MAKALAH Tauhid Revisi Klompok 10
MAKALAH Tauhid Revisi Klompok 10
MAKALAH Tauhid Revisi Klompok 10
Diajukan Untuk Memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Ilmu Tauhid
DISUSUN OLEH:
KHAIRA ‘AFIFAH (3422027)
INDAH FAJRI DODI (3422029)
SYAILA BEBI YULANDA LUBIS BR. (3422028)
DOSEN PEMBIMBING:
FITRAWATI, M.Ag
1
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
A. Latar belakang.................................................................................1
B. Rumusan masalah...........................................................................1
C. Tujuan penelitian............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2
A. Sejarah dan asal usul aliran mu’tazilah dan perkembangannya.....2
B. Sejarah dan asal usul aliran syi’ah dan perkembangannya.............5
C. Doktrin-doktrin aliran mu’tazilah...................................................11
D. Doktrin-doktrin aliran syi’ah..........................................................12
BAB III PENUTUP.........................................................................................15
A. Kesimpulan.....................................................................................15
B. Saran...............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
i
A. Latar belakang BAB I
PENDAHULUAN
Aliran mu‟tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
khawarij dan murjia‟ah. Dalam pembahasan. mereka banyak memakai alat sehingga
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum Rasionalis Islam”.
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun 105-110 H, tepatnya
pada masa pemerintahan. Munculnya aliran mu‟tazilah sebagai reaksi atas pertentangan
antara aliran khawarij dan aliran murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa
besar.
Syiah merupakan sebutan yang dilekatkan bagi mereka pengikut setia Sayyidina Ali
bin Abi Thalib ra, sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw. Untuk asal usul kelahiran
Syiah terdapat ragam pendapat mengenai hal tersebut, dan pendapat yang paling populer
mengatakan bahwa Syiah muncul setelah terjadinya kegagalan perundingan antara pihak
Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dengan pihak Muawiyah bin Abi Sufyan dalam perang
Shiffin, atau yang lazim dikenal dengan peristiwa Tahkim (arbitrase). Menurut pandangan
orang Syiah sebenarnya yang berhak untuk menggantikan kepemimpinan Nabi
Muhammad saw. setelah beliau wafat adalah Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait. Mengikuti
perkembangan Syiah selanjutnya, aliran Syiah mulai tampak secara nyata menjadi sebuah
aliran yang berhaluan politik. Hal seperti ini dimulai sejak akhir periode pemerintahan
Utsman bin Affan ra. yang berada di Mesir, yang kemudian berlanjut dan tumbuh pesat
pada periode Ali bin Abi Thalib ra. yang berpusat di Kufah, Irak.
B. Rumusan masalah
1. Apa sejarah asal usul timbulnya aliran mu’tazilah dan syi’ah serta
perkembanganya.
2. Apa saja doktrin-doktrin aliran mu’tazilah dan syi’ah.
C. Tujuan masalah
1. Untuk mengetahui latar belakang serta asal usul timbulnya aliran mu’tazilah dan
syi’ah serta perekembangannya.
2. Untuk mengetahui doktrin doktrin aliran mu’tazilah dan syi’ah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah asal usul timbulnya aliran mu’tazilah dan syi’ah serta perkembangannya
1. Aliran mu’tazilah
1) Asal usul aliran mu’tazilah
Aliran ini merupakan aliran Theologi Islam terbesar dan tertua, yang
berpengaruh besar dalam sejarah pemikiran dunia islam. Buku-buku yang
dikarang oleh mereka banyak digali oleh pemikir-pemikir muslim, khususnya
untuk mengetahui filsafat islam yang sesungguhnya, yang berhubungan antara
agama dan sejarah islam.
