pertahanan diri tersebut antara lain sebagai berikut:

1) Rasionalisasi

Berusaha memberikan alasan yang rasional sehingga masalah yang

dihadapinya dapat teratasi.

2) Pengalihan

Upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukan

pengalihan tingkah laku pada objek lain, contohnya, jika seorang

terganggu akibat situasi gaduh yang disebabkan oleh temannya,

maka ia berupaya menyalahkan temannya tersebut.

3) Kompensasi

Mengatasi masalah dengan mencari kepuasan pada keadaan lain.

Misalnya, seorang memiliki masalah karena menurunnya daya

ingat, maka disisi lain orang tersebut berusaha menonjolkan bakat

melukis yang dimilikinya

4) Identifikasi

Meniru perilaku orang lain dan berusaha mengikuti sifat

karakteristik dan tindakan orang tersebut.

5) Represi
32

Mencoba menghilangkan pikiran masa lalu yang buruk dengan

melupakan atau menahannya di alam bawah sadar dan dengan

sengaja melupakannya.

6) Penyangkalan

Upaya pertahanan diri dengan cara menyangkal masalah yang

dihadapinya. Misalnya, menolak kenyataan bahwa pasangan sudah

meninggal dunia dengan cara tetap melakukan rutinitas seolah-

olah pasangan masih ada.

3. Adaptasi sosial budaya

Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan norma yang

berlaku dimasyarakat, misalnya seorang yang tinggal dalam lingkungan

masyarakat dengan budaya gotong royong akan berupaya beradaptasi

dengan lingkungan tersebut.

4. Adaptasi spiritual

Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang

didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan

agama yang dianutnya.

G. Pengukuran Tingkat Stres

Instrumen memiliki peran penting dalam sebuah penelitian. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan instrumen Depression Anxiety Stres

Scale (DASS 42) untuk alat ukur tingkat stres. DASS adalah seperangkat

skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari
33

depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk

mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk

proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang

berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya

digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok

atau individu untuk tujuan penelitian. Alat ukur ini terdiri dari 42 item

pertanyaan yang masing-masing dinilai sesuai dengan intensitas kejadian.

Kuesioner DASS 42 bersifat umum dan dapat digunakan pada responden

remaja ataupun dewasa. Terdiri dari tiga skala yang didesain untuk

mengukur tiga jenis keadaan emosional, yaitu depresi, kecemasan, dan stres

pada seseorang. Setiap skala terdiri dari 14 pertanyaan. Skala untuk stres

dinilai dari nomor 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

Responden menjawab setiap pertanyaan yang ada. Setiap pertanyaan dinilai

dengan nilai antara 0-3 (Putra, dkk., 2013).

Setiap pertanyaan terdiri dari 4 penilaian yaitu 0 = tidak pernah, 1 =

kadang-kadang, 2 sering dan 3 = selalu, dengan skor: 1) normal = 0-14; 2)

stres ringan = 15-18; 3) stres sedang = 19- 25; 4) stres parah = 26-33; 5) stres

sangat parah ≥ 34. Nilai reliabilitas kuesioner DASS 42 ini menghasilkan

nilai p = 0,847 (Putra, dkk., 2013).

H. Patogenesis Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta

Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat

ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit

kusta dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas
34

pejamu terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan

mengakibatkan peningkatan produksi reactive oxygen species (ROS) pada

penderita kusta (Prabhakar, dkk., 2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam,

2013).

Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada

pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme

pertahanan utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas

terutama makrofag, limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi,

pelepasan dan modulasi reaksi imunitas seluler (Prabhakar, dkk., 2012).

Makrofag merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M.

leprae. Sel-sel fagosit seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T

dan B memiliki enzim Nikotinamid Adenin Dinukleotid Phosfat (NADPH)

oksidase yang bertanggung jawab pada produksi reactive oxygen species

(ROS) saat terjadinya stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M.

leprae atau komponen dinding selnya melalui Toll Like Receptor (TLR),

ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor kappa B (NF-κB) yang

akan menginduksi pelepasan sitokin seperti Tumor Necrosis Factor/TNF-α,

Intereleukin/IL-1, IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan

terjadinya inflamasi dan menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan

mengaktivasi sel T dan menginduksi pelepasan Interfero Gamma/IFN γ yang

selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit oksidase (NADPH oksidase)

sehingga terjadi pelepasan reactive oxygen species (ROS) seperti superoksid,


35

radikal hidroksil dan hidrogen peroksida (Rahal, dkk., 2014; Hart dan

Tapping, 2012; Abbas, dkk., 2015).

