0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan48 halaman

Tugas Penelitian Kualitatif

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 48

Metode Penelitian Kualitatif

Dosen : Dr. Ir. Anas Nikoyan, M.Si

PEMODELAN FAKTOR RESIKO PENYAKIT DIARE PADA ANAK DI


SEKITAR KAWASAN TAMBANG MOROSI

FITHRIA
G3IP22014

PROGRAM DOKTORAL ILMU PERTANIAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang

kesehatan yang saat ini terjadi di Negara Indonesia. Derajat kesehatan

anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak sebagai generasi

penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam

meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan alasan tersebut, masalah kesehatan

anak diprioritaskan dalam perencanaan atau penataan pembangunan bangsa

(Aziz,2008). Dalam menentukan derajat kesehatan di Indonesia, terdapat beberapa

indikator yang dapat digunakan antara lain angka kematian bayi, angka

kesakitan bayi, status gizi dan angka harapan hidup waktu lahir. Angka kesakitan

bayi menjadi indikator kedua dalam menentukan derajat kesehatan anak, karena nilai

kesakitan merupakan cerminan dari lemahnya daya tahan tubuh bayi dan anak  balita.

Angka kesakitan tersebut juga dapat dipengaruhi oleh status gizi , jaminan pelayanan

kesehatan anak, perlindungan kesehatan anak, faktor sosial ekonomidan pendidikan

ibu (Aziz, 2008).

Diare merupakan suatu kondisi umum yang ditandai dengan

peningkatanfrekuensi buang air besar dan peningkatan likuiditas dari tinja. Meskipun

diareakut biasanya dapat sembuh sendiri, dapat memburuk dan menyebabkan

dehidrasiyang memburuk, yang dapat menyebabkan volume darah abnormal, tekanan

darahmenurun, dan kerusakan pada ginjal, jantung, hati, otak dan organ tubuh
lainnya.Diare akut menjadi penyebab utama kematian bayi di seluruh dunia (Gidudu

et al.,2011). Menurut World Health Organization WHO dan UNICEF, ada sekitar

2 juta kasus diare penyakit di seluruh dunia setiap tahun dan 1,9 juta anak -

anak lebih muda dari 5 tahun meninggal karena diare setiap tahun, terutama di negara

berkembang. Jumlah ini 18% dari semua kematian anak- anak di bawah usia 5 tahun

dan berarti bahwa > 5000 anak-anak meninggal setiap hari akibat diare penyakit

(WGO, 2013).

Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan diare

yang menimbulkan banyak kematian terutama pada balita. Di Indonesiadilaporkan

secara keseluruhan pada tahun 2006 diperkirakan angka kesakitan diare meningkat

sebesar 423 per 1000 penduduk pada semua usia dengan jumlahkasus 10.980

penderita dan jumlah kematian 277 balita. Pada tahun 2008, diIndonesia episode diare

pada balita berkisar 40 juta per tahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000

balita (Soebagyo, 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2007,

menunjukkan bahwa diare telah menyebabkan kematian25,2% anak usia satu tahun

hingga empat tahun, bahkan pada tahun 2008, diaremerupakan penyumbang kematian

bayi terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 31,4% dari total kematian bayi.

Berbagai faktor mempengaruhi kejadian diare, diantaranya adalah faktor

lingkungan, gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomidan perilaku

masyarakat (Depkes RI, 1994). Menurut Soegijanto, banyak faktor yang secara

langsung maupun tidak langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare.
Penyebab tidak langsung atau faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat

terjadinya diare seperti status gizi, pemberian asi ekslusif, lingkungan, Perilaku hidup

bersih dan sehat, dan sosial ekonomi. Penyebab langsung antara lain infeksi bakteri

virus dan parasit, malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia maupun keracunan oleh

racun yang diproduksi oleh jasad renik, ikan, buah dan sayur-sayuran.Perilaku hidup

bersih dan sehat merupakan faktor tidak langsung yang menyebabkan diare. Perilaku

sehat seseorang berhubungan dengan tindakannya dalam memelihara dan

meningkatkan status kesehatan antara lain pencegahan penyakit,kebersihan diri,

pemilihan makanan sehat dan bergizi serta kebersihan lingkungan.Keadaan kesehatan

yang tidak baik mempengaruhi terhadap terjadinya penyakit diare dibandingkan

dalam kesehatan yang baik (Suriadi, 2001).

Penyebab langsung diare antara lain infeksi bakteri virus dan parasit,

malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia maupun keracunan oleh racun yang

diproduksi oleh jasad renik, ikan, buah dan sayur-sayuran. Faktor–faktor yang

mempengaruhi kejadian diare pada anak ada tiga. Faktor yang pertama adalah faktor

lingkungan. Diare dapat terjadi karena seseorang tidak memperhatikan kebersihan

lingkungan dan menganggap bahwa masalah kebersihan adalah masalah sepele.

Kebersihan lingkungan merupakan kondisi lingkungan yang optimum sehingga dapat

memberikan pengaruh positif terhadap status kesehatan yang baik. Ruang lingkup

kebersihan lingkungan diantaranya adalah perumahan, pembuangan kotoran manusia,

penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan pembuangan air kotor (limbah).
Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran penyakit diare pada

anak yaitu pembuangan tinja dan sumber air minum. Pengelolaan tinja yang kurang

diperhatikan disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk akan mempercepat

penyebaran penyakit yang ditularkan melalui tinja seperti diare, yang merupakan

penyakit menular berbasis lingkungan. Pembuangan tinja yang sembarangan juga

akan menyebabkan penyebaran penyakit. Penyebaran penyakit yang bersumber dari

tinja dapatmelalui berbagai macam cara, baik melalui air, tangan ,maupun tanah yang

terkontaminasi oleh tinja dan ditularkan lewat makanan dan minuman melalui vector

serangga (lalatdankecoa). Selain itu, halaman rumah yang becek karena buruknya

saluran pembuangan air limbah (SPAL) memudahkan penularan diare, terutama yang

ditularkan oleh cacing dan parasite dan membuang sampah sembarangan akan

menjadi faktor risiko timbulnya berbagai vector bibit penyakit .

Faktor yang kedua adalah faktor sosio demografi. Faktor sosiodemografi

yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak yaitu pendidikan dan pekerjaan

orang tua, serta umur anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki, maka

perilaku pencegahan terhadap penyakit diare akan semakin baik. Tingkat pendidikan

yang tinggi pada seseorang akan membuat orang tersebut lebih berorientasi pada

tindakan preventif, memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih

banyak tentang masalah kesehatan. Pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial

ekonomi, risiko cedera, atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi dapat

mencerminkan karakteristik pekerjaan seseorang. Kejadian diare lebih sering muncul

pada bayi dan balita yang status ekonomi keluarganya rendah. Tingkat pendapatan
yang baik memungkinkan fasilitas kesehatan yang dimiliki mereka akan baik pula,

seperti penyediaan air bersih yang terjamin, penyediaan jamban sendiri, dan jika

mempunyai ternak akan diberikan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya.

Faktor sosiodemografi lain yang dapat memengaruhi kejadian diare adalah umur.

Semakin muda usia anak, semakin tinggi kecenderungan terserang diare. Daya tahan

tubuh yang rendah membuat tingginya angka kejadian diare.

