Satuan Acara Penyuluhan Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita Pada Lansia Dengan Demensia
Satuan Acara Penyuluhan Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita Pada Lansia Dengan Demensia
Satuan Acara Penyuluhan Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realita Pada Lansia Dengan Demensia
oleh:
Kelompok 3
1. Markhistun Nadhiroh (19100004)
2. Safitri Dara (19100012)
3. Hervandri Arnold Donbosco (19100018)
4. Yan Senas (19100025)
5. Ratnasari Sukarso (19100029)
6. Elza Welma Pesireron (21110002)
A. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun
keatas. Secara global pada tahun 2013 populasi penduduk berusia lebih dari
60 tahun adalah 11,7% dari total populasi dunia dan diperkirakan jumlah
tersebut akan terus meningkat seiring peningkatan usia harapan hidup (Basri,
2020). Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada
tahun 2017 menjelaskan bahwa populasi lansia di Indonesia meningkat sejak
tahun 2017 yakni 23,66 juta jiwa (dengan persentase populasi lansia 9,03%)
meningkat menjadi 27,08 juta jiwa pada tahun 2020 dan pada tahun 2035
diprediksi yakni mencapai 48,19 juta jiwa ( Kemenkes RI,dalam Basri, 2020).
Seiring bertambahnya usia, setiap individu akan mengalami penurunan
atau perubahan kondisi fisik, psikologis maupun sosial dalam berinteraksi
dengan orang lain, salah satunya dapat menurunkan kemampuan kognitif atau
kepikunan ( Hidayati, Haryanto, & Makhfudli ,dalam Basri, 2020). Setelah
usia 50 tahun, fungsi ingatan seseorang akan berkurang secara bertahap. Hal
ini terjadi karena adanya perubahan morfologis dan biokimia pada susunan
saraf pusat yang berakibat pada penurunan persepsi sensori dan respon
motorik sehingga memicu terjadinya penurunan fungsi kognitif. Fungsi
kognitif lansia yang sering dan paling cepat mengalami penurunan adalah
memori, utamanya sering terjadi pada jenis memori jangka pendek (short
term memory), dimana lansia cenderung melupakan kejadian yang baru saja
berlalu ( Kozier, et al, ,dalam Basri, 2020)
Dampak terbesar dari penurunan atau kehilangan memori juga dapat
meningkatkan kejadian penyakit Demensia (Potter & Perry 2005).Demensia
adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga mengganggu
aktifitas hidup sehari-hari dan aktivitas sosial. Demensia dalam arti lain
adalah suatu gangguan fungsi daya ingat yang terjadi perlahan-lahan dan
dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari-hari orang yang
terkena. Gangguan kognitif tersebut adalah gangguan mengingat jangka
pendek dan mempelajari hal-hal baru, gangguan kelancaran berbicara, keliru
mengenai tempat-waktu-orang atau benda, sulit menghitung, tidak mampu
lagi membuat rencana, mengatur kegiatan, mengambil keputusan dan lain-
lain (Hermawan, 2021).
Pada tahun 2020 lebih dari 50 juta orang di dunia menderita demensia ,
World Alzheimer Report (2015) memperkirakan penderita demensia pada
tahun 2015 mencapai 46,8 juta orang di seluruh dunia ( Prince et al.,
Marditantea, 2021). Indonesia merupakan salah satu negara yang
menyumbang populasi tinggi orang dengan demensia di Asia( Suriastini et al,
dalam Marditantea, 2021) . Penderita demensia pada tahun 2005 di Indonesia
sebanyak 191.400 orang dan diperkirakan terus meningkat hingga 2 314.100
orang pada tahun 2020 ( Alzheimer’s Indonesia, dalam Marditantea, 2021).
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan presentase
lansia tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 14,5% . Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Survey Meter pada tahun 2016, prevalensi demensia di DI
Yogyakarta pada usia 60 tahun atau lebih mencapai 20,1% . Angka prevalensi
akan semakin meningkat seiring bertambahnya usia pada lansia, dimana pada
umur 60 tahun didapati 1 dari 10 lansia mengalami demensia di DI
Yogyakarta ( Suriastini et al., dalam Marditantea, 2021).
