Perpajakan 3
Perpajakan 3
Perpajakan 3
Definisi atau pengertian pajak menurut prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Pajak Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat
pelanggaran hukum, namun wajib dilaksakanan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,
tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan
tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Melalui definisi pajak yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat, pajak juga dibagi menjadi 4 fungsi,
yaitu :
Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi.
Contoh :
a. Pajak yang tertinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman
keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup
konsumtif.
3. Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan
dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungut pajak, penggunaan pajak yang efektif dan
efisien.
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum,
termasuk juga untuk membiayai pembangunana sehinga dapat membuka kesempatan kerja, yang
pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
1.3 Syarat Pemungutan Pajak
1. Pemungutan Pajak Harus Adil (Syarat Keadilan)
Sesuia dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang maupun pelaksanaan
pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara
umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum
untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warnganya.
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga
tidak menimbulkan kelesuhan perekonomian masyarakat.
Sesuai fungsi anggaran, biaya pemungutan pajak harus lebih rendah dari hasil pemungutannya.
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi
kewajiban pajaknya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru:
a. Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tariff.
b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tariff, yaitu 11%.
c. Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi
pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi)
Negara meilindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat
harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan)
masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara semakin tinggi pajak
yang harus dibayar.
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan
yaitu:
a.Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang.
b. Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
Contoh:
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga
Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu
kewajiban.
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik
daya beli dari ruma tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara.
1.5 Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formal
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungutan pajak dengan rakyat
sebagai wajib pajak. Ada 2 macam Hukum Pajak, yaitu:
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan, antara lain
peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa
besar pajak yang dikenakan (tariff pajak), segala sesuatu timbul dalm hapusnya utang pajak, dan
hubungan hukum antara pemerintah pajak dengan wajib pajak.
2. Hukum pajak formal, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain:
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai keadaan,
perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelanggarakan pembukuan atau pencatatan, dan hak-hak
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding.
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada
orang lain.
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti
memerhatikan keadaan diri wajib pajak.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri
wajib pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan atas Barang Mewah.
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga Negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan
Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
1. Pajak Provinsi.
Contoh: Pajak kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2. Pajak Kabupaten/Kota.
1. Tarif Sebanding/Proporsional
Tariff berupa persentase yang tetap terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak, sehingga
besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh:
Untuk penyerahan barang kena pajak didalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai sebesar 11%.
2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak, sehingga
besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh:
Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapa pun adalah
Rp3.000,00.
3. Tarif Progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh:
Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
d. Tarif Degresif
Persentase tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
TOPIK 2
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Dasar Hukum
Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-undang No.6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.7 Tahun 2021.
Pengertian-pengertian
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutabg oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan
pemungutan pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya.
4. Masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan
dalam Undang-undang KUP. Masa pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
5. Tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
6. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
7. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam
tahun pajak, atau dalam bagaian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
8. Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administarsi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Fungsi NPWP
Pencatuman NPWP
Dalam hal ini berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencamtukan
Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.
Pendaftaran NPWP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan wajib mendaftarankan diri pada kantor
Direktorat Jendral Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib
pajak dan kepada wajib pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang atau
kekurangan dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah terutang yang tidak atau kurang bayar.
Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapus NPWP dari administrasi Kantor Pelayanan Pajak.
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak apabila:
1. Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan atau objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Wajib Pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian atau
penggabungan usaha.
3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan.
5. Dianggap perlu oleh Direktur Jendral Pajak untuk menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dari
Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (Sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6
(enam) digit berikutnya merupakan Kode Adminitrasi Perpajakan. Formatnya adalah sebagai berikut:
XX. XXX. XXX. X-XXX. XXX
2.3 Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarlan Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang:
2. Tidak memiliki sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi sampai dengan suatu bulan dalam suatu
usaha tahun buku jumlah nilai peredaran bruo atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak telah melampui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lama akhir bulan berikutnya.
b. Melaksanakan hak dan kewajiban dibidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.
c. Pengawasan administrasi perpajakan.
Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai PKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP pada:
Direktur Jendral Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat melakukan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pencabutan PKP dapat dilakukan dalam hal :
a. PKP pindah alamat ke wilayah kerja kantor pelayanan pajak lain.
b. Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan atau
penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran tempat terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai ditempat lain.
c. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya PPn ditempat lain. (diutangkan ke pkp lain yg utang ke 1
pkp)
Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk dilakukan sebagai Pengusaha
Kena Pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang atau kekurangan dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah terutang
yang tidak atau kurang bayar.
Pengertian SPT
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang wajib pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta
dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Fungsi SPT
Fungsi surat pemberitahuan bagi wajib pajak, Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya dan untuk melaporkan
tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
d. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pajak orang pribadi atau badan lain dalam
1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengertian
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Fungsi SSP
SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
b. Kantor Pos
a. Pembayaran Masa
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh menteri
keuangan.
3. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
4. PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
5. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor pling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setalh masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
7. PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
8. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas
impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
9. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
10. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja
Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan an ditandatangani oleh
bendahara.
11. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau
industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar
minyak, gas pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan beikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
b. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Keteapan Pajak Kurang
bayar tambahan, dan surat keputusan keberatan, surat keputusan pembentulan, putusan banding, serta
putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal diterbitkan.
c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
TOPIK 3
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2000.
Pengertian-Pengertian
a. Penanggung Pajak,
Orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
b. Penagihan Pajak
Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanaan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang,
Pembatalan Lelang, Jasa Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
Pejabat adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan
Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak
sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh Utang Pajak menurut
undang-undang dan peraturan daerah.
Jurusita Pajak adalah pelaksanaan tindakan penagihan yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
c. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
b. Dasar Penagihan.
a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.
Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
a. Penanggung pajak
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau bekerja di tempat usaha penanggung pajak,
apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.
c. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya apabila
wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi.
d. Para ahli waris, apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
b. Pegawai tetap ditempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila jurusita pajak tidak dapat
menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam point (a).
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, Surat pajak diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas
atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam
likuiditas. Surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan
pemberesan atau likuidator.
Catatan:
a. Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan surat paksa.
b. Pelaksanaan surat paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua)
kali 24 (dua puluh empat) jam setelah surat paksa diberitahukan.
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita
pajak kepada penanggung pajak tanpa tunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh
Utang Pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Jurusita pajak melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan apabila:
1. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.
2. Penanggung pajak memindahkantangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di
Indonesia.
3. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau
menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang
dimiliki atau dikuasinya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.
5. Terjadinya penyitaan ata sbarang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda
kepailitan.
1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
3.5 Lelang
Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan
atau tulisan melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak dan atau
biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang
melaksanakan penjulan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.
3.6 Penyitaan
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan
jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila utang pajak
dilunasi penanggung pajak dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setalah surat
paksa diberitahukan, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Penyitaan
dilakukan oleh jurusita pajak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa,
penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak, dan dapat dipercaya. Setiap mekaksanakan
penyitaan, jurusita pajak membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh juru sita
pajak, dan saksi-saksi.
a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dan atau
b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
a. Pakaian dan tempat tidur beserta pelengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajakdan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang
ada di rumah.
c. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang
dipergunakan
d. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara.
e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha
sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan atau keputusan Kepala
daerah.
f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi
tanggungannya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan Negeri atau
instansi lain yang berwenang. Terhadap barang telah disita tersebut, jurusita pajak menyampaikan
surat paksa kepada pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan negeri dalam
sidang sebelumnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sedangkan
instansi lain yang berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan barang tersebut sebagai
jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan
pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahulu negara untuk
tagihan pajak.