Faktor ketiga yang dapat memengaruhi kejadian diare yaitu faktor perilaku.

Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dan kebiasaan mencuci tangan merupakan

faktor perilaku yang berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik dan menurunkan

risiko terjadinya diare. Selain ASI, terdapat pula personal hygiene,yaitu upaya

seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memeroleh

kesehatan fisik dan psikologis. Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun setelah

buang air besar merupakan kebiasaan yang dapat membahayakan anak, terutama

ketika sang ibu memasak makanan dan menyuapi anaknya, maka makanan tersebut

dapat terkontaminasi oleh kuman sehingga dapat menyebabkan diare. Perilaku yang

dapat mengurangi risiko terjadinya diare adalah mencuci sayur dan buah sebelum

dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah melalui penyajian makanan

yang tidak matang atau mentah.30 Pada penderita diare, zat-zat makanan yang masih

diperlukan tubuh akan terbuang bersamaan dengan terjadinya dehidrasi. Oleh karena

itu, apabila anak sering mengalami diare, maka pertumbuhannya tidak dapat

berlangsung secara optimal.


Berdasarkan Data awal yang diperoleh bahwa penyakit Diare menduduki

urutan Ketiga dari Penyakit 5 Besar yang ada di Morosi. Morosi adalah salah satu

daerah pertambangan. Aktivitas pertambangan berpotensi mencemari lingkungan

seperti air, tanah dan udara. Selain itu kegiatan pertambangan juga akan

mempengaruhi aspek – aspek sosial di daerah itu. Karena itu dalam penelitian ini

akan dipelajari pemodelan faktor resiko penyakit diare pada anak disekitar kawasan

tambang Morosi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Faktor resiko apa saja yang mempengaruhi penyakit diare pada anak di

kawasan tambang morosi?

2. Faktor resiko apa yang paling berpengaruh pada penyakit diare pada anak

disekitar kawasan morosi?

3. Apakah faktor resiko penyakit diare pada anak di kawasan tambang morosi

berkaitan dengan aktivitas pertambangan di daerah tersebut?

4. Bagaimana model faktor resiko Penyakit diare pada anak dikawasan tambang

morosi?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Membuat Pemodelan faktor resiko penyakit diare pada anak disekitar kawasan

tambang morosi.
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui Faktor resiko apa saja yang mempengaruhi penyakit diare pada

anak di kawasan tambang morosi.

2. Mengetahui Faktor resiko apa yang paling berpengaruh pada penyakit diare

pada anak disekitar kawasan morosi

3. Mengetahui ada atau tidaknya hubungan faktor resiko penyakit diare pada

anak di kawasan tambang morosi dengan aktivitas pertambangan di daerah

tersebut.

4. Menentukan model faktor resiko penyakit diare pada anak dikawasan tambang

morosi.
Kerangka Konsep

Faktor Lingkungan:
1. Kontruksi fisik
perumahan dan
Lingkungan rumah
2. pembuangan kotoran
manusia
3. Penyediaan Air Bersih
4. Pembungan Sampah
5. Pembuangan air kotor
(limbah)/SPAL.

Faktor Sosio Demografi


1. Umur anak
Faktor 2. Status Gizi anak Pemodelan
3. Pendidikan Orang Tua Faktor
Resiko Penyakit
4. Pekerjaan Orang Tua Resiko
Diare pada
Penyakit 5. Pendapatan Orang Tua Penyakit
Anak
Diare pada
Diare
Anak

Faktor Perilaku
1. Mencuci tangan dengan sabun
dan air bersih
2. Menggunakan Air bersih
3. Konsumsi makanan
4. Membuang sampah pada
tempatnya
5. Personal Higyene
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diare

1. Pengertian diare

Diare merupakan kondisi yang ditandai dengan encernya tinja yang

dikeluarkan dengan frekuensi buang air besar (BAB) yang lebih sering

dibandingkan dengan biasanya. Biasanya diare hanya berlangsung beberapa hari,

namun pada sebagian kasus memanjang hingga berminggu-minggu. Bila tidak

mendapatkan penanganan yang tepat, dapat berakibat fatal (Supriyatna, 2020).

Diare didefinisikan sebagai buang air besar encer tiga kali atau lebih dalam sehari.

Penyakit diare merupakan penyakit yang masih menjadi penyebab utama

morbiditas dan mortalitas di negara berkembang termasuk Indonesia. Diare

adalah penyebab kematian kedua terbanyak pada anak di bawah lima tahun

(Gustika Trisiyani, 2021).

Diare dapat disebabkan oleh transportasi air dan elektrolit yang

abnormal dalam usus. Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 500 juta anak yang

menderita diare setiap tahunnya, dan 20% dari seluruh kematian pada anak yang

hidup di negara berkembang berhubungan dengan diare serta dehidrasi. Gangguan

diare dapat melibatkan lambung dan usus (Gastroenteritis), usus halus (Enteritis),

kolon (Kolitis) atau kolon dan usus (Enterokolitis) (Frisca Dewi Yunadi, 2020).

Diare merupakan peningkatan frekuensi dan perubahan konsitensi

faeces yang disebabkan oleh agen infeksi pada gastrointestinal dan sering terjadi
pada balitadan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.Sementara untuk bayi

dan anak-anak, pengeluaran tinja > 10 g/kg/24 jam, sedangkan rata- rata

pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam (Hera Hijriani, 2020).

Diare adalah sebuah penyakit dimana penderita mengalami rangsangan

buang air besar yang terus-menerus dan tinja atau feses yang masih memiliki

kandungan air berlebihan.Beberapa faktor yang menjadi

penyebabtimbulnyapenyakit diare adalah oleh kuman melalui kontaminasi

makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung

denganpenderita diare (Suharni Setia Ningsih, 2017). Penyakit diare adalah salah

satu penyakit paling sering menyerang anak-anak di seluruh dunia termasuk

negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan angka morbiditas dan

mortalitasnya yang masih tinggi. Diperkirakan 4 milyar kasus diare terjadi setiap

tahun pada anak balita di seluruh dunia. Setiap tahun 1,5 juta anak balita

meninggal karena diare. Diare membawa kematian lebih cepat pada anak-anak

dibanding orang dewasa karena terjadinya dehidrasi dan malnutrisi (Humrah,

2018).

Penyakit diare menjadi permasalahan utama di negara-negara

berkembang termasuk di Indonesia. Selain sebagai penyebab kematian, diare juga

menjadi penyebab utama gizi kurang yang bisa menimbulkan kematian serta

dapat menimbulkan kejadian luar biasa. Beberapa faktor yang menjadi penyebab

timbulnya penyakit diare disebabkan oleh bakteri melalui kontaminasi makanan

dan minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan penderita.
Selain itu, faktor yang paling dominan berkontribusi dalam penyakit diare adalah

air, higiene sanitasi makanan, jamban keluarga, dan air (Tuang, 2021).