Terapi aktivitas merupakan langkah awal yang dapat dilakukan oleh
lansia dengan permasalahan demensia, salah satu terapi untuk lansia yang
mengalami demensia adalah terapi aktivitas kelompok (TAK). Terapi
kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk
memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep ,
dalam Nikmah, 2018) . Lansia yang mengalami demensia biasanya diberikan
terapi aktivitas kelompok (TAK) khususnya orientasi realitas, terapi aktivitas
kelompok orientasi realitas dalam upaya untuk mengorientasikan keadaannya
kepada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan atau tempat, dan waktu
(Nikmah, 2018).
Dari latar belakang permasalahan diatas kelompok tertarik melakukan
Terapi aktifitas kelompok (TAK) orientasi realita pada lansia dengan
demensia dikarenakan terapi aktifitas ini mudah dilakukan dan dapat
meningkatkan kemampuan intelektual serta menigkatkan kemampuan
orientasi pada lansia.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan kegiatan mengingat bersama-sama selama 1x20 menit,
lansia mampu melatih fungsi memori.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan kegiatan mengingat bersama-sama selama 1x20 menit,
diharapkan klien mampu:
a. Mengingat nama (nama lengkap, nama panggilan)
b. Mengingat nama anggota keluarga
c. Mengingat tempat (rumah sakit, ruang tidur, toilet)
d. Mengingat nama benda yang sebelumnya telah disebutkan namanya
C. Landasan Teoritis
1. Definisi
Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian
beratnya sehingga mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan
aktivitas sosial. Demensia merupakan sindrom klinis yang meliputi
hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian berat sehingga
menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari. Demensia adalah keadaan
dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan
daya pikir, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan
terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai
dengan penurunan kognitif, perubahan mood dan tingkah laku sehingga
mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari penderita. Demensia
adalah penyakit degerative neurologic yang progresif dan permanen
(ireversibel) yang dimulai secara bertahap dan dicirikan oleh kehilangan
fungsi kognitif secara bertahap serta gangguan perilaku dan afek (Dewi,
2014).
2. Etiologi
Menurut (Ekasari, dkk. 2018) penyebab terjadinya dimensia pada lansia
yaitu sebagai berikut :
a. Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit alzheimer,
yang penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti, namun
diduga penyakit Alzheimer disebabkan karena adanya kelainan
faktor genetik atau adanya kelainan gen tertentu. Pada penyakit
alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga
terjadi kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia
yang menyalurkan sinyal di dalam otak. Di dalam otak ditemukan
jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang
semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi.
b. Penyebab kedua dari demensia yaitu, serangan stroke yang berturut-
turut. Stroke tunggal yang ukurannya kecil dan menyebabkan
kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul secara perlahan.
Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan
otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya
aliran darah yang disebut dengan infark. Demensia yang disebabkan
oleh stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian
penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis,
yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.
c. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,
meliputi (Ekasari, 2018) :
1) Diet
2) Latihan fisik yang sesuai
3) Terapi rekreasional dan aktifitas
4) Penanganan terhadap masalah-masalah
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Missesa, dkk. 2019 pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
lansia dengan dimensia yaitu sebagai berikut.
a. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia
khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang
demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium
normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah,
ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat.
b. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan
demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
c. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran
spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer
stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan
kompleks periodik.
e. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon
4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe
awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif
APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
f. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental,
aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya.
Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan
pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif,
minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan
neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan
untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya
syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Mampu menyaring secara cepat suatu populasi
2) Mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah
diindentifikaskan demensia.
E. Proses Seleksi
Perawat melakukan pengkajian dengan mengobservasi klien selama 3
hari, maka di dapatkan 5 orang klien yang memenuhi kriteria. Sebelum
dilaksanakan TAK, terapis melakukan kontrak terlebih dahulu dengan klien
mengenai waktu dan tempat akan dilaksanakannya TAK.