Pada waktu permulaan abad pertama hijriah di kota Basrah (Irak) menjadi
pusat ilmu dan peradaban islam, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing
dan pertemuan bermacam-macam agama. Waktu itu banyak orang-orang yang
hendak menghancurkan islam dari segi aqidah, baik yang mendapatkan dirinya
islam atau tidak. Memang tidak semuanya yang memeluk agama islam secara
ikhlas, dan tidak keikhlasan ini dimulai sejak permulaan masa pemerintahan
khilafah umawi. Karena khilafah tersebut memonopoli segala kekuasaan
negara kepada orang-orang islam dan bangsa Arab sendiri. Tindakan mereka
menyebabkan kebencian terhadap bangsa Arab sendiri.
Mereka bermaksud menghancurkan Islam dari dalam. Lawan-lawan Islam
dari dalam antara lain Rafidhah yaitu golongan Syi’ah extrim yang kemasukan
unsur-unsur dari luar seperti agama Mamu, Agnostik yang pada waktu itu
tersebar luas kekufah dan Basrah, dan faham tasawuf hulul (inkarnasi)
manusia. Aliran Mu‟tazilah menjawab bahwa Tuhan tidak mungkin
membutuhkan tempat apapun juga. Dalam keadaan demikian muncullah faham
Mu‟tazilah yang kemudian berkembang dengan pesatnya, serta mempunyai
metode dan faham sendiri. Ada 3 alasan mengapa disebut mu’tazilah, yaitu : 1
a. Karena mereka menjauhkan dari semua pendapat yang telah ada tentang
hukum orang yang mengerjakan dosa besar. Paham Murji‟ah berpendapat
bahwa dosa besar termasuk orang mu‟min, menurut paham Khawarij
Azariqah, ia termasuk orang kafir. Sedang menurut Hasan Al Basri, ia
menjadi orang munafik. Kemudian datang wasil bin Atha berpendapat, ia
bukan mu’min, dan bukan kafir tetapi fasik.
b. Karena wasil bin Atha dan amr bin Ubaid menjauhkan diri (I’tizala) dari
pengajian Hasan Basri di Masjid Basrah, dengan berpendapat bahwa orang
yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min sepenuhnya, juga tidak kafir
sepenuhnya, tetapi berada dalam satu tempat diantara dua tempat tersebut,
sehingga menjauhkan diri atau memisahkan diri dan disebut orang
Mu’tazilah.
1
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Bengkulu, 2016), hlm. 2-3
2
c. Karena di tinjau dari sifat si pembuat dosa besar itu sendiri, kemudian
menjadi sifat atau nama aliran yag berpendapat demikian, yaitu si pembuat
dosa besar menyendiri dari orang-orang kafir.
3
(sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum
alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka
gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau
kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.2
2
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Bengkulu, 2016), hlm.3-4
4
Mereka ambil bagian dalam menyulut dan mengobarkan api inquisisi
bahwa “Al Qur’an adalah makhluk”.
Memang pada awalnya Mu‟tazilah menghabiskan waktu sekitar dua
abad untuk tidak mendukung sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral
dalam pendapat dan tindakan. Konon, ini merupakan salah satu sebab
mengapa mereka disebut Mu’tazilah. Mu‟tazilah tidak mengisolir diri
dalam menanggapi problematika imamah, sebagai sumber perpecahan
pertama tetapi mengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al
manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy’ariah
nampaknya mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.
Golongan pertama (disebut Mu’tazilah I), muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara
Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum
Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah
khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti
yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua (disebut Mu‟tazilah II), muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur‟jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’ tazilah II
inilah yang dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki
banyak versi.
Kaum Mu’tazilah sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantangan
dari umat Islam lain setelah mereka berusaha diabad ke Sembilan untuk
memaksa faham-faham mereka dengan kekerasan pada umat Islam yang
ada pada waktu itu. Pemikiran rasionil Mu’tazilah dan sikap kekerasan
mereka, membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam.
Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak
rasionil dan liberal tersebut.
2. Aliran syi’ah
1) Asal-usul aliran syi’ah
Menurut bahasa, Syi’ah berasal dari bahasa Arab Sya’a-yasyi’u-syi’an-
syi’atan, yang berarti pendukung atau pembela. Al Fairuz Abadi menjelaskan
bahwa Syi’ah seseorang merupakan pengikut dan pendukungnya. Kelompok
pendukung ini bisa terdiri dari dua orang atau lebih, laki-laki maupun perempuan.