TOPIK 4
PAJAK PENGHASILAN (PPH)
Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984.
Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek
pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek
pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-undang
Pajak Penghasilan (PPh) disebut wajib pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun
pajak.
4.2 Subjek Pajak dan Wajib Pajak
1. a. Orang pribadi
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan berdiri dari perseroan terbatas, perseroan komaditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD
dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
Subjek pajak dalam negeri dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia terdiri dari:
· Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu12 (dua belas) bulan.
· Orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
b. Badan, yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:
· Pembiayaan bersumber dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
· Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah pusat atau Pemerintahan Daerah; dan
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
MULAI BERAKHIR
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi: Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi:
~ Saat berada di Indonesia atau berniat ~ Saat meninggalkan Indonesia untuk selama-
bertempat tinggal di Indonesia. lamanya
Subjek Pajak Dalam Negeri Badan: Subjek Pajak Dalam Negeri Badan:
~ Saat didirikan atau bertempat kedudukan di ~ Saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
Indonesia. kedudukan di Indonesia.
MULAI BERAKHIR
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT: Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:
~ Saat menjalankan usaha atau melakukan ~ Saat tidak lagi menjalankan usaha atau
kegiatan melalui BUT di Indonesia. melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui
BUT: BUT:
~ Saat menerima atau memperoleh penghasilan ~ Saat tidak lagi menerima atau memperoleh
dari Indonesia penghasilan dari Indonesia.
Warisan Belum Terbagi: Warisan Belum Terbagi:
~ Saat timbul warisan yang belum terbagi. ~ Saat warisan telah selesai dibagikan.
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsultan, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :
a. Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak tidak dikarenakan pajak
penghasilan (yang tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :
1. a. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau Menteri Keungan; sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyerahan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura (benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keungan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7,
dalam bidang-bidang tertentu yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keungan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
4.5 Mekanisme Pemajakan PPh dan Rumus Umum Menghitung
PPh
Pada dasarnya jika subjek pajak dan objek pajak dari pajak penghasilan sudah ditentukan, kita
langsung dapat menghitung besarnya PPh terutang untuk menetukan berapa besarnya sebagian
penghasilan (harta kekayaan rakyat) yang harus diberikan kepada negara oleh rakyat yang menerima
atau memperoleh penghasilan. Tetapi sebelum kita membahas cara menghitung besarnya PPh
terutang, kita terlebih dahulu harus mengetaahui siapa yang diwajibkan untuk menghitung besarnya
PPh terutang, menyetorkannya ke kas negara dan mempertanggunjawabkannya, dan mengenai kapan
rakyat atau wajib pajak harus menghitung sebagian penghasilannya yang harus dibayar ke negara.
Pada prinsipnya WP (Tak Payer) itu sendiri harus menghitung dan menetapkan berapa besarnya PPh
terutang lalu segera melunasi/membayar sendiri ke kas negara. Cara ini dinamakan cara menetapkan
dan membayar pajak sendiri (Self Assesment System) (dasar hukumnya adalah Pasal 12 UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No. 16 Tahun 2000 yang disingkat UU KUP). Istilah Self Assesment System adalah
istilah hukum. Sedangkan istilah administrasinya adalah Self Taxing System (Sistem Pemajakan
Sendiri).
Pengertian sistem pemajakan sendiri adalah WP yang menerima atau memeperoleh penghasilan
(menanggung beban pajak) itu sendiri yang menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang harus
dibayarnya, membayarnya ke kas negara dan melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak tersebut
ke aparat pajak, serta mempertanggungjawabkannya.
Self Assesment System atau sistem pemajakan sendiri memiliki kelemahaan, yaitu WP bisa
melakukan penyelundupan pajak, misalnya dengan menyembunyikan penghasilannya atau
melaporkannya dengan tidak benar, dan lain-lain. Untuk melengkapi atau menutupi kelemahan
sistem ini, maka pemajakan PPh juga dilakukan dengan cara:
Sistem Pemotongan (pajak) oleh pihak ketiga (With Holding System). Yang dimaksud dengan pihak
ketiga adalah pihak yang membayarkan atau terutang penghasilan. Pihak ketiga itu disebut pemotong
PPh. Jadi yang menghitung dan menetapkan besarnya PPh terutang adaalah pemotong PPh, bukan
WP sebagai pihak yang menerima penghasilan. Setelah menghitung besarnya PPh terutang, maka
pemotong PPh tersebut memotong dari penghasilan tersebut sebesar PPh yang telah dihitungnya dan
menyetorkannya ke kas negara untuk dan atas nama penerima penghasilan. Lalu pihak ketiga
tersebut (Pemotong PPh) melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dan
mempertanggungjawabkannya. Jika pemotong PPh melakukan kesalahan dalam memotong PPh,
maka sanksi administrasi perpajakan akan dikenakan terhadap Pemotong PPh, bukan kepada WP
penerima penghasilan.
Setiap badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, Sujek Pajak
Warisan yang Belum terbagi, Subjek Pajak BUT, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
secara otomatis (ditentukan langsung oleh UU PPh) menjadi pemotong PPh. Sedangkan Subjek Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri baru menjadi Pemotong PPh jika ia ditunjuk melalui keputusan Dirjen
Pajak sebagai Pemotong PPh. Mereka adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang WNA
(Warga Negara Asing) atau Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menyelenggarakan
pembukuan dan/ atau yang berprofesi sebagai tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (yang
dimaksud dengan tenaga ahli adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang melakukan
pekerjaan bebas yang meliputi Dokter, Pengacara, Notaris, PPAT selain Camat, Akuntan, Konsultan,
Aktuaris, Penilai, Arsitek). Dan mereka hanya terbatas sebagai Pemotong PPh atas penghasilan sewa.
Pemajakan dengan sistem pemotongan dan pemungutan disebut pemajakan pada sumber/asal
penghasilan, sehingga sulit bagi WP yang menerima atau memperoleh penghasilan menggelapkan
penghasilannya. Karena penghasilan yang diterima atau diperolehnya tersebut dilaporkan ke Kantor
Pajak oleh pihak yang membayarkan.
Untuk PPh yang dihitung atau dipajaki pada setiap tahun pajak berakhir disebut Utang PPh Tahunan
atau PPh Tahunan Terutang dan dibedakan atas utang:
a. PPh Tahunan WP Orang Pribadi (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Orang Pribadi Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat
tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
b. PPh Tahunan WP Badan (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP Badan
Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final yang
siterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
c. PPh Tahunan BUT (WP orang Pribadi/Badan Luar Negeri BUT), yaitu PPh tahunan yang
dikenakan terhadap WP BUT pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat
tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
d. PPh Tahunan WP Warisan yang belum terbagi, yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Warisan yang belum etrbagi pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak
final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.
e. PPh Tahunan Pasal 21. PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang Pribadi
dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri khusus atas
penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final berupa penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang diterima atau diperolehnya dari awal tahun sampai akhir tahun bersangkutan.
Ketentuan mengenai mekanisme pemajakan PPh Tahunan Pasal 21 diatur di Pasal 21 UU PPh
sehingga disebut PPh Pasal 21.