Reactive oxygen species (ROS) yang terbentuk dapat berdifusi dari

tempat terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan

lipid sehingga terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta

kerusakan jaringan. Adanya kerusakan jaringan akan ditandai oleh

peningkatan biomarker stres oksidatif termasuk

Methylenedioxyamphetamine/MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid.

Reactive oxygen species yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan

kerusakan saraf pada penyakit kusta sehingga berhubungan dengan

manifestasi klinis penyakit.

Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam

memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana

peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB,

menunjukkan peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi

gen proinflamasi dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner

dan Yilmaz, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh King, dkk., yang

menstimulasi sel mononuklear perifer dengan ROS, menemukan adanya

Methylenedioxyamphetamine/MDA dan Hydroxynonenal/HNE sebagai hasil

dari peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th (T

helper) menuju fenotip kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel

limfosit T (Bennet dan Griffiths, 2013).

Gambar 2.1 Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis


36

(Sumber : Abbas, dkk., 2015)

Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga

masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena

inhibisi enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan

karena regresi gen Superoxide Dismutase/SOD pada tingkat Deoxyribo

Nucleic Acid/DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa

lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu

Phenolic Glycolipid/PGL-1 yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat

berikatan dengan enzim SOD sehingga menghambat aktifitas SOD dan

mengakibatkan down-regulasi ekspresi gen SOD pada sel darah merah dan

makrofag (Swathi & Tagore, 2015; Schalcher, dkk., 2013).


37

Gambar 2.2 Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta

(Sumber: Vazques, dkk., 2014)

Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada

kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan

karena utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk

pertahanan hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim

seperti Superoxide Dismutase/SOD (Swathi & Tagore, 2015).

I. Tingkat Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta

Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada

penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui

pengukuran kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang

merupakan produk stabil NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik

seperti SOD, katalase atau GSH, atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti

vitamin A, vitamin C, dan vitamin E, serta melalui pengukuran biomarker

kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA (Dalle –Donne, 2006 dalam

Oematan, 2016).
38

Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan, dkk., di India pada

tahun 2013 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan

enzimatik seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase

dan glutation-s-transferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan

kontrol yang sehat. Penelitian lain oleh Garad, dkk. (2014) mengenai

peroksidasi lipid juga menemukan adanya peningkatan MDA secara

signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol serta lebih tinggi pada

kusta tipe MB dibanding PB. Pada penelitian ini juga ditemukan penurunan

kadar antioksidan thiol pada penderita kusta terutama tipe MB dibanding

kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses, dkk. (2014) yang menggunakan

sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada penderita kusta

dibanding kontrol.

Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya

dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang

sudah mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release

from treatment/RFT). Penelitian oleh Prabhakar, dkk., tahun 2012 pada

penderita kusta tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan

kadar SOD, glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar

MDA secara signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol.

Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya

tingkat stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun

beberapa penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh

Schalcer pada tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta
39

sebelum mendapat terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang

tidak berbeda antara penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD

ditemukan mengalami penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat.

Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher, dkk., pada tahun

2013 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang

sudah mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak

berbeda secara signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum

maupun setelah mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun

pada pasien kusta dan penurunan ini ditemukan menetap setelah

mendapatkan terapi MDT.

J. Hubungan Stres dengan Reaksi Kusta

Penelitian yang dilakukan oleh Oxy dan Rizal di Pekalongan tahun

2013 didapatkan bahwa dari 36 responden, 13 (36,1%) responden mengalami

kecemasan ringan, 14 (38,9%) responden mengalami kecemasan sedang, dan

9 (25,0%) responden mengalami kecemasan berat. Kejadian reaksi kusta

sangat berhubungan dengan kecacatan, sebagaimana hasil penelitian Dyah,

dkk. (2013) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian reaksi

baik tipe 1 maupun tipe 2 dengan kecacatan pada penderita kusta (p=0,000)

dengan nilai RR=54,33 pada reaksi tipe 1 dan RR=20,67 pada reaksi tipe 2.

Terdapat variabel confounding yaitu pekerjaan (RR=12,45, p=0,001) dan tipe

kusta (RR=3,96, p=0,047).