Arti Syi’ah secara bahasa terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana firman- Nya:
“Dan di antara Syi’ahnya, adalah Ibrahim”, (QS. As-Saffat:83).
Syi’ah Ali adalah pendukung dan pembela Ali, sementara Syi’ah Mu’awiah
adalah pendukung Mu’awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata
Syi’ah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal. Pada saat pemilihan
khalifah ketiga setelah terbunuhnya Abu Bakar, ada yang mendukung Ali, namun
setelah umat Islam memutuskan untuk memilih Utsman bin Affan, maka orang-
5
orang yang tadinya mendukun Ali, akhirnya berbaiat kepada Utsman termasuk
Ali. Dengan begitu, belum terbentuk secara faktual kelompok umat Islam bernama
Syi’ah.
Ketika timbul pertikaian dan peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, barulah
kata Syi’ah muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya
pendukung Ali yang disebut Syi’ah, namun pendukung Mu’awiyah pun disebut
dengan Syi’ah, terdapat Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah. Nama ini didapatkan
dalam naskah perjanjian Tahkim, di situ diterangkan bahwa apabila orang yang
ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu berhalangan, maka diisi dengan orang
yang Syi’ah masing-masing dua kelompok. Namun pada waktu itu, baik Syi’ah
Ali maupun Muawiyah semuanya beralihan Ahlussunnah, karena Syi’ah pada
waktu hanya berarti pendukung dan pembela. Sementara aqidah dan fahamnya,
kedua belah pihak sama karena bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Sehingga Ali pun memberikan penjelasan bahwa peperangan antara pengikutnya
dan pengikut Muawiyah adalah semata-mata berdasarkan ijtihad dan klaim
kebenaran antara kedua kelompok yang bertikai tersebut.
Akar permasalah umat Islam, termasuk munculnya madzhab Syi’ah bermula
dari perselisihan mereka terkait siapa yang paling layak menjadi pemimpin setelah
Rasulullah Saw. wafat. Sebab, Rasulullah sebelum wafat tidak menentukan siapa
yang akan menggantikannya sebagai pemimpin umat dan negara. Sementara kaum
muslimin sesudah wafatnya Rasul merasa perlu mempunyai khalifah yang dapat
mengikat umat Islam dalam satu ikatan kesatuan.
Permasalahan kemudian muncul, ketika saat itu Ali tidak turut hadir dalam
sidang tersebut. Setelah mendengar pembaiatan Abu Bakar, nampak ketidak
puasan Ali bin Abi Thalib. Belakangan orang-orang yang menjadi pengikut Ali,
Abu Bakar dan Umar menelikung Ali sebagai khalifah. Timbullah pendapat
bahwa yang berhak memegang khalifah adalah keluarga Nabi, dan Ali lah yang
paling pantas. Karena ia adalah menanti Rasul, orang yang paling besar jihadnya,
paling banyak ilmunya, keluarganya adalah seutama-utama keluarga Arab. Namun
demikian, akhirnya Ali turut membaiat Abu Bakar sesudah beberapa waktu
berlalu.
Setelah Abu Bakar Wafat, khalifah dipegang oleh Umar bin Khatab, banyak
daerah yang bisa dikuasai pada masa Umar. Setelah Umar bin Khattab terbunuh,
Utsman didapuk menjadi khalifah. Pada masa Utsman ini bani Umayyah
mengambil manfaat untuk diri mereka sendiri. Utsman merasakan bahwa Bani
Umayyah benar-benar ikhlas dan membantunya dengan penuh kejujuran. Lalu
Utsman mengangkat banyak pembantu dari Bani Umayyar. Masyarakat muslim
melihat Utsman menempuh jalan lain yang ditempuh dua khalifah sebelumnya.