Penyakit diare merupakan penyebab utama kematian kedua pada anak di

bawah lima tahun dan mengakibatkan kematian sekitar 525.000 anak setiap

tahunnya. Diare dapat berlangsung beberapa hari dan dapat mengakibatkan

dehidrasi air dan garam yang diperlukan untuk bertahan hidup. Di masa lalu, bagi

kebanyakan orang, dehidrasi berat dan kehilangan cairan adalah penyebab utama

kematian. Sekarang, penyebab lain seperti infeksi bakteri septik kemungkinan

akan menyebabkan peningkatan proporsi kematian terkait diare. Anak-anak yang

kekurangan gizi atau memiliki kekebalan yang terganggu serta orang yang hidup

dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) paling berisiko mengalami diare

yang mengancam jiwa. (Tuang, 2021).

2. Faktor Penyebab diare

Banyak faktor resiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit

diare yaitu sebagai berikut:

a. Faktor Lingkungan

1) Sanitasi lingkungan yang kurang baik

2) Sumber Air Bersih

Sumber air Air bersih menurut Permenkes

416/Menkes/PER/IX/1990 adalah air yang digunakan untuk keperluan

sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat

diminum apabila telah dimasak. Kualitas air bersih harus memenuhi syarat
kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika kimia, dan

radioaktif diikuti dengan adanya pengawasan terhadap kualitas air yang

bertujuan untuk mencegah penurunan kualitas dan penggunaan air yang

dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan. Sumber air bersih yang

tidak aman disertai dengan sanitasi yang kurang baik meningkatkan angka

kematian pada anak yang disebabkan oleh diare sampai dengan 13 88%.

Peningkatan ketersediaan air bersih dapat meningkatkan perbaikan kualitas

dari penderita diare sebesar 16%. Air yang tidak bersih dapat menjadi

tempat yang nyaman untuk berkembang biaknya berbagai mikroorganisme

baik virus maupun bakteri penyebab penyakit, salah satunya adalah diare.

3) Penggunaan Jamban

Jamban adalah suatu ruangan yang memiliki fasilitas pembuangan

kotoran manusia yang terdiri dari tempat jongkok atau tempat duduk

dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi

dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.

Jamban cemplung adalah jamban yang penampungannya berupa lubang

yang berfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran/tinja ke dalam

tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang, dan seharusnya jamban

cemplung ditutup agar tidak berbau. Jamban dengan tangki septik/leher

angsa merupakan jamban berbentuk leher angsa yang penampungannya

berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses

penguraian kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya (Budi


dalam Atika, 2016). Budaya perilaku BAB yang sehat dapat memutuskan

alur kontaminasi kotoran manusia yang dapat menjadi sumber penyakit

yang terkait dengan sanitasi sehingga perlu sarana BAB yang memenuhi

standar dan persyaratan kesehatan. Syarat jamban sehat yaitu, dapat

mencegah kontaminasi ke badan air, mencegah kontak antara manusia dan

tinja, membuat tinja tidak 14 dapat dihinggapi serangga maupun binatang

lainnya, mencegah bau tidak sedap, dan konstruksi dudukan jamban harus

dibuat dengan baik dan aman serta mudah dibersihkan.

4) Sarana Tempat Pembuangan Sampah

Pengelolaan sampah berisiko besar kemungkinan terjadinya diare

dibandingkan dengan pengelolaan sampah yang tidak berisiko. Hal ini

disebabkan karena dengan pengelolaan sampah yang berisiko maka akan

menjadi media perkembangbiakan binatang dan serangga (vektor) sebagai

pemindah/penyebab penyakit yang berisiko terhadap terjadinya diare.

Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena melalui

sampah akan hidup mikroorganisme penyebab penyakit dan juga serangga

sebagai pemindah/penyebab penyakit. 27 Sesuai dengan penelitian Lailatul

(2013).

5) Pengelolaan Air Limbah

Air limbah dari rumah tangga harus dikelola sedemikian rupa agar

tidak menjadi sumber penularan penyakit. Suatu rumah harus memiliki

minimal satu septic tank atau sumur serapan sebagai metode pengelolaan
air limbah rumah tangga. Pengelolaan air limbah yang tidak baik, akan

mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup diantaranya

menjadi media penyebaran penyakit (kolera, tifus abdomilis, disentri

bailer), media berkembang biaknya mikroorganisme pathogen,

menimbulkan bau tidak sedap, serta pandangan yang tidak enak, sumber

pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, dan

mengurangi produktivitas manusia karena tidak nyaman, dan sebagainya.

b. Faktor Sosio Demografi

1) Umur anak

Kejadian diare di Indonesia merupakan penyebab kematian nomor

dua pada anak usia dibawah 5 tahun. Angka Kematian Balita (AKBA)

merupakan salah satu indikator kesehatan yang dinilai paling peka dan

telah disepakati secara nasional sebagai ukuran derajat kesehatan suatu

wilayah. Secara nasional, target SDGs untuk menurunkan Angka Kematian

Balita di Indonesia dalam kurun waktu 2015-2030 menjadi 25 per 1000

kelahiran hidup. Pada tahun 2016, AKBA di Indonesia tercatat 26 per 1000

kelahiran hidup (BPPN, 2020). Diare lebih sering terjadi pada anak usia 2

tahun karena usus anak-anak sangat peka terutama pada tahun-tahun

pertama dan kedua. Berdasarkan karakteristik penduduk pada kelompok

umur, data insiden diare dan periode prevalensi diare yang paling tinggi

adalah kelompok umur.


2) Status Gizi anak

Diare merupakan penyebab kematian terbanyak pada balita di

Indonesia dengan persentase 25,2%. Permasalahan gizi yang masih

menjadi masalah utam.a di dunia adalah malnutrisi. Berdasarkan hasil

Pemantauan Status Gizi Kemenkes RI tahun 2017, balita yang mengalami

masalah gizi mencapai 17,8%. Pada anak yang menderita diare, malnutrisi

dapat merupakan komplikasi maupun faktor penyebab diare.

3) Pendidikan dan Pekerjaan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan gambaran seberapa

tinggi pengetahuan yang dimiliki orang tua. Seperti halnya kemampuan dan

keterampilan yang dimiliki orang tua tentu sesuai dengan tingkat

pendidikan yang diikutinya. Semakin tinggi pendidikan orang tua, maka

diasumsikan semakin tinggi pengetahuan, keterampilan dan

kemampuannya. Hal ini menggambarkan bahwa fungsi pendidikan dapat

meningkatkan kesejahteraan, karena orang tua yang berpendidikan tinggi

akan terhindar dari kebodohan dan kemiskinan (Suardi, 2012: Orang tua

yang berpendidikan tinggi tentu akan memiliki pekerjaan yang layak / baik,

serta memiliki pendapatan yang tinggi pula, sehingga orang tua dengan

kriteria seperti itu akan mengutamakan asupan gizi yang sesuai untuk

anaknya serta memberikan yang terbaik demi menunjang tumbuh dan

kembang anaknya. Lain halnya dengan orang tua yang memiliki

pendidikan rendah, maka pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya


juga rendah. Dengan demikian otomatis peluang kerja akan lebih sedikit

dan pendapatan juga rendah sehingga untuk memenuhi gizi anaknya akan

susah terpenuhi. Maka dari itu pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua

serta pendapatan orang tua merupakan suatu hal berkesinambungan yang

mempengaruhi baik buruknya status gizi anak.