Keterangan :
v : klien
v v : Fasilitator
: Observer
: Leader
: Co-Leader
H. Pengorganisasian Kelompok
1. Leader : Markhistun Nadhiroh
Tugas :
a. Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok.
b. Merencanakan, mengontrol dan mengatur jalannya terapi aktivitas
kelompok.
c. Menyampaikan materi sesuai rencana terapi aktivitas kelompok.
d. Menyampaikan peraturan TAK.
4. Fasilitator :
a. Hervandri Arnold Donbosco
b. Yan Senas
c. Ratnasari Sukarso
Tugas :
a. Ikut serta dalam kegiatan kelompok.
b. Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok untuk
aktif mengikuti jalannya terapi.
c. Mengatur posisi kelompok dan lingkungan untuk pelaksanaan
kegiatan.
d. Membimbing kelompok selama permainan dan diskusi.
e. Membantu leader dalam melaksanakan TAK.
f. Memfasilitasi klien.
: klien
v
: Fasilitator
v v
: Observer
K. Proses Evaluasi
1. 1. Evaluasi Struktur : Leader
2. Evaluasi Proses
a. Terapi Aktivitas Orientasi Realita berjalan lancar dan tertib.
b. lansia aktif dalam bermain dan ikut antusias dalam menyampaikan
nama dan nama teman sebalahnya
c. Terapi Aktivitas Orientasi Realita berjalan dengan baik
d. Lansia mengikuti kegiatan terapi aktivitas hingga selesai
e. terdapat warga yang hilir mudik.
3. Evaluasi hasil
Evaluasi dilakukan saat proses terapi aktivitas kelompok (TAK)
berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah
kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK, untuk TAK orientasi realitas
pertama atau orientasi realitas orang, kemampuan lansia adalah dapat
memperkenalkan nama sendiri dan dapat menyebutkan nama orang yang
berada disebelah kanan kirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, S.H. (2020) Gambaran Karakteristik Demensia Dan Tingkat Kemandirian
Pasien Demensia Di Rs Wahidin Sudirohusodo. Universitas Hasanudin.
Tersedia pada: http://clik.dva.gov.au/rehabilitation-library/1-introduction-
rehabilitation%0Ahttp://www.scirp.org/journal/doi.aspx?DOI=10.4236/
as.2017.81005%0Ahttp://www.scirp.org/journal/PaperDownload.aspx?
DOI=10.4236/as.2012.34066%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.pbi.201.
Hermawan, G. (2021) Upaya Perlambatan Demensia Pada Lanjut Usia Potensial
Di Panti Pelayanan Sosial Lanjut Usia “Sudagaran” Banyumas. Institut
Agama Islam Negeri (Iain) Purwokerto. Tersedia pada:
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/11193/1/HERMAWAN
GUNAWAN_ UPAYA PERLAMBATAN DEMENSIA PADA LANJUT
USIA POTENSIAL DI PANTI PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA
%28PPSLU%29 SUDAGARAN BANYUMAS.pdf.
Marditantea, I. (2021) Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Ilmu Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Terhadap Orang Dengan
Demensia. Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta. Tersedia pada:
https://etd.umy.ac.id/id/eprint/5158/4/Bab I.pdf.
Nikmah, N. (2018) Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realitas
Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pada Pasien Halusinasi
Pendengaran Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Panakkukang. Tersedia pada:
https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/ad8a8c122a98808d
959670844cbf4319.pdf.
Al-Zahrani, J. (2019). Prevention of dementia in elderly population: A
comprehensive review of literature. Annals of Indian Psychiatry, 3(1), 14
Dese, D. C., & Wibowo, C. (2019). Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Fungsi
Kognitif Lansia Di Panti Wredha Yayasan Sosial Salib Putih Salatiga.
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 137–143.
Dewi, Sofia Rhosma. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
Deepublish.
Ekasari, Mia Fatmawati, Ni Made, R & Tien, H. (2018). Kualitas hidup Lansia.
Malang: Wineka Media.
Festy, Pipit. 2018. Lanjut Usia Perspektif dan Masalah. Surabaya: UM Surabaya.
Missesa, Daulina, N. C. H., & Eka, Y. S. (2019). Manajemen kasus lansia
demensia konfusi kronis dengan meningkatkan pendekatan model
adaptasi. Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(1), 25–40.