Dasar pengenaan pajak adalah suatu jumlah yang terhadapnya langsung diterapkan tarif pajak.
Dalam UU PPh, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu
1. DPP untuk pemajakan PPh bulanan hak pemajakan PPh final maupun pemajakan uang muka PPh
adalah
2. DPP untuk pemajakan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak/buku adalah Penghasilan Kena Pajak
(PKP). PKP dihitung sebagai berikut:
a. Bagi WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak wajib pembukuan (omset setahun tidak
melampaui 600 juta) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan norma penghitungan penghasilan
neto. Norma penghitungan penghasilan neto merupakan suatu persentase yang besarnya ditentukan
oleh Dirjen Pajak (Pasal 14 UU PPh).
b. Bagi WP yang wajib pembukuan (WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang omset setahun melebihi
600 juta, Wp Badan Dalam Negeri, WP BUT, dan WP Warisan yang belum terbagi) PKP dihitung
dari penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut (Pasal 6 sd 11, Pasal 9 dan 18 UU PPh) serta
kompensasi kerugian fiskal. Perhitungan ini mirip dengan perhitungan laba netto dalam akuntansi.
c. Bagi WP yang wajib pembukuan, tetapi karena sifat usahanya sulit menetukan penghasilan neto
(seperti Wp yang bergerak di bidang pelayanan atau penerbangan internasional), PKP dihitung dari
penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan Khusus. Norma Penghitungan Khusus merupakan
suatu persentase yang besarnya ditentukan oleh Menteri Keuangan yang mendapat wewenang dari
UU PPh (Pasal 15 UU PPh).
jadi dalam menghitung PKP untuk menjadi DPP, kita peratama-tama harus menghitung penghasilan
netonya terlebih dahulu.
b. Mengingat WP untuk membayar utang PPh Tahunan dalam jumlah besar dan lain-lain.
Maka UU PPh menentuka bahwa pada saat menerima atau memperoleh penghasilan terutama selama
satu tahun berjalan, WP yang menerima atau memperoleh penghasilan tertentu tersebut diharuskan
membayar uang muka PPh dalam jumlah tertentu dari penghasilan tertentu itu melalui sistem
pemotongan atau pemungutan atau pemajakan sendiri. Ketentuan tersebut diatur di BAB V UU PPh
tentang Pelunasan PPh Selama Tahun Berjalan (Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25). Nanti pada akhir tahun pajak, penghasilan itu ditambah dengan penghasilan lain yang tidak
dikenai uang muka PPh dikenai PPh tahunan (dihitung PPh tahunan terutang). Sedangkan uang muka
PPh yang telah dibayar selama tahun berjalan tersebut bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak
(pengurang) dari PPh Tahunan Terutang (Bab V UU PPh Tentang Perhitungan Pajak Pada Akhir
Tahun).
TOPIK 5
Pajak Pengahasilan Pasal 21 (PPh Ps 21)
PPh Ps 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua termasuk ahli warisnya.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan.
a. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan orang – orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c Undang –
Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan
warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2. Pejabatan perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (1) hruf
c Undang-undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalanjakan usaha atau kegiatan pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan Indonesia.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerimaan pension secara teratur berupa uang pension
atau penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pension, tunjangan hari tua, atau jaminan hari
tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
pegawai berhenti bekerja.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
5. Imbalan kepada bukan pegawai, anatara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.
7. Penghasilan berupa imbalan atau honorarium yang bersifat tidak teratur diterima atau diperoleh
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama.
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh manatan pegawai.
9. penghasilan berupa penarikan dana pension oleh peserta program pension yang masih berstatus
sebagai pegawai, dari dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keungan.
10. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh:
Penghasilan sebagaimana tersebut diatas yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak
dalm negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Ps 21. Sementara itu, apabila diterima atau
diporel orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Ps 26.
Catatan:
Penghitungan PPh Ps 21 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya didasarkan pada haraga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian kenikmatan yang diberikan.
Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, pemungutan PPh ps 21
didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan Menteri Keungan yang berlaku pada saat
pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
Besarnya biaya pension yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto untuk penghitungan
pemotongan Pajak Penghasilan bagi pension, ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-
tingginya Rp2.400.000 setahun atau Rp200.000 perbulan.
Elemen PTKP
No. Elemen PTKP
1 WP Sendiri Rp 54.000.000,-
2 Status Kawin Rp 4.500.000,-
3 Tanggungan, per orang, dengan jumlah maksimal tiga Rp 4.500.000,-
orang tanggungan.
4 PTKP bagi istri yang penghasilannnya digabung. Rp 54.000.000,-
Saat terutang PPh Ps 21 dibagi menjadi dua yaitu bagi penerima penghasilan dan pemotongan
penghasilan. Bagi penerima penghasilam adalah pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat
terutangnya penghasilan yang bersangkutan, sedangkan bagi pemotong PPh Ps 21 adalah akhir bulan
dilakukannya pembayaraanya atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
TOPIK 6
Contoh Kasus I Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Ps 21)
Pengurangan:
a. Biaya Jabatan
5% x Rp5.750.000 Rp287.500
12 x Rp5.262.500 Rp63.150.000
PTKP setahun
b. Menikah Rp 4.500.000
Rp58.500.000
PPh Ps 21 terutang
PPh Ps 21 perbulan
Penyelesaian :
Penghitungan PPh Ps 21
Pengurangan :
Rp 663.200
PTKP
a. WP sendiri Rp 54.000.000
b. WP kawin Rp 4.500.000
Rp 58.500.000
Penyelesian :
Penghitungan PPh Ps 21 :
Gaji Rp 20.000.000
Pengurangan:
Rp 700.000
PTKP
a. WP sendiri Rp 54.000.000
Rp 72.000.000
PKP Rp 159.600.000
PPh Ps 21 setahun
PPh Ps 21 sebulan
Pengurangan:
Biaya jabatan
5% x Rp10.500.000 Rp525.000
Iuran pension Rp50.000 Rp575.000
12 x Rp9.950.000 Rp119.100.000
PTKP
WP sendiri Rp54.000.000
PKP Rp60.600.000
PPh Ps 21 setahun
5% x Rp60.000.000 Rp3.000.000
Rp3.090.000
2. Ikha dengan status menikah dan mempunyai tiga anak bekerja pada PT Sinar Unggul. Suami dari
Ikha merupakan seorang pegawai negeri sipil di Dinas Kesahatan Kabupaten Tanggerang. Ikha
menerima gaji sebesar Rp5.000.000 per bulan. PT Sinar Unggul mengikuti program pension dan
BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pension kepada dana pension yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp60.000 perbulan. Ikha juga membayar iuran pension
sebesar Rp50.000 per bulan. Ikha juga membayar jaminan hari tua karyawan setiap bulannya 3,70%
dari gaji, sedangkan Ikha iuran jaminan hari tua setiap bulan sebesar 2,00% gaji. Premi jaminan
kecelakan kerja dan jaminan kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing
1,00% dan 0,30% dari gaji. Pada bulan Juli 2019 disamping menerima pembayaran gaji Ikha
menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp2.000.000. Penghitungan PPh Ps 21 bulan Juli 2019
adalah sebagai berikut:
Pengurangan:
Biaya jabatan
5% x Rp7.065.000 Rp353.250
PTKP
WP Rp54.000.000
PKP Rp24.741.000
PPh Ps 21 setahun
5% x Rp24.741.000 Rp1.237.050
Penyelesaian :
Pengurangan:
PTKP
a. WP sendiri Rp 54.000.000
PKP Rp 37.200.000
Pengurangan:
Rp 494.225
PTKP
a. WP sendiri Rp 54.000.000
Rp 63.000.000
PKP Rp 10.083.300
Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22
relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23.
Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap
“menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari
perdagangan tersebut.
Jadi, disimpulkan PPh Pasal 22 adalah pajak yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-
impor.
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero),
PT Krakatau Steel (Persero);
o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha
pertambangan.
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan
adalah:
1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri
hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
o mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;
dan
o menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
6. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah
menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016, objek PPh Pasal 22 berupa impor
barang-barang mewah tertentu.
1. Atas impor:
o yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
o non-API = 7,5% x nilai impor;
o yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan
bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =
0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan barang mewah sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM
dengan ketentuan :
o Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
o Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
o Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. .
8. Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal
22
PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk (BM).
Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam
pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang yang dibebaskan dari
pungutan BM dan/atau PPN, PPh Pasal 22 terutang dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean atas impor (PIB/Pemberitahuan Impor Barang).
PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan
logam, terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean atas ekspor.
PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah, KPA, bendahara
pengeluaran, pejabat penerbit SPM, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf e (BUMN, badan usaha yang dimiliki langsung oleh BUMN) terutang dan dipungut
pada saat pembayaran.
Penjualan hasil produksi oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen,
industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi terutang dan dipungut
pada saat penjualan.
Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran
barang (delivery order).
Pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i (badan usaha
industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri
manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspomya) dan pembelian batubara, mineral
logam dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j (badan
usaha yang rnelakukan pernbelian kornoditas tarnbang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam, dart badan atau orang pribadi pernegang izin usaha pertarnbangan), terutang
dan dipungut pada saat pembelian.
1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan penyetoran ke kas negara
melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan,
oleh:
3. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak (bendahara pemerintah,
KPA, bendahara pengeluaran, pejabat penerbit SPM) wajib disetor oleh pemungut ke kas negara
melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi atas nama rekanan
serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
4. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j , dan huruf k PMK 16/2016 wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP.
Pemungutan ini berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
kegiatan usahanya.
9.6 Tata Cara Penyetoran dan Buat Bukti Potong PPh Pasal 22
Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22
Masih berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 Perdirjen PER-3/PJ/2015 ini, tata cara penyetoran PPh
Pasal 22 ini adalah:
1. Penyetoran PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh eksportir komoditas tambang batubara, mineral
logam dan mineral bukan logam, dilakukan menggunakan SSP dengan ketentuan dalam kolom
‘Uraian Pembayaran’ diisi ‘Nomor Pengajuan Pemberitahuan Ekspor Barang’.
2. Terhadap bukti penyetoran pajak yang dilakukan oleh eksportir tersebut, DJBC melakukan
pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak itu sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean
ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.
3. Bukti penyetoran pajak yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean
ekspor adalah SSP yang telah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Eksportir wajib
mengisi Lembar Lanjutan Pemberitahuan Ekspor Barang (LLPEB) sesuai ketentuan sebagai berikut:
1. Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral logam, dan
mineral bukan logam, DJBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan Pasal ayat (1)
huruf b, dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, c, dan huruf d,
dalam PMK 34/2017 ini dilakukan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Surat Setoran
Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor (SSPCP) dan/atau Bukti Penerimaan Negara yang
berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.
2. Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, huruf j, dan huruf k wajib menerbitkan Bukti Pemungutan (Bukti Potong) PPh Pasal 22
dalam rangkap 3, yaitu:
Dalam beleid ini, cara pengisian Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 sesuai petunjuk dalam Lampiran
III.2, dengan cara mengunduh beberapa Formulir Bukti Potong PPh Pasal 22, yang bisa diunduh di
situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), di antaranya:
Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Badan Usaha Industri Eksportir Tertentu (F.1.1.33.04)
Daftar Bukti Pungut PPh Pasal 22
Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 (D.1.1.32.04)
1. Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir Tahun Pajak:
2. Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa
Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak.
3. Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT Masa, yaitu:
Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu
atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari
libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum
yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
pemerintah.
Sedangkan batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk SPT Masa PPh
Pasal 22, adalah:
Pada tanggal 1 Januari 2016, PT ABC mengimpor barang dari Jerman dengan harga faktur
US$100.000. Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-barang
tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.010/2016. Biaya asuransi
yang dibayar di luar negeri sebesar 5% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 10% dari harga
faktur.
Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20% dan 10%. Kurs yang ditetapkan
Menteri Keuangan pada saat itu sebesar US$1= Rp10.000. Hitunglah PPh Pasal 22 yang dipungut
oleh Ditjen Bea Cukai jika PT ABC memili API (Angka Pengenal Impor) dan jika tidak memiliki
API?
Jawaban
Jadi, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC, jika PT ABC memiliki API (2,5% x Nilai Impor)
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC jika PT ABC tidak memiliki API (7,5% x Nilai Impor)
TOPIK 10
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Ps 23)
1. Badan Pemerintah.
3. Penyelenggara Kegiatan.
6. Orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukan dari Direktur
Jendral Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23.
Yang dikenakan pemotongan PPh Ps 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha
Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa,
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubung dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau dipeorleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima
dividen, kepemilikan sahan badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal
yang disetor.
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
7. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan.
a. Jasa penilai;
b. Jasa aktuaris;
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
g. Jasa perancang;
5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dibayarkan WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);
Bukti Potong : Tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong adalah pihak pemotong harus memberikan
bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dipotong pajak dan bukti
potong (rangkap ke-2) kepada Kantor Pelayanan Pajak pada saat melakukan e-Filing pajak PPh 23.
Pelaporan : Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23,
lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal
20, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23
Pada 10 Mei 2015, PT Dahlia mengumumkan akan membagikan dividen melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), dan melakukan pembayaran dividen tunai kepada PT Melati sebesar
Rp30.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesal 15%.
Jawab:
Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2015
PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu dan beralamat di
Jl. Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki NPWP 01.111.444.8-061.000. Pada
tanggal 10 Juli 2013, perusahaan membayar dividen tunai kepada pemegang saham yang sebelumnya
telah diumumkan melalui RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran dividen tunai.
Jawab:
Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT ABCD.
1. Pada 2 Agustus 2014, PT Mawar membayar royalti kepada Tuan Zainudin sebagai penulis buku
sebesar Rp50.000.000. Tuan Zainudin telah mempunyai NPWP 01.444.888.2.987.000.
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Mawar adalah: 15% x Rp50.000.000 = Rp7.500.000
Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Agustus 2014
2. CV Selera Makan membayar royalti kepada Ny. Chritin atas pemakaian merek ayam goreng "Bu
Chris" sebesar Rp30.000.000.
Apabila Ny. Christ belum memiliki NPWP maka PPh Ps 23 yang dipotong CV Selera Makan adalah:
Pada tanggal 3 Januari 2015, PT Sejahtera melakukan pembayaran bunga obligasi kepada PT Damai
Sentosa sebesar Rp75.000.000. Obligasi tersebut tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Sejahtera adalah: 15% x Rp75.000.000 = Rp11.250.000
Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Januari 2015
Pada 20 Maret 2012, PT Abadi memberikan hadiah perlombaan kepada PT Makmur sebagai juara
umum lomba senam sehat sebesar Rp150.000.000.