4) Pendapatan Orang Tua

Menurut Habet (2010: 19), jelas pendapatan rendah memiliki

pengaruh negatif pada makanan dan kesehatan secara keseluruhan.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan

pendapatan yang tinggi maka kebutuhan gizi akan mudah terpenuhi dan

sebaliknya, pendapatan rendah akan menyebabkan susahnya memenuhi

kebutuhan gizi anak dengan begitu akan mempengaruhi status gizi anak

jika status gizi anak kurang maka akan lebih mudah untuk terkontaminasi

penyakit Diare.

c. Faktor Perilaku

1) Mencuci tangan dengan air sabun dan air bersih

Menurut teori yang dikemukakan oleh Tietjen pada tahun 2004,

cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari

kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air. Kesehatan dan

kebersihan tangan dapat mengurangi jumlah mikrooganisme penyebab

penyakit pada kedua tangan dan lengan, serta meminimalisasi kontaminasi

silang. Tujuan cuci tangan adalah menghilangkan kotoran mekanis dari


permukaan kulit dan mengurangi jumlah mikrooganisme sementara

(Tietjen L,2004). Kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar

dengan benar sangat penting dan dapat meminimalisir risiko penularan

maupun terjadinya diare. Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan

merupakan bagian penting dalam penularan diare, sehingga dengan

mencuci tangan dengan benar dan tepat dapat memutus rantai penularan

penyakit diareerilaku mencuci tangan adalah suatu aktivitas, tindakan

mencuci tangan.

Langkah yang paling mudah dilakukan untuk menghindari diare

adalah rajin mencuci tangan pakai sabun, karena tangan adalah anggota

tubuh yang paling banyak kita gunakan untuk melakukan aktivitas sehari-

hari. Sehingga sangat rentan untuk bakteri dan kuman menempel pada

tangan kita, saat kita memegang apapun. Berdasarkan penelitian

Purwandari (2013) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara perilaku cuci tangan dengan kejadian diare. Cuci tangan merupakan

tindakan pencegahan yang murah, namun efektif untuk menurunkan

penyakit yang dapat ditularkan melalui tangan, misalnya diare. Sehingga

untuk menghindari diare dapat dilakukan dengan mencuci tangan

menggunakan sabun sebelum makan dan setelah makan, setelah buang air

besar, sebelum memegang makanan dan setiap tangan kotor.


2) Konsumsi makanan

Faktor makanan juga sering menjadi faktor penyebab seseorang

mengalami diare. Makanan yang kita konsumsi harus diperhatikan

kebersihannya karena jika makanan yang kita konsumsi tidak bersih maka

kuman atau bakteri yang terdapat pada makanan dapat ikut masuk kedalam

tubuh kita, sehingga makanan harus selalu dalam keadaan tertutup agar

tidak dihinggapi lalat. Makanan basi dan makanan pedas, makanan basi

tidak layak makan karena ada bakteri yang masuk kedalam makanan

tersebut. Makanan yang pedas dan diare sepertinya tidak bisa dipisahkan,

bila kita merasa sanggup memakan makanan pedas, tidak berarti demikian

dengan pencernaan kita. Makanan yang pedas secara langsung dapat

mengganggu pencernaan, menyebabkan terjadinya diare bagi banyak orang

dengan kondisi pencernaan yang sensitif. Adanya komposisi kimia dalam

makanan yang pedas serta bagaimana interaksinya dalam tubuh dapat

menyebabkan diare bagi pencernaan.

3) Membuang sampah pada tempatnya

Selain merusak pemandangan, kebiasaan buang sampah

sembarangan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti diare.

Berdasarkan penelitian Junias (2008) menyebutkan bahwa ada hubungan

antara kondisi penggunaan tempat pembuangan sampah sementara dengan

kejadian diare. Sehingga diperlukan perilaku seperti membuang sampah di

tong sampah, tidak membuang sampah di sungai, tidak membuang sampah


di selokan dan tempat sampah harus ditutup. Secara tidak langsung,

misalnya sampah-sampah tersebut menjadi tempat sarang

berkembangbiaknya hewan kotor seperti nyamuk, kecoak, lalat, dan tikus.

Hewanhewan tersebut dapat menjadi perantara antara kuman penyakit dan

manusia.

4) Personal Higyene

Berdasarkan penelitian Safira (2015) menyebutkan terdapat

hubungan antara kebersihan diri dengan kejadian diare. Hasil penelitian ini

juga sejalan dengan pendapat dari Dirjen PPM & PLP dalam buku materi

program P2 diare pada pelatihan P2ML terpadu bagi dokter Puskesmas

bahwa personal hygiene adalah langkah pertama untuk hidup lebih sehat.

Dasar kebersihan adalah pengetahuan, banyak masalah kesehatan timbul

akibat kelalaian kita tetapi standar higyene dapat mengontrol kondisi ini.

Menjaga kebersihan diri merupakan salah satu cara agar tubuh terhindar

dari kuman dan bakteri sehingga tidak mudah terjangkit penyakit, termasuk

diare. Misalnya, mencuci tangan, menjaga 15 kebersihan kuku seperti

memotong kuku agar kuku tidak panjang dan kuku tidak kotor.

5) Perilaku buang air besar (BAB) sembarangan.

Perilku ini masih terjadi di Indonesia, disejumlah daerah

masyarakat masih BAB sembarangan di kali atau sungai. Data Joint

Monitoring Program WHO/UNICEF (2014), sebanyak 55 juta penduduk di

Indonesia masih berperilaku BAB sembarangan. Akibatnya, mereka rentan


terkena penyakit diare. Dampak penyakit yang paling sering terjadi akibat

buang air besar sembarangan ke sungai adalah Escherichia Coli, itu

merupakan penyakit yang membuat orang terkena diare. Setelah itu bisa

menjadi dehidrasi, lalu karena kondisi tubuh turun maka masuklah

penyakit-penyakit lain. 16 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) (2012), sebanyak 39-40 juta orang yang buang air besar

sembarangan, itu termasuk orang yang mempunyai WC, namun masih

membuang kotorannya ke sungai. Riset yang dilakukan UNICEF dan

WHO, juga menyatakan lebih dari 370 balita Indonesia meninggal akibat

perilaku buruk BAB sembarangan yang menyebabkan diare. Angka

kematian akibat diare ini perlu diturunkun, maka dari itu semua pihak harus

sadar dan segera membuat dan memakai toilet yang sehat. Hal ini selaras

dengan kegiatan yang dicanangkan pemerintah dalam bentuk Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat (STBM). Kategori jamban disebut sehat jika

pembuangan kotorannya di penampungan khusus tinja atau septic tank.

Kalau buangnya ke sungai, itu belum termasuk sehat. Sehingga diharapkan

tidak buang air besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan,

dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan. Buang air besar di sungai

atau di laut dapat memicu penyebaran wabah penyakit yang dapat

ditularkan melalui tinja. Buang air besar di pantai atau tanah terbuka dapat

mengundang serangga seperti lalat, kecoa, kaki seribu, dan sebagainya

yang dapat menyebarkan penyakit akibat tinja, seperti penyakit diare.


Berdasarkan hasil penelitian Dini (2013) didapatkan 34 (54,0%) responden

mempunyai masalah dalam pembuangan tinja yang dikategorikan sebagai

pembuangan tinja yang tidak sehat, ini disebabkan kebiasaan dan lokasi

pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat karena tidak tersedianya

jamban keluarga sehingga harus membuang tinja di parit, sungai bahkan

ada di belakang rumah dengan cara di timbun dengan tanah. Beberapa

jamban ditemukan dalam keadaan tidak tertutup dan tidak bersih yang

memungkinkan untuk berkembangbiaknya bibit penyakit seperti diare.