Munculah ketidak puasan atas kepemimpinan Utsman sehingga Utsman akhirnya
terbunuh.3
Sayyidina Ali akhirnya dibaiat oleh sebagian besar kaum muslimin, termasuk
mayoritas kaum Muhajirin. Namun beberapa sahabat nabi yang enggan membaiat
Ali, yaitu Zubair dan Thalhah, dengan persetujuan Aisyah keduanya menentang
Ali dan berkecamuklah perang Jamal antara pasukan Ali dan Pasukan Aisyah,
Zubair dan Thalhah gugur dalam pertempuran tersebut. Di sisi lain, Muawiyah
dari
6
3
Moh. Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi’ah, (Jakarta: Lembaga Pengkajian dan Penelitan
Islam, 1998), hlm. 3
7
keluarga Bani Umayyah yang menjadi Gubernur Syam mempresur Ali untuk
mengusut secara tuntas dan menghukup orang yang membunuh Utsman. Atas
ketidak puasan bani Umayyah ini, Muawwiyah memberontak khalifah Ali.
Terjadilah pertempuran di lembah Shiffin. Setelah agak terdesak, dan hampir-
hampir pasukan Ali memenangkan pertempuran, Muawiyah menyuruh salah satu
tentaranya untuk mengangkat mushaf di atas lembing yang tinggi, sebagai tanda
menyerah dan permintaan perdamaian. Beberapa orang dari pasukan Ali merasa
tidak puas atas keputusan damai (tah}ki>m) tersebut, sebab mereka merasa
pasukan Ali hampir menumpaskan pasukan pemberontak.
Peristiwa tahkim ini tidak malah menyebabkan perdamaian antara dua belah
pihak, namum memunculkan faksi-faksi di tubuh umat Islam menjadi tiga (3)
kelompok, yaitu:
a. Kelompok Syi’ah, yaitu golongan yang memihak pada Ali dan kerabatnya
dan berpendapat bahwa Ali dan keturunannyalah yang berhak menjadi
khalifah.
b. Kelompok Khawarij, yaitu golongan yang menentang Ali dan Muawiyah,
mereka berpendapat bahwa tahkim itu menyalahi prinsip agama.
c. Kelompok Murjiah, yaitu golongan yang menggabungkan diri kepada
salah satu pihak dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah
semata.
Kelompok Syi’ah di atas, mula-mula merupakan orangorang yang mengagumi
Sayyidina Ali, sebagai pribadi dan kedudukan istimewa di sisi Rasulullah, sehingga ia
mempunyai pengaruh yang besar dan muncullah rasa cinta sebagian kaum muslimin
kepadanya. Sebagian sahabat yang sangat mencintainya menganggap bahwa Ali
merupakan sosok paling utama di antara para sahabat, dan dialah yang paling berhak
atas kedudukan khalifah daripada yang lainnya. Namun, kecintaan itu telah bergeser
menjadi fanatisme yang buta dua abad selanjutnya. Sehingga menjadi perbedaan yang
besar an esensial antara pandangan sekelompok sahabat tersebut terhadap Ali ra.
dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh kaum Syi’ah dua abad kemudian. Sebagai
misal, kelompok sahabat pecinta Ali tersebut tidak mungkin dinamai Syi’ah dalam
artian istilah yang dikenal sekarang. Meskipun mereka mencintai Ali melebihi
kecintaan kepada sahabat lainnya (termasuk kepada para khalifah sebelum Ali).