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Abadi adalah: 15% x Rp150.000.000 = Rp22.500.000
Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Maret 2012
Contoh 1 :
PT Irama meminta jasa dari Pak Budi untuk membuat sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan
sebesar Rp80.000.000 .
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Irama adalah: 2% x Rp80.000.000 = Rp1.600.000
Contoh 2:
CV. Dohar yang beraktivitas menyediakan Asisten Rumah Tangga (ART) mendapat kontrak untuk
menyediakan 10 orang ART, tetapi tenaga kerja dimaksud tetap menjadi tenaga kerja CV. Dohar.
Kontrak menyepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh CV. Dohar terdiri atas gaji
tenaga kerja sebesar Rp 3.500.000,00 per orang per bulan dan imbalan atas penyediaan ART sebesar
Rp 700.000,00 per bulan. Berapakah besarnya PPh 23 yang dipotong oleh klien:
Jawab :
PT Karya Makmur membayar sewa kendaraaan bus pariwisata dengan nilai sewa sebesar
Rp35.000.000 kepada Sugianto Haris.
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Karya Makmur adalah: 2% x Rp35.000.000 = Rp700.000
Jawab:
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Indoraya adalah: 200% x 2% x Rp120.000.000 =
Rp4.800.000
Perhitungan PPh Pasal 23 Atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan
Harta
PT Sejahtera Raya menyewa sebuah teraktor milik Susanto dengan nilai sewa sebesar Rp10.000.000
2% x Rp10.000.000 = Rp200.000
Apabila Susanto belum memiliki NPWP maka PPh Ps 23 yang dipotong PT Sejahtera Raya adalah:
4% x Rp10.000.000 = Rp400.000
TOPIK 11
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang
merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh WP dalam negeri. Atas pajak tersebut, WP dapat mengkreditkan pajak
terutang dalam tahun pajak yang sama.
3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam
Tahun Pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat
lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
b. Jika tarif acuan pengenaan pajak di luar negeri < dalam negeri; atau jika tengah mengalami rugi
fiskal dalam negeri maka besaran
c. Nilai Pajak Dikreditkan = Beban Pajak yang Telah Dipotong di Luar Negeri
Catatan :
PKP dapat bernilai sama dengan penghasilan netto bagi WP badan, namun tidak bagi OP.
Nilai pajak dikreditkan tidak dapat melebihi beban pajak sesuai pasal 17.
Kententuan formal masih ada di kredit pajak luar negeri atas jenis penghasilan dividen. Namun di
Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018 sudah tidak ada lagi.
Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri bagi WPDN yang mengkreditkan PPh Luar Negeri
dapat berupa:
salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh Luar Negeri; atau
salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau pemotongan PPh
Luar Negeri.
Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri ini sekurang-kurangnya memuat data atau informasi
sebagai berikut:
Dalam hal WPDN memperoleh penghasilan usaha dan/atau penghasilan dari Trust di luar negeri
yang dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust, bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri
dapat digantikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang disampaikan di
luar negeri oleh cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri dan/atau surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan atau bukti pembayaran PPh Luar Negeri yang dilakukan oleh Trust.
PT. Daun Gugur di Surabaya memperoleh penghasilan neto pada tahun 2022 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri (tarif PPh Badan Rp600.000.00
22%) 0
Rp400.000.00
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%)
0
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT. Daun Gugur tahun 2022?
1
Menghitung total penghasilan kena pajak:
.
Penghasilan dalam negeri Rp 600.000.000
Penghasilan dari Vietnam Rp 400.000.000
Jumlah Penghasilan Neto Rp1.000.000.000
2
Menghitung total PPh terutang:
.
PPh terutang 22% x Rp1.000.000.000 Rp 220.000.000
3
Menghitung PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:
.
(Penghasilan Luar Negeri: Penghasilan Kena Pajak ) x total PPh
terutang
Rp
(Rp400.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp220.000.000
88.000.000
4
Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di Vietnam:
.
Rp
20% x Rp400.000.000
80.000.000
Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa PPh maksimum yang dapat dikreditkan sebesar Rp
88.000.000, akan tetapi pajak penghasilan yang terutang atau dipotong di Vietnam adalah sebesar
Rp80.000.000. Dengan demikian, jumlah yang dapat dikreditkan adalah Rp80.000.000. Jumlah ini
dipilih dari jumlah terendah di antara jumlah PPh maksimum yang boleh dikreditkan dan jumlah PPh
yang terutang atau dibayar di Vietnam.
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?
Jawaban
Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa PPh 24 maksimum yang dapat dikreditkan sebesar
Rp132.000.000, akan tetapi pajak penghasilan yang terutang atau dipotong di Belanda adalah sebesar
Rp180.000.000. Dengan demikian, jumlah yang dapat dikreditkan adalah Rp132.000.000. Jumlah ini
dipilih dari jumlah terendah di antara jumlah PPh 24 maksimum yang boleh dikreditkan dan jumlah
PPh yang terutang atau dibayar di Belanda
PT Selaras Abadi pada tahun 2022 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Di Thailand memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 40%). Di Jerman menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%).
Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp500.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2022?
Jawaban:
1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UU PPh,
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh
2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 UU PPh.
Untuk melakukan setoran pajak, Anda harus membuat ID Billing terlebih dahulu. OnlinePajak
menyediakan layanan pembuatan ID Billing secara online yang mudah, cepat dan akurat.
Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur nasional, dan
Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan
Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15 Maret 2014.
Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per bulan,
dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
2. Penghasilan PT Dira tahun 2019 adalah sebesar Rp250.000.000. Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang belum dikompensasi sebesar Rp50.000.000.
Pada tahun 2019 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain adalah sebesar Rp8.000.000 dan tidak
ada pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri.
Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Ps 25 adalah sebesar
= Rp42.000.000
TOPIK 13
BEA MATERAI
13.1 Dasar Hukum Bea Materai
Dasar Hukum
Dasar hukum pengenaan bea materai adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut
juga Undang-undang Bea Materai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Selain
itu, untuk mengatur pelaksanaanya, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000
tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan
Bea Materai.
Pengertian
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea
Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus
sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum
dokumen itu digunakan.
c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah), yang menyebutkan penerimaan uang, yang menyatakan pembukuan uang atau
penyimpanan uang dalam rekening di bank, yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, yang
berisi pengakuan bahwa utang uang sebagai atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.
e. Surat-surat berharga seperti: wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
d. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari maksud semula.
1. Surat yang membuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah):
2. Surat-surat berharga seperti: wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
1. Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai tidak lebih dari Rp 250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut tidak terutang Bea Meterai.
3. Segala bentuk Ijasah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat Belajar
(STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan
penataran.
4. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran
itu.
5. Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank.
6. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari
Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank.
8. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayarn uang tabungan kepada penabung oleh bank,
koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
10. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
1. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
Saat terutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat
dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada
saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya.
2. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen
itu dibuat;
Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah
pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan
dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada
saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.
3. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Bea Materai
yang terutang dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian.
Dalam UU yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2021 ini disebutkan untuk dokumen yang dibuat
sepihak, bea meterai terutang oleh pihak yang menerima dokumen. Untuk dokumen yang dibuat oleh
2 pihak atau lebih, bea meterai terutang oleh masing-masing pihak atas dokumen yang diterimanya.