Adapun hasil penelitian tersebut 17 menyebutkan terdapat hubungan yang

signifikan antara pembuangan tinja dengan kejadian diare.

Perilaku terdiri dari tiga komponen yaitu sebagai berikut:

1) Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan adalah apa yang

diketahui oleh seseorang tentang sesuatu hal yang terjadi setelah

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang penting untuk membentuk perilaku seseorang.

Wawasan dan pemikiran yang luas di bidang kesehatan akan

mempengaruhi perilaku individu dalam menyikapi suatu masalah.

a) Jenis pengetahuan

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam

konteks kesehatan sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan

bagian perilaku kesehatan. Jenis pengetahuan diantaranya sebagai


berikut (Budiman, 2014). a. Pengetahuan implisit Pengetahuan implisit

adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam bentuk pengalaman

seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat nyata, seperti

keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip. Pengetahuan seseorang

biasanya sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis

ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan

budaya bahkan bisa tidak disadari. b. Pengetahuan ekplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah

didokumentasikan atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam

wujud perilaku kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam

tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

b) Tingkatan pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan yang tercakup

dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu:

(1) Tahu, diartikan sebagai mengingat suatu materi yang sudah

dipelajari.

(2) Memahami, diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secera benar tentang obyek yang diketahui.

(3) Aplikasi, diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

sesungguhnya.
(4) Analisis, adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke

dalam komponen-konponen tetapi masih dalam struktur organisasi,

dan masih ada kaitannya satu sama lain.

(5) Sintesis, menunjuk kepada suatu kemampuan untuk

menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru.

(6) Evaluasi, berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

(7) Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Budiman (2014), faktor yang mempengaruhi pengetahuan

adalah sebagai berikut:

(a) Pendidikan

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana

diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, orang tersebut

akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun, perlu

ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak

berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan

pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan

tetapi juga dapat 20 diperoleh pada pendidikan nonformal.

Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga

mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif.

Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka


akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek

tersebut.

(b) Informasi/media massa

Informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui, namun adapula

yang menekankan bahwa informasi adalah sebagai transfer

pengetahuan. Informasi dapat dijumpai dalam kehidupan

sehari-hari, yang dapat kita peroleh dari pengamatan maupun

data dari sekitar kita, serta diteruskan melalui komunikasi.

Informasi dapat mencakup data, teks, gambar, suara, dan kode,

program komputer, dan basis data. Informasi yang diperoleh

baik dari pendidikan formal maupun nonformal dapat

memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan

perubahan atau peningkatan pengetahuan.

(c) Sosial, budaya, dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya

suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi

pengetahuan seseorang.
(d) Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu,

baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan

berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam

individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi

karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan

direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

(e) Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara

untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara

mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam

memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman

belajar dalam bekerja yang dikembangkan akan memberikan

pengetahuan dan keterampilan professional, serta dapat

mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang

merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah

dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang

kerjanya.

(f) Usia

Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin bertambah pula daya


tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang

diperoleh semakin membaik.

2) Sikap

Sikap adalah penilaian (bisa berupa pendapat) seseorang

terhadap stimulus dan objek (dalam hal ini adalah masalah kesehatan,

termasuk penyakit) (Notoatmodjo, 2011). Setelah anak mengetahui bahaya

tidak mencuci tangan (melalui pengalaman, pengaruh orang lain, media

massa, lembaga pendidikan, emosi), proses selanjutnya akan menilai atau

bersikap terhadap kegiatan mencuci tangan tersebut. Menurut Azwar

(2013) dalam penyusunan pengukuran sikap sebagai instrumen

pengungkapan sikap individu maupun sikap kelompok ternyata bukanlah

suatu hal yang mudah. Kendatipun sudah melalui prosedur dan langkah-

langkah yang sesuai dengan kriteria, suatu pengukuran sikap ternyata

masih tetap memiliki kelemahan, sehingga tujuan penggungkapan sikap

yang diinginkan tidak seluruhnya dapat tercapai. Oleh karena itu dalam

penyusunan pengukuran sikap beberapa hal yang perlu dikuasai sebelum

sampai pada tabel spesifikasi adalah pengertian dan komponen sikap dan

pengetahuan mengenai obyek sikap yang hendak diukur. Sebagai landasan

utama dari pengukuran sikap adalah pendefinisian sikap terhadap suatu

obyek. Dimana sikap terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung

atau memihak (favorabel) maupun perasaan yang tidak mendukung atau


tidak memihak (unfavorabel) terhadap objek tersebut (Wawan dalam

Durisah, 2016).

3) Praktek atau Tindakan

Praktek atau tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud

dalam suatu praktek/tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap

menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu

kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Disamping

fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain

(Notoatmodjo, 2011). Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak

langsung yakni wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah

dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran

juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi

tindakan atau kegiatan responden

Faktor perilaku erat kaitannya dengan kejadian diare. Terdapat 3

faktor utama penyebab tingginya sebaran kasus diare yaitu kebiasaan

mencuci tangan, pola makan dan cara memasak air (MUNAWARAH).

Kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu perilaku hidup

bersih dan sehat yang perlu diterapkan. Tangan dapat menjadi media

penularan penyakit, dikarena sebagian besar aktifitas yang dilakukan

menggunakan tangan. Air yang tidak dikelola dengan benar dapat

menjadi media penularan penyakit. Salah satu proses yang pengolahan

yang banyak digunakan dimasyarakat adalah memasak air. Memasak air


apabila tidak sesuai standar dan ketentuan juga tetap dapat menularkan

penyakit. Faktor-faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian diare

adalah faktor memasak air.

1) Pengertian air

Air merupakan salah satu media yang tersedia di alam yang

digunakan untuk kebutuhan sehari-sehari dan kebutuhan lainnya.

Diantaranya digunakan untuk memasak, mencuci, mandi,

membersihkan kotoran dan lain sebagainya (Atikah, dkk, 2016). Air

bersih dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia untuk

melakukan segala kegiatan sehingga perlu diketahui bagaimana air

dikatakan bersih dari segi kualitas dan bisa digunakan dalam jumlah yang

memadai dalam kegiatan sehari-hari manusia.

Pada masa sekarang ini permasalahan yang sering muncul di

masyarakat adalah terpenuhinya kuantitas air sesuai kebutuhan namun

dari segi kualitas tidak memenuhi syarat. Beberapa parameter kualitas air

bersih berdasarkan Permenkes No. 416 tahun 1990 harus memenuhi

persyaratan fisik, kimia dan mikrobiologi.

2) Karakteristik air

Berdasarkan permenkes No. 146 tahun 1990, karakteristik air

terdiri dari:
a) Parameter fisik

Karakteristik air berdasarkan parameter fisik terdiri dari

beberapa parameter yang harus memenuhi syarat berikut yaitu:

(a) Suhu, maksimum air yang diizinkan adalah 30 ºC

(b) Air tidak berwarna, berwarnanya air dapat disebabkan oleh

karena bahan organik kontak dengan air.