Penderita kusta yang mengalami kejadian reaksi tipe 1 mempunyai

resiko 54,33 kali lebih besar untuk mengalami kecacatan sedangkan reaksi
40

tipe 2 memiliki resiko 20,67 kali dibandingkan mereka yang tidak pernah

mengalami kejadian reaksi setelah dikontrol variabel pekerjaan dan tipe

kusta (Widarsih, et.al., 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Julia (2013) didapatkan hasil analisis

menunjukkan bahwa pasien kusta yang mengalami stres berat menunjukkan

54,3% dan mengalami rekasi kusta berat menunjukan 54,3% lebih besar

persentasenya dibanding dengan pasien yang mengalami stres ringan dan

reaksi kusta ringan. Hasil analisis Chi-Square didapatkan nilai 0,000 yang

berarti terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan

kejadian reaksi kusta.

IV. Kerangka Teori

Pada penelitian ini terjadinya reaksi kusta tidak hanya disebabkan

oleh paparan faktor resiko saja, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh faktor

lain baik agent, host maupun environment. Berdasarkan tinjauan teori

sebelumnya, kerangka teori pada penelitian ini dapat dilihat pada skema

berikut :
41

Skema 2.1 Kerangka Teori

Pasien Kusta

Status Status Klinis


Karakteristik Pengobatan
Individu

Perubahan Penyakit
Hormonal Infeksi Lain
Stress
Antigen
M.leprae

Respon Respon Respon


Seluler Imunologis Humoral

Reaksi Kusta

(Modifikasi dari berbagai sumber: Garad, dkk. (2014); Meneses dkk. (2014);
Prabhakar, dkk. (2012); Schalcer (2013); Oxy dan Rizal (2013); Dyah, dkk. (2013);
Prawoto (2018))

Keterangan :

: variabel lain yang tidak diteliti

: variabel yang diteliti


BAB III

OPERASIONALISASI PENELITIAN

I. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-

konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang

akan dilakukan (Notoatmodjo, 2015). Kerangka konsep dalam penelitian ini

terdiri dari variabel independen yaitu tingkat stres pasien kusta, sedangkan

variabel dependen reaksi kusta dapat dilihat dalam bentuk skema kerangka

konsep dibawah ini :

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Stres Pasien


Reaksi Kusta
Kusta

II. Hipotesa Penelitian

Hipotesa disusun sebelum penelitian dilaksanakan karena hipotesa

dapat memberikan petunjuk pada tahapan pengumpulan, analisis, dan

interpretasi data. Uji hipotesa artinya menyimpulkan suatu ilmu melalui suatu

pengujian dan pernyataan secara ilmiah atau hubungan yang telah

dilaksanakan penelitian sebelumnya. Berdasarkan skema kerangka konsep

penelitian ini, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah apakah ada

hubungan antara tingkat stres dengan kejadian reaksi kusta.

42
43

III. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian


Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Independen
Tingkat Respon fisiologis, Kuesioner Dikategorikan : Ordinal
Stres psikologis dan Depression Anxiety 1. normal
emosional yang Stress Scale (DASS = 0-14
ditunjukan oleh 42). 2. stres ringan
pasien kusta. Cara Ukur : = 15-18
Mengajukan 3. stres sedang
pertanyaan dengan = 19- 25
pilihan jawaban 4. stres parah
menggunakan skala = 26-33
likert (4 kriteria 5. stres sangat
jawaban) : parah ≥ 34
0 : Tidak ada atau
tidak pernah. (Putra, dkk.,
1 : Sesuai dengan 2013)
yang dialami
sampai tingkat
tertentu, atau
kadang-kadang.
2 : Sering.
3 : Sangat sesuai
dengan yang
dialami, atau
hampir setiap saat.

Dependen
Reaksi Responden yang Kuesioner dan Form Dikategorikan : Ordinal
Kusta mengalami reaksi Checklist. 1. Reaksi
kusta baik tipe I (re- ringan
Cara Ukur :
versal) maupun tipe 2. Reaksi berat
II (ENL) Menanyakan ke
responden
dikonfirmasi dengan
kartu Pasien dan
menanyakan ke
petugas di Poli Kusta
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

I. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kuantitatif

dengan rancangan penelitian deskriptif korelasional menggunakan metode

analitik dengan pendekatan cross sectional yang artinya, tiap subyek

penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap

status karakter atau variabel subyek pemeriksaan (Notoatmodjo, 2015).

Deskriptif korelasional yaitu penelitian yang dilakukan oleh peneliti

untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih, tanpa

melakukan perubahan, tambahan atau manipulasi terhadap data yang memang

sudah ada. Dalam penelitian ini akan diidentifikasi hubungan antara tingkat

stres pasien kusta dengan kejadian reaksi kusta.

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran

yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2015). Variabel dalam penelitian ini:

A. Variabel bebas (independent) adalah tingkat stres.

B. Variabel terikat (dependent) adalah kejadian reaksi kusta.

II. Populasi dan Sampel Penelitian

A. Populasi Penelitian

Populasi adalah setiap obyek yang mempunyai kuantitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2014).