“Dikecualikan dari ketentuan …, dokumen berupa surat berharga …, bea meterai terutang oleh pihak
yang menerbitkan surat berharga,” demikian bunyi penggalan Pasal 9 ayat (3) UU 10/2020, dikutip
pada Rabu (4/11/2020).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (4), dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan,
bea meterai terutang oleh pihak yang mengajukan dokumen. Atas dokumen yang dibuat di luar
negeri dan digunakan di Indonesia, bea meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas
dokumen.
Seperti diberitakan sebelumnya, bea meterai dikenakan atas dua jenis dokumen. Pertama, dokumen
yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata. Kedua,
dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Dokumen yang bersifat perdata dan dikenakan bea meterai antara lain, pertama, surat perjanjian,
surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya. Kedua, akta
notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.
Ketiga, akta pejabat pembuat akta tanah beserta salinan dan kutipannya.
Keempat, surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Kelima, dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.
Keenam, dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah
lelang, dan grosse risalah lelang.
Ketujuh, dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta yang
menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya
telah dilunasi atau diperhitungkan. Kedelapan, dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
“Ketentuan pihak yang terutang … tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau
menentukan mengenai pihak yang membayar bea meterai,” demikian bunyi penggalan Pasal 9 ayat
(6) UU 10/2020.
3. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada diatas kertas dan
sebagian lagi di atas meterai tempel;
4. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas
semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
Apabila cara diatas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
II. Kertas Meterai
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas
meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak
bermeterai;
1. Membubuhkan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
dengan tinta atau yang sejenis dengan itu diatas kertas Meterai;
2. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. Apabila ketentuan diatas tidak
dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.Pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada
penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal
sebanyak 50 dokumen.
2.Mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan;
3.Melampirkan surat pernyataan tentang jumlah ratarata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai
setiap hari;
4.Harus melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima
belas juta Rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (F.2.0.32.01) Ke Kas Negara melalui
Bank Presepsi.
TOPIK 14
BEA CUKAI (BC)
Bea berasal dari bahasa Sansekerta, bea berarti ongkos. Bea dipakai sebagai istilah ongkos barang
yang keluar atau masuk suatu negara, yakni bea masuk dan bea keluar. Instansi pemungutnya disebut
pabean. Hal-hal yang terkait dengannya disebut kepabeanan. Secara istilah, kepabeanan berarti
segala sesuatu yang terkait dengan pengawasan atas lalu lintas barang antar Negara.
Pabean
Filosofi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk
luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tarif barier yaitu besaran
dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang
impor. Sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah tidak memungut bea demi mendukung
industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa
pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.
Produk mentah seperti beberapa jenis kayu, rotan dsb pemerintah memungut pajak ekspor dan
pungutan ekspor dengan maksud agak para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan
bukanlah bahan mentah atau setengah jadi. Filosofi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini
adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan menjamin ketersediaan bahan baku bagi
industri dalam negeri.
Kegiatan impor dapat dikatakan sebagai proses jual beli biasa antara penjual yang berada di luar
negeri dan pembeli yang berada di Indonesia. Adapun tahapan impor adalah :
1) Hal yang penting dalam setiap transaksi impor adalah terbitnya L/C atau letter of credit yang
dibuka oleh pembeli di Indonesia melalui Bank (issuing bank)
2) Selanjutnya penjual di luar negeri akan mendapatkan uang untuk harga barangnya dari bank
dinegaranya (correspondent bank) setelah mengirim barang tersebut dan menyerahkan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan pengiriman barang dan spesifikasi barang tersebut (bill of
lading (BL), Invoicedsb).
4) Dokumen yang kini telah dipegang oleh importir tersebut digunakan untuk mengambil barang
yang dikirim oleh penjual. pada tahap ini proses impor belum dapat dikatakan selesai karena importir
belum mendapatkan barangnya.
5) Barang impor tersebut diangkut oleh sarana pengangkut berupa kapal-kapal pengangkut barang
(cargo) internasional dan hanya akan merapat di pelabuhan-pelabuhan resmi pemerintah, misalnya
Tanjung Priok (Jakarta) dimana sebagian besar kegiatan importasi di Indonesia dilakukan. banyak
proses yang harus dilalui hingga akhirnya sebuah sarana pengangkut (kapal cargo) dapat merapat
dipelabuhan dan membongkar muatannya (barang impor).
6) Istilah "pembongkaran" bukanlah barang tersebut di bongkar dengan dibuka setiap kemasannya,
namun itu hanya istilah pengeluaran kontainer/peti kemas dari sarana pengangkut kepelabuhan,
petugas DJBC tidak membongkar isi dari kontainer itu jika memang tidak ada perintah untuk
pemeriksaan.)
7) Setelah barang impor tersebut dibongkar maka akan ditempatkan ditempat penimbunan sementara
(container yard) perlu diketahui bahwa menyimpan barang di kawasan ini dikenakan sewa atas
penggunaan ruangnya (demorage).
8) Setelah bank menerima dokumen-dokumen impor dari bank corresponden di negara pengekspor
maka importir harus mengambil dokumen-dokumen tersebut dengan membayar L/C yang telah ia
buka. dengan kata lain importir harus menebus dokumen tersebut karena bank telah menalangi
importir ketika bank membayar eksportir saat menyerahkan dokumen tersebut.
9) Setelah selesai urusan dokumen tersebut maka kini saatnya importir mengambil barang tersebut
dengan dokumen yang telah importir peroleh dari bank (B/L, invoice dll).
10) Untuk mengambil barangnya maka importir diwajibkan membuat pemberitahuan impor barang
(PIB) atau disebut sebagai pemberitahuan pabean atau dokumenpabean sedangkan invoice, B/L,
COO (certificate of origin), disebut sebagai dokumen pelengkap pabean. Tanpa PIB maka barang
impor tersebut tidak dapat diambil oleh importir.
11) PIB dibuat setelah importir memiliki dokumen pelengkap pabean seperti B/L dll. Importir
mengambil dokumen tersebut melalui bank, maka jika bank tersebut merupakan bank devisa yang
telah on-line dengan komputer DJBC maka pengurusan PIB dapat dilakukan di bank tersebut.
12) Prinsip perpajakan di Indonesia adalah self assesment begitu pula dalam proses pembuatan PIB
ini, formulir PIB terdapat pada bank yang telah on-line dengan komputer DJBC setelah diisi dan
membayar bea masuk kepada bank maka importir tinggal menunggu barangnya tiba untuk
menyerahkan dokumen yang diperlukan kepada DJBC khususnya kepada kantor pelayanan DJBC
dimana barang tersebut berada dalam wilayah pelayanannya, untuk pelabuhan tanjung priok terdapat
Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok.
13) Setelah importir menyelesaikan PIB dan membayar bea masuk serta (pungutan impor) pajak-
pajak dalam rangka impor di bank, maka bank akan memberitahukan kepada DJBC secara on-line
mengenai pengurusan PIB dan pelunasan bea masuk dan pajak impor. dalam tahap ini DJBC hanya
tinggal menunggu importir menyerahkan PIB untuk diproses, penyerahan PIB inipun telah
berkembang sedemikian rupa hingga untuk importir yang telah memiliki modul impor atau telah
terhubung dengan sistem komputer DJBC dapat menyerahkan PIB secara elekronik (electronic data
interchange system = EDI system) sehingga dalam prosesnya tak terdapat interaksi secara fisik antara
importir dengan petugas DJBC.