(c) Air tidak berbau, air berbau dapat disebabkan oleh karena

bahan organik yang mengalami pembusukan dan

terkontaminasi oleh senyawa lain.

(d) Air tidak berasa, air berasa dapat diakibatkan oleh

terdekomposisinya air dengan bahan organik sehingga

merubah rasa dari air tersebut.

(e) Air tidak keruh, kekeruhan pada air dapat terjadi apabila tanah

liat, lumpur, bahan bahan organik yang tersebar dan partikel-

partikel kecil lain yang tersuspensi didalam air.

b) Parameter Kimia

Karakteristik air berdasarkan parameter kimia terdiri dari:

(a) pH, merupakan salah satu indikator yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan miroba sehingga perlu untuk

diperhatikan.

(b) Total solid, apabila total solid dalam air tidak memebuhi

syarat aman maka akan mengakibat beberapa hal diantaranya


air terasa tidak enak, muncul rasa mual setelah

mengkonsumsi, dan terjadi cardiac diseases serta toxaemia

pada wanita-wanita hamil.

(c) Kesadahan, terjadi disebabkan oleh adanya ion-ion kation

logam valensi dua (Ca++, Mg++, Fe++, dan Mn++).

(d) Kimia anorganik, beberapa senyawa kimia anorganik yang

perlu diperhatikan yaitu calcium (Ca), tembaga (Cu), sulfide

(H2S), amonia (NH3), magnesium (Mg), besi (Fe), Cadmium

(Cd), mangan (Mn), air raksa (Hg), seng (Zn, arsen, NO3, dan

Sulfat.

(e) Kimia organik, beberapa senyawa kimia anorganik yang perlu

diperhatikan yaitu benzene, aldrin, dieldrin, chlordine (total

isomer), heptachlor dan hepaclorepixide.

c) Parameter Mikrobiologi

Karakteristik air berdasarkan parameter mikrobiologi

terdapat dua indikator yang sangat penting untuk menetukan hygiene

dan sanitasi air yaitu total coliform dan E. coli. Tingginya total

coliform dan E. coli didalam air dapat sebabkan oleh karena

tercemarnya air. Indikasi pencemaran yang paling banyak disebabkan

oleh karena air tercemar tinja manusia, karena total coliform dan E.

coli banyak ditemukan pada usus manusia dan hewan. Parameter


mikrobiologi pada air perlu diperhatikan agar air tersebut tidak

tercemar mikroorganisme dan menjadi penyebab sebaran penyakit.

d) Parameter Radioaktif

Pada wilayah tertentu seperti wilayah disekitar reaktor nuklir

akan menjadi masalah yang serius apabila tidak dilakukan

penanganan dan pencegahan. Parameter radioaktif yang paling

diperhatikan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak yaitu

aktivitas Alpha dan Beta.

3) Sumber air

Sumber air bersih berdasarkan letaknya dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Air tanah

Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara

dua lapisan batuan geologis tertentu, yang menerima resapan air dari

bagian hulunya (Presiden Republik Indonesia, 2001). Karakteristik air

tanah yaitu termasuk air sadah, mengandung banyak mineral, dipengaruhi

kondisi geologis dan pada umumnya kualitas fisik dan biologinya lebih

baik jika dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah dibagi menjadi

beberapa jenis yaitu air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air.

Air tanah dangkal merupakan air tanah yang berada pada lapisan

akuifer atas. Lapisan ini terletak dibawah permukaan tanah dan berada

diatas bebatuan kedap air. Air pada tanah dangkal ini berpontensi

terjadinya cemaran dari permukaan tanah dikarena berada langsung


dibawah permukaan tanah. Air ini pada umumnya yang banyak

digunakan oleh masyarakat. Salah satu cara untuk menggunakan air ini,

dengan membuat sumur. Sedangkan air tanah dalam adalah air yang

berada pada lapisan akuifer bawah. Terletak pada lapisan air tanah

dangkal. Air ini yang biasanya dimanfaat sebagai air minum karena

potensi terjadinya pencemaran sangat kecil. Mata air merupakan air tanah

yang muncul secara alami ke permukaan tanah. Potensi terjadinya

pencemaran dipengaruhi oleh lokasi dan keadaan sekitarnya.

b) Air permukaan

Air permukaan adalah air yang berada di permukaan tanah

seperti air sungai, danau, laut dan lainnya. Karakteristik air permukaan

yaitu memiliki kesadahan tinggi, mengandung mineral, mudah

terkontaminasi makhluk hidup, dan pada umumnya baik untuk

perkembangbiakan mikroorganisme. Lokasi dan keadaan lingkungan

sekitarnya dapat mempengaruhi karakteristik tersebut. Keberadaan air

permukaan dapat dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi tutupan lahan.

c) Air atmosfer

Air atmosfer merupakan air yang berasal dari proses penguapan

air. Air yang berasal dari atmosfer juga biasa dikenal dengan air hujan.

Air atmosfer/air hujan memiliki karakteristik air yang berkesadahan

rendah, tidak mengandung kalsium dan mampu melarutkan unsur yang

terlarut di udara (O2, CO2, N2, debu dan mineral lainnya).


d) Sarana air bersih

Secara umum sarana air bersih yang umum digunakan oleh

masyarakat dibagi menjadi dua kategori yaitu jaringan perpipaan dan

bukan jaringan perpipaan (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2013).

Jaringan perpipaan merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk

menyalurkan air dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan sistem

pendistribusiannya menggunakan pipa. air yang digunkan pada jaringan

perpipaan berasal dari tanah atau air permukaan.

Sedangkan jaringan bukan perpipaan terdiri dari beberapa jenis

yaitu air sumur, terminal air dan mata air. Air sumur dibagi menjadi tiga

yaitu air sumur gali terlindungi, air sumur gali dengan pompa dan air

sumur bor dengan pompa. Air sumur gali dan air sumur bor merupakan

air yang berasal dari lapisan tanah akuifer atas. Sedangkan untuk sarana

air bersih, terminal air merupakan air yang ditampung pada bak

penampungan yang berada diatas permukaan tanah. Dan mata air adalah

air tanah yang muncul secara alami ke permukaan tanah.

3. Pencegahan

Diare bukan saja berdampak kepada diri penderita, tapi juga berpotensi

menyebar, terutama kepada anggota keluarga. Oleh sebab itu, diare sebaiknya

dicegah mulai dari kontak pertama hingga penyebarannya. Menurut

(Supriyatna,2020) langkahlangkah pencegahan terkena diare akibat kontaminasi

sebagai berikut:
1) Mencuci tangan sebelum makan.

2) Menjauhi makanan yang kebersihannya diragukan dan tidak minum air

keran.

3) Memisahkan makanan yang mentah dari yang matang.

4) Utamakan bahan makanan yang segar.

5) Menyimpan makanan di kulkas dan tidak membiarkan makanan

tertinggal di bawah paparan sinar matahari atau suhu ruangan.

6) Jika tinggal satu rumah dengan pederita diare, pastikan penderita

menghindari penggunaan handuk atau peralatan makan yang sama

dengan anggota keluarga lainnya.

7) Membersihkan toilet dengan disinfektan tiap setelah buang air besar.

8) Tetap berada di rumah setidaknya 48 jam setelah periode diare yang

terakhir.