Mereka juga membaiat para khalifah yang telah disepakati oleh para sahabat pada
waktu itu.4
2) Aliran-aliran syiah
Dalam sekte Syi’ah terdapat beberapa kelompok, ada yang ekstrim dan juga
moderat, dan ada juga yang liberal. Di antara kelompok yang ekstrim ada yang
menempatkan Sayyidina Ali pada derajat kenabian, bahkan ada yang sampai
mengangkat Ali pada derajat keTuhanan. Kaum Syi’ah, sejak menjadi pengikut Ali
sesudah peristiwa perang jamal dan shiffin, pasukan Ali terpecah menjadi empat
golongan yaitu,
Kelompok pertama, Syi’ah yang mengikuti Sayyidina Ali., mereka tidak
mengecam para sahabat. Dalam diri mereka terdapat rasa cinta dan memuliakan para
sahabat Nabi Saw. mereka sadar betul bahwa yang mereka perangi adalah
saudara
8
4
M. Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya, (Jakarta: Temprint, 1989), hlm. 37
9
sendiri. Oleh sebab itu, mereka segera berhenti memerangi mereka, bahkan ketika
terjadi tahkim mereka menerima keputusan-keputusan yang dibuat oleh kelompok
lainnya.
Kelompok kedua, mereka yang mempercayai bahwa Sayyidina Ali memiliki
derajat yang lebih tinggi daripada para sahabat lainnya. Kelompok ini disebut
tafdhiliyah. Ali memperingatkan mereka dengan keyakinan ini dan akan menghukumi
dera bagi para sahabat yang masih berkeyakinan tersebut. Kelompok Syi’ah sekarang,
mereprentasikan kelompok ini.
Kelompok ketiga, yang berpendapat bahwa semua sahabat Nabi adalah kafir
dan berdosa besar. Mereka disebut Saba’iyah, mereka adalah para pengikut Abdullah
bin Saba’.
Kelompok keempat, kelompok gula>t, yaitu mereka yang paling sesat, paling
bid’ah di antara empat kelompok di atas. Mereka berpendapat bahwa Allah telah
masuk pada diri Nabi Isa. Sementara, Abu Zahrah menjelaskan bahwa kelompok
ekstrim yang karena keekstrimannya telah keluar dari Islam, sementara kelompok
Syi’ah dewasa ini menolak untuk memasukkan mereka dalam golongan madzhabnya.
Di antara aliran- aliran Syi’ah itu adalah sebagai berikut:
a. Saba’iyah
Aliran Syi’ah Saba’iyah adalah pengikut Abdullah bin Saba’ seorang
Yahudi dari suku al-Hirah yang masuk Islam. Ia termasuk yang paling keras
menentang Utsman dan para pejabatnya. Banyak pemikiran sesat yang
disebarluaskan secara bertahap oleh Abdullah bin Saba’. Temanya adalah
mengenai Ali bin Abu Thalib. Ia mengembangkan pemikiran di tengahtengah
masyarakat sebagaimana di muat dalam Taurat, setiap Nabi mempunyai
penerima wisatnya, dan Ali adalah penerima wasiat Muhammad. Ketika Ali
terbunuh, Abdullah berusaha merangsang kecintaan rakyat kepada Ali dan
perasaan menderita karena kehilangan Ali dengan cara menyebarkan
kebohongankebohongan. Di antaranya, bahwa yang terbunuh bukanlah Ali,
namun setan yang menyerupai Ali, sedangkan Ali naik ke langit sebagaimana
dinaikkannya nabi Isa ke langit. Yang lebih parah adalah keyakinan Sabaiyah
bahwa Tuhan bersemayam dalam diri Ali dan diri imam sesudah wafatnya.
b. Ghurabiyah
Aliran Ghurabiyah ini keyakinannya tidak sampai menempatkan Ali
sebagai Tuhan, akan tetapi lebih memuliakan Ali ketimbang Nabi Muhammad.
Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian seharunya jatuh kepada Ali,
namun Jibril salah menurunkan wahyu kepada Muhammad. Kelompok ini
disebut Ghurabiyah karena mereka berpendapat bahwa Ali mirip dengan Nabi
Muhammad, sebagaimana miripnya seekor burung gagak (ghurab), dengan
burung gagak lainnya. Pandangan aliran ini disanggah oleh Ibnu Hazim,
pandangan ini muncul karena ketidak tahuan mereka tentang sejarah dan
keadaan yang sebenarnya. Pada waktu Muhammad diangkat menjadi rasul Ali
masih kanakkanak, belum pantas untuk mengemban risalah kenabian.