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai
sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai. Cukai dikenakan terhadap
Barang Kena Cukai yang terdiri dari:
1) Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
pembuatannya;
2) Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan
bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil
alkohol;
3) Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan
tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan
pembantu dalam pembuatannya.
Barang kena cukai adalag barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, yang
konsumsinya perlu dikendalikan,peredarannya perlu diawasi,pemakaiannya dapat menimbulkan efek
negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan
negara demi keadilan dan keseimbangan.
Sehubungan dengan penetapan jenis barang kena cukai sebagaimana disebutkan di atas sesuai
Undang-Undang 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cukai, maka
saat ini untuk sementara waktu kita baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu
etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Tidak menutup
kemungkinan perubahan jenis Barang Kena Cukai.
1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagai mana telah
diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai;
2) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 62/PMK.011/2010 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol,
Minuman Yang Mengandung Etil Alkohol, Dan Konsentrat Yang Mengandung Etil Alkohol;
3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau;
4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.011/2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau;
5) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P-43/BC/2009 tentang Tata Cara Penetapan
Tarif Cukai Hasil Tembakau;
6) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P - 22/BC/2010 tentang Tata Cara
Pemungutan Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat Mengandung
Etil Alkohol.
3. Implementasi Cukai
Secara sederhana dapat dipahami bahwa harga sebungkus rokok yang dibeli oleh konsumen sudah
mencakup besaran cukai didalamnya. Pabrik rokok telah menalangi konsumen dalam membayar
cukai kepada pemerintah pada saat membeli pita cukai yang terdapat pada kemasan rokok tersebut.
Untuk mengembalikan besaran cukai yang sudah dibayar oleh pabrik maka pabrik rokok
menambahkan besaran cukai tersebut sebagai salah satu komponen dari harga jual rokok tersebut.
Sisi lain dari pengenaan cukai di beberapa negara maju adalah membatasi barang-barang yang
berdampak negatif secara sosial (pornografi dll) dan juga kesehatan (rokok, minuman keras dll).
Tujuan lainnya adalah perlindungan lingkungan dan sumber-sumber alam (minuman
kemasan, limbah dll), serta mengurangi atau membatasi konsumsi barang-barang mewah dan
sebagainya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (disingkat DJBC atau bea cukai) adalah nama dari sebuah instansi
pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa
penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan istilah douane. Seiring dengan era
globalisasi, bea dan cukai sering menggunakan istilah customs.
Dari segi kelembagaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang direktur jenderal
yang setara dengan unit eselon 1 yang berada di bawahKementerian Keuangan Indonesia,
sebagaimana juga Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan lain-lain.
Tugas dan fungsi DJBC adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara, antara lain
memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal
22, PPnBM) dan cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi
penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea
masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.
Selain itu, tugas dan fungsi DJBC adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi
peredaran minuman yang mengandung alkohol atau etil alkohol, dan peredaran rokok atau barang
hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, DJBC bertambah fungsi dan
tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan
pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.
Rencana kedepannya semua importasi akan diarahkan untuk menggunakan sistem ini karena
pertimbangan keamanan dan efisiensi, sehingga bermunculan warung -warung EDI (semacam warnet
khusus untuk mengurus importasi) disekitar pelabuhan yang akan membantu importir yang belum
memiliki modul impor atau tidak secara on-line terhubung dengan sistem komputer DJBC.
Proses pengeluaran barang impor sangat tergantung pada jenis barang impor itu sendiri, khusus untuk
barang impor asal tumbuhan dan hewan akan melalui pemeriksaan karantina (masa karantina) ini
penting untuk mencegah masuknya penyakit dan hal-hal yang tidak dinginkan dari segi
kekarantinaan dan kesehatan seperti pemeriksaan layak konsumsi atau tidak, masa kadaluwarsa, dsb,
untuk daging impor harus ada Certificate of origin agar diketahui dari mana asalnya, juga umumnya
sertikat halal untuk komoditi konsumsi. Selanjutnya DJBC akan memberlakukan National Single
Window (NSW) untuk pelayanan dengan otomasi.
Perlu diketahui sistem penjaluran barang yang diterapkan oleh DJBC dalam proses impor. Keempat
jalur ini awalnya dikategorikan dengan penerapan manajemen risiko berdasarkan profil importir,
jenis komoditi barang, track record dan informasi-informasi yang ada dalam data
base intelejen DJBC. Sistem penjaluran juga telah menggunakan sistem otomasi sehingga sangat
kecil kemungkinan diintervensi oleh petugas DJBC dalam menentukan jalur-jalur tersebut pada
barang tertentu. terdapat 4 (empat) penjaluran secara teknis. Pada tahun 2007 DJBC telah
memperkenalkan Jalur MITA, yaitu sebuah jalur fasilitas yang khusus berada pada kantor Pelayanan
Utama (KPU). Jalur tersebut adalah:
1) Jalur prioritas yang khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik, untuk importir
jenis ini pengeluaran barangnya dilakukan secara otomatis (sistem otomasi) yang merupakan
prioritas dari segi pelayanan, dari segi pengawasan maka importir jenis ini akan dikenakan
sistem Post Clearance Audit(PCA) dan sesekali secara random oleh sistem komputer akan ditetapkan
untuk dikenakan pemeriksaan fisik.
2) Jalur hijau, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi
komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk kedua jalur tadi pemeriksaan fisik barang tetap
akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem,
adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut terhadap barang.
3) Jalur Kuning, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi
komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk jalur tersebut pemeriksaan dokumen barang
tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem,
adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut terhadap barang.
4) Jalur merah (red chanel) ini adalah jalur umum yang dikenakan kepada importir baru, importir
lama yang memiliki catatan-catatan khusus, importir dengan risiko tinggi karena track record yang
tidak baik, jenis komoditi tertentu yang diawasi pemerintah, pengurusannya menggunakan jasa
customs broker atauPPJK perusahaan pengurusan jasa kepabeanan dengan track record yang tidak
baik ( "biro Jasa" atau "calo"), dlsb. Jalur ini perlu pengawasan yang lebih intensif oleh karenanya
diadakan pemeriksaan fisik barang. pemeriksaan fisik tersebut bisa 10%, 30% dan 100%.
4) Direktorat Cukai
2) Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai
9) Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah Dan D.I. Yogyakarta di Semarang
16) Kantor Wilayah DJBC Maluku, Papua Dan Papua Barat di Ambon
Dalam The Free Dictionary, istilah duty dalam ilmu ekonomi ialah In economics, a duty is akind of
tax often associated with customs, a payment due to the revenue of a state, levied by force of law.
Properly a duty differs from a tax in being levied on spesific commodities, financial transactions,
estates, etc, and not on individuals; thus it is right to talk of import duties, excies_duties, death or
succession duties, ets, but of income tax as being levied on a person in proportion to his income.
(Farlex, Inc, www,thefreedictionary,com, 2006),
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa duty lebih ditekankan kepada hal yang berhubungan dengan
kepabeanan atau aktivitas impor/ekspor, yaitu memasukkan/mengeluarkan barang dari/ke luar negeri
yang dikenakan terhadap barang tertentu atau transaksi keuangan tertentu yang tidak bersifat
individual (subjektif) sehingga atas impor barang tertentu yang termasuk barang kena cukai dari luar
negeri, selain dikenakan bea masukan juga dikenakan cukai. Sebaliknya, terhadap produk dalam
negeri yang dikenakan cukai apabila diekspor atau dikirim ke luar negeri dapat dimintakan
pengembalian cukainya.
