Perpajakan 3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 100

TOPIK 1

DASAR DASAR PERPAJAKAN

1.1 Pengertian Pajak

Definisi atau pengertian pajak menurut prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:


1.  Iuran dari rakyat kepada negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang(bukan barang).
2.  Berdasarkan undang-undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3.  Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat di tunjuk.
4.   Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.

Pajak Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat
pelanggaran hukum, namun wajib dilaksakanan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,
tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan
tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Sedangkan  menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan


Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021, Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
1.2 Fungsi Pajak
Secara umum Pajak dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, termasuk digunakan
sebagai pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran, tak terkecuali pengeluaran yang
bertujuan dengan pembangunan negara.

Melalui definisi pajak yang bertujuan untuk kemakmuran rakyat, pajak juga dibagi menjadi 4 fungsi,
yaitu :

1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgeter)

Pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya.

2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulasi)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi.

Contoh :

a. Pajak yang tertinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman
keras.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup
konsumtif.

3. Fungsi Stabilitas 

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan
dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan
jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungut pajak, penggunaan pajak yang efektif dan
efisien.

4. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum,
termasuk juga untuk membiayai pembangunana sehinga dapat membuka kesempatan kerja, yang
pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
1.3 Syarat Pemungutan Pajak
1. Pemungutan Pajak Harus Adil (Syarat Keadilan)

Sesuia dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang maupun pelaksanaan
pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara
umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

2. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang-undang ( Syarat Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum
untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warnganya. 

3. Tidak Menggunakan Perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga
tidak menimbulkan kelesuhan perekonomian masyarakat.

 4. Pemungutan Pajak Harus Efisien (Syarat Finansial)

Sesuai fungsi anggaran, biaya pemungutan pajak harus lebih rendah dari hasil pemungutannya.

 5. Sistem pemungutan Pajak Harus Sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi
kewajiban pajaknya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru:

a. Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tariff.

b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tariff, yaitu 11%.

c. Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi
pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi)

1.4 Teori-teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak


1. Teori Asuransi

Negara meilindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat
harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan)
masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara semakin tinggi pajak
yang harus dibayar.

3. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur  daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan
yaitu:

a.Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang.

b. Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.

Contoh:

                                                Tuan A                                    Tuan B

Penghasilan/bulan                  Rp 100 juta                             Rp 100 juta

Status                                      Menikah                                  Belum menikah

                                                Memiliki 3 anak

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga
Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu
kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik
daya beli dari ruma tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara.
1.5 Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formal
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungutan pajak dengan rakyat
sebagai wajib pajak. Ada 2 macam Hukum Pajak, yaitu:

1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan, antara lain
peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa
besar pajak yang dikenakan (tariff pajak), segala sesuatu timbul dalm hapusnya utang pajak, dan
hubungan hukum antara pemerintah pajak dengan wajib pajak.

2. Hukum pajak formal, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain:

a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.

b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap Wajib Pajak mengenai keadaan,
perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelanggarakan pembukuan atau pencatatan, dan hak-hak
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan dan banding.

1.6 Pengelompokan Pajak


1. Menurut Golongannya

a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada
orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut Sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti
memerhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri
wajib pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintahan pusat dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga Negara.

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan
Bea Materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.

Pajak Daerah terdiri dari:

1. Pajak Provinsi.

Contoh: Pajak kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

2. Pajak Kabupaten/Kota.

Contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.

1.7 Tarif Pajak

Ada empat macam tarif pajak:

1. Tarif Sebanding/Proporsional

Tariff berupa persentase yang tetap terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak, sehingga
besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

Contoh:

Untuk penyerahan barang kena pajak didalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai sebesar 11%.

2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapa pun jumlah yang dikenai pajak, sehingga
besarnya pajak yang terutang tetap.

Contoh:

Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapa pun adalah
Rp3.000,00.

3. Tarif Progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh:

Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. 

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


0-Rp60.000.000,00 5%
Di atas Rp60.000.000,00 s.d Rp250.000.000,00 15%
Di atas Rp250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 25%
Di atas Rp500.000.000,00 s.d Rp5.000.000.000 30%
Di atas Rp5.000.000.000 ke atas 35%
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tariff progresif dibagi menjadi:

a. Tarif Progresif Progresif      : kenaikan persentase semakin besar

b. Tarif Progresif Tetap           : kenaikan persentase tetap

c. Tarif Progresif Degresif      : kenaikan persentase semakin kecil

d. Tarif Degresif

Persentase tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
TOPIK 2
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2.1 Dasar Hukum dan Pengertian Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan

Dasar Hukum

Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-undang No.6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.7 Tahun 2021.

Pengertian-pengertian

Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan dijumpai pengertian-


pengertian atau istilah yang sudah baku. Pengertian atau istilah-istilah tersebut antara lain:

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutabg oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan
pemungutan pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya.

4. Masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan
dalam Undang-undang KUP. Masa pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

5. Tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

6. Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.

7. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam
tahun pajak, atau dalam bagaian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

8. Surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

2.2 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


Pengertian

Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administarsi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

 Fungsi NPWP

a. Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.

b. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan


administarsi perpajakan.

Pencatuman NPWP

Dalam hal ini berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencamtukan
Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.
Pendaftaran NPWP

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan wajib mendaftarankan diri pada kantor
Direktorat Jendral Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib
pajak dan kepada wajib pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

 Sanksi

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang atau
kekurangan dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah terutang yang tidak atau kurang bayar.

Penghapusan NPWP

Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapus NPWP dari administrasi Kantor Pelayanan Pajak.
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jendral Pajak apabila:

 1. Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan atau objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 2. Wajib Pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian atau
penggabungan usaha.

3. Wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan.

4. Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.

5. Dianggap perlu oleh Direktur Jendral Pajak untuk menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dari
Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

Format NPWP

NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (Sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6
(enam) digit berikutnya merupakan Kode Adminitrasi Perpajakan. Formatnya adalah sebagai berikut:
XX. XXX. XXX. X-XXX. XXX
2.3 Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarlan Undang-
undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang:

1. Memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak

2. Tidak memiliki sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi sampai dengan suatu bulan dalam suatu
usaha tahun buku jumlah nilai peredaran bruo atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak telah melampui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak paling lama akhir bulan berikutnya.

Fungsi Pengukuhan PKP

a. Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.

b. Melaksanakan hak dan kewajiban dibidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.

c. Pengawasan administrasi perpajakan.

Tempat Pengukuhan PKP

Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai PKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP pada:

a. Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan yang


wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan atau tempat kegiatan usaha
Wajib Pajak.

b. Kantor Pelayanan Pajak tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


dibidang perpajakan.

Pencabutan Pengukuhan PKP

Direktur Jendral Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat melakukan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pencabutan PKP dapat dilakukan dalam hal :
a. PKP pindah alamat ke wilayah kerja kantor pelayanan pajak lain.

b. Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan atau
penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran tempat terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai ditempat lain.

c. PKP telah dipusatkan tempat terutangnya PPn ditempat lain. (diutangkan ke pkp lain yg utang ke 1
pkp)

d. PKP menyalahgunakan Pengukuhan PKP.

Sanksi

Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk dilakukan sebagai Pengusaha
Kena Pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua)
kali jumlah pajak terutang atau kekurangan dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah terutang
yang tidak atau kurang bayar.

2.4 Surat Pemberitahuan (SPT)

Pengertian SPT

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang wajib pajak digunakan untuk melaporkan
penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta
dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Fungsi SPT

Fungsi surat pemberitahuan bagi wajib pajak, Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk melaporkan
dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya dan untuk melaporkan
tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak.

c. Harta dan kewajiban.

d. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan tentang pajak orang pribadi atau badan lain dalam
1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2.5 Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran Pajak


        

Pengertian

Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan
menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Fungsi SSP

SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.

Tempat Pembayaran Penyetoran Pajak

a. Bank ditunjuk oleh Menteri Keuangan

b. Kantor Pos

Batas Waktu Pembayaran atau Penyetoran Pajak

Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak diatur sebagai berikut:

a. Pembayaran Masa
1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama
tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh menteri
keuangan.

3. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

4. PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

5. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor pling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setalh masa pajak berakhir.

6. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

7.  PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.

8. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas
impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

9. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.

10. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja
Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan an ditandatangani oleh
bendahara.

11. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau
industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar
minyak, gas pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan beikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.

b. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Keteapan Pajak Kurang
bayar tambahan, dan surat keputusan keberatan, surat keputusan pembentulan, putusan banding, serta
putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal diterbitkan.

c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
TOPIK 3
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

3.1 Dasar Hukum dan Pengertian PPDSP


Dasar Hukum

Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2000.

Pengertian-Pengertian

a. Penanggung Pajak,

Orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
b. Penagihan Pajak

Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan biaya penagihan pajak
dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanaan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

c. Biaya Penagihan Pajak

Biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang,
Pembatalan Lelang, Jasa Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.

3.2 Pejabat dan Jurusita

Pejabat adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan
Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak
sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh Utang Pajak menurut
undang-undang dan peraturan daerah. 
Jurusita Pajak adalah pelaksanaan tindakan penagihan yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.

Tugas Jurusita Pajak :

a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus

b. Memberitahukan Surat Paksa

c. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan

d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan

3.3 Surat Paksa

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Surat Paksa sekurang-kurangnya meliputi:

a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.

b. Dasar Penagihan.

c. Besarnya Utang Pajak, dan

d. Perintah untuk membayar.

Surat Paksa diterbitkan apabila :

a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan surat teguran atau surat
peringatan atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus.

c.  Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan


persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:

a. Penanggung pajak

b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau bekerja di tempat usaha penanggung pajak,
apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.

c. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya apabila
wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi.

d. Para ahli waris, apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.

Surat paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita kepada:

a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal.

b. Pegawai tetap ditempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila jurusita pajak tidak dapat
menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam point (a).

Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, Surat pajak diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas
atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam hal wajib pajak dinyatakan bubar atau dalam
likuiditas. Surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan
pemberesan atau likuidator.

Catatan:

a. Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan surat paksa.

b. Pelaksanaan surat paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua)
kali 24 (dua puluh empat) jam setelah surat paksa diberitahukan.

3.4 Penagihan Seketika dan Sekaligus


Penagihan Seketika dan Sekaligus

Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita
pajak kepada penanggung pajak tanpa tunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh
Utang Pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Jurusita pajak melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan apabila:

1. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu.

2. Penanggung pajak memindahkantangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di
Indonesia.

3. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau
menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang
dimiliki atau dikuasinya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.

4. Badan usaha akan dibubar oleh Negara.

5. Terjadinya penyitaan ata sbarang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda
kepailitan.

Surat Perintah Penagiahan Seketika dan Sekaligus Sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.

2. Besarnya utang pajak.

3. Perintah untuk bayar.

4. Saat pelunasan pajak.

 
3.5 Lelang

Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan
atau tulisan melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Apabila utang pajak dan atau
biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang
melaksanakan penjulan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.

3.6 Penyitaan

Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan
jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila utang pajak
dilunasi penanggung pajak dalam jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setalah surat
paksa diberitahukan, pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. Penyitaan
dilakukan oleh jurusita pajak disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa,
penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak,  dan dapat dipercaya. Setiap mekaksanakan
penyitaan, jurusita pajak membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh juru sita
pajak, dan saksi-saksi.

Barang yang dapat disita dapat berupa:

a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dan atau

b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
 

Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:

a. Pakaian dan tempat tidur beserta pelengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajakdan
keluarga yang menjadi tanggungannya.

b. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang
ada di rumah.

c.  Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang
dipergunakan

d. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara.

e. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha
sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Besarnya nilai peralatan ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan atau keputusan Kepala
daerah.

f. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi
tanggungannya.

Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh pengadilan Negeri atau
instansi lain yang berwenang. Terhadap barang telah disita tersebut, jurusita pajak menyampaikan
surat paksa kepada pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan negeri dalam
sidang sebelumnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Sedangkan
instansi lain yang berwenang, setelah menerima surat paksa menjadikan barang tersebut sebagai
jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan
pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahulu negara untuk
tagihan pajak.

3.7 Pencegahan dan Penyanderaan


Pencegahan adalah larangan bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari
wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. 
Penyanderaan adalah pengekangan semestara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan
menempatkannya ditempat tertentu.

TOPIK 4
PAJAK PENGHASILAN (PPH)

4.1 Dasar Hukum Pajak Penghasilan

Undang-undang No.7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984.
Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan.

Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek
pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek
pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-undang
Pajak Penghasilan (PPh) disebut wajib pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun
pajak.
4.2 Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Yang menjadi Subjek Pajak adalah:

1. a. Orang pribadi

    b.  Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Badan berdiri dari perseroan terbatas, perseroan komaditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD
dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Subjek pajak dapat dibedakan menjadi:

Subjek pajak dalam negeri dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia terdiri dari:

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.

·  Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu12 (dua belas) bulan.

·  Orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.

b. Badan, yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:

· Pembentukannya berdasarkan kemampuan perundang-undangan ;

· Pembiayaan bersumber dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;

· Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah pusat atau Pemerintahan Daerah; dan

· Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.


c. Subjek Pajak Warisan yaitu warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.

Subjek pajak luar negeri adalah:

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

b. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.

4.3 Kewajiban Pajak Subjektif


Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai subjek pajak dalam negeri
maupun subjek pajak luarn negeri, berikut ini diberikan tabel mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif.

MULAI BERAKHIR
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi: Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi:

~ Saat dilahirkan. ~ Saat meninggal

~ Saat berada di Indonesia atau berniat ~ Saat meninggalkan Indonesia untuk selama-
bertempat tinggal di Indonesia. lamanya

   

Subjek Pajak Dalam Negeri Badan: Subjek Pajak Dalam Negeri Badan:

~ Saat didirikan atau bertempat kedudukan di ~ Saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
Indonesia. kedudukan di Indonesia.
 