c. Kaisaniyah
Penganut aliran Kaisaniyah ini adalah pengikut al-Mukhtar ibn ‘Ubaid al-
Tsaqa. Al-Mukhtar asal mulanya berasal dari kalangan khawarij, kemudian
masuk ke dalam kelompok Syi’ah yang mendukung Ali. Nama Kaisaniyah
1
berhubungan erat dengan nama Kaisan, yang menurut satu kalangan adalah
nama lain dari al-Mukhtar. Aliran ini mempunyai keyakinan ketidak tuhanan
para imam dari ahlul bait sebagaimana yang dianut aliran Saba’iyah, namun
didasarkan atas paham bahwa seroang imam adalah pribadi yang suci dan
wajib dipatuhi. Mereka percaya sepenuhnya akan kesempurnaan
pengetahuannya dan keterpeliharaannya dari dosa karena ia merupakan simbol
dari ilmu Ilahi. Para penganut aliran Kaisaniyah juga berkeyakinan adanya
doktrin bada’, yaitu keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan
dengan perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan suatu perbuatan
kemudian memerintahkan sebaliknya.
1
b. Syiah Zaidiyah
Secara genelogi, Zaidiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang dinisbatkan
kepada Imam Zaid bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib. Ia menyatakan
perang terhadap khalifah Hisyam ibn Abd Malik, dan akhirnya disalib di Kufah.
Di masa hidupnya, Zaid berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan
memiliki hubungan baik dengan para ulama di zamannya. Di antara ulama yang
berhubungan dan menjadi gurunya adalah Washil ibn ‘Atha dan Abu Hanifah.
Jika dibandingkan dengan kelompok Syi’ah lainnya, kelompok Syi’ah Zaidiyah
ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebab
mereka tidak mengangkat para imam kepada derajat kenabian, bahkan tidak
sampai mendekati itu. Menurut mereka, para imam merupakan manusia paling
utama setelah Nabi Muhammad. Mereka juga tidak mengkafirkan para sahabat,
khususnya mereka yang telah dibai’at Ali ra., mereka juga mengakui
kepemimpinan mereka.
Zaidiyah berpendapat bahwa Sayyidina Ali merupakan orang yang paling
pantas menjadi Imam sepeninggal Rasulullah Saw., karena ialah orang yang
paling dekat dan mirip dengan sifat sifat yang pernah disebutkan Rasulullah
sebelumnya. Dan untuk Imam sesudah Ali haruslah dari keturunan Fatimah. Itulah
sifat sifat yang terbaik seorang Imam (al-afdhal). Namun, jika sifat sifat itu tidak
dapat dipenuhi, maka bolehlah yang lain diangkat menjadi imam. Imam bentuk
kedua ini disebut dengan istilah almafdhul.
Berdasarkan pendapat ini, Syi’ah Zaidiyah bisa menerima Abu Bakar, Umar
dan Utsman. Di sisi lain, Imam Zaid dalam pandangan hukum tidak jauh berbeda
dengan imam Ahlussunnah lainnya, kalaupun ada perbedaan tidaklah banyak.
Dalam metode istinbath juga tidak jauh beda dengan dari metode para ulama
semasanya seperti Abu Hanifah, Ibnu Abu Laila, Utsman al-Bitti, az-Zuhri, dan
lain sebagainya, baik ulama Madinah maupun Ulama’ Irak. Menurut madzhab
Zaidiyah peranan akal dalam masalah akidah sama dengan golongan Mu’tazilah
yang menggunakan akal sebagai kekuatan besar untuk memahami wahyu dan
syariat.