Hubungan dengan undang-undang pajak sebagai pajak objektif yang berkaitan dengan abrang kena
pajak, yaitu PPN dan PPnBM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983jo Nomor 11 Tahun 1994 jo 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Barang Mewah disebutkan dalam ketentuan umum, “Dasar pengenaan pajak adalah jumlah
harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, dan nilai lainnya yang ditetapkan keputusan
Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang”, sedangkan
nilai impor adalah, “Nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan pajak bedasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
pabean untuk impor barang kena pajak tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut
menurut undang-undang ini. “Nilai pabean untuk perhitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari
barang yang bersangkutan (Pasal 15, Ayat 1 undang-undang tentang kepabeanan).
Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang diimpor adalah
nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran (Pasal 6, Ayat 2) undang-undang tentang
cukai. Artinya, harga dasar yang digunakan adalah nilai impor, yaitu nilai pabean ditambah bea
masuk atau dapat juga harga jual eceran (biasanya harga jual eceran telah memperhitungkan nilai
pabean, bea masuk, dan biaya-biaya lain yang timbul dalam pengimporan, serta margin
(keuntungan). Jadi, pajak dalam rangka impor berupa PPN, PPnBM, dan PPh atas impor (Pasal 22)
yang dipungut oleh DJBC dikenakan dengan dasar nilai pabean ditambah duties yang dibebankan
atas barang tersebut.
14.5 Cukai Hasil Tembakau
Berkaitan dengan cara pelunasan cukai hasil tembakau yang dilakukan dengan cara pelekatan pita
cukai, maka komponen-komponen data yang diperlukan adalah :
Penghitungan cukai hasil tembakau menggunakan satuan per batang, yaitu jumlah batang dalam
satu bungkus.
d) Jumlah lembar
Pengertiannya adalah jumlah lembar pita cukai yang dipesan. Hal lain yang harus diperhatikan
dalam perhitungan cukai hasil tembakau adalah kewajiban pemungutan pajak pertambahan nilai
(PPN) hasil tembakau.
PPN HT dalam negeri =Tarif Efektif (8,4 %) x Harga Jual Eceran Total
Harga Jual Eceran Total = HJE per kemasan x Jumlah Lembar Pita Cukai x Jumlah Keping Seri
c. Golongan barang kena cukai yang dibedakan berdasarkan kadar etil alkohol yang terkandung di
dalamnya.
Dinegara tetangga adalah penggunaan deterjen yang berlebihan, yang telah mencemari sungai yang
menjadi bahan baku pembuatan air minum publik oleh perusahaan pemerintah. Hal ini membuat
pemerintah mengeluarkan biaya ekstra untuk proses produksi air minum tersebut. Pemerintah tidak
dapat menaikkan harga air minum karena adanya resistensi publik atas rencana tersebut. Sebagai
jalan keluar, dikenakan cukai pada semua produk deterjen di negara tersebut. Didasari atas asas
keadilan, maka pertambahan biaya proses pemurnian air tersebut tidak dibebankan kepada konsumen
air minum, tetapi dibebankan kepada setiap konsumen deterjen. Asas yang sama telah berlaku pada
para perokok aktif di Indonesia. Perokok pasif harus menanggung risiko yang lebih besar, oleh sebab
itu cukai rokok dibebankan setinggi-tingginya.
Contoh Soal I
Tarif Advalorun
Maka Pungutannya,
BM : 5% x 9.000.000 = Rp 450.000
Contoh Soal II
Produsen Sigaret Kretek Mesin “PT MZF” telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai (P3C)
Hasil Tembakau untuk kebutuhan bulan Februari 2019. Pada tanggal 4 Januari 2019, Pengusaha
tersebut mengajukan CK-1 dengan total rincian pengajuan, sebagai berikut :
Jawab:
= Rp114.375.000,-
1) Pabrik etil alkohol “FF” di Medan mengajukan permohonan pengeluaran BKC dengan pelunasan
cukai (dokumen CK-14)kepada KPPBC Medan,dengan rincian:
Pertanyaan, Berapa nilai cukai yang harus dibayar Pengusaha sebelum BKC dikeluarkan dari
Pabrik ?
Jawab :
=Rp. 240.000.000 ,-
2) Importir “ZZA” mengimpor barang kena cukai berupa etil alkohol dari luar negeri dengan rincian
data sebagai berikut :
- Harga barang tersebut sesuai invoice adalah C& F USD 0.5 per liter
Pos Tarif : 2207.10.00.00 (BM 30%, PPN 10%, PPh. Psl. 22 2,5%)
Pertanyaan : Hitung pungutan yang harus dilunasi Importir sebelum barangnya dapat dikeluarkan
dari Kawasan Pabean.
Jawab :
=Rp. 140.250.000,-
Contoh Soal IV
1. Berapa Cukai Yang Harus Dibayar Untuk 2.OOO KRAT @ 15 BOTOL BIR, KADAR 3%, ISI
PER BOTOL @ 2 LITER ?
2. Berapa Cukai Yang Harus Dibayar Untuk Etil Alkohol 30 DRUM @ 200 Liter kadar 96 %
3. Produsen MMEA “PT MZF” telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai MMEA (P3C)
untuk kebutuhan bulan Februari 2012 sebanyak 1.500 lembar pita cukai Gol B. Pada tanggal 3
Januari 2012, Pengusaha tersebut mengajukan CK-1A dengan total rincian pengajuan, sebagai
berikut. Hitung nilai cukai yang terhutang !
Jawab:
Pertama kali yang harus kita ingat bahwa pita cukai MMEA diterbitkan dalam satu seri saja, dengan
jumlah keping pita cukai perlembarnya sebanyak 60 keping.
Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang diimpor
adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran (Pasal 6, Ayat 2) undang-
undang tentang cukai
Select one:
True
False
Bea cukai ini dibentuk kembali pada Oktober 1946 dengan sebutan Pejabatan Bea dan
Cukai
Select one:
True
False
Lembaga Bea Cukai di Indonesia dibentuk pada...
Select one:
a. November 1946
b. September 1946
c. Desember 1946
d. Oktober 1946
D
Majalah tentang Bea dan Cukai dapat diakses dalam aplikasi yang diunduh melalui Play
Store
Select one:
True
False
Dengan cukai pemerintah berharap dapat menghalangi penggunaan obyek cukai untuk
digunakan secara bebas.
Select one:
True
Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh DPJ dan kewajiban bea masuk/bea
keluar dan cukai yang dipungut oleh DJBC tidak berkaitan erat yang dapat kita lihat melalui
pemahaman istilah kewajiban dan pemahaman ketentuan perundangan yang ada
Select one:
True
Pada September 2019 Ditjen Bea Cukai merubah aturan impor barang melalui e-
commerce dengan menyesuaikan aturan nilai minimal pembebasan bea masuk (de minimis
value) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terkait barang kiriman yang menurun menjadi
US$75 dari jumlah awal US$100
Select one:
True
False
Yang termasuk fungsi utama Ditjen Bea dan Cukai adalah ....
Select one:
a. semua benar
b. 1, 2 dan 3
c. 1 dan 3
d. 2 dan 4
A