MULAI BERAKHIR
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT: Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:

~ Saat menjalankan usaha atau melakukan ~ Saat tidak lagi menjalankan usaha atau
kegiatan melalui BUT di Indonesia. melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui
BUT: BUT:

~ Saat menerima atau memperoleh penghasilan ~ Saat tidak lagi menerima atau memperoleh
dari Indonesia penghasilan dari Indonesia.
Warisan Belum Terbagi: Warisan Belum Terbagi:

~ Saat timbul warisan yang belum terbagi. ~ Saat warisan telah selesai dibagikan.
 

TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing;

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsultan, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :

a. Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut.

b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

3. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan


syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi terrsebut;

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri


Keuangandengan syarat:

a. Bukan warga negara Indonesia.

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

4.4 Objek Pajak dan Tidak Termasuk Objek Pajak


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

Penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak tidak dikarenakan pajak
penghasilan (yang tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :

1.  a. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.

   b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau Menteri Keungan; sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan

2. Warisan

3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyerahan modal.

4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura (benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat.

7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keungan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7,
dalam bidang-bidang tertentu yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keungan.

9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
4.5 Mekanisme Pemajakan PPh dan Rumus Umum Menghitung
PPh

Pada dasarnya jika subjek pajak dan objek pajak dari pajak penghasilan sudah ditentukan, kita
langsung dapat menghitung besarnya PPh terutang untuk menetukan berapa besarnya sebagian
penghasilan (harta kekayaan rakyat) yang harus diberikan kepada negara oleh rakyat yang menerima
atau memperoleh penghasilan. Tetapi sebelum kita membahas cara menghitung besarnya PPh
terutang, kita terlebih dahulu harus mengetaahui siapa yang diwajibkan untuk menghitung besarnya
PPh terutang, menyetorkannya ke kas negara dan mempertanggunjawabkannya, dan mengenai kapan
rakyat atau wajib pajak harus menghitung sebagian penghasilannya yang harus dibayar ke negara.

4.6 Sistem Pemajakan PPh


Ketentuan mengenai siapa yang diwajibkan menghitung besarnya PPh terutang serta bagaimana tata
cara menyetor dan mempertanggungjawabkan kewajibannya itu disebut ketentuan mengenai tata cara
pemajakan atau mekanisme pemajakan atau prosedur pemajakan atau administrasi perpajakan PPh.

Pada prinsipnya WP (Tak Payer) itu sendiri harus menghitung dan menetapkan berapa besarnya PPh
terutang lalu segera melunasi/membayar sendiri ke kas negara. Cara ini dinamakan cara menetapkan
dan membayar pajak sendiri (Self Assesment System) (dasar hukumnya adalah Pasal 12 UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No. 16 Tahun 2000 yang disingkat UU KUP). Istilah Self Assesment System adalah
istilah hukum. Sedangkan istilah administrasinya adalah Self Taxing System (Sistem Pemajakan
Sendiri).

Pengertian sistem pemajakan sendiri adalah WP yang menerima atau memeperoleh penghasilan
(menanggung beban pajak) itu sendiri yang menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang harus
dibayarnya, membayarnya ke kas negara dan melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak tersebut
ke aparat pajak, serta mempertanggungjawabkannya.

Self Assesment System atau sistem pemajakan sendiri memiliki kelemahaan, yaitu WP bisa
melakukan penyelundupan pajak, misalnya dengan menyembunyikan penghasilannya atau
melaporkannya dengan tidak benar, dan lain-lain. Untuk melengkapi atau menutupi kelemahan
sistem ini, maka pemajakan PPh juga dilakukan dengan cara:
Sistem Pemotongan (pajak) oleh pihak ketiga (With Holding System). Yang dimaksud dengan pihak
ketiga adalah pihak yang membayarkan atau terutang penghasilan. Pihak ketiga itu disebut pemotong
PPh. Jadi yang menghitung dan menetapkan besarnya PPh terutang adaalah pemotong PPh, bukan
WP sebagai pihak yang menerima penghasilan. Setelah menghitung besarnya PPh terutang, maka
pemotong PPh tersebut memotong dari penghasilan tersebut sebesar PPh yang telah dihitungnya dan
menyetorkannya ke kas negara untuk dan atas nama penerima penghasilan. Lalu pihak ketiga
tersebut (Pemotong PPh) melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dan
mempertanggungjawabkannya. Jika pemotong PPh melakukan kesalahan dalam memotong PPh,
maka sanksi administrasi perpajakan akan dikenakan terhadap Pemotong PPh, bukan kepada WP
penerima penghasilan.

Setiap badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, Sujek Pajak
Warisan yang Belum terbagi, Subjek Pajak BUT, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
secara otomatis (ditentukan langsung oleh UU PPh) menjadi pemotong PPh. Sedangkan Subjek Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri baru menjadi Pemotong PPh jika ia ditunjuk melalui keputusan Dirjen
Pajak sebagai Pemotong PPh. Mereka adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang WNA
(Warga Negara Asing) atau Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menyelenggarakan
pembukuan dan/ atau yang berprofesi sebagai tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (yang
dimaksud dengan tenaga ahli adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang melakukan
pekerjaan bebas yang meliputi Dokter, Pengacara, Notaris, PPAT selain Camat, Akuntan, Konsultan,
Aktuaris, Penilai, Arsitek). Dan mereka hanya terbatas sebagai Pemotong PPh atas penghasilan sewa.
Pemajakan dengan sistem pemotongan dan pemungutan disebut pemajakan pada sumber/asal
penghasilan, sehingga sulit bagi WP yang menerima atau memperoleh penghasilan menggelapkan
penghasilannya. Karena penghasilan yang diterima atau diperolehnya tersebut dilaporkan ke Kantor
Pajak oleh pihak yang membayarkan.

4.7 Pemajakan Secara Periodik dan Saat Terutang Pajak


Penghasilan
Penghitungan dan penyetoran/pembayaran PPh ke negara dimulai jika berdasarkan UU PPh
(berdasarkan kesepakatan antar rakyat yang diwakili oleh Parlemen Negara yang diwakili oleh
Eksekutif yang dituangkan dalam UU PPh) telah timbul kewajiban dari rakyat atau Wajib Pajak
untuk membayar PPh ke negara atau telah. timbul hak negara untuk menagih PPh dari Wajib Pajak
tersebut. Ketentuan mengenai kapan timbulonya kewajiban Wajib Pajak untuk membayar sebagian
penghasilannya disebut ketentuan mengenai saat timbulnya utang PPh atau saat terutangnya PPh.
Kita mengenal istilah janji adalah utang, artinya utang timbul karena perjanjian. Demikian pula
halnya dengan perpajakan, utang PPh itu timbul karena perjanjian, yaitu perjanjian antara rakyar itu
sendiri yang diwakili oleh parlemen dan negara yang diwakili oleh eksekutif dimana perjanjian itu
dituangkan dalam bentuk UU yang disebut UU Pajak.

Untuk PPh yang dihitung atau dipajaki pada setiap tahun pajak berakhir disebut Utang PPh Tahunan
atau PPh Tahunan Terutang dan dibedakan atas utang:
a. PPh Tahunan WP Orang Pribadi (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Orang Pribadi Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat
tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

b. PPh Tahunan WP Badan (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP Badan
Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final yang
siterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

c. PPh Tahunan BUT (WP orang Pribadi/Badan Luar Negeri BUT), yaitu PPh tahunan yang
dikenakan terhadap WP BUT pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat
tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

d. PPh Tahunan WP Warisan yang belum terbagi, yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Warisan yang belum etrbagi pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat tidak
final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

e. PPh Tahunan Pasal 21. PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang Pribadi
dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri khusus atas
penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final berupa penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang diterima atau diperolehnya dari awal tahun sampai akhir tahun bersangkutan.
Ketentuan mengenai mekanisme pemajakan PPh Tahunan Pasal 21 diatur di Pasal 21 UU PPh
sehingga disebut PPh Pasal 21.  

4.8 Rumus Umum Perhitungan PPh


Cara Menghitung PPh Terutang, baik PPh Tahunan Terutang, PPh Final Terutang, maupun Uang
Muka PPh Terutang bisa disajikan berupa rumus umum perhitungan PPh Terutang sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Tarif Pajak x Tarif PPh  = PPh Terutang

                                (Base x Rate                = Tax)             

 Dasar pengenaan pajak adalah suatu jumlah yang terhadapnya langsung diterapkan tarif pajak.

Dalam UU PPh, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu
1. DPP untuk pemajakan PPh bulanan hak pemajakan PPh final maupun pemajakan uang muka PPh
adalah

a. Penghasilan bruto atau jumlah bruto tanpa PPN/PPnBM, atau

b. Perkiraan penghasilan netto (penghasilan netto yang dikira-kira saja).

2. DPP untuk pemajakan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak/buku adalah Penghasilan Kena Pajak
(PKP). PKP dihitung sebagai berikut:

a. Bagi WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak wajib pembukuan (omset setahun tidak
melampaui 600 juta) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan norma penghitungan penghasilan
neto. Norma penghitungan penghasilan neto merupakan suatu persentase yang besarnya ditentukan
oleh Dirjen Pajak (Pasal 14 UU PPh).

b. Bagi WP yang wajib pembukuan (WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang omset setahun melebihi
600 juta, Wp Badan Dalam Negeri, WP BUT, dan WP Warisan yang belum terbagi) PKP dihitung
dari penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut (Pasal 6 sd 11, Pasal 9 dan 18 UU PPh) serta
kompensasi kerugian fiskal. Perhitungan ini mirip dengan perhitungan laba netto dalam akuntansi.

c. Bagi WP yang wajib pembukuan, tetapi karena sifat usahanya sulit menetukan penghasilan neto
(seperti Wp yang bergerak di bidang pelayanan atau penerbangan internasional), PKP dihitung dari
penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan Khusus. Norma Penghitungan Khusus merupakan
suatu persentase yang besarnya ditentukan oleh Menteri Keuangan yang mendapat wewenang dari
UU PPh (Pasal 15 UU PPh).

jadi dalam menghitung PKP untuk menjadi DPP, kita peratama-tama harus menghitung penghasilan
netonya terlebih dahulu.

4.9 Uang Muka PPh

Mengingat Pemajakan setelah tahun pajak berakhir mengandung kelemahan berupa:


a. Terbukanya peluang bagi WP untuk menggelapkan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
pada awal-awal tahun, kemungkinan WP sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membayar PPh
pada akhir tahun karena sudah habis dipakai sehingga menyulitkan penerimaan negara.

b. Mengingat WP untuk membayar utang PPh Tahunan dalam jumlah besar dan lain-lain.

c.  Demi bisa melakukan cek silang untuk kepentingan intensifikasi WP.

d.  Mencegah penyelundupan pajak dan lain-lain.

Maka UU PPh menentuka bahwa pada saat menerima atau memperoleh penghasilan terutama selama
satu tahun berjalan, WP yang menerima atau memperoleh penghasilan tertentu tersebut diharuskan
membayar uang muka PPh dalam jumlah tertentu dari penghasilan tertentu itu melalui sistem
pemotongan atau pemungutan atau pemajakan sendiri. Ketentuan tersebut diatur di BAB V UU PPh
tentang Pelunasan PPh Selama Tahun Berjalan (Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24,
Pasal 25). Nanti pada akhir tahun pajak, penghasilan itu ditambah dengan penghasilan lain yang tidak
dikenai uang muka PPh dikenai PPh tahunan (dihitung PPh tahunan terutang). Sedangkan uang muka
PPh yang telah dibayar selama tahun berjalan tersebut bisa diperhitungkan sebagai kredit pajak
(pengurang) dari PPh Tahunan Terutang (Bab V UU PPh Tentang Perhitungan Pajak Pada Akhir
Tahun).

TOPIK 5
Pajak Pengahasilan Pasal 21 (PPh Ps 21)

5.1 Pengertian PPh Ps 21

PPh Ps 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.

5.2 Wajib Pajak PPh Ps 21


Wajib pajak yang dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan
:
a. Pegawai.

b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua termasuk ahli warisnya.

c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan.

Yang tidak termasuk Wajib Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah:

a. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan orang – orang
yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka,
dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik.

 b. Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c Undang –
Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan
warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

5.3 Tidak Termasuk WP PPh Ps 21


1. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dari Negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama
mereka, dnegan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima dan
memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan dari Indonesia.

2. Pejabatan perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (1) hruf
c Undang-undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalanjakan usaha atau kegiatan pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan Indonesia.

5.4 Objek Pajak PPh Ps 21


1. Peghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat
teratur maupun tidak teratur.

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerimaan pension secara teratur berupa uang pension
atau penghasilan sejenisnya.

3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pension, tunjangan hari tua, atau jaminan hari
tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
pegawai berhenti bekerja.

4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.

5. Imbalan kepada bukan pegawai, anatara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.

6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.

7. Penghasilan berupa imbalan atau honorarium yang bersifat tidak teratur diterima atau diperoleh
anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada
perusahaan yang sama.

8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh manatan pegawai.

9. penghasilan berupa penarikan dana pension oleh peserta program pension yang masih berstatus
sebagai pegawai, dari dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keungan.

10. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh:

a. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.


b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed
profit)

Penghasilan sebagaimana tersebut diatas yang diterima atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak
dalm negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Ps 21. Sementara itu, apabila diterima atau
diporel orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang dipotong PPh Ps 26.

Catatan:

Penghitungan PPh Ps 21 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan lainnya didasarkan pada haraga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas
pemberian kenikmatan yang diberikan.

Dalam hal penghasilan diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, pemungutan PPh ps 21
didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan Menteri Keungan yang berlaku pada saat
pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

5.5 Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun


Besarnya biaya jabatan yang dikurangkan dari penghasilan bruto untuk penghitungan pemotongan
pajak penghasilan bagi pegawai tetap, ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-
tingginya Rp6.000.000 setahun atau Rp500.000 perbulan.