Pada era berikutnya, akibat kelemahan aliran Zaidiyah dan serangan pemikiran
dari aliran-aliran Syi’ah lainnya, dasar dasar pemikiran aliran ini menjadi goyah
atau kalah dan mati. Karena itu generasi berikutnya dari Zaidiyah tidak
membenarkan pengangkatan imam yang mafdhul (bukan yang terbaik), sehingga
mereka dianggap termasuk aliran yang ekstrim. Mereka adalah yang menolak dan
menentang kekhalifahan atau keimaman Abu Bakar dan Umar, dengan begitu
hilanglah ciri khas dari aliran Zaidiyah generasi pertama. Berdasarkan realitas ini,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa aliran Zaidiyah terbagi menjadi dua:
1) para penganut aliran Zaidiyah generasi pertama, kelompok ini tidak
dianggap sebagai kelompok yang ekstrim dan mengakui keimaman Abu Bakar
dan Umar.
2) penganut Zaidiyah generasi belakangan, mereka inilah yang dipandang
ekstrim. Sementara, penganut aliran Zaidiyah yang berada di Yaman ini, lebih
dekat kepada aliran Zaidiyah generasi pertama yang moderat.5
1
5
Slamet Untung, Melacak Historitas Syi’ah, Kontroversi Seputar Ahl al-Bayt Nabi, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 158-159
1
B. Doktrin-doktrin aliran mu’tazilah dan syiah
1. Lima Doktrin Pokok mu’tazilah (al-Ushul al-Khamsah)
Kaum Mu’tazilah mempunyai lima doktrin pokok yang populer dengan
sebutan al-Ushul al-Khamsah. Kelima doktrin itu adalah sebagai berikut :
a. Al-Tauhid, yaitu mengesakan Tuhan. Dalam mengesakan Tuhan, kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang berdiri
sendiri di luar zat, karena akan berakibat banyaknya yang qadim. Mereka juga
menolak sifat-sifat jasmaniyah (antropomorfisme) bagi Tuhan karena akan
membawa tajsim dan tasybih.
b. Al’Adlu, yaitu keadilan Tuhan. Keadilan Tuhan menurut mu’tazilah
mengandung arti bahwa Tuhan wajib berbuat baik dan terbaik bagi hamba-
Nya (al-shalah wal ashlah), Tuhan wajib menepati janji Tuhan wajib berbuat
sesuai norma dan aturan yang ditetapkan-Nya, dan Tuhan tidak akan member
beban dluar kemampan hamba.
c. Al-Wa’d wa al-Wa’id, yaitu janji dan ancaman. Kaum Mu’tazilah meyakini
bahwa janji dan ancaman Tuhan untuk membalas perbuatan hamba-Nya pasti
akan terlaksana. Ini bagian dari keadilan Tuhan.
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain, yaitu tempat di antara dua tempat. Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar, statusnya
tidak lagi mukmin dan juga tidak kafir, ia berada di antara keduanya. Doktrin
inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu’tazilah yang digagas oleh Washil
ibn Atha.
e. Al-Amr bi al-ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-munkar., yaitu perintah
melaksanakan perbuatan baik dan larangan perbuatan munkar. Ini merupakan
kewajiban dakwah bagi setiap orang Mu’tazilah.
6
Saeed Ismaeeel Sieny, Titip Perselisihan Ulama Ahlussunnah dan Syi’ah, (Malang: Genius Media,
1
2014), hlm. 4
1
penduduk Mekkah. Sementara Abu Ja’far pernah berkata, semua manusia
(kaum muslimin) menjadi ahlul jahiliyah (murtad) kecuali empat orang saja:
Ali, Miqdad, Salman alFarisi dan Abu Dzarr al-Ghiffari. Sementara al Kulaini
dalam kitabnya al-Kafi, setiap orang yang tidak beriman kepada Imam Dua
belas maka dia adalah kafir, sekalipun ia merupakan keturunan Ali dan
Fathimah.
d. Konsep Imamah
Berbeda dengan keyakinan Ahlussunnah wal jama’ah yang
menganggap rukun iman hanya enam, kaum Syi’ah menambahi rukun iman
menjadi tujuh, yaitu imamah adalah salah satu rukun iman. Imamah menurut
ulama Syi’ah berarti kepemimpinan spiritual, pendidikan, agama dan politik
atas seluruh umat Islam kepada sistem keturunan yang secara berturut-turut,
kekuasaan
1
dipegang oleh kedua belas imam. Kekuasaan ini terpusat pada Ali yang
merupakan suami Fatimah az-Zahra dan kedua putranya. Dalam persoalan
imamah, Imam Ja’far meletakkan dua landasan penting.