9) Mencuci tangan setelah menggunakan toilet atau sebelum makan dan

sebelum menyiapkan makanan.

4. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan diare pengaturan awal perlu dipusatkan pada

pergantian cairan dan elektrolit dengan cairan oral dalam dosis yang tepat. Secara

simultan menghilangkan rasa sakit karena diare sebenarnya dapat dicapai dengan

menggunakan obat antidiare yang bukan berasal dari resep dokter seperti

loperamid pada pasien tertentu. Sistem pencernaan umumnya akan berfungsi


normal antara 24 sampai 72 jam tanpa diberikan obat tambahan, sedangkan diare

yang parah membutuhkan pemeriksaan dan pemeriksaan medis (Wahyuni, 2021).

Diare yang parah dapat berujung kepada dehidrasi. Dehidrasi memiliki

konsekuensi yang fatal dan berpotensi merenggut nyawa penderita, terutama jika

terjadi pada anak-anak. Hal ini karena ketahanan tubuh anak-anak terhadap

dehidrasi jauh lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Maka dari itu, orang tua

disarankan untuk mewaspadai tanda-tanda dehidrasi pada anak. Penderita juga

disarankan untuk meminum banyak cairan selama diare masih berlangsung. Oralit

dapat diminum untuk menghindari dehidrasi, tetapi konsultasikan pemakaiannya

terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker, terutama jika menderita penyakit

tertentu, seperti penyakit jantung.

Obat antidiare biasanya tidak terlalu dibutuhkan, kecuali bagi mereka

yang memiliki aktivitas padat atau yang ingin bepergian jarak jauh. Sebagian

besar penderita diare sembuh setelah beberapa hari tanpa melakukan pengobatan.

Pada orangorang dewasa, diare biasanya sembuh setelah 2-4 hari. Sedangkan

pada anak-anak, diare biasanya berlangsung lebih lama, yaitu antara 5-7 hari. Jika

anak mengalami diare yang parah, berkelanjutan, atau jika dia mulai

menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, segera periksakan anak ke dokter.

Diare sebanyak enam kali atau lebih dalam jangka waktu 24 jam pada

anak juga sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter.Begitu juga dengan diare

yang membuat kondisi tubuh menurun drastis harus dikonsultasikan kepada

dokter, terlebih jika ada darah atau nanah pada tinja. Pemeriksaan tinja di
laboratorium mungkin diperlukan sebagai bagian dari penelitian lebih jauh. Diare

yang berlangsung lebih dari beberapa minggu pada orang dewasa bisa diakibatkan

oleh sindrom iritasi usus, kanker usus, atau penyakit Crohn (Supriyatna, 2020).

5. Patofisiologi Kejadian Diare

Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis

menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan

invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri

dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan

abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,

tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara

makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel

leukosit polimorfonuklear (Zein, 2004).

Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang

mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah.

Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan

tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan

pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit (Zein,

2004). Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi

menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare

osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas

dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya
adalah malabsorbsi 15 karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam

magnesium (Zein, 2004).

Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi

yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat

toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam

empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon

intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat

menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan

kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi

dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive

enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi. Diare karena

gangguan motilitas disebabkan oleh usus yang terlalu cepat karena terjadinya

stasis yang dapat menimbulkan perkembangan berlebih bakteri intralumen usus.

Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau

diabetes melitus. Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada

infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi

usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan

mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang

invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. 16 Pada

dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi

penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi

mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat


menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi

pertahanan mukosa usus. (Zein, 2004).

Penyebab diare terbanyak setelah rotavirus adalah Escherichia coli.

Bakteri ini merupakan bakteri komensal, patogen intestinal dan patogen ekstra

intestinal yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, meningitis dan

septicemia. Sebagian besar dari E. coli berada dalam saluran pencernaan, tetapi

yang bersifat patogen menyebabkan diare pada manusia. Menurut Widoyono

(2011) tinja yang terinfeksi mengandung virus atau bakteri (termasuk E. coli)

dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang kemudian

binatang tersebut hinggap di makanan, maka makanan itu dapat menularkan diare

ke orang yang memakannya.

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Status Kesehatan

Menurut WHO (1981 dalam Maulana, 2014), sehat sebagai suatu keadaan

sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Undang-

Undang No. 36 tentang kesehatan (2009), menyatakan bahwa kesehatan adalah sehat,

baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sehat dalam pengertian yang

paling luas adalah suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri

dengan perubahan-perubahan lingkungan internal dan eksternal untuk

mempertahankan keadaan kesehatannya. Lingkungan internal terdiri dari beberapa


faktor psikologis, dimensi intelektual, spiritual, serta proses penyakit, dan lingkungan

eksternal terdiri dari variabel lingkungan fisik, hubungan sosial dan ekonomi.

Kesehatan merupakan investasi sumber daya manusia. Kesehatan juga

merupakan tanggung jawab bersama, untuk itu perlu diperjuangkan oleh banyak

pihak termasuk komunitas pesantren yang berisiko tinggi untuk terjangkit penyakit.

Transmisi yang mudah ini di antaranya disebabkan oleh tingkat kepadatan dan

lingkungan yang kurang memadai. Bila dilihat dari sisi kesehatan, pada umumnya

kondisi kesehatan di lingkungan pesantren masih memerlukan perhatian dari berbagai

pihak terkait, baik dalam aspek akses pelayanan kesehatan, perilaku sehat, maupun

kesehatan lingkungannya (Effendi, 2009).

Menurut Hendrik Bloom, ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan

seseorang, yaitu perilaku, lingkungan, keturunan (herediter), dan pelayanan kesehatan

(Effendy & Nasrul, 1998).

a. Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas

organism yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah

suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri. Perilaku manusia itu mempunyai

bentengan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, berpakaian, dan

sebagainya.Bahkan kegiatan internal sperti berpikir, persepsi, dan emosi juga

merupakan perilaku manusia (Effendy & Nasrul, 1998).


1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit

Perilaku seseorang terhadap penyakit, yaitu bagaimana manusia

berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi)

penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun

aktif (tindakan) yang dilakukan sebagai sehubungan dengan penyakit dan

tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai

dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yaitu

(1) Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behavior). Misalnya makan makanan yang bergizi,

olahraga, dan sebagainya.

(2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior), adalah

respons untuk melakukan pencegahan penyakit misalnya tidur

memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk. Termasuk

juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.

2) Perilaku terhadap makanan

Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior) yakni respon

seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap

makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi),

pengolahan makanan, dan sebagainya, sehubungan kebutuhan tubuh kita

(Effendy & Nasrul, 1998).


Penerapan perilaku hidup bersih, seperti mencuci tangan sebelum

makan dengan air dan sabun, menyajikan makan dalam keadaan yang

tertutup agar tidak dihinggapi serangga, hidup bersih, seperti mencuci tangan

sebelum makan dengan air bersih dan sabun menyajikan makanan dalam

keadaan selalu tertutup agar tidak dihinggapi serangga/lalat, memasak

dengan suhu yang tepat agar kuman mati, mencuci sayur dan buah hingga

bersih, serta menjaga makanan dan minuman agar tidak tercemr oleh logam

berat. Penerapan pola hidup bersih berkaitan dengan bagaimana hygiene

sanitasi penyelengaraan makanan keluarga (Kurniasih et al, 2010).