Besarnya biaya pension yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto untuk penghitungan
pemotongan Pajak Penghasilan bagi pension, ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-
tingginya Rp2.400.000 setahun atau Rp200.000 perbulan.

5.6 Tarif PPh 21


                        
Dasar Pengenaan (2)

 Penghasilan yang melebihi Rp 4.500.000,- per bulan


o Berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, satuan, atau
borongan.
o Berlaku sepanjang penghasilan kumulatif sebulan tidak melebihi Rp 4.500.000,-
 50% dari Penghasilan bruto
o Bukan pegawai yang menerima penghasilan tidak berkesinambungan (baik tenaga
ahli maupun bukan).
 Penghasilan bruto
o Merupakan seluruh jumlah penghasilan yg diterima atau diperoleh dalam suatu
periode atau saat dibayarkan.
o Berlaku atas penghasilan yang diterima oleh pihak selain yang telah diatur berdasar
ketiga DPP sebelumnya.

Elemen PTKP
No. Elemen PTKP
1 WP Sendiri Rp 54.000.000,-
2 Status Kawin Rp 4.500.000,-
3 Tanggungan, per orang, dengan jumlah maksimal tiga Rp 4.500.000,-
orang tanggungan.
4 PTKP bagi istri yang penghasilannnya digabung. Rp 54.000.000,-

5.7 Tarif Pemotongan PPh Ps 21 Bagi Penerima Penghasilan


Yang tidak Mempunyai NPWP
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Ps 21 yang tidak memiliki NPWP, dikenakan
pemotongan PPh Ps 21 dengan tarif lebih tinggi 20% dari pada tarif yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang memiliki NPWP. Artinya jumlah PPh Ps 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120%
dari jumlah PPh Ps 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.
Pemotongan PPh Ps 21 seperti ini hanya berlaku untuk pemotongan PPh Ps 21 yang bersifat tidak
final.

5.8 Saat Terutang

Saat terutang PPh Ps 21 dibagi menjadi dua yaitu bagi penerima penghasilan dan pemotongan
penghasilan. Bagi penerima penghasilam adalah pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat
terutangnya penghasilan yang bersangkutan, sedangkan bagi pemotong PPh Ps 21 adalah akhir bulan
dilakukannya pembayaraanya atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

TOPIK 6
Contoh Kasus I Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Ps 21)

6.1 Contoh Soal Gaji Sebulan I


Retto pada tahun 2019 bekerja pada perusahaan PT AB dengan memperoleh gaji per bulan
Rp5.750.000 dan membayar iuran pension sebesar Rp200.000. Retto menikah tetapi tidak memiliki
anak. Pada bulan Januari penghasilan Retto dari PT AB hanya dari gaji. Penghitungan PPh Ps 21
bulan Januari adalah:
Jawab:

Gaji perbulan                                                                                       Rp5.750.000

Pengurangan:

a. Biaya Jabatan

5% x Rp5.750.000      Rp287.500

b. Iuran Pensiun          Rp200.000

                                                                                                            Rp   487.500

Penghasilan neto perbulan                                                                  Rp5.262.500

Penghasilan neto setahun adalah

12 x Rp5.262.500                                                                               Rp63.150.000

PTKP setahun

a. untuk WP sendiri    Rp54.000.000

b. Menikah                  Rp  4.500.000                        

                                                                                                            Rp58.500.000

PKP setahun                                                                                       Rp  4.650.000

PPh Ps 21 terutang

5% x Rp4.650.00                                                                                Rp232.500

PPh Ps 21 perbulan

Rp232.500 : 12                                                                                   Rp19.375

6.2 Contoh Soal Gaji Sebulan II


Eko pegawai pada perusahaan PT ABC, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp
8.000.000. PT ABC mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, premi jaminan kecelakan kerja dan
premi jaminan kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30%
dari gaji. PT ABC menanggung iuran jaminan hari tua sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Eko
membayar iuran jaminan hari tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT ABC juga
mengikuti program pension untk pegawainya. PT ABC membayar iuran pension untuk Eko ke dana
pension, yang pendiriannya telah disahkan oleh Mentri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 200.000,
sedangkan Eko membayar iuaran pension sebesar Rp 100.000. Pada bulan  Juli 2019 Eko hanya
menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPH Ps 21 bulan Juli 2019 sebagai berikut: 

Penyelesaian : 

Penghitungan PPh Ps 21

Gaji sebulan                                                                                        Rp 8.000.000

Premi Jaminan Kecelakan Kerja                                                         Rp      40.000

Premi Jaminan Kematian                                                                    Rp      24.000

Penghasilan bruto                                                                                Rp 8.064.000

Pengurangan :

a. biaya jabatan 5% x Rp 8.064.000                 Rp 403.200                

b. iuran pension                                               Rp 100.000

c. iuran jaminan hari tua                                  Rp 160.000

                                                                                                            Rp      663.200

Penghasilan neto sebulan                                                                    Rp   7.400.800

Penghasilan neto setahun 12 x 7.400.800                                           Rp 88.809.600

PTKP

a. WP sendiri                                                   Rp 54.000.000

b. WP kawin                                                   Rp   4.500.000

                                                                                                            Rp 58.500.000

PKP setahun                                                                                       Rp 30.309.600


 

PPh Ps 21 terutang 5% x Rp 30.309.600                                            Rp   1.515.480

PPh Ps 21 sebulan Rp 1.515.480 : 12                                                 Rp      126.290

6.3 Contoh Soal Gaji Sebulan III


Dr. Aulia (menikah mempunyai 3 orang anak) merupakan dokter spesialis kandungan yang bekerja
sebagai pegawai tetap dirumah sakit swasta dengan gaji tetap sebesar Rp 20.000.000. Jam praktik
mulai pukul 08.00 s.d 12.00 selama 5 hari dalam seminggu. Untuk bulan Agustus 2019 dr. Aulia
menerima pembayaran dari rumah sakit berupa gaji sebesar Rp 20.000.000 dan menerima jasa medis
sebagai dokter yang bersumber dari pasien sebesar Rp 25.000.000. Dokter Aulia membayar iuran
pension sebesar Rp 200.000 setiap bulannya. Penghitungan PPh Ps 21 atas penghasilan dr. Aulia
pada bulan Agustus 2019 adalah :

Penyelesian : 

Penghitungan PPh Ps 21 :

Gaji                                                                                                     Rp   20.000.000

Penghasilan bruto                                                                                Rp   20.000.000

 Pengurangan:

a. biaya jabatan 5% x Rp 20.000.000             Rp 1.000.000

maksimum diperkenakan                                Rp    500.000

b. iuran pension                                               Rp    200.000

                                                                                                            Rp        700.000

Penghasilan neto sebulan                                                                    Rp   19.300.000

Penghasilan neto setahun 12 x Rp 19.300.000                                   Rp 231.600.000

 PTKP

a. WP sendiri                                                   Rp 54.000.000

b. Wp kawin                                                    Rp   4.500.000


c. 3 orang anak                                                Rp 13.500.000

                                                                                                            Rp   72.000.000

PKP                                                                                                     Rp 159.600.000 

PPh Ps 21 setahun

5%   x Rp   60.000.000                                                                       Rp     3.000.000

15% x Rp 99.600.000 =                                                                      Rp   14.940.000  

   PPh 21 Setahun                                                                             Rp    17.940.000

PPh Ps 21 sebulan

Rp 17.940.000 : 12                                                                             Rp     1.495.000

6.4 Contoh Soal Gaji Bulanan IV


1. Tanti Agustin adalah seorang karyawati dengan status menikah tanpa anak, bekerja pada PT
Dhrama Utama dengan gaji per bulan sebesar Rp8.500.000. Tanti Agustin membayar iuran pension
ke dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp50.000
perbulan. Berdasarkan surat keterangan dari Pemerintahan Daerah (Pemda) tempat Tanti Agustin
berdomisili yang diserahkan kepada pemberi kerja, diketahui bahwa suaminya tidak mempunyai
penghasilan apa pun. Pada bulan Juli 2019 selain menerima pembayaran gaji juga menerima
pembayaran atas lembur (overtime) sebesar Rp2.000.000. Penghitungan PPh Ps 21 bulan Juli 2019
adalah sebagai berikut:

Penghitungan PPh Ps 21:

Gaji per bulan                                                  Rp8.500.000

Lembur (overtime)                                          Rp2.000.000

Penghasilan bruto                                            Rp10.500.000

Pengurangan:

Biaya jabatan

5% x Rp10.500.000    Rp525.000
Iuran pension              Rp50.000                    Rp575.000

Penghasilan neto perbulan                              Rp9.925.000

Penghasilan neto setahun

12 x Rp9.950.000                                           Rp119.100.000

PTKP

WP sendiri                  Rp54.000.000

Menikah                      Rp4.500.000               Rp58.500.000

PKP                                                                 Rp60.600.000

PPh Ps 21 setahun

5% x Rp60.000.000    Rp3.000.000

15%x Rp600.000   Rp90.000

                                   Rp3.090.000

 PPh Ps 21 per bulan

Rp3.090.000 : 12        Rp257.500

2. Ikha dengan status menikah dan mempunyai tiga anak bekerja pada PT Sinar Unggul. Suami dari
Ikha merupakan seorang pegawai negeri sipil di Dinas Kesahatan Kabupaten Tanggerang. Ikha
menerima gaji sebesar Rp5.000.000 per bulan. PT Sinar Unggul mengikuti program pension dan
BPJS Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pension kepada dana pension yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp60.000 perbulan. Ikha juga membayar iuran pension
sebesar Rp50.000 per bulan. Ikha juga membayar jaminan hari tua karyawan setiap bulannya 3,70%
dari gaji, sedangkan Ikha iuran jaminan hari tua setiap bulan sebesar 2,00% gaji. Premi jaminan
kecelakan kerja dan jaminan kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing
1,00% dan 0,30% dari gaji. Pada bulan Juli 2019 disamping menerima pembayaran gaji Ikha
menerima uang lembur (overtime) sebesar Rp2.000.000. Penghitungan PPh Ps 21 bulan Juli 2019
adalah sebagai berikut:

Penghitungan PPh Ps 21:

Gaji per bulan                                                  Rp5.000.000


Lembur (overtime)                                          Rp2.000.000

Premi jaminan kecelakaan kerja                      Rp50.000

Premi jamninan kematian                                Rp15.000

Penghasilan bruto per bulan                            Rp7.065.000

Pengurangan:

Biaya jabatan

5% x Rp7.065.000      Rp353.250

Iuaran pension             Rp50.000

Iuran jaminan hari tua Rp100.000                  Rp503.250

Penghasilan neto per bulan                             Rp6.561.750

Penghasilan neto setahun

12x Rp6.561.750                                            Rp78.741.000

PTKP

WP                                                                  Rp54.000.000

PKP                                                                 Rp24.741.000

PPh Ps 21 setahun

5% x Rp24.741.000                                        Rp1.237.050

PPh Ps 21 per bulan

Rp1.237.050 : 12                                            Rp103.087


6.5 Contoh Soal Gaji Mingguan dan Harian I
Okta belum menikah, pada tahun 2019 bekerja sebagai tetap pada Perusahaan PT ABC menerima
gaji yang dibayar mingguan sebesar Rp 2.000.000. Penghitungan PPh Ps 21 minggu pertama bulan
Agustus 2019 apabila dalam minggu tersebut hanya menerima penghasilan berupa gaji saja adalah :

Penyelesaian :

Penghitung PPh Ps 21:

Gaji (4 x Rp 2.000.000)                                                                      Rp   8.000.000

Pengurangan:

Biaya jabatan 5% x Rp 8.000.000                                                      Rp      400.000

Penghasilan neto sebulan                                                                   Rp    7.600.000

Penghasilan neto setahun 12 x Rp 7.600.000                                     Rp 91.200.000

PTKP

a. WP sendiri                                                                                       Rp 54.000.000

PKP                                                                                                     Rp 37.200.000

PPh Ps 21 5% x Rp 37.200.000                                                           Rp   1.860.000

PPh Ps 21 sebulan Rp 1.860.000 : 12                                                 Rp      155.000

PPh Ps 21 atas gaji/upah Rp 155.000 : 4                                            Rp        38.750

6.6 Contoh Soal Gaji Mingguan dan Harian II


Indra pada bulan September tahun 2019 bekerja sebagai pegawai tetap pda perusahaan PT ABC
dengan memperoleh gaji dan dibayar harian sebesar Rp 250.000. Indra kawin dan mempunyai
seorang anak. PT ABC masuk program BPJS Ketenagakerjaan, Premi jaminan kecelakaan dan Premi
jaminan kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap bulan sebesar
1,00% dan 0,30% dari gaji. PT ABC membayar iuaran jaminan hari tua setiap bulannya sebesar
3,70% dari gaji dan Indra membayar iuraan pension Rp 35.000 dan jaminan hari tua sebesar 2,00%
dari gaji:
Penyelesaian :

Penghasilan sebulan (26 x Rp 250.000)                                              Rp 6.500.000

Premi jaminan kecelakaan kerja                                                          Rp      65.000

Premi jaminan kematian                                                                      Rp      19.500

Penghasilan bruto                                                                                Rp  6.584.500

Pengurangan:

a. biaya jabatan (5% x Rp 6.584.500)                                                Rp      329.225

b. iuaran pension                                                                                Rp        35.000

c. iuran jaminan hari tua                                                                     Rp      130.000

                                                                                                            Rp      494.225

Penghasilan neto sebulan                                                                   Rp   6.090.275

Penghasilan neto setahun 12 x Rp 6.090.275                                    Rp 73.083.300

PTKP

a. WP sendiri                           Rp 54.000.000

b. menikah                               Rp   4.500.000

c. seorang anak                        Rp   4.500.000

                                                                                                            Rp 63.000.000

PKP                                                                                                     Rp 10.083.300

PPh Ps 21 setahun 5% x Rp 10.083.300                                               Rp      504.165

PPh Ps 21 sebulan Rp 504.165 : 12                                                    Rp        42.013

PPh Ps 21 sehari Rp 42.013 : 26                                                         Rp          1.615


TOPIK 9
PPH PS 22

9.1 Pengertian PPh Pasal 22


Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal
22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap wajib
pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.

Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22
relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23.
Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap
“menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari
perdagangan tersebut.

Jadi, disimpulkan PPh Pasal 22 adalah pajak yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-
impor.

9.2 Pemungut PPh Pasal 22


Pemungut PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut :

Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22  adalah:

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran
langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya
Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero),
PT Krakatau Steel (Persero);
o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral
logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha
pertambangan.

Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan
adalah:
1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir
umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri
hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
o mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan;
dan
o menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
6. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.  90/PMK.03/2015, pemerintah
menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah.

9.3 Objek dan Tarif PPh Ps 22

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016,  objek PPh Pasal 22 berupa impor
barang-barang mewah tertentu.

Tarif PPh Pasal 22 adalah : 

1. Atas impor:
o yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
o non-API = 7,5% x nilai impor;
o yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yaitu:
o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan
bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =
0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan barang mewah sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM
dengan ketentuan :
o Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp
10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
o Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
o Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. .
8. Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal
22

9.4 Pengecualian PPh Pasal 22


Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:

1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
o yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang
tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk
Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan barang dagangan karena
pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana mestinya;
o sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP
Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;
o berupa kiriman hadiah;
o untuk tujuan keilmuan.
3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah yang
meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.

9.5 Ketentuan Pembayaran dan Cara Pemungutan


Ketentuan Pembayaran PPh Pasal 22
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK No. 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan PPh Pasal 22
Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau
Kegiatan Usaha di Bidang Lain, ketentuan pembayaran pajak penghasilan pasal 22 adalah:

 PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk (BM).
 Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam
pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang yang dibebaskan dari
pungutan BM dan/atau PPN, PPh Pasal 22 terutang dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean atas impor (PIB/Pemberitahuan Impor Barang).
 PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan
logam, terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean atas ekspor.
 PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh bendahara pemerintah, KPA, bendahara
pengeluaran, pejabat penerbit SPM, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf e (BUMN, badan usaha yang dimiliki langsung oleh BUMN) terutang dan dipungut
pada saat pembayaran.
 Penjualan hasil produksi oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen,
industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi terutang dan dipungut
pada saat penjualan.
 Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran
barang (delivery order).
 Pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i (badan usaha
industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri
manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspomya) dan pembelian batubara, mineral
logam dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j (badan
usaha yang rnelakukan pernbelian kornoditas tarnbang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam, dart badan atau orang pribadi pernegang izin usaha pertarnbangan), terutang
dan dipungut pada saat pembelian.

Tata Cara Pemungutan PPh Pasal 22


Tata cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22 ini juga diatur dalam Pasal 5 PMK No.
34/PMK.010/2017, yakni:

1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan penyetoran ke kas negara
melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk Menteri Keuangan,
oleh:

 Importir yang bersangkutan


 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam dan mineral
bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke kas negara
melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.

3. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak (bendahara pemerintah,
KPA, bendahara pengeluaran, pejabat penerbit SPM) wajib disetor oleh pemungut ke kas negara
melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi atas nama rekanan
serta ditandatangani oleh pemungut pajak.

4. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j , dan huruf k PMK 16/2016 wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP.

Pemungutan ini berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
kegiatan usahanya.

9.6 Tata Cara Penyetoran dan Buat Bukti Potong PPh Pasal 22
Tata Cara Penyetoran PPh Pasal 22
Masih berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 Perdirjen PER-3/PJ/2015 ini, tata cara penyetoran PPh
Pasal 22 ini adalah:

1. Penyetoran PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh eksportir komoditas tambang batubara, mineral
logam dan mineral bukan logam, dilakukan menggunakan SSP dengan ketentuan dalam kolom
‘Uraian Pembayaran’ diisi ‘Nomor Pengajuan Pemberitahuan Ekspor Barang’.

2. Terhadap bukti penyetoran pajak yang dilakukan oleh eksportir tersebut, DJBC melakukan
pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak itu sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean
ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.

3. Bukti penyetoran pajak yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean
ekspor adalah SSP yang telah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Eksportir wajib
mengisi Lembar Lanjutan Pemberitahuan Ekspor Barang (LLPEB) sesuai ketentuan sebagai berikut:

 Dalam kolom ‘Jenis Dokumen’ diisi dengan SSP


 Dalam kolom ‘Nomor Dokumen’ diisi dengan NTPN yang tertera dalam SSP
 Dalam kolom ‘Tanggal Dokumen’ diisi dengan tanggal NTPN
Berikutnya, ketentuan cara penyetoran PPh Pasal 22 dalam Pasal 6 PMK No. 34/PMK.010/2017 ini
disebutkan:

1. Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral logam, dan
mineral bukan logam, DJBC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan Pasal ayat (1)
huruf b, dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, c, dan huruf d,
dalam PMK 34/2017 ini dilakukan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Surat Setoran
Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor (SSPCP) dan/atau Bukti Penerimaan Negara yang
berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.

2. Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf i, huruf j, dan huruf k wajib menerbitkan Bukti Pemungutan (Bukti Potong) PPh Pasal 22
dalam rangkap 3, yaitu:

 Lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut.


 Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 22.
 Lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

Cara Membuat Bukti Potong PPh Pasal 22


Ketentuan dan tata cara membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti
Pemotongan/Pemungutannya.

Dalam beleid ini, cara pengisian Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 sesuai petunjuk dalam Lampiran
III.2, dengan cara mengunduh beberapa Formulir Bukti Potong PPh Pasal 22, yang bisa diunduh di
situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), di antaranya:

 Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Badan Usaha Industri Eksportir Tertentu (F.1.1.33.04)
 Daftar Bukti Pungut PPh Pasal 22
 Daftar Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 (D.1.1.32.04)

9.7 Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 22


Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 22
Pada umumnya, ketentuan penyampaian SPT Masa adalah:

1. Batas waktu penyampaian SPT Masa adalah paling lama 20 hari setelah akhir Tahun Pajak:
2. Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa
Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 hari setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak.

3. Tanggal jatuh tempo pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporan pajak untuk SPT Masa, yaitu:

 Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu
atau hari libur nasional, maka pembayaran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Jika tanggal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari
libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum
yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
pemerintah.

Sedangkan batas waktu pembayaran, penyetoran, atau pelaporan pajak untuk SPT Masa PPh
Pasal 22, adalah:

No Batas Pembayaran (Paling


Jenis Pajak Batas Pelaporan
. Lambat)

(Pasal 2 PMK 242/PMK.03/2014) UU Bidang Perpajakan

PPh Pasal 22 Impor Setor Sendiri


1. (dilunasi bersama dengan Bea Masuk, Saat penyelesaian dokumen PIB –
PPN, PPnBM)

PPh Pasal 22 Pemungutan oleh Bea Hari kerja terakhir


2. 1 hari kerja berikutnya
Cukai minggu berikutnya

Hari yang sama dengan


PPh Pasal 22 Pemungutan oleh 14 hari setelah masa
3. pembayaran atas penyertaan
Bendaharawan pajak berakhir
barang

4. PPh Pasal 22 Migas Tgl. 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya

PPh Pasal 22 Pemungutan oleh WP


5. Tgl. 10 bulan berikutnya Tg;. 20 bulan berikutnya
Badan Tertentu

9.8 Contoh Soal kegiatan impor


Penghitungan PPh Ps 22 Atas Import Barang

Pada tanggal 1 Januari 2016, PT ABC mengimpor barang dari Jerman dengan harga faktur
US$100.000. Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-barang
tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.010/2016. Biaya asuransi
yang dibayar di luar negeri sebesar 5% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 10% dari harga
faktur.
Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20% dan 10%. Kurs yang ditetapkan
Menteri Keuangan pada saat itu sebesar US$1= Rp10.000. Hitunglah PPh Pasal 22 yang dipungut
oleh Ditjen Bea Cukai jika PT ABC memili API (Angka Pengenal Impor) dan jika tidak memiliki
API?

Jawaban

(a) Harga faktur (cost) :    $100.000


(b) Biaya Asuransi (insurance) : (5% x US$100.000)  $5.000
(c) Biaya Angkut (freight) : (10% x US$100.000)  $10.000
CIF (cost, insurance &
  : (a+b+c)  $115.000
freight)
(d) CIF (dalam rupiah) : (US$115.000 x Rp10.000) Rp1.150.000.000
(e) Bea Masuk : (20% x Rp1.150.000.000)  Rp230.000.000
(f) Bea Masuk Tambahan : (10% x Rp1.150.000.000)  Rp115.000.000
  Nilai Impor : (d+e+f)  Rp1.495.000.000
 

Jadi, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC, jika PT ABC memiliki API (2,5% x Nilai Impor)

2,5% x Rp1.495.000.000 = Rp37.375.000

PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC jika PT ABC tidak memiliki API (7,5% x Nilai Impor)

7,5% X Rp1.495.000.000 = Rp112.125.000

9.9 Contoh Soal Kegiatan Penjualan dan Pembelian


Contoh Perhitungan atas Pembelian
PT AAA berkedudukan di Kota Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor untuk Dinas
Pendidikan Kota Bogor. Pada tanggal 1 Agustus 2020, PT AAA melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dengan nilai kontrak sebesar Rp22.000.000 (nilai sudah termasuk PPN). Maka,
perhitungan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor adalah:

No. Diketahui Nilai

1 Nilai kontrak termasuk PPN Rp22.000.000

2 DPP (100/110) x Rp22.000.000 Rp20.000.000

3 PPN dipungut (10% dari DPP) Rp2.000.000

PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x


4 Rp300.000
Rp20.000.000)
Jadi, besar PPh Pasal 22 yang dipungut Dinas Pendidikan Kota Bogor sebesar Rp300.000, karena
PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN.

Contoh Perhitungan atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu


PT AAA merupakan perusahaan kertas yang menjual hasil produksinya kepada PT BBB senilai
Rp1.100.000.000. Harga ini sudah termasuk PPN sebesar 10%.

Perhitungan PPh Pasal 22 atas penjualan kertas adalah:

DPP PPN = 100/110 x Rp 1.100.000.000 = Rp 1.000.000.000

PPh Pasal 22 penjualan kertas = 0,1% x Rp 1.000.000.000 = Rp 1.000.000

Contoh Perhitungan Hasil Produksi Migas


PT AAA selaku produsen bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, menyerahkan bahan bakar minyak
senilai Rp 900.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada PT BBB yang merupakan bukan perusahaan
SPBU. Maka PPh Pasal 22 yang dipungut adalah:

PPh Pasal 22 atas penyerahan hasil produksi migas :

0,3% x Rp 900.000.000 = Rp 2.700.000

TOPIK 10
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Ps 23)

10.1 Pengertian PPh Ps 23


Kententuan dalam Pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan Pemerintahan, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya

10.2 Pemotongan PPh Ps 23


Pemotongan PPh Ps 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas:

1. Badan Pemerintah.

2. Subjek Pajak badan dalam negeri.

3. Penyelenggara Kegiatan.

4. Bentuk Usaha Tetap.

5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya.

6. Orang pribadi Wajib Pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukan dari Direktur
Jendral Pajak untuk memotong pajak PPh Pasal 23.

Yang dikenakan pemotongan PPh Ps 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha
Tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa,
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

10.3 Objek Pemotongan PPh Ps 23


Penghasilan yang dipotong PPh Ps 23 adalah:

1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

3. Royalti.

4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan.

6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

10.4 Pengecualian Objek Pemotongan PPh Ps 23


Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Ps 23:

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubung dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau dipeorleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:

a. Dividen berasal dari cadangan laba ditahan.

b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima
dividen, kepemilikan sahan badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal
yang disetor.

4. Dividen yang diterima oleh orang pribadi.

5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.

6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

7. Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan peraturan menteri keuangan.

10.5 Tarif Pemotongan PPh Ps 23


Tarif dari pajak penghasilan (PPh Pasal 23) dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau
jumlah bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang diberlakukan,
yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Di bawah ini adalah tarif dan objek pajak yang
terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia.

1. Dikenakan 15% dari jumlah bruto atas:

a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti;

b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan.

4. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, misalnya: 

a. Jasa penilai;

b. Jasa aktuaris;

c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;

d. Jasa hukum;

e. Jasa arsitektur;

f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;

g. Jasa perancang;

h. Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan BUT;

i. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;

j. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;

k. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;

l. Jasa penebangan hutan.

5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.

6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Tidak termasuk:

a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dibayarkan WP penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan
pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;

b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan faktur


pembelian);

c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak
ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis);

d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement), yaitu penggantian pembayaran sebesar jumlah


yang nyata-nyata telah dibayarkan pihak kedua kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur
tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

10.6 Pembayaran, Bukti Potong dan Pelaporan PPh


Pembayaran : dilakukan oleh pihak pemotong dengan membuat kode/ID billing terlebih dahulu, lalu
membayar melalui Bank Persepsi (ATM, teller bank, fitur bayar pajak online di aplikasi pajak, dll)
yang telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 10,
sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.

Bukti Potong : Tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong adalah pihak pemotong harus memberikan
bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dipotong pajak dan bukti
potong (rangkap ke-2) kepada Kantor Pelayanan Pajak pada saat melakukan e-Filing pajak PPh 23.

Pelaporan : Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23,
lalu bisa melaporkannya melalui fitur lapor pajak online. Jatuh tempo pelaporan adalah tanggal
20, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23

10.7 Contoh Soal dan Rumus


Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen

Pada 10 Mei 2015, PT Dahlia mengumumkan akan membagikan dividen melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), dan melakukan pembayaran dividen tunai kepada PT Melati sebesar
Rp30.000.000 yang melakukan penyertaan modal sebesal 15%.

