Makalah 'Urf

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

‘Urf
Ushul Fiqh
Dosen Penganmpu : Amru Syahputra Lubis S.H.I, M.H.I

Oleh: Kelompok 10

1. Siti Nurhalimah
2. Sovy Nazwa Luckita
3. Zulian Dini

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH H.A.HALIM HASAN


AL-ISHLAHIYAH BINJAI
PRODI PERBANKAN SYARIAH
T.A.2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan
karunia Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “’Urf”

Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah Ushul Fiqh. Di
dalam pembuatan makalah ini ada referensi yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini mungkin banyak terdapat
kesalahan-kesalahan. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan
memohon pemakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami
buat kurang tepat.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................2
A. Pengertian ‘Urf................................................................................................................2
B. Macam-Macam ‘Urf........................................................................................................3
C. Kehujjahan ‘Urf..............................................................................................................5
D. Kaidah-kaidah ‘urf..........................................................................................................6
E. Syarat-Syarat ‘Urf...........................................................................................................7
BAB III PENUTUP....................................................................................................................9
A. Kesimpulan.....................................................................................................................9
B. Saran................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa di abaikan
oleh seorang mujtahid dalam upayanya memberi penjelasan mengenai nash-nash
syari’at Islam, dan dalam menggali hukum yang tidak memiliki nash.
Dalam ilmu ushul fiqh ini terdapat banyak sekali pembahasan, diantaranya
adalah ‘urf yang akan saya coba diskusikan yang mana budaya atau ‘urf sebagai salah
satu bagian dari ushul fiqh, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut
sebagai salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam
kehidupan nyata masyarakat. Hal tersebut tentunya tidak semudah yang kita
diskusikan, karena tidak semua ulama’ setuju tentang urf ini, akan tetapi tidak sedikit
juga yang menjadikannya sebagai pijakan hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘urf ?
2. Apa saja macam-macam ‘urf ?
3. Bagaimana Kehujjahan ‘urf ?
4. Apa saja kaidah-kaidah ‘urf ?
5. Apa saja syarat-syarat ‘urf ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf
dengan arti sesuatu yang dikenal. 1 Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah
dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak
melakukan sesuatu.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,Al-
Rahawi dalam Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab Al-Aisbah wa al-
Nazhair berpendapat bahwa urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara
keduanya. Namun sebagian Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi
membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah
satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang
dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan ‘urf ialah
kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam pengertian ini
adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘urf. Tetapitidak sebaliknya.
Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian, tidur
dan sebagainya dinamakan adat tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf
lebih umum daripada adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan ‘urf
menyangkut perbuatan dan ucapan sekaligus.2
Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau adat itu sesuatu yang harus dikenali,
diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripannya dengan ijma’.
Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaaan yang di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diterima semua pihak. Sedangkan ‘urf
atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal oleh
sebagian orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu
para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kepakatan
ataupun penolakannya. Sedangkan ‘urf atau adat yang mengakui adalah
seluruh lapisan manusia baik mujtahid atau bukan.

1
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 387
2
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012), hal. 148-149

2
3. ‘Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-orang
yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma’ tidak akan mengalami
perubahan.3

B. Macam-Macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:


1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang
menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan).
a. Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan
itulah yang dipahami dan terlintas dalampikiran masyarakat. Misalnya,
ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup
seluruh daging yang ada. Apabila seorang mendatangi penjual daging, saya
beli daging satu kilogram pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi,
karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata
daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa
adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak
terkait dengan kepentingan orang lain, sepertikebiasaan libur kerja pada hari-
hari tertentudalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan
makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat
dalam memakai pakaian tertentudalamacara khusus.

2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
a. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh
daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk
memperbaiki mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk
dalamharga jual, tanpa akad sendiri,dan biaya tambahan. Contoh lain adalah
kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi penumpang pesawat
terbang adalah dua puluh kilogram.
3
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, 389

3
b. Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat
tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu
padabarang yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya
dalam barang itu, tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai
penentuan masagaransi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan
yang berlaku d kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang
akan dia lakukan harus di bayar duluoleh kliennya. Urf al-khas seperti
ini,menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, tidak terhitung jumlahnya dan
senantiasa berkembang sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat.

3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu al-‘urfal


shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang
dianggap rusak).
a. Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat
atau hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa madarat bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak
laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini di
anggapsebagaimas kawin.
b. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’
dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,sepertipeminjam uang antara
sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam
tempo satu bulan harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh
tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang
diraih peminjam, penambahan utang sebanyak 10% tidaklah memberatkan,
karena keuntngan sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya
yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat
tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis,
menurut syara’ tidak boleh saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan
Ahmad Ibnu Hanbal). Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman
yang berlaku di jaman jahiliyyah, yang dikenal dengan sebutan ribal-nasi’ah
(riba yang muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti
ini,menurut ulama ushul fiqih termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.4
4
Khairul Umam dkk, Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia. 1998), hal. 160-164

4
C. Kehujjahan ‘Urf
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah dengan
‘urf danmenjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:
1. Firman Allah

‫ض الْعُْرفِ َوْأ ُم ْر الْ َع ْف َو ُخ ِذ‬ ِ


‫ر‬ ‫ع‬
ْ ‫ا‬
َ ‫و‬ ِ
‫ن‬
ْ َ َ َ ‫نْي‬ ‫ع‬ ِ
‫ب‬ ِ‫اجْلٰ ِهل‬

Artinya:
Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Yang menurut Al-Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkan hukum
menurutnya,karena zohir ayat ini.

2. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah bin
Mas’ud :

‫عنداللهاَْمٌر َح َس ٌن‬
َ ‫املسلموحَنَ َسنًا َف ُه َو‬
ُ ‫م َار ُاه‬.
َ
Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum
muslimin dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.

3. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika ia
mengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil memberi nafkah:

. ‫ابىسفيامنايليكوولد ِك باملعروف‬
َ ‫خذى من مال‬
(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut
‘urf).
Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam
penetapan hukum.

4. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa


dengan melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari
mafsadat.
Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan kesusahan

5
merupakan tujuan syara’.5
Adapun alasan ulama yang memakai ‘urf dalam menentukan ‘urf antara lain:
1. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan
kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan
keluarga dalam pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan,
ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.6

Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan
ulama madzhab Hanafiyah dab Malikiyah. Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan
dalam berijtihad dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan
yang menyandar pada ‘urf). Oleh ulama’ Hanafiyah, ‘urf itu di dahulukan atas qiyas
kahfi khafi dan juga di dahulukan atas nash yang umun, dalam arti umum, dalam arti
‘urf itu men-takhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli
Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadist
ahad. Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan
ketentuan batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.7

D. Kaidah-kaidah ‘urf
1. ‫العادة حمكمة‬
(adat itu dapat dijadikan hukum)

2. ‫ال ينكر تغرّي األحكم بتغري األزمنة واألمكنة‬


(tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat)

3. ‫املعروف عرفا كا املشروط شرطا‬


( yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat)

4. ‫اص‬
ّ ّ‫الثابت باالعرف كاالثابت باالن‬
5
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2007), hal. 78
6
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 162
7
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2,hal. 399

6
(yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui nash (nash
atau hadist)8

E. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama yang menggunakan ‘urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-
kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk ‘urf tersebut,yaitu:

1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.Syarat ini
merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan
untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang
ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah
suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu
kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula
tentang kebiasaan memakan ular.
2. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang

berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan sebagian besar


kalangannya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan :

‫ردت فَإن مل يطِّرد فال‬ ِ


َ ّ‫الع َادةُ إذا اط‬
َ ‫امّن ا تُعتََبُر‬.
Artinya: Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang
berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.
Umpamanya : kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat
hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka suatu transaksi
tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata
uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan
lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila ditempat itu ada
beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini yang dimaksud
dengan : kacau), maka dalam transaksi arus disebutkan mata uangnya.
3. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)
pada saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf itu harus
ada sebelum penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak
diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan :

8
Khaerul Umam, Ushul Fiqih-1,hal. 168

7
‫متأخ ِر‬
ِّ ‫السابق دون‬
ُ ‫رف الَذى حَت ِم ُل عليه األل َفا ُظ إمنا هو املقارن‬
ُ ُ‫الع‬
Artinya: ‘urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan
hukum) hanyalah datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang
kemudian.
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh : Orang yang melakukan akad
nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar
lunas atau dicicil, sedangkan ‘adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi
seluruh mahar. Kemudian ‘adat ditempat itu mengalami perubahan, dan orang-
orang terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan
terjadinya suatu perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar
tersebut. Suami berpegang pada ‘adat yang sedang berlaku (sesuai adat lama
ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada syarat dan kaidah
tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan ‘adat yang berlaku
pada saat berlangsungnya akad nikah dan tidak menurut ‘adat yang muncul
kemudian.
4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya
menguatkan persyaratan penerimaan ‘adat shahih; karena kalau ‘adat itu
bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’
yang pasti, maka ia termasuk ‘adat dan fasid yang telah disepakati ‘ulama
untuk menolaknya.9

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian ‘urf

9
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2,hal. 400

8
Segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa
ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
2. Macam-macam ‘urf
a. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang
menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk
perbuatan
b. Dari segi cakupannya, urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang
bersifat umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu
al-‘urfal shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak).

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan.Kami sadar bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnan.Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan
demi kesempurnaa makalah ini dan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, amiiin…..

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.Djalil. 2007.

Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

9
Syarifudin, Amin. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Suwarjin.Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Teras. 2012.

Umam, Khaerul. Ushul Fiqh-1. Bandung: CV Pustaka Setia. 1998.

10

Anda mungkin juga menyukai