44
45

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien kusta yang berkunjung ke

Poli Kusta RSUP dr. Sitanala Tangerang sebanyak 200 pasien dalam

sebulan di tahun 2022.

B. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling

tertentu untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam, 2013).

Sampel penelitian ini adalah pasien kusta yang berkunjung ke Poli Kusta

RSUP dr. Sitanala Tangerang. Besaran sampel menggunakan rumus

Yamane (1967) dalam Sugiyono (2019) karena jumlah populasi telah

diketahui, dengan perhitungan sebagai berikut:

N
n=
1+N .e2
Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

e = Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diinginkan (0,05)

Dengan menggunakan rumus di atas maka dapat ditentukan jumlah

sampel yang dibutuhkan, yaitu :

n = __ 200____
1+200 (0,05)2
= __200__
1,5
= 133,3

dibulatkan menjadi 134 responden (pasien kusta).


46

Teknik sampling dalam penelitian ini adalah menggunakan

purposive sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan

dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun

waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi atau

pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel

yang diperlukan (Notoatmodjo, 2015). Persyaratan atau kriteria yang

diambil dalam penelitian ini meliputi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi adalah karateristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. Kriteria eksklusi

adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang memenuhi

kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2013).

1. Kriteria Inklusi :

a. Pasien dengan reaksi kusta yang sudah didiagnosis oleh dokter

kulit.

b. Penderita kusta, baik yang dalam pengobatan maupun belum

pengobatan atau yang sudah RFT.

c. Bersedia menjadi responden penelitian.

2. Kriteria Eksklusi :

Pasien kusta dalam kondisi sakit berat.

III. Waktu dan Tempat Penelitian


Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2022.
Tempat penelitian akan dilakukan di Poli Kusta RSUP dr. Sitanala
Tangerang.

IV. Instrumen Penelitian


47

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan

hasilnya lebih baik, dalam arti cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih

mudah diolah. Angket yang dipakai adalah angket terstruktur, dimana

jawaban telah tersedia dan responden tinggal memilih alternatif jawaban

sehingga data mudah untuk diolah dan dianalisa untuk dibuat kesimpulan.

A. Kuesioner Karakteristik/Demografi
Kuesioner ini berisi karakteristik responden meliputi umur, jenis
kelamin, pekerjaan dan pendidikan.

B. Kuesioner Reaksi Kusta

Kuesioner ini berisi berbagai pernyataan yang mungkin sesuai

dengan pengalaman pasien kusta dalam menghadapi situasi hidup sehari-

hari. Terdapat empat pilihan jawaban TP (Tidak Pernah), KK (Kadang-

kadang), SR (Sering), dan SL (Selalu). Dikategorikan berdasarkan

penelitian Julia (2013), jika reaksi ringan (skor < 50%) dan reaksi berat

( ≥ 50 %), kuesioner ini dikonfirmasi dengan kartu pasien dan perawat di

Poli Kusta.

C. Kuesioner Stres

Dalam penelitian ini instrumen untuk variabel tingkat stres yang

digunakan Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42) sebanyak 14

pertanyaan, untuk skala stres. Skala untuk stres dinilai dari nomor 1, 6, 8,

11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39. Responden menjawab setiap

pertanyaan yang ada. Setiap pertanyaan dinilai dengan nilai antara 0-3
48

yaitu 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 sering dan 3 = selalu,

dengan skor: 1) normal = 0-14; 2) stres ringan = 15-18; 3) stres sedang =

19- 25; 4) stres parah = 26-33; 5) stres sangat parah ≥ 34.

D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas Instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

atau kesyahan untuk instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid

apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat

mengungkapkan data variabel yang diteliti secara tepat. Suatu

pertanyaan dikatakan valid dan dapat mengukur variabel penelitian

yang dimaksud jika nilai koefisien skor dan skala ordinal

(tingkatan) distribusi (Tabel r) untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan

(df = n-2), maka kaidah keputusannya, yaitu :

Valid : jika
r hitung > r tabel

Tidak valid : jika


r hitung < rtabel

2. Reliabilitas Instrumen

adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat


Reliabilitas

pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Hal ini berarti

menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau

tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap

gajala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama

(Notoatmodjo, 2015). Uji reliabilitas yang digunakan untuk variabel


49

tanpa skor dalam skala ordinal (tingkatan) adalah teknik koefisien

reliabilitas alpha cronbach. Suatu variabel dikatakan reliabel jika

memberi nilai Cronbach’s Alpha>0,6 (konstanta).

Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang

disebut koefisien reliabilitas. Pada awalnya tinggi-rendahnya

reliabilitas kuesioner tercermin oleh nilai cronbach alpha. Dimana

nilai cronbach alpha semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati

angka 1,00 berarti semakin reliabel.

Untuk instrumen tidak dilakukan uji validitas dan realiabilitas secara

empiris karena peneliti menggunakan kuesioner Depression Anxiety

Stress Scale (DASS 42) yang sudah baku. Untuk instrumen reaksi

kusta, peneliti menggunakan kuesioner yang sudah teruji dan telah

digunakan dalam penelitian sebelumnya yaitu penelitian Julia (2013)

dengan nilai validitas antara 0,518 - 0,785 (  r tabel = 0,444) dan

nilai reliabilitas 0,908 ( > 0,6).

V. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian kuesioner oleh

responden. Kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian dan

perlu uji validitas dan reliabilitas (Notoatmodjo, 2015). Dalam penelitian ini

kuesioner yang akan dipakai adalah kuesioner tertutup yaitu kuesioner yang

sudah disediakan jawaban sehingga responden tinggal memilih jawaban.


50

Sebelum kuesioner digunakan calon responden diberikan penjelasan

tentang penelitian yang dilakukan dan diberikan kesempatan untuk bertanya,

selanjutnya setelah responden menyetujui untuk ikut dalam penelitian

diminta untuk menandatangani lembar persetujuan. Kemudian responden

diminta mengisi jawaban langsung pada lembar kuesioner.

VI. Manajemen Pengolahan Data

Manajemen data merupakan satu rangkaian kegiatan penelitian

yang sangat penting. Setelah pengambilan data dengan kuesioner, tahap

selanjutnya adalah pengolahan data agar analisa yang dihasilkan

memberikan informasi yang benar. Tahap-tahap pengolahan data antara

lain:

A. Editing Data

Tahapan ini dimaksudkan untuk menyunting data yang telah terkumpul,

dilakukan dengan memeriksa kelengkapan, kesalahan pengisian, dan

konsistensi dari setiap jawaban pertanyaan.

B. Coding Data

Kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi berbentuk angka atau

bilangan, untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga

mempercepat pada saat entry data.

C. Entry Data

Memasukan data kedalam program pengolah data melalui program

komputer.

D. Cleaning Data
51

Data yang telah di entry kemudian dilakukan pengecekan dan koreksi

apabila ada kesalahan pada tahap entry.

E. Tabulating Data

Memasukan data sedemikian rupa sehingga mudah dijumlah, disusun,

dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar atau grafik.

VII. Analisa Data

Adapun rancangan analisa data dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara :

A. Analisa Univariat

Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi

berbagai variabel yang di teliti dan membandingkan frekuensi antar

variabel tersebut, sehingga diperoleh data dengan menarik kesimpulan

dari gambaran univariat yang diperoleh dari tiap-tiap variabel.

B. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Maka selanjutnya dilakukan uji statistik

dengan metoda Chi square (x2) (Notoatmodjo, 2015). Uji signifikan

dilakukan dengan menggunakan batas kemaknaan alpha (0,05) dan

Confidence Interval (tingkat kepercayaan) 95% dengan ketentuan bila :

1) Bila ρ value ≤ (0,05) berarti Ho ditolak dan Ha diterima artinya

ada hubungan signifikan.


52

2) Bila ρ value > (0,05) berarti Ho diterima dan Ha ditolak artinya

tidak ada hubungan yang signifikan.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S. (2015). Innate Immunity. In : Abbas,
A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S., editors. Cellular and Molecular
Immunology.8th ed. Philadelpia: Elsevier Saunders. p.51-83

Alencar Ximenes R.A, Novinsk Gallo M.E, Fatima de Medeiros M.B. (2017).
Retreatment in Leprosy : a Case Control Study, 2007; 4 -6. Diakses pada
http://www.scielosp.org/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0034.

Amiruddin, M.D. (2012). Penyakit kusta sebuah pendekatan klinis. Surabaya :


Brilian Internasional.

Antunes, et.al. (2013). Identification of clinical, epidemiological and laboratory


risk factors for leprosy reactions during and after multidrug therapy.Mem
Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 108(7): 901-908, November 2013.

Dinkes Propinsi Banten. (2012). Profil Dinas Kehatan Propinsi Banten. Banten :
Dinas Kesehatan Propinsi Banten.

Ditjen PP dan PL Kemenkes RI. (2014). Program Pengendalian Penyakit Kusta


di Indonesia. Diaskes pada http://pppl.depkes.go.id/berita?id=948.