Jawab:

PPh Pasal 23 = 15% x Rp30.000.000 = Rp4.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Mei 2015

Saat penyetoran: paling lambat 10 Juni 2015

Saat pelaporan: paling lambat 20 Juni 2015

Perhitungan PPh Pasal 23 atas Dividen

PT ABCD, merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu dan beralamat di
Jl. Terusan No.11, Jakarta Selatan. PT ABCD telah memiliki NPWP 01.111.444.8-061.000. Pada
tanggal 10 Juli 2013, perusahaan membayar dividen tunai kepada pemegang saham yang sebelumnya
telah diumumkan melalui RUPS. Berikut data yang diperlukan dalam pembayaran dividen tunai.

Pemegang Saham NPWP % Penyertaan Dividen


Modal
PT Perkasa 01.589.365.8-039.000 26% Rp130.000.000
PT Cakrawala 01.125.735.8-045.000 15% Rp75.000.000
PT Matahari 01.156.198.8-026.000 10% Rp50.000.000
PT Angkasa 01.754.125.8-039.000 18% Rp90.000.000
CV Bahari Jaya 01.342.657.8-039.000 12% Rp60.000.000
CV Karya Raya 01.453.198.8-039.000 11% Rp55.000.000
PT BNI (BUMN) 01.354.344.8-045.000 8% Rp40.000.000

Jawab:

Dari data tabel di atas, berikut perhitungan PPh Pasal 23 yang harus dipotong PT ABCD.

Pemegang % Dividen PPh Pasal 23 yang Dipotong


Saham Penyertaan
Modal
PT Cakrawala 15% Rp75.000.000 15% x Rp75.000.000 = Rp11.250.000
PT Matahari 10% Rp50.000.000 15% x Rp50.000.000 = Rp7.500.000
PT Angkasa 18% Rp90.000.000 15% x Rp90.000.000 = Rp13.500.000
CV Bahari Jaya 12% Rp60.000.000 15% x Rp60.000.000 = Rp9.000.000
CV Karya Raya 11% Rp55.000.000 15% x Rp55.000.000 = Rp8.250.000
Jumlah   Rp330.000.000 Rp49.500.000
Catatan: untuk PT Perkasa dikategorikan menjadi non-objek pajak sebab % penyertaan modalnya
lebih dari 25% dan untuk PT BNI (BUMN) juga merupakan non-objek pajak karena merupakan
badan usaha milik negara yang menjadi pengecualian dari objek pajak.

Perhitungan PPh Pasal 23 atas Royalti

1. Pada 2 Agustus 2014, PT Mawar membayar royalti kepada Tuan Zainudin sebagai penulis buku
sebesar Rp50.000.000. Tuan Zainudin telah mempunyai NPWP 01.444.888.2.987.000.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Mawar adalah: 15% x Rp50.000.000 = Rp7.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Agustus 2014

Saat penyetoran: paling lambat 10 September 2014

Saat pelaporan: paling lambat 20 September 2014

2. CV Selera Makan membayar royalti kepada Ny. Chritin atas pemakaian merek ayam goreng "Bu
Chris" sebesar Rp30.000.000.

PPh Ps 23  yang dipotong CV Selera Makan adalah:

15% x Rp30.000.000 = Rp4.500.000

Apabila Ny. Christ belum memiliki NPWP maka PPh Ps 23 yang dipotong CV Selera Makan adalah:

30% x Rp30.000.000 = Rp9.000.000

Perhitungan PPh Pasal 23 Atas Bunga Obligasi

Pada tanggal 3 Januari 2015, PT Sejahtera melakukan pembayaran bunga obligasi kepada PT Damai
Sentosa sebesar Rp75.000.000. Obligasi tersebut tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Sejahtera adalah: 15% x Rp75.000.000 = Rp11.250.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Januari 2015

Saat penyetoran: paling lambat 10 Februari 2015

Saat pelaporan: paling lambat 20 Februari 2015


Perhitungan PPh Pasal 23 atas Hadiah & Penghargaan

Pada 20 Maret 2012, PT Abadi memberikan hadiah perlombaan kepada PT Makmur sebagai juara
umum lomba senam sehat sebesar Rp150.000.000.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Abadi adalah: 15% x Rp150.000.000 = Rp22.500.000

Saat terutang: akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Maret 2012

Saat penyetoran: paling lambat 10 April 2012

Saat pelaporan: paling lambat 20 April 2012

Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa

Contoh 1 : 

PT Irama meminta jasa dari Pak Budi untuk membuat sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan
sebesar Rp80.000.000 .

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Irama adalah: 2% x Rp80.000.000 = Rp1.600.000

Contoh 2:

CV. Dohar yang beraktivitas menyediakan Asisten Rumah Tangga (ART) mendapat kontrak untuk
menyediakan 10 orang ART, tetapi tenaga kerja dimaksud tetap menjadi tenaga kerja CV. Dohar.
Kontrak menyepakati bahwa pembayaran atas penyerahan jasa oleh CV. Dohar terdiri atas gaji
tenaga kerja sebesar Rp 3.500.000,00 per orang per bulan dan imbalan atas penyediaan ART sebesar
Rp 700.000,00 per bulan. Berapakah besarnya PPh 23 yang dipotong oleh klien:

- Jika terdapat bukti pendukung atas rincian besarnya tagihan?

- Jika tidak terdapat bukti pendukung atas rincian besarnya tagihan?

Jawab :

- Jika terdapat bukti pendukung atas rincian besarnya tagihan?

PPh Ps 23 = 2% x Rp 700.000 = Rp 14.000

- Jika tidak terdapat bukti pendukung atas rincian besarnya tagihan?


PPh Ps 23 = 2% x Rp 35.700.000 = Rp 714.000

Perhitungan PPh Pasal 23 atas Sewa

PT Karya Makmur membayar sewa kendaraaan bus pariwisata dengan nilai sewa sebesar
Rp35.000.000 kepada Sugianto Haris.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Karya Makmur adalah: 2% x Rp35.000.000 = Rp700.000

Perhitungan PPh Pasal 23 atas Jasa

PT Indoraya membayarkan jasa konsultan dari PT Nuansaraya sebesar Rp120.000.000. PT


Nuansaraya tidak mempunyai NPWP.

Jawab:

PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT Indoraya adalah: 200% x 2% x Rp120.000.000 =
Rp4.800.000

Perhitungan PPh Pasal 23 Atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan Penggunaan
Harta

PT Sejahtera Raya menyewa sebuah teraktor milik Susanto dengan nilai sewa sebesar Rp10.000.000

PPh Ps 23 yang dipotong PT Sejahtera Raya adalah:

2% x Rp10.000.000 = Rp200.000

Apabila Susanto belum memiliki NPWP maka PPh Ps 23 yang dipotong PT Sejahtera Raya adalah:

4% x Rp10.000.000 = Rp400.000
TOPIK 11

Pajak Penghasilan Pasal 24 (PPh Ps 24)

11.1 Pengertian PPh Ps 24

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang
merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh WP dalam negeri. Atas pajak tersebut, WP dapat mengkreditkan pajak
terutang dalam tahun pajak yang sama.

11.2 Penggabungan Penghasilan


Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:

1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam Tahun Pajak diperolehnya penghasilan


tersebut (accrual basis).

2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam Tahun Pajak diterimanya penghasilan


tersebut (cash basis).

3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (Pasal 18 Ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam
Tahun Pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan.

11.3 Batas Waktu Kredit Pajak


PPh Pasal 24 mengatur tentang pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia.
Karena itu, pajak ini langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Di luar itu tidak bisa dijadikan pengurang pajak. Hal ini yang dikenal sebagai metode kredit terbatas
(ordinary credit method/limited credit method).

11.4 Batas Maksimum Kredit Pajak Untuk Setiap Negara


Pada Pasal 24 Ayat (3) juga dijelaskan bahwa dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara
tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat
lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Penentuan Nilai Batas Maksimum Kredit Pajak


Penentuan nilai batas maksimum kredit pajak dapat dilakukan tanpa harus melakukan penghitungan
menyeluruh berdasarkan peraturan sebagai berikut :
a. Jika tarif acuan pengenaan pajak di luar negeri > dalam negeri, maka besaran Nilai Pajak
Dikreditkan

b. Jika tarif acuan pengenaan pajak di luar negeri < dalam negeri; atau jika tengah mengalami rugi
fiskal dalam negeri maka besaran

c. Nilai Pajak Dikreditkan  = Beban Pajak yang Telah Dipotong di Luar Negeri
Catatan :

 PKP dapat bernilai sama dengan penghasilan netto bagi WP badan, namun tidak bagi OP.
 Nilai pajak dikreditkan tidak dapat melebihi beban pajak sesuai pasal 17.

11.5 Persyaratan Kredit Pajak Luar Negeri


Persyaratan Kredit Pajak Luar Negeri
Di ketentuan lama diatur persyaratan formal agar dapat kredit pajak luar negeri, yaitu:

 Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;


 Foto Kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
 Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Kententuan formal masih ada di kredit pajak luar negeri atas jenis penghasilan dividen. Namun di
Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018 sudah tidak ada lagi.

Tetapi Peraturan Menteri Keuangan nomor 192/PMK.03/2018 mengatur dokumen-dokumen yang


“setara SSP”.

Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri bagi WPDN yang mengkreditkan PPh Luar Negeri
dapat berupa:

 salinan bukti pembayaran atau bukti pemotongan PPh Luar Negeri; atau
 salinan bukti lainnya yang dapat menunjukkan adanya pembayaran atau pemotongan PPh
Luar Negeri.

Bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri ini sekurang-kurangnya memuat data atau informasi
sebagai berikut:

1. nama WPDN; dan


2. jumlah PPh Luar Negeri.

Dalam hal WPDN memperoleh penghasilan usaha dan/atau penghasilan dari Trust di luar negeri
yang dikenai pajak penghasilan di tingkat Trust, bukti pemenuhan pembayaran PPh Luar Negeri
dapat digantikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang disampaikan di
luar negeri oleh cabang atau perwakilan WPDN di luar negeri dan/atau surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan atau bukti pembayaran PPh Luar Negeri yang dilakukan oleh Trust.

11.6 Contoh Soal


Penghitungan PPh Pasal 24 :

 WP Badan memperoleh laba/penghasian dalam negeri dan luar negeri

Kasus dan Pertanyaan:

PT. Daun Gugur di Surabaya memperoleh penghasilan neto pada tahun 2022 sebagai berikut:
 
Penghasilan dalam negeri (tarif PPh Badan Rp600.000.00
22%) 0
Rp400.000.00
Penghasilan  dari Vietnam (tarif pajak 20%)
0
 
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT. Daun Gugur tahun 2022?
 
1
Menghitung total penghasilan kena pajak:  
.
  Penghasilan dalam negeri Rp     600.000.000
  Penghasilan dari Vietnam Rp     400.000.000
  Jumlah Penghasilan Neto Rp1.000.000.000
2
Menghitung total PPh terutang:  
.
  PPh terutang 22% x Rp1.000.000.000       Rp      220.000.000
3
Menghitung PPh Maksimum yang dapat dikreditkan:  
.
(Penghasilan Luar Negeri: Penghasilan Kena Pajak ) x total PPh
   
terutang
               Rp     
  (Rp400.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp220.000.000
88.000.000
4
Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di Vietnam:  
.
               Rp     
  20% x Rp400.000.000
80.000.000
 
Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa PPh maksimum yang dapat dikreditkan sebesar Rp
88.000.000, akan tetapi pajak penghasilan yang terutang atau dipotong di Vietnam adalah sebesar
Rp80.000.000. Dengan demikian, jumlah yang dapat dikreditkan adalah Rp80.000.000. Jumlah ini
dipilih dari jumlah terendah di antara jumlah PPh maksimum yang boleh dikreditkan dan jumlah PPh
yang terutang atau dibayar di Vietnam.

 WP Badan menderita Kerugian Usaha di Dalam Negeri

Kasus dan Pertanyaan:


PT Selera Rakyat berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2022
sebagai berikut:
Di Belanda memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 30%). Di dalam negeri menderita kerugian sebesar Rp200.000.000

Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?

Jawaban

Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

1 Menghitung total penghasilan kena pajak:  


.
  Penghasilan dari Belanda  Rp600.000.000
  Penghasilan dari dalam negeri (Rp200.000.000
)
  Jumlah Penghasilan Neto Rp400.000.000
2 Menghitung total PPh terutang:  
.
  Pajak terhutang 22% x Rp 400.000.000 = Rp  88.000.000
3 Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:  
.
  (penghasilan Luar Negeri : Penghasilan Kena Pajak) x total PPh  
terutang
  (Rp600.000.000 : Rp400.000.000) x Rp88.000.000 = Rp132.000.000
4 Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di Luar Negeri:  
.
  30% x Rp600.000.000 = Rp180.000.000
 

Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa PPh 24 maksimum yang dapat dikreditkan sebesar
Rp132.000.000, akan tetapi pajak penghasilan yang terutang atau dipotong di Belanda adalah sebesar
Rp180.000.000. Dengan demikian, jumlah yang dapat dikreditkan adalah Rp132.000.000. Jumlah ini
dipilih dari jumlah terendah di antara jumlah PPh 24 maksimum yang boleh dikreditkan dan jumlah
PPh yang terutang atau dibayar di Belanda

 WP Badan menderita Kerugian Usaha di Luar Negeri

Kasus dan Pertanyaan:

PT Selaras Abadi pada tahun 2022 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Di Thailand memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang
berlaku 40%). Di Jerman menderita kerugian sebesar Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%).
Di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp500.000.000

Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2022?

Jawaban:

Penghitungan PPh pasal 24 adalah sebagai berikut:

1 Menghitung total penghasilan kena pajak:  


.
  Penghasilan dalam negeri Rp
500.000.000
  Penghasilan dari luar negeri (Thailand) Rp
300.000.000
  Jumlah Penghasilan Neto (Penghasilan Kena Pajak) Rp800.000.000
2 Menghitung total PPh terutang:  
.
  Pajak terhutang 22% x Rp800.000.000 = Rp176.000.000
3 Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:  
.
  (penghasilan Luar Negeri : Penghasilan Kena Pajak) x total PPh  
terutang
  (Rp300.000.000 : Rp800.000.000) x Rp176.000.000 = Rp  66.000.000
4 Menghitung PPh yang terutan atau dipotong di Luar Negeri:  
.
  40% x Rp300.000.000 = Rp120.000.000
Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan adalah Rp
66.000.000.