Higiene personal pada saat mengolah makanan sangat diperlukan

agar menghasilkan makanan yang terhindar dari kuman dan terhindar dari

efek fatal yaitu keracunan makanan, seperti:

(1) Mencuci tangan sebelum makan dengan air bersih dan sabun

(2) Menyajikan makanan dalam keadaan selalu tertutup agar tak

dihinggapi serangga/lalat

(3) Memasak makanan dengan suhu yang tepat agar kuman mati

(4) Mencuci sayur dan buah hingga bersih, serta

(5) Menjaga makanan dan minuman agar tidak tercemar oleh logam

berat.
3) Perilaku terhadap lingkungan kesehatan

Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health

behavior) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan

kesehatan manusia. Perilaku ini mencakup (Effendy & Nasrul, 1998):

(1) Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya

komponen, manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan

kesehatan.

(2) Perilaku sehubungan dengan air kotor, yang menyangkut segi-segi

hygiene pemeliharaan teknik dan penggunaannya.

(3) Perilaku sehubungan dengan ruangan yang sehat, meliputi

ventilasi, pencahayaan, lantai dan sebagainya.

b. Lingkungan

Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau

keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif pada

terwujudnya status kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan

lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran

manusia, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor

(limbah). Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah

suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup

manusia yang merupakan media yang baik agar terwujudnya kesehatan yang

optimum bagi manusia yang hidup didalamnya.


Berbicara mengenai lingkungan yang sering kali kita meninjau dari

kondisi fisik. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi

sumber berkembangnya penyakit. Terjadi penumpukan sampah yang tidak

dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab

(Effendy & Nasrul, 1998). Lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi dan

pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu

organism (Asmadi. 2008).

Secara umum, lingkungan dibedakan menjadi dua, yaitu:

(1) Lingkungan fisik, yaitu lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar

manusia. Lingkungan fisik ini meliputi banyak hal, seperti cuaca, musim,

keadaan geografis, struktur geologis, dan lain-lain.

(2) Lingkungan non fisik, yaitu lingkungan yang muncul akibat adanya

interaksi antar manusia. Lingkungan non fisik ini meliputi sosial-budaya,

norma, nilai, adat istiadat, dan lain-lain.

Untuk memahami hubungan lingkungan dengan kesehatan, dapat

digunakan model segitiga yang menjelaskan hubungan antara agens, hopes, dan

lingkungan. Agens merupakan faktor yang dapat menyebabkan penyakit,

seperti faktor biologis, kimiawi, mekanis, dan psikologis. Penjamu (hopes)

adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi

timbulnya penyakit serta perjalanan suatu penyakit. Faktor tersebut antara lain

keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, status

perkawinan, pekerjaan, kebiasaan hidup, dan sebagainya (Asmadi, 2008).


Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terutama pada

pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa

lingkungan keluarga, sekolah serta adanya promosi melalui media elektronik

maupun cetak. Kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh besar

terhadap pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan

terbentuk dari kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga. Lingkungan

sekolah termasuk di dalamnya para guru, teman sebaya, dan keberadaan tempat

jajan sangat mempengaruhi terbentuknya pola makan, khususnya bagi siswa

sekolah. Anak-anak yang mendapatkan informasi yang tepat tentang makanan

sehat dari para gurunya didukung oleh tersedianya kantin dan tempat jajan yang

menjual makanan yang sehat akan membentuk pola makan yang baik pada

anak. Sekolah diluar negeri menerapkan kegiatan makan siang bersama di

sekolah. Hal ini akan membentuk pola makan yang positif pada anak, karena

akan dibiasakan memiliki pola makan yang teratur, memenuhi kebutuhan

biologis pencernaan dengan mengkonsumsi makanan bergizi, tidak hanya asal

kenyang dengan jajanan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmat Sigit Raharjo, S. I. (2014). Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, Dan


Ketersediaan Fasilitas Di Sekolah Dalam Penerapan Phbs Membuang
Sampah Pada Tempatnya. Unnes Journal of Public Health, 1-10.

Andika Agus Iryanto, T. J. (2021). Literature Review : Faktor Risiko Kejadian Diare
Pada Balita Di Indonesia. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 1-7.

Aswadi, S. S. (2017). Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Pada Siswa-Siswi Sdk
Rita Pada Kecamatan Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Public Health Science Journal, 187-196.

Ayu Khoirotul Umaroh, H. Y. (2016). Gambaran Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat
(Phbs) Di Wilayah Kerja Puskesmas Bulu Kabupaten Sukoharjo Bulan
Januari-Maret 2015. JURNAL KESEHATAN, 25-31.

Frisca Dewi Yunadi, E. (2020). Peningkatan Pengetahuan Tentang Pencegahan dan


Penanganan Diare . Jurnal Pengabdian Masyarakat Al-Irsyad, 64-71.

Gustika Trisiyani, R. H. (2021). Faktor Risiko Kejadian Diare Pada Anak Usia 6-24
Bulan . Jurnal Sehat Mandiri, 158-169.

Hera Hijriani, A. A. (2020). Pengetahuan Perilaku Hidup Bersih Sehat (Phbs) Pada
Anak Dengan. Jurnal Health Sains, 293.

Humrah, I. S. (2018). Gambaran Pengetahuan Ibu Balita Dalam Penanganan Awal


Balita Diare Di Desa Bone Kec. Bajeng Kab. Gowa Tahun 2017. Jurnal
Bidan “Midwife Journal” , 1-7.

MUNAWARAH, N. H. (t.thn.). Analisis Spasial Sebaran Kejadian Kasus Diare


Dengan Keberadaan E. Coli Pada Air Sumur Dan Kepadatan Penduduk Di
Kalurahan Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul . 2022.

Nursakinah Hayati, R. H. (2020). Potret Upaya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) Menuju Adaptasi Kebiasaan Baru di Kecamatan Binjai Barat
Kelurahan Sukaramai. JURNAL KESEHATAN ILMIAH INDONESIA , 13-18.

Putri Wulandini S, R. S. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku


Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Di Desa Kualu Kecamatan Tambang
Kampar. Jurnal Photon , 121-128.
Suharni Setia Ningsih, T. Y. (2017). PENGETAHUAN DAN MOTIVASI IBU
TENTANG PENCEGAHAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS PUTRI
AYU KOTA JAMBI Tahun 2016. Jurnal Akademika Baiturrahim, 81-87.

Supriyatna, Y. (2020). Penyuluhan Tentang Diare Di Sma N 2 Kumai. Jurnal Borneo


Cendekia, 194-197.

Susianti, W. R. (2020). Edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada
Rumah Tangga di Desa Kalisari Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan. Jurnal Pengabdian Masyarakat Ruwa Jura, 1-5.

Tuang, A. (2021). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada
Anak . Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 534-542.

Usastiawaty Cik Ayu Saadiah Isnainy, ,. M. (2020). Pendidikan Kesehatan Tentang


Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat (Phbs) Di Sma Negeri 13 Bandar Lampung.
[JURNAL KREATIVITAS PENgabdian Kepada Masyarakat (Pkm), 27-33.

Wahyuni, N. T. (2021). Faktor Risiko Kejadian Diare Pada Balita Systematic Review
Bidang Kesehatan Masyarakat. Jurnal Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, 270-
278.

Anda mungkin juga menyukai