Prinsip pertama, nash, ini berarti imamah adalah suatu prerogatif yang
dilimpahkan Allah kepada orang pilihan dari keluarga rasul, yang sebelum
kematiannya dan dengan tuntunan Allah, mengalihkan imamah kepada yang
lain melalui pengangkatan dan eksplisit (nash).
Prinsip kedua, ilm. Menurut Imam Ja’far, seorang imam harus
memiliki pengetahuan agama yang khusus yang diterimanya secara ilahiah,
dan hanya dapat dipindahkan kepada Imam berikutnya sebelum kematiannya.
Ini berarti, imam zaman itu merupakan sumber ilmu keagamaan yang otoratif
secara khusus. Siapapun tidak dapat berjalan secara benar tanpa adanya
tuntunan darinya. Ilmu khusus ini termasuk makna eksternal (dhahir) dan
esoterik (batin), serta al-Qur’an. Perpaduan antara nash dan ilm adalah,
keduanya tidak hanya dipadukan atau saling ditambahkan, namun difusikan
sedemikian padatnya ke dalam kesatuan pandangan terhadap kepemimpinan
keagamaan, sehingga mustahil memisahkan antara keduanya.
e. Konsep Taqiyah
Taqiyah mempunyai arti menampakkan ucapan dan perbuatan yang
berlawanan dengan apa yang disimpan dalam hati. Misal, ia menampakkan
kasih sayang kepada orang, padahal ia melaknat mereka dalam hati dan di
antara orang-orang terdekatnya, bahkan ketika ia tidak ada sebab yang
memaksa. Konsep dan doktrin taqiyah diberlakukan oleh kaum Syi’ah dengan
tujuan untuk melindungi Islam dan madzhab Syi’ah. Dan jika orang-orang
Syi’ah tidak mengikuti taqiyah, maka pemikiran Syi’ah akan berakhir dalam
kepunahan.
Doktrin taqiyah bisa digunakan terhadap semua orang di luar Syi’ah,
termasuk kaum muslimin dari Ahlussunnah. Tujuannya adalah demi
melestarikan doktrin Ja’fari. Sebab menurut ulama Syi’ah, 90 persen ajaran
agama terletak dalam perwujudan cinta kepada agama dan tidak ada agama
bagi orang yang tidak menunjukkan cinta. Dan wujud cinta ini ada dalam
segala hal kecuali dari sari kurma dan mengusap sepatu. Cinta inilah yang
mengharuskan seorang penganut Syi’ah untuk melaksanakan doktrin taqiyah7.
7
M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah Dari Saqifah sampai Imamah, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 384
1
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah
menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka
yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan
darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan
pedoman mereka.
Syi’ah secara bahasa adalah seseorang pengikut dan pendukungnya.
Sementara, maksud dari Syi’ah yang terkenal adalah para pengikut Ali sehingga
mereka berkeyakinan bahwa Ali adalah khalifah pilihan Nabi Muhammad dan ia
adalah orang yang paling utama (afdhal) di antara para sahabat Nabi lainnya.
B. Saran
Kami sebagai penyusun makalah berharap semoga pembaca dapat mengerti dan
memahami makalah yang kami susun ini. Kami sebagai pemakalah sangat menyadari
bahwa makalah kami masih jauh66 dari kesempurnaan dan tentunya banyak sekali
kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami selaku pembuat
makalh ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami
juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya bagi
pembaca.
1
DAFTAR PUSTAKA
Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah Dari Saqifah sampai Imamah,
Bandung: 1995
Madkour Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Bengkulu: 2016
Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya, Jakarta: 1989
Untung Slamet, Melacak Historitas Syi’ah, Kontroversi Seputar Ahl al-Bayt Nabi,
Semarang: 2009