 Perhitungan PPh Pasal 24 Wajib Pajak Orang Pribadi


TOPIK 12
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Ps 25)

12.1 Pengertian PPh Ps 25


Ketentuan Pasal 25 UU Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulan
yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalm tahun berjalan.

Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:

1. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Ps 25)


2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh Ps 21, 22, 23, dan 24)

12.2 Wajib Pajak Orang Pribadi


Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP–OPPT) adalah Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan usaha baik secara grosir atau eceran, penjualan barang ataupun jasa di satu atau
lebih tempat usaha. Adapun ketentuan tarif PPh Pasal 25 bagi WP-OPPT adalah 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.

12.3 Wajib Pajak Badan


Wajib Pajak Badan Usaha adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha tetap dan memiliki
kewajiban sebagai pembayar, pemotong atau pemungut pajak. Ketentuan tarif PPh Pasal 25 bagi
Wajib Pajak Badan adalah PKP x 25% tarif PPh Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan.

12.4 Cara Menghitung Besarnya PPh Ps 25


Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Pajak
Tahunan Pajak Pengahsilan Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan:

1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UU PPh,
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh

2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 UU PPh.

12.5 Batas Waktu PPh Pasal 25 dan Sanksi Keterlambatan


Pembayaran
Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008, pembayaran
harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen sejenisnya.

Untuk melakukan setoran pajak, Anda harus membuat ID Billing terlebih dahulu. OnlinePajak
menyediakan layanan pembuatan ID Billing secara online yang mudah, cepat dan akurat.

Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur nasional, dan
Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari berikutnya – sesuai Pasal 3
Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang kemudian diubah lagi sesuai Peraturan
Menteri Keuangan No. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15 Maret 2014.

Apabila wajib pajak terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2% per bulan,
dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.

Misalnya: untuk bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.

12.6 Contoh Soal


1. PT Langit Merah bergerak di bidang produksi makanan dimana penjualannya dimasukkan ke
banyak supermarket atau toko besar. Tidak hanya itu, Perusahaan ini juga melakukan ekspor di luar
negeri seperti Thailand dan Korea. Misalnya pada data pajak, angsuran PPh 25 yang sudah
dibayarkan adalah Rp168.982.456 dan jumlah penghasilan PT Langit Merah dalam setahun lebih dari
Rp50.000.000.000 maka penghitungannya menggunakan tarif 25%.  Adapun laba-rugi sebelum
pajaknya adalah Rp937.688.000.

Tarif = Rp937.688.000 x 25% = Rp234.422.000

PPh Pasal 29 = Rp234.422.000 – Rp168.982.456 (angsuran PPh 25) = Rp65.439.544

Angsuran PPh Pasal 25 = Rp234.422.000 ÷ 12 bulan = Rp19.535.166

2. Penghasilan PT Dira tahun 2019 adalah sebesar Rp250.000.000. Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang belum dikompensasi sebesar Rp50.000.000.
Pada tahun 2019 PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain adalah sebesar Rp8.000.000 dan tidak
ada pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri.

Penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2020:

Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Ps 25 adalah sebesar

Rp250.000.000 - Rp50.000.000 = Rp200.000.000


PPh Terutang

25% x Rp200.000.000                 = Rp50.000.000

PPh dipotong atau dipungut     = Rp  8.000.000

                                                   = Rp42.000.000

Besarnya angsuran pajak bulanan PT Dira tahun 2020

=1/12 x Rp42.000.000 = Rp3.500.000

TOPIK 13
BEA MATERAI
13.1 Dasar Hukum Bea Materai
Dasar Hukum

Dasar hukum pengenaan bea materai adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 atau disebut
juga Undang-undang Bea Materai. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Selain
itu, untuk mengatur pelaksanaanya, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000
tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan
Bea Materai.

Pengertian

Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea
Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus
sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum
dokumen itu digunakan.

13.2 Tarif Bea Materai Rp6.000 Dikenakan Atas Dokumen

Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 dikenakan atas Dokumen:


1. a. Surat perjanjian surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan)
yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
kedaan yang bersifat perdata.

   b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya.

   c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya.

   d. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,00     (satu
juta rupiah), yang menyebutkan penerimaan uang, yang menyatakan pembukuan uang   atau
penyimpanan uang dalam rekening di bank, yang berisi pemberitahuan saldo rekening di   bank, yang
berisi pengakuan bahwa utang uang sebagai atau seluruhnya telah dilunasi atau   diperhitungkan.

   e. Surat-surat berharga seperti: wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya lebih dari     Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah).

  d. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 
1.000.000,00 (satu juta rupiah).

2. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:

    a. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan

    b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika     digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari maksud semula.

13.3 Tarif Bea Materi Rp3.000 Dikenakan Atas Dokumen


Tarif Bea Meterai Rp 3.000,00 dikenakan atas dokumen:

1. Surat yang membuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari

Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah):

 Yang menyebutkan penerimaan uang


 Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank, yang
berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
 Yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau
diperhitungkan.

2. Surat-surat berharga seperti: wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).

3. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah).

4. Cek dan bilyet giro dengan harga nominalnya berapapun.

13.4 Yang Tidak Dikenakan Bea Materai


Yang Tidak Dikenakan Bea Meterai

1. Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai tidak lebih dari Rp 250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut tidak terutang Bea Meterai.

2. Dokumen yang berupa, antara lain: 

 surat penyimpanan barang


 konosemen
 surat angkutan penumpang dan barang
 bukti pengiriman dan dan penerimaan barang
 surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
 surat-surat lainnya yang disamakan dengan surat-surat tersebut di atas.

3. Segala bentuk Ijasah. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah Surat Tanda Tamat Belajar
(STTB), tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, latihan, kursus, dan
penataran.

4. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran
itu.

5. Tanda bukti penerimaan uang negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank.

6. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari
Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan Bank.

8. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayarn uang tabungan kepada penabung oleh bank,
koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.

9. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.

10. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

13.5 Saat Terutang Bea Materai


Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :

1. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;

Saat terutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat
dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada
saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya.

2. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen
itu dibuat;
Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah
pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan
dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada
saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.
3. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Bea Materai
yang terutang dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian.

13.6 Pihak Yang Terutang Bea Materai


Pihak yang terutang Bea Materai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihakk
atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Dalam UU yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2021 ini disebutkan untuk dokumen yang dibuat
sepihak, bea meterai terutang oleh pihak yang menerima dokumen. Untuk dokumen yang dibuat oleh
2 pihak atau lebih, bea meterai terutang oleh masing-masing pihak atas dokumen yang diterimanya.

“Dikecualikan dari ketentuan …, dokumen berupa surat berharga …, bea meterai terutang oleh pihak
yang menerbitkan surat berharga,” demikian bunyi penggalan Pasal 9 ayat (3) UU 10/2020, dikutip
pada Rabu (4/11/2020).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (4), dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan,
bea meterai terutang oleh pihak yang mengajukan dokumen. Atas dokumen yang dibuat di luar
negeri dan digunakan di Indonesia, bea meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas
dokumen.

Seperti diberitakan sebelumnya, bea meterai dikenakan atas dua jenis dokumen. Pertama, dokumen
yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata. Kedua,
dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Dokumen yang bersifat perdata dan dikenakan bea meterai antara lain, pertama, surat perjanjian,
surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya. Kedua, akta
notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.

Ketiga, akta pejabat pembuat akta tanah beserta salinan dan kutipannya. 

Keempat, surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun. 

Kelima, dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.

Keenam, dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah
lelang, dan grosse risalah lelang.

Ketujuh, dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta yang
menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya
telah dilunasi atau diperhitungkan. Kedelapan, dokumen lain yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.

“Ketentuan pihak yang terutang … tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau
menentukan mengenai pihak yang membayar bea meterai,” demikian bunyi penggalan Pasal 9 ayat
(6) UU 10/2020. 

13.7 Cara Pelunasan Bea Materai


CARA PELUNASAN BEA METERAI
I. Meterai Tempel
1. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang
dikenakan Bea Meterai;

2. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana Tanda tangan akan dibubuhkan;

3. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada diatas kertas dan
sebagian lagi di atas meterai tempel;

4. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas
semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.

Apabila cara diatas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
II. Kertas Meterai
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas
meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak
bermeterai; 

1. Membubuhkan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan
dengan tinta atau yang sejenis dengan itu diatas kertas Meterai; 

2. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. Apabila ketentuan diatas tidak
dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.Pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada
penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal
sebanyak 50 dokumen.

Syarat Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Mesin Teraan Meterai:


1.Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea
Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat;

2.Mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan;

3.Melampirkan surat pernyataan tentang jumlah ratarata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai
setiap hari;

4.Harus melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima 
belas juta Rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (F.2.0.32.01) Ke Kas Negara melalui
Bank Presepsi.

TOPIK 14
BEA CUKAI (BC)

14.1 Ruang Lingkup Bea

Ruang Lingkup Bea


Pengertian Bea

Bea berasal dari bahasa Sansekerta, bea berarti ongkos. Bea dipakai sebagai istilah ongkos barang
yang keluar atau masuk suatu negara, yakni bea masuk dan bea keluar. Instansi pemungutnya disebut
pabean. Hal-hal yang terkait dengannya disebut kepabeanan. Secara istilah, kepabeanan berarti
segala sesuatu yang terkait dengan pengawasan atas lalu lintas barang antar Negara.

Pabean

Pabean yang dalam bahasa Inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki definisi


yang dapat kita temukan dan hafal baik dalam kamus bahasa Indonesia ataupun Undang-
Undang kepabeanan. Untuk dapat memahami kata pabean maka diperlukan pemahaman terhadap
kegiatan ekspor dan impor. Pabean adalah kegiatan yang menyangkut pemungutan bea
masuk dan pajak dalam rangka impor. Ada juga bea keluar untuk ekspor, khususnya untuk barang
atau komoditi tertentu .

Filosofi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk
luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tarif barier yaitu besaran
dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang
impor. Sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah tidak memungut bea demi mendukung
industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa
pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.
Produk mentah seperti beberapa   jenis kayu, rotan dsb pemerintah memungut pajak ekspor dan
pungutan ekspor dengan maksud agak para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan
bukanlah bahan mentah atau setengah jadi. Filosofi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini
adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan menjamin ketersediaan bahan baku bagi
industri dalam negeri.

 Proses Impor dan Pabean

Kegiatan impor dapat dikatakan sebagai proses jual beli biasa antara penjual yang berada di luar
negeri dan pembeli yang berada di Indonesia. Adapun tahapan impor adalah :

1)  Hal yang penting dalam setiap transaksi impor adalah terbitnya L/C atau letter of credit yang
dibuka oleh pembeli di Indonesia melalui Bank (issuing bank)

2)  Selanjutnya penjual di luar negeri akan mendapatkan uang untuk harga barangnya dari bank
dinegaranya (correspondent bank) setelah mengirim barang tersebut dan menyerahkan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan pengiriman barang dan spesifikasi barang tersebut (bill of
lading (BL), Invoicedsb).

3)  Dokumen-dokumen tersebut oleh correspondet bank dikirim ke issuing bank yang ada


diIndonesia untuk di tebus oleh importir.

4)  Dokumen yang kini telah dipegang oleh importir tersebut digunakan untuk mengambil barang
yang dikirim oleh penjual. pada tahap ini proses impor belum dapat dikatakan selesai karena importir
belum mendapatkan barangnya.

5)  Barang impor tersebut diangkut oleh sarana pengangkut berupa kapal-kapal pengangkut barang
(cargo) internasional dan hanya akan merapat di pelabuhan-pelabuhan resmi pemerintah, misalnya
Tanjung Priok (Jakarta) dimana sebagian besar kegiatan importasi di Indonesia dilakukan. banyak
proses yang harus dilalui hingga akhirnya sebuah sarana pengangkut (kapal cargo) dapat merapat
dipelabuhan dan membongkar muatannya (barang impor).

6)  Istilah "pembongkaran" bukanlah barang tersebut di bongkar dengan dibuka setiap kemasannya,
namun itu hanya istilah pengeluaran kontainer/peti kemas dari sarana pengangkut kepelabuhan,
petugas DJBC tidak membongkar isi dari kontainer itu jika memang tidak ada perintah untuk
pemeriksaan.)

7)  Setelah barang impor tersebut dibongkar maka akan ditempatkan ditempat penimbunan sementara
(container yard) perlu diketahui bahwa menyimpan barang di kawasan ini dikenakan sewa atas
penggunaan ruangnya (demorage).

8)  Setelah bank menerima dokumen-dokumen impor dari bank corresponden di negara pengekspor
maka importir harus mengambil dokumen-dokumen tersebut dengan membayar L/C yang telah ia
buka. dengan kata lain importir harus menebus dokumen tersebut karena bank telah menalangi
importir ketika bank membayar eksportir saat menyerahkan dokumen tersebut.

9)  Setelah selesai urusan dokumen tersebut maka kini saatnya importir mengambil barang tersebut
dengan dokumen yang telah importir peroleh dari bank (B/L, invoice dll).
10)  Untuk mengambil barangnya maka importir diwajibkan membuat pemberitahuan impor barang
(PIB) atau disebut sebagai pemberitahuan pabean atau dokumenpabean sedangkan invoice, B/L,
COO (certificate of origin), disebut sebagai dokumen pelengkap pabean. Tanpa PIB maka barang
impor tersebut tidak dapat diambil oleh importir.