Dogra, et.al. (2014). Childhood leprosy through the post-leprosyelimination era: a


retrospective analysis of epidemiological and clinical characteristics of
disease over eleven years from a tertiary care hospital in North India. Lepr
Rev (2014) 85, 296–310. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25675654.

Dyah, dkk. (2013). Hubungan antara kejadian reaksi dengan kecacatan pada
penderita kusta (studi kohort retrospektif di Kabupaten Blora, Jawa
Tengah. Diakses pada http://etd.repository.ugm.ac.id/.../66754/.../S2-2013-
323357-abstract.pdf.

Garad, A.S., Suryakar, A.N., and Shinde, C.B. (2014). Oxidative stress and role of
thiol in leprosy. IJPBCS ; 3(2): 22-26.

Hart, B.E., and Tapping, R.I. (2012). Genetic diversity of oll-like receptors and
immunity to m. Leprae infection. J Trop Med: 1-12.
Hawari, D. (2016). Manajemen stres cemas dan depresi. Cetakan ke-5. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

53
54

Julia. (2013). Hubungan tingkat stres dengan kejadian reaksi kusta di Rumah
Sakit Kusta Dr. Sitanala Tangerang 2013. Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan. Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan. Jakarta : Universitas Esa
Unggul.
Kemenkes RI. (2012). Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013. Sekretariat


Jenderal, Jakarta.

Kosasih, et.al. (2017). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-5. Cetakan ke-2
(dengan perbaikan). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Lockwood, et.al. (2012). Comparing the clinical and histological diagnosis of
leprosy and leprosy reactions in the infir cohort of Indian patients with
multibacillary leprosy. PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(6):e1702. doi:
10.1371/journal.pntd.0001702. Epub 2012 Jun 26. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22745841.

Mansjoer, et.al. (2013). Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


Fakultas.

Meneses, G.C., Liborio, A.B., de Daher, E.F., da Silva Jr, G.B., da Costa, M.F.P.,
Pontes, M.A.A., Martins , A.M.C. (2014). Urinary Monocyte Chemotactic
Protein-1 (MCP-1) in leprosy patients: increased risk for kidney damage.
BMC Inf Dis; 14: 1-5.

Notoatmodjo, S. (2015). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.


Nursalam. (2013). Metodologi penelitian ilmu keperawatan:pendekatan praktis
(edisi 4). Jakarta: Salemba Medika.
Oematan, Herjumi. (2016). Kadar nitric oxide plasma berkorelasi positif dengan
indexs bakteri pada penderita kusta. Thesis. Program Megister Studi Ilmu
Biomedik. Denpasar : Universitas Udayana.

Oxy & Rizal. (2013). Gambaran tingkat kecemasan klien kusta di Wilayah Kerja
Puskesmas Buaran Kabupaten Pekalongan. Diakses pada http://www.e-
skripsi.stikesmuh-pkj.ac.id/e-skripsi/index.php?p=fstream-
pdf&fid=418&bid=473.
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2014). Buku ajar fundamental keperawatan konsep,
proses, dan praktik. Ed ke- 6 Vol 1. Jakarta EGC.
55

Prabhakar, M.C., Santhikrupa, D., Manasa, N., and Rao, U. (2012). Status of free
radicals and antioxidants in leprosy patients. Indian J Lepr; 85: 5-9.

Prawoto. (2018). Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya


reaksi kusta. Thesis. Magister Epidemiologi. Program Pasca Sarjana.
Semarang : Universitas Diponegoro.

Psychology Foundation of Australia. (2015). Managing your stress in tough


economic times. Diakses pada http://www.apa.org/helpcenter/eonomic-
stress.aspx.

Purwati, S. (2012). Tingkat stres akademik pada mahasiswa reguler angkatan


2010 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia. Diakses pada
http://lib.ui.ac.id tanggal 26 Desember 2017.

Putra, dkk. (2013). Pengaruh intensitas akses jejaring sosial terhadap penurunan
tingkat stres pada Mahasiswa Ilmu Keperawatan Universitas Brawijaya
Malang. Diakses pada http://old.fk.ub.ac.id/
artikel/id/filedownload/keperawatan/MAJALAH_DIKI%20ELFIRA
%20M_0910720027.pdf tanggal 26 Desember 2017.

Rahal, A., Kumar, A., Singh, V., Yadav, B., Tiwart, R., Chakraborty, S., and
Dhama, K. (2014). Oxidative Stress, Prooxidants, and Antioxidants: The
Interplay. Biomed Res Int: 1-20.