11)  PIB dibuat setelah importir memiliki dokumen pelengkap pabean seperti B/L dll. Importir
mengambil dokumen tersebut melalui bank, maka jika bank tersebut merupakan bank devisa yang
telah on-line dengan komputer DJBC maka pengurusan PIB dapat dilakukan di bank tersebut.

12)  Prinsip perpajakan di Indonesia adalah self assesment begitu pula dalam proses pembuatan PIB
ini, formulir PIB terdapat pada bank yang telah on-line dengan komputer DJBC setelah diisi dan
membayar bea masuk kepada bank maka importir tinggal menunggu barangnya tiba untuk
menyerahkan dokumen yang diperlukan kepada DJBC khususnya kepada kantor pelayanan DJBC
dimana barang tersebut berada dalam wilayah pelayanannya, untuk pelabuhan tanjung priok terdapat
Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok.

13)  Setelah importir menyelesaikan PIB dan membayar bea masuk serta (pungutan impor) pajak-
pajak dalam rangka impor di bank, maka bank akan memberitahukan kepada DJBC secara on-line
mengenai pengurusan PIB dan pelunasan bea masuk dan pajak impor. dalam tahap ini DJBC hanya
tinggal menunggu importir menyerahkan PIB untuk diproses, penyerahan PIB inipun telah
berkembang sedemikian rupa hingga untuk importir yang telah memiliki modul impor atau telah
terhubung dengan sistem komputer DJBC dapat menyerahkan PIB secara elekronik (electronic data
interchange system = EDI system) sehingga dalam prosesnya tak terdapat interaksi secara fisik antara
importir dengan petugas DJBC.

14.2 Ruang Lingkup Cukai


Pengertian Cukai

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai
sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai. Cukai dikenakan terhadap
Barang Kena Cukai yang terdiri dari:

1)  Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
pembuatannya;

2)  Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan
bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil
alkohol;

3)  Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan
tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan
pembantu dalam pembuatannya.
Barang kena cukai adalag barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, yang
konsumsinya perlu dikendalikan,peredarannya perlu diawasi,pemakaiannya dapat menimbulkan efek
negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan
negara demi keadilan dan keseimbangan.

Sehubungan dengan penetapan jenis barang kena cukai sebagaimana disebutkan di atas sesuai
Undang-Undang 11 Tahun 1995 Tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cukai, maka
saat ini untuk sementara waktu kita baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu
etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Tidak menutup
kemungkinan perubahan jenis Barang Kena Cukai.

2.  Dasar Hukum Cukai

Adapun yang menjadi dasar hokum Cukai, adalah sebagai berikut:

1)  Undang-undang Republik Indonesia Nomor  11 Tahun 1995 tentang Cukai  sebagai mana telah
diubah  dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-undang Republik Indonesia Nomor  11 Tahun 1995 tentang Cukai;

2)  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 62/PMK.011/2010 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol,
Minuman Yang Mengandung Etil Alkohol, Dan Konsentrat Yang Mengandung Etil Alkohol;

3)  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau;

4)  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.011/2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau;

5)  Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P-43/BC/2009 tentang Tata Cara Penetapan
Tarif Cukai Hasil Tembakau;

6) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: P - 22/BC/2010 tentang Tata Cara
Pemungutan Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat Mengandung
Etil Alkohol.

3. Implementasi Cukai

Secara sederhana dapat dipahami bahwa harga sebungkus rokok yang dibeli oleh konsumen sudah
mencakup besaran cukai didalamnya. Pabrik rokok telah menalangi konsumen dalam membayar
cukai kepada pemerintah pada saat membeli pita cukai yang terdapat pada kemasan rokok tersebut.
Untuk mengembalikan besaran cukai yang sudah dibayar oleh pabrik maka pabrik rokok
menambahkan besaran cukai tersebut sebagai salah satu komponen dari harga jual rokok tersebut.

Filosofi pengenaan cukai lebih rumit dari filosofi pengenaan pajak maupun pabean. Dengan cukai


pemerintah berharap dapat menghalangi penggunaan obyek cukai untuk digunakan secara bebas. Hal
ini berarti adanya kontrol dan pengawasan terhadap banyaknya obyek cukai yang beredar dan yang
dikonsumsi. Hal yang menarik adalah pengenaan cukai semen dan gula oleh pemerintah Belanda saat
menjajah Indonesia. Cukai dipergunakan untuk mengontrol kebutuhan masyarakat
pada gula dan semen demi kepentingan penjajah pada saat itu.

Sisi lain dari pengenaan cukai di beberapa negara maju adalah membatasi barang-barang yang
berdampak negatif secara sosial (pornografi dll) dan juga kesehatan (rokok, minuman keras dll).
Tujuan lainnya adalah perlindungan lingkungan dan sumber-sumber alam (minuman
kemasan, limbah dll), serta mengurangi atau membatasi konsumsi barang-barang mewah dan
sebagainya.

14.3 Lembaga Pemanganan Bea Cukai

1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (disingkat DJBC atau bea cukai) adalah nama dari sebuah instansi
pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa
penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan istilah douane. Seiring dengan era
globalisasi, bea dan cukai sering menggunakan istilah customs.

Dari segi kelembagaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang direktur jenderal
yang setara dengan unit eselon 1 yang berada di bawahKementerian Keuangan Indonesia,
sebagaimana juga Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan lain-lain.

2. Tugas dan Fungsi DJBC

Tugas dan fungsi DJBC adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara, antara lain
memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal
22, PPnBM) dan cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi
penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk didalamnya adalah bea
masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.

Selain itu, tugas dan fungsi DJBC adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi
peredaran minuman yang mengandung alkohol atau etil alkohol, dan peredaran rokok atau barang
hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, DJBC bertambah fungsi dan
tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan
pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.

3. Sistem Penjaluran DJBC

Rencana kedepannya semua importasi akan diarahkan untuk menggunakan sistem ini karena
pertimbangan keamanan dan efisiensi, sehingga bermunculan warung -warung EDI (semacam warnet
khusus untuk mengurus importasi) disekitar pelabuhan yang akan membantu importir yang belum
memiliki modul impor atau tidak secara on-line terhubung dengan sistem komputer DJBC.

Proses pengeluaran barang impor sangat tergantung pada jenis barang impor itu sendiri, khusus untuk
barang impor asal tumbuhan dan hewan akan melalui pemeriksaan karantina (masa karantina) ini
penting untuk mencegah masuknya penyakit dan hal-hal yang tidak dinginkan dari segi
kekarantinaan dan kesehatan seperti pemeriksaan layak konsumsi atau tidak, masa kadaluwarsa, dsb,
untuk daging impor harus ada Certificate of origin agar diketahui dari mana asalnya, juga umumnya
sertikat halal untuk komoditi konsumsi. Selanjutnya DJBC akan memberlakukan National Single
Window (NSW) untuk pelayanan dengan otomasi.

Perlu diketahui sistem penjaluran barang yang diterapkan oleh DJBC dalam proses impor. Keempat
jalur ini awalnya dikategorikan dengan penerapan manajemen risiko berdasarkan profil importir,
jenis komoditi barang, track record dan informasi-informasi yang ada dalam data
base intelejen DJBC. Sistem penjaluran juga telah menggunakan sistem otomasi sehingga sangat
kecil kemungkinan diintervensi oleh petugas DJBC dalam menentukan jalur-jalur tersebut pada
barang tertentu. terdapat 4 (empat) penjaluran secara teknis. Pada tahun 2007 DJBC telah
memperkenalkan Jalur MITA, yaitu sebuah jalur fasilitas yang khusus berada pada kantor Pelayanan
Utama (KPU). Jalur tersebut adalah:

1) Jalur prioritas yang khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik, untuk importir
jenis ini pengeluaran barangnya dilakukan secara otomatis (sistem otomasi) yang merupakan
prioritas dari segi pelayanan, dari segi pengawasan maka importir jenis ini akan dikenakan
sistem Post Clearance Audit(PCA) dan sesekali secara random oleh sistem komputer akan ditetapkan
untuk dikenakan pemeriksaan fisik.

2) Jalur hijau, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi
komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk kedua jalur tadi pemeriksaan fisik barang tetap
akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem,
adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut terhadap barang.

3) Jalur Kuning, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi
komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk jalur tersebut pemeriksaan dokumen barang
tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem,
adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan
lebih lanjut terhadap barang.

4) Jalur merah (red chanel) ini adalah jalur umum yang dikenakan kepada importir baru, importir
lama yang memiliki catatan-catatan khusus, importir dengan risiko tinggi karena track record yang
tidak baik, jenis komoditi tertentu yang diawasi pemerintah, pengurusannya menggunakan jasa
customs broker atauPPJK perusahaan pengurusan jasa kepabeanan dengan track record yang tidak
baik ( "biro Jasa" atau "calo"), dlsb. Jalur ini perlu pengawasan yang lebih intensif oleh karenanya
diadakan pemeriksaan fisik barang. pemeriksaan fisik tersebut bisa 10%, 30% dan 100%.

4. Struktur Organisasi DJBC


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.01/2010 disebutkan susunan organisasi
tingkat pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari:

1) Sekretariat Direktorat Jenderal

2) Direktorat Teknis Kepabeanan

3) Direktorat Fasilitas Kepabeanan

4) Direktorat Cukai

5) Direktorat Penindakan Dan Penyidikan

6) Direktorat Kepabeanan Internasional

7) Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai

8) Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai

9) Pusat Kepatuhan Internal Kepabeanan dan Cukai

Disamping jabatan-jabatan di atas, terdapat juga 3 (tiga) pejabat "Tenaga Pengkaji":

1) Tenaga Pengkaji Bidang Pengembangan Kapasitas dan Kinerja Organisasi

2) Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai

3) Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai

Untuk unit vertikal, berdasar Peraturan Menteri Keuangan nomor 168/PMK.01/2012 disebutkan


susunanan unit vertikal pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari:

Dua unit kantor pelayanan umum, yaitu:

1) Kantor Pelayanan Utama Bea Dan Cukai Tipe A Tanjung Priok

2) Kantor Pelayanan Utama Bea Dan Cukai Tipe B Batam

Enam belas unit kantor wilayah, yaitu:

1) Kantor Wilayah DJBC Aceh di Banda Aceh

2) Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara di Medan

3) Kantor Wilayah DJBC Riau Dan Sumatera Barat di Pekanbaru


4) Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau di Tanjung Balai Karimun

5) Kantor Wilayah DJBC Sumatera Bagian Selatan di Palembang

6) Kantor Wilayah DJBC Banten di Tangerang

7) Kantor Wilayah DJBC Jakarta di Jakarta Pusat

8) Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat di Bandung

9)  Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah Dan D.I. Yogyakarta di Semarang

10) Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I di Surabaya

11) Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur II di Malang

12) Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB Dan NTT di Denpasar

13) Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat di Pontianak

14) Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Timur di Balikpapan

15) Kantor Wilayah DJBC Sulawesi di Makassar

16) Kantor Wilayah DJBC Maluku, Papua Dan Papua Barat di Ambon

14.4 Hubungan antara Bea Cukai dengan Pajak


Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh DPJ dan kewajiban bea masuk/bea keluar dan
cukai yang dipungut oleh DJBC saling berkaitan erat yang dapat kita lihat melalui pemahaman istilah
kewajiban dan pemahaman ketentuan perundangan yang ada.
Dalam praktik perdagangan internasional lazim dikenal adanya istilah custom duties atau
diterjemahkan sebagai kewajiban pabean yang di Indonesia saat ini dikenal adanya bea masuk dan
bea keluar dan istilah excise duties yang diterjemahkan sebagai kewajiban cukai atau cukai.
Istilah duty atau jamaknya duties dalam literatur disebutkan duty asal mulanya ialah suatu
pembayaran yang diwajiban, terutama suatu pembayaran yang harus dilunasi kepada pemerintah,
seperti yang sekarang dipakai ialah suatu pembayaran pajak yang dipungut atas barang-barang impor
atau expor. Pada hakikatnya, suatu duty adalah pajak yang sebenarnya dipungut, sedangkan suatu
tarif itu adalah daftar atau tabel, dasar, tingkat pajak itu. Jadi, dalam teks ini, berbagai penggolongan
dan jenis tariffs atau duties yang dimasukkan dan didefinisikan di bawah tariff (Abdurrachman,
1991:359).

Dalam The Free Dictionary, istilah duty dalam ilmu ekonomi ialah In economics, a duty is akind of
tax often associated with customs, a payment due to the revenue of a state, levied by force of law.
Properly a duty differs from a tax in being levied on spesific commodities, financial transactions,
estates, etc, and not on individuals; thus it is right to talk of import duties, excies_duties, death or
succession duties, ets, but of income tax as being levied on a person in proportion to his income.
(Farlex, Inc, www,thefreedictionary,com, 2006),

Dari uraian di atas dijelaskan bahwa duty lebih ditekankan kepada hal yang berhubungan dengan
kepabeanan atau aktivitas impor/ekspor, yaitu memasukkan/mengeluarkan barang dari/ke luar negeri
yang dikenakan terhadap barang tertentu atau transaksi keuangan tertentu yang tidak bersifat
individual (subjektif) sehingga atas impor barang tertentu yang termasuk barang kena cukai dari luar
negeri, selain dikenakan bea masukan juga dikenakan cukai. Sebaliknya, terhadap produk dalam
negeri yang dikenakan cukai apabila diekspor atau dikirim ke luar negeri dapat dimintakan
pengembalian cukainya.

Hubungan dengan undang-undang pajak sebagai pajak objektif yang berkaitan dengan abrang kena
pajak, yaitu PPN dan PPnBM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983jo Nomor 11 Tahun 1994 jo 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Barang Mewah disebutkan dalam ketentuan umum, “Dasar pengenaan pajak adalah jumlah
harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, dan nilai lainnya yang ditetapkan keputusan
Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang”, sedangkan
nilai impor adalah, “Nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan pajak bedasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
pabean untuk impor barang kena pajak tidak termasuk pajak pertambahan nilai yang dipungut
menurut undang-undang ini. “Nilai pabean untuk perhitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari
barang yang bersangkutan (Pasal 15, Ayat 1 undang-undang tentang kepabeanan).

Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang diimpor adalah
nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran (Pasal 6, Ayat 2) undang-undang tentang
cukai. Artinya, harga dasar yang digunakan adalah nilai impor, yaitu nilai pabean ditambah bea
masuk atau dapat juga harga jual eceran (biasanya harga jual eceran telah memperhitungkan nilai
pabean, bea masuk, dan biaya-biaya lain yang timbul dalam pengimporan, serta margin
(keuntungan). Jadi, pajak dalam rangka impor berupa PPN, PPnBM, dan PPh atas impor (Pasal 22)
yang dipungut oleh DJBC dikenakan dengan dasar nilai pabean ditambah duties yang dibebankan
atas barang tersebut.
14.5 Cukai Hasil Tembakau

Berkaitan dengan cara pelunasan cukai hasil tembakau yang dilakukan dengan cara pelekatan pita
cukai, maka komponen-komponen data yang diperlukan adalah :

a) Seri pita cukai

Untuk pita cukai hasil tembakau dibedakan menjadi tiga seri:

Seri I   = 120 keping per lembar,

Seri II  =  56 keping per lembar,

Seri III = 150 keping per lembar.

b) Isi per bungkus

  Penghitungan cukai hasil tembakau menggunakan satuan per batang, yaitu jumlah batang dalam
satu bungkus.

c) Harga Jual Eceran


    Komponen ini menentukan tingkat tarif spesifik yang harus dikenakan (apakah berada di layer 1,
layer 2 atau layer 3) dan juga komponen yang harus diperhatikan dalam penghitungan PPN hasil
tembakau.

d) Jumlah lembar

    Pengertiannya adalah jumlah lembar pita cukai yang dipesan. Hal lain yang harus diperhatikan
dalam perhitungan cukai hasil tembakau adalah kewajiban pemungutan pajak pertambahan nilai
(PPN) hasil tembakau.

Rumus penghitungan Cukai Hasil Tembakau

Cukai=Tarif Cukai Spesifik x Jumlah Batang

Jumlah Batang=Jumlah Lembar x Jumlah Keping Seri x Isi per Kemasan

Rumus penghitungan PPN Hasil Tembakau Dalam Negeri

PPN HT dalam negeri   =Tarif Efektif (8,4 %) x Harga Jual Eceran Total

Harga Jual Eceran Total = HJE per kemasan x Jumlah Lembar Pita Cukai x Jumlah Keping Seri

PPN HT Impor= 10% X Nilai Impor

Khusus PPN untuk HT Impor

PPN Dalam Negeri=8,4% X HJE Total - PPN HT Impor

14.6 Cukai Etil Alkohol

Dalam menghitung pungutan cukai etil alkohol, variabel yang terlibat,yaitu :

1) Jumlah dalam satuan liter


2) Tarif cukai sepesifik, yaitu Rp. 20.000,- per liter

Rumus penghitungan cukai etil alkohol :

Cukai EA=Tarif Spesifik(Rp. 20.000) X Jumlah Liter(dalam kadar berapapun)

14.7 Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA)

Variabel yang menentukan besaran nilai Cukai yaitu :

a. Jumlah barang dalam satuan liter

b. Tarif cukai sepesifik sesuai golongan

c. Golongan barang kena cukai yang dibedakan berdasarkan kadar etil alkohol yang  terkandung di
dalamnya.

Rumus penghitungan cukai MMEA

Cukai MMEA = Tarif Cukai Spesifik X Jumlah Liter

14.8 Contoh Soal


Contoh Kasus:

Dinegara tetangga adalah penggunaan deterjen yang berlebihan, yang telah mencemari sungai yang
menjadi bahan baku pembuatan air minum publik oleh perusahaan pemerintah. Hal ini membuat
pemerintah mengeluarkan biaya ekstra untuk proses produksi air minum tersebut. Pemerintah tidak
dapat menaikkan harga air minum karena adanya resistensi publik atas rencana tersebut. Sebagai
jalan keluar, dikenakan cukai pada semua produk deterjen di negara tersebut. Didasari atas asas
keadilan, maka pertambahan biaya proses pemurnian air tersebut tidak dibebankan kepada konsumen
air minum, tetapi dibebankan kepada setiap konsumen deterjen. Asas yang sama telah berlaku pada
para perokok aktif di Indonesia. Perokok pasif harus menanggung risiko yang lebih besar, oleh sebab
itu cukai rokok dibebankan setinggi-tingginya.
Contoh Soal I

Tarif Advalorun

Nilai Pabean 1.000 USD

Tarif BM 5%, PPN 10%, PPh2,5%

Kurs NDPBM 1 USD = Rp 9.000

Maka Pungutannya,

Nilai Pabean = 1.000 x 9.000 = Rp 9.000.000

BM : 5% x 9.000.000 = Rp 450.000

PPN : 10% x 9.450.000 = Rp 945.000

PPh : 2,5% x 9.450.000 = Rp 236.250

Contoh Soal II

Produsen Sigaret Kretek Mesin  “PT  MZF” telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai (P3C)
Hasil Tembakau untuk kebutuhan bulan Februari 2019. Pada tanggal 4 Januari 2019, Pengusaha
tersebut mengajukan CK-1 dengan total rincian pengajuan, sebagai berikut : 

No Gol Seri Pita Cukai        Jumlah(Lbr) Isi/Bungkus HJE/Bungkus


1 II Seri III 1.500 16 Btg Rp.4550
2 II Seri  I                    1.000 20 Btg Rp.7625
Tarif cukai berdasarkan PMK No.181/PMK.011/2009  yang telah ditetapkan terhadap  produk Hasil
tembakau milik yang bersangkutan, yaitu:

- Merk A, Tarif cukai spesifik adalah Rp. 155/btg

- Merk B, Tarif cukai spesifik adalah Rp. 195/btg

- Tarif PPN HT adalah 12,5 %

Berdasarkan data-data tersebut, Hitung :

a.Total Nilai cukai yang terhutang !


b.Total PPN Hasil Tembakau yang terhutang !

Jawab:

Perhitungan Cukai dan PPN untuk merk A

Jumlah batang    = 1.500 lbr x 16 x 150 keping = 3.600.000  batang

Cukai terhutang = Rp. 155  x 3.600.000   = Rp. 558.000.000 ,-

PPN terhutang   = 12,5% x Rp. 4.550 x  1.500 lbr  x  150  = Rp127.968.750.,- 

Perhitungan Cukai dan PPN untuk merk B

Jumlah btg = 1.000 lbr x 20 x 120 keping = 2.400.000 btg

Cukai         = Rp. 195  x  2.400.000  = Rp468.000.000,-

PPN           = 12,5% x Rp. 7.625  x  1.000 lbr  x  120 

                  = Rp114.375.000,-

Total  Cukai terhutang :

 Rp. 558.000.000  +  Rp. 468.000.000   = Rp. 1.026.000.000,-

Total PPN terhutang    :

Rp127.968.750  +  Rp114.375.000       = Rp242.343.750,-

Contoh soal III

1) Pabrik etil alkohol “FF” di Medan mengajukan permohonan pengeluaran BKC dengan pelunasan
cukai (dokumen CK-14)kepada KPPBC Medan,dengan rincian:

-  40 drum isi @ 300 liter, etil alkohol kadar 96%

Pertanyaan, Berapa nilai cukai yang harus dibayar Pengusaha sebelum BKC dikeluarkan dari
Pabrik ?

Jawab :

Pungutan Cukai yang harus dilunasi = 40 x 300 ltr x Rp. 20.000

                                                      =Rp.  240.000.000 ,-
2)  Importir “ZZA” mengimpor barang kena cukai berupa etil alkohol dari luar negeri dengan rincian
data sebagai berikut :

-  Jumlah etil alkohol yang diimpor sebanyak 10.000 liter

-  Harga barang tersebut sesuai invoice adalah C& F USD 0.5 per liter

-  Biaya insurance yang dikeluarkan importir adalah USD 1,000.00

-  NDPBM diasumsikan Rp. 10.000 per 1 USD

-  Pos Tarif dan pembebanan sesuai HS adalah :

Pos Tarif : 2207.10.00.00 (BM 30%, PPN 10%, PPh. Psl. 22 2,5%)

Pertanyaan : Hitung pungutan yang harus dilunasi Importir sebelum barangnya dapat dikeluarkan
dari Kawasan Pabean.

Jawab :

- Pungutan Cukai = 10.000 liter x Rp. 10.000,

                             =Rp.  100.000.000,-

- Nilai Pabean = CIF x NDPBM

USD (10.000 x 0,5) + 1,000 = USD 6,000.00 x Rp. 10.000,=Rp. 60.000.000,-

- Bea Masuk = 30 % x Rp.60.000.000,-                                =Rp.18.000.000,-

- Nilai Impor = Nilai Pabean + BM + Cukai

Rp. 60.000.000,- + Rp. 18.000.000,- + Rp. 100.000.000     =Rp. 178.000.000,-

- PPN Impor= 10% x Rp.178.000.000,-     = Rp.17.800.000,-

- PPh pasal 22= 2,5% x Rp.178.000.000,-  = Rp.  4.450.000,-

-Total Pungutan : BM + Cukai + PPN + PPh. Psl 22 :

Rp.18.000.000,- + Rp. 100.000.000,- + Rp 17.800.000,- + Rp 4.450.000,-

=Rp. 140.250.000,-

Contoh Soal IV
1. Berapa Cukai Yang Harus Dibayar Untuk 2.OOO KRAT @ 15 BOTOL   BIR, KADAR 3%, ISI
PER BOTOL @ 2 LITER ?

Jawab : 2.000 X 15 X 2 =  60.000 LITER

 Rp. 11.000,- x 60.000  =  Rp 660.000.000,-

2. Berapa Cukai Yang Harus Dibayar Untuk Etil Alkohol 30 DRUM @ 200 Liter kadar 96 %

Jawab    :  Rp. 20.000,  X  30 X 200  =Rp. 120.000.000,-

3. Produsen MMEA “PT MZF” telah mengajukan dokumen penyediaan pita cukai MMEA (P3C)
untuk kebutuhan bulan Februari 2012 sebanyak 1.500 lembar pita cukai Gol B. Pada tanggal 3
Januari 2012, Pengusaha tersebut mengajukan CK-1A dengan total rincian pengajuan, sebagai
berikut. Hitung nilai cukai yang terhutang ! 

N Merek Kemasan     Isi (Liter)   Gol Lemba  


o Tarif           r
1 CLB Vodka Botol  0,25 B     400
2 CLB Botol    0,65                  B 200  
Whisky     
 

Jawab:

Pertama kali yang harus kita ingat bahwa pita cukai MMEA diterbitkan dalam satu seri saja, dengan
jumlah keping pita cukai perlembarnya sebanyak 60 keping.

Perhitungan cukai untuk merk CLB Vodka :

Jumlah Liter  = jumlah lembar PC x  60 x 0,25 liter

                      = 400 x 60 x 0,25 = 6.000 liter

Cukai             = Jumlah liter  x tarif cukai spesifik Gol B

                      = 6.000 x Rp. 33.000,- = Rp198.000.000,-

Perhitungan cukai untuk merk CLB Whisky :

Jumlah liter     = 200 x 60 x 0,65        = 7.800 liter

Cukai             = 7.800 x Rp. 33.000  = Rp257.400.000,-

 
Harga dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai yang diimpor
adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran (Pasal 6, Ayat 2) undang-
undang tentang cukai

Select one:
True

False
Bea cukai ini dibentuk kembali pada Oktober 1946 dengan sebutan Pejabatan Bea dan
Cukai

Select one:
True

False
Lembaga Bea Cukai di Indonesia dibentuk pada...

Select one:
a. November 1946
b. September 1946
c. Desember 1946

d. Oktober 1946
D

Majalah tentang Bea dan Cukai dapat diakses dalam aplikasi yang diunduh melalui Play
Store

Select one:
True

False
Dengan cukai pemerintah berharap dapat menghalangi penggunaan obyek cukai untuk
digunakan secara bebas.

Select one:

True
Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh DPJ dan kewajiban bea masuk/bea
keluar dan cukai yang dipungut oleh DJBC tidak berkaitan erat yang dapat kita lihat melalui
pemahaman istilah kewajiban dan pemahaman ketentuan perundangan yang ada
Select one:

True
Pada September 2019 Ditjen Bea Cukai merubah aturan impor barang melalui e-
commerce dengan menyesuaikan aturan nilai minimal pembebasan bea masuk (de minimis
value) dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terkait barang kiriman yang menurun menjadi
US$75 dari jumlah awal US$100

Select one:
True

False

1. Meningkatkan pertumbuhan industri luar negeri melalui pemberian fasilitas di


bidang kepabeanan dan cukai yang tepat sasaran.
2. Mewujudkan iklim usaha dan investasi yang kondusif dengan memperlancar logistik
impor dan ekspor melalui penyederhanaan prisedur kepabeanan dan sukai serta
penerapan sistem manajemen risiko yang handal
3. Melindungi masyarakat, industri luar negeri dan kepentingan nasional melalui
pengawasan dan/atau pencegahan masuknya barang impor dan keluarnya barang
ekspor yang berdampak negatif dan berbahaya yang dilarang dan/atau dibatasi oleh
regulasi
4. Melakukan pengawasan kegiatan impor, ekspor dan kegiatan di bidang kepabeanan
dan cukai lainnya secara efektif dan efisien melalui penerapan sistem manajemen
risiko yang handal, intelijen, dan penyidikan yang kuat, serta penindakan yang tegas
dan audit kepabeanan dan cukai yang tepat

Yang termasuk fungsi utama Ditjen Bea dan Cukai adalah ....
Select one:

a. semua benar

b. 1, 2 dan 3

c. 1 dan 3

d. 2 dan 4
A

Anda mungkin juga menyukai