Rukua, dkk. (2015). Pengembangan Indeks Prediktif Kejadian Default


Pengobatan Penderita Kusta tipe MB di Kabupaten Sampang Provinsi
Jawa Timur. Tesis, Program Pascasarjana FKM. Surabaya : Universitas
Airlangga.

Schalcher, T.S., Vieira, J.L.F., Salgado, C.G., Borges, R.S., and Monteiro, M.C.
(2013). Antioxidant factors, nitric oxide levels, and cellular damage in
leprosy patients. Rev Soc Bras Med Trop; 46(5): 645- 649.

Skilicorn, K. (2017). The immunology of leprosy. Diakses pada


htttp:www.webspawner.com/user/immunity.

Sousa, et.al. (2012). Mycobacterium leprae DNA associated with type 1 reactions
in single lesion paucibacillary leprosy treated with single dose Rifampin,
Ofloxacin, and Minocycline. Am. J. Trop. Med. Hyg., 77(5), 2012, pp.
829–833. Daiakses pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17984336
.

Spooner, R., and Yilmaz, O. (2012). The Role of Reactive-Oxygen-Species in


Microbial Persistance and Inflammation. Int J Mol Sci; 12: 334-52.
56

Stuart & Laraia. (2016). Buku Saku Keperawatan Jiwa (terjemahan). Jakarta:
EGC.

Sugiyono. (2014). Statistik untuk penelitian. Bandung : Alfa Beta.

Swathi, M. & Tagore, R. (2015). Study of oxidative stress in different forms of


leprosy. Indian J Dermatol; 60 (3): 321

Taylor, S. E. (2013). Health psychology. New York: McGraw Hill Companies.

Vazques, C.M.P., Netto, R.S.M., Barbosa, K.B.F., de Moura, T.R., de Almeida,


R.P., Duthie, M.S., and de Jesus, A.R. (2014). Micronutrient influencing
the immune response in leprosy. Nutr Hosp; 29(1): 26-36.

Vijayaraghavan, R., and Paneerselvam, C. (2013). Rythrocyte antioxidant


enzymes in multibacillary leprosy patients. IJABPT; 2(2): 1-4.

Widarsih, et.al. (2013). Hubungan antara kejadian reaksi dengan kecacatan pada
penderita kusta (Studi Kohort Retrospektif di Kabupaten Blora, Jawa
Tengah). Diakses pada http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod
=penelitian_detail&sub= Penelitian Detail&act=view&typ=html&buku_
id=66754 update on the 2013 situation. Geneva. 88 (35):365–380.
PENJELASAN PENELITIAN

Kepada Yth,
Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai Calon Responden di RSUP dr. Sitanala Tangerang

Dengan Hormat,
Bersama ini saya, Nama : Abdul Shalik
NIM : P27906121001
Mahasiswa : Poltekkes Banten
No. Hp : 083872538603

Bermaksud melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat


Stres Pasien Kusta dengan Kejadian Reaksi Kusta di RSUP dr. Sitanala
Tangerang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat
stres dan kejadian reaksi kusta. Manfaat penelitian ini adalah untuk
meminimalkan atau mengevaluasi kejadian reaksi kusta yang di sebabkan oleh
stres sehingga kejadian reaksi kusta tidak meningkat.
Peneliti akan melakukan pengumpulan data dengan cara pengisian
kuesioner oleh responden. Sebelum kuesioner digunakan, calon responden
diberikan penjelasan tentang penelitian yang dilakukan dan diberikan kesempatan
untuk bertanya, selanjutnya setelah responden menyetujui untuk ikut dalam
penelitian diminta untuk menandatangani lembar persetujuan.
Hasil penelitian ini akan direkomendasikan sebagai bahan masukan bagi
RSUP dr. Sitanala untuk memberikan gambaran tingkat stres pasien kusta dan
menjadi masukan bagi perawat di rumah sakit dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kusta khususnya pasien kusta yang mengalami stres.
Peneliti menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak
negatif bagi siapapun. Peneliti berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak partisipan
dengan cara :
1. Menjaga kerahasiaan data yang diperoleh baik dalam proses pengumpulan data,
pengolahan data, penyajian, serta publikasi. Peneliti akan merahasiakan
identitas responden, serta memusnahkan data dalam kurun waktu 5 – 6 tahun
setelah penelitian.
2. Menghargai keinginan responden untuk menentukan waktu dan tempat yang
sesuai agar partisipan dapat mengungkapkan pengalamannya secara nyaman
dan terbuka.
3. Menghargai keinginan responden apabila tidak bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini.
4. Apabila selama proses penelitian, responden merasakan ketidaknyamanan,
maka dapat mengundurkan diri dari penelitian ini tanpa sanksi apapun.
Apabila ada pertanyaan lebih dalam tentang penelitian ini, dapat
menghubungi peneliti pada nomor kontak yang telah disebutkan di atas. Demikian
permohonan ini saya buat, atas kerjasamanya yang baik saya ucapkan terima
kasih.

Tangerang, Juni 2022

Abdul Shalik
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, menyatakan bahwa:


1. Telah mendapat penjelasan tentang penelitian “Hubungan Tingkat Stres Pasien
Kusta dengan Kejadian Reaksi Kusta di RSUP dr. Sitanala Tangerang.”
2. Telah diberi kesempatan untuk bertanya dan mendapatkan jawaban dari
peneliti.
3. Keputusan bersedia atau tidak bersedia mengikuti penelitian ini tidak akan
mempengaruhi dalam pelayanan di RSUP dr. Sitanala Tangerang.

Dengan ini saya memutuskan secara sukarela tanpa paksaan dari pihak
manapun dan dalam keadaan sadar, bahwa saya (bersedia/tidak bersedia*)
berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian ini. Demikian pernyataan ini
saya buat untuk dapat digunakan seperlunya.

Tangerang, Juni 2022

(Responden)

*) Coret yang Tidak Perlu


HUBUNGAN TINGKAT STRES PASIEN KUSTA DENGAN KEJADIAN
REAKSI KUSTA DI RSUP dr. SITANALA TANGERANG

Yth. Bapak/ibu/saudara/i responden

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, maka kami


mohon kesediaan bapak/ibu/saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan
sebenar-benarnya dan seobyektif mungkin. Bapak/ibu/saudara/i tidak perlu
mencantumkan identitas. Atas bantuan dan kesediaannya kami ucapkan terima
kasih.

A. Petunjuk Pengisian
Mohon dengan hormat bapak/ibu/saudara/i menjawab semua
pertanyaan yang ada dengan memberikan tanda checklist (√) pada kolom
yang sudah disediakan.

B. Data Demografi Responden


1. Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
2. Umur
< 20 tahun 40 – 49 tahun
20 – 29 tahun 50 – 59 tahun
30 – 39 tahun > 60 tahun
3. Pekerjaan
Buruh Pedagang
Kuli Tukang
PNS Pekerja kasar
4. Pendidikan
SD SMA
SMP Diploma/Perguruan
Tinggi
C. Kuesioner A
Isilah pernyataan dengan memberikan tanda checklist (√) pada kolom yang
disediakan, yaitu :
TP : Tidak ada atau tidak pernah
KK : Kadang-kadang
SR : Sering
SL : Selalu atau hampir setiap saat.

Depression Anxiety Stress Scales (DASS) 42

Aspek Penilaian TP KK SR SL
No.
1. Menjadi marah karena hal-hal kecil/sepele
2. Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
3. Kesulitan untuk relaksasi/bersantai
4. Mudah merasa kesal
Merasa banyak menghabiskan energi karena
5.
cemas
6. Tidak sabaran
7. Mudah tersinggung
8. Sulit untuk beristirahat
9. Mudah marah
Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang
10.
mengganggu
Sulit mentoleransi gangguan-gangguan
11.
terhadap hal yang sedang dilakukan
12. Berada pada keadaan tegang
13. Tidak dapat memaklumi hal apapun yang
menghalangi anda untuk menyelesaikan hal
yang sedang Anda lakukan
14. Mudah gelisah
PENILAIAN :
Tingkat Stres
Normal 0 – 14
Ringan 15 – 18
Sedang 19 – 25
Parah 26 – 33
Sangat parah > 34
D. Kuesioner B
Isilah pernyataan dengan memberikan tanda checklist (√) pada kolom yang
disediakan, yaitu :
TP : Tidak Pernah
KK : Kadang-Kadang
SR : Sering
SL : Selalu

NO Pernyataan TP KK SR SL

1 Saya mengalami nyeri pada kulit tubuh


2 Saya mengalami ruam-ruam merah pada kulit tubuh
3 Saya mengalami pembengkakan pada kulit tubuh
4 Saya mengalami lingkaran putih (panu) yang mati rasa pada
kulit tubuh
5 Saya mengalami demam yang tinggi
6 Saya mengalami kecacatan pada tubuh saya
7 Saya mengalami kembali gejala saat awal didiagnosa kusta
8 Saya mengalami bisul-bisul kecil pada kulit tubuh
9 Saya mengalami luka yang sulit sekali sembuh
10 Saya mengalami luka yang bernanah, panas, dan disekitar
luka kulit memerah.

Anda mungkin juga menyukai