Makalah Makna Hadits Sebagai Sumber Kedua Ajaran Islam
Makalah Makna Hadits Sebagai Sumber Kedua Ajaran Islam
Makalah Makna Hadits Sebagai Sumber Kedua Ajaran Islam
Disusun Oleh :
Muhammad Faisal T
Kelas : 01TPLM001
TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Surya Kencana No. 1 Pamulang Telp (021)7412566, Fax. (021)7412566
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Makna Hadits Sebagai
Sumber Kedua Ajaran Islam”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang
diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Pamulang
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai agama Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT yang diturunkan
melalui Nabi Muhammad SAW, maka sumber ajaran utamanya adalah Al-Quran. Selain
Alquran, Hadits Nabi adalah sumber ajaran Islam lainnya. Hadits Nabi adalah kisah
tentang perkataan, perbuatan atau kesepakatan Nabi Muhammad SAW, yang dianggap
sebagai pedoman dan teladan bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun Hadits Nabi diakui sebagai sumber lain dari ajaran Islam, tidak semua
Hadis dapat diterima secara otomatis dan tanpa kritik. Proses pemilihan hadits yang valid
menjadi penting karena banyak hadits yang diragukan validitasnya. Oleh karena itu, para
ulama berusaha menyeleksi dan memverifikasi keaslian hadits sehingga hanya hadits yang
valid dan dapat dipertanggungjawabkan yang diterima sebagai sumber ajaran Islam.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih detail mengenai pentingnya Hadits
sebagai sumber ajaran Islam lainnya. Ini termasuk makna Hadis, klasifikasi Hadis, dan
peran dan pentingnya Hadis dalam ajaran Islam. Selain itu, dibahas pula kriteria keabsahan
hadits, metode pemilihan hadits, dan tantangan dalam memilih hadits yang valid. Kami
berharap artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Hadis sebagai
sumber ajaran Islam dan merangsang pengembangan pengetahuan dan pemahaman tentang
Islam secara lebih komprehensif.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam?
2. Bagaimana klasifikasi hadits dalam Islam?
3. Apa peran dan pentingnya hadits dalam ajaran Islam?
4. Apa kriteria keabsahan hadits dalam Islam?
5. Bagaimana metode penyeleksian hadits yang sahih?
6. Apa saja tantangan dalam menyeleksi hadits yang sahih?
Dengan membahas masalah-masalah tersebut, diharapkan makalah ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang hadits sebagai sumber ajaran Islam dan memberikan
inspirasi untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang agama Islam secara
lebih holistik.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Pengertian Al-Hadits
Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu
yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam
berbagai tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi
SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya
dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu,
sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan
atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa
yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak
menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu
dapat dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam
hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan
perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak
mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu.
Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan
keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi
mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ;
sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.
2. Klasifikasi Hadits
Dalam Islam, hadits dibagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan kualitas atau tingkat
keabsahan hadits tersebut. Klasifikasi hadits ini didasarkan pada penilaian para ahli hadits
terhadap sanad (rantai perawi hadits) dan matan (isi atau teks hadits) yang ada. Adapun
klasifikasi hadits dalam Islam antara lain:
1. Hadits Shahih: Hadits shahih adalah hadits yang memiliki sanad yang shahih dan
matan yang shahih pula. Hadits ini adalah hadits yang paling kuat dan paling dihormati
dalam ajaran Islam.
2. Hadits Hasan: Hadits hasan adalah hadits yang memiliki sanad yang hasan (baik) dan
matan yang hasan pula. Hadits ini tidak sekuat hadits shahih, tetapi tetap memiliki
tingkat kekuatan dan kepercayaan yang tinggi.
3. Hadits Dhaif: Hadits dhaif adalah hadits yang memiliki sanad yang lemah dan/atau
matan yang lemah pula. Hadits ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
dijadikan rujukan dalam ajaran Islam, tetapi tetap dapat dipelajari dan dikaji oleh para
ulama.
4. Hadits Maudhu: Hadits maudhu adalah hadits yang palsu dan tidak memiliki dasar
yang kuat dalam ajaran Islam. Hadits ini tidak boleh dijadikan sebagai rujukan dalam
ajaran Islam.
Dalam klasifikasi hadits, hadits shahih dan hasan dianggap sebagai hadits yang sahih dan
dapat dijadikan rujukan dalam ajaran Islam, sedangkan hadits dhaif dan maudhu tidak dapat
dijadikan rujukan yang sahih. Oleh karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk
memahami klasifikasi hadits agar dapat membedakan hadits yang sahih dan yang tidak sahih
dalam menjalankan ajaran Islam.
3. Fungsi Hadits
Fungsi hadis untuk menjelaskan lebih detail apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an.
Dengan kata lain, hadis memiliki fungsi utama sebagai menegaskan, memperjelas, dan
menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada diAl-Qur'an. Berikut beberapa fungsi hadis
dan penjelasannya :
Salah satu fungsi hadis yang paling utama adalah memperjelas isi di dalam Al-Qur'an. Hadis
berfungsi untuk memperjelas isi Al-Qur'an, agar umat Islam lebih mudah memahami dan
menjalankan segala perintah Allah SWT. Fungsi hadis sebagai bayan al-taqrir berarti
memperkuat isi dari Al-Qur'an. Misalnya, sebuah hadis yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari
dan Muslim terkait perintah berwudu, yaitu:
"Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia
berwudhu" (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits di atas mentaqrir atau menjelaskan dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki" (QS.Al-Maidah:6).
Fungsi hadis selanjutnya, yaitu untuk menafsirkan isi Al-Qur'an. Fungsi hadis sebagai bayan
at-tafsir berarti memberikan perincian terhadap isi Alquran yang masih bersifat umum serta
memberikan batasan-batasan. Adapun contoh hadis sebagai At-tafsir adalah penjelasan nabi
Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.
"Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong
tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan"
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah"(QS.Al-
Maidah:38)
Fungsi hadis juga untuk memberi kepastian tentang hukum Islam. Fungsi hadis yang disebut
sebagai Bayan At-Tasyri’ ini, memberi kepastian mengenai hukum atau ajaran-ajaran Islam
yang tidak dijelaskan dalam Alquran. Biasanya, Alquran hanya menjelaskan secara general,
kemudian diperkuat dan dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadis.
Fungsi hadis selanjutnya, yaitu sebagai Bayan Nasakh atau mengganti ketentuan terdahulu.
Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok
dengan lingkungannya dan lebih luas.
4. Kriteria Keabsahan Hadits
Dalam penentuan keabsahan hadits, para ulama hadits telah mengembangkan kriteria dan
metodologi untuk memeriksa kesahihan dan keabsahan hadits. Berikut ini adalah beberapa
kriteria keabsahan hadits yang dikenal sebagai ilmu Musthalah al-Hadits:
Dengan demikian, kriteria keabsahan hadits sangat penting untuk memastikan bahwa hadits
tersebut dapat diandalkan dan dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam yang sahih dan
benar.
5. Metode Penyeleksian Hadits yang sahih
Para ulama hadits menggunakan beberapa metode penyeleksian hadits yang sahih. Berikut
adalah beberapa di antaranya:
a. Ilmu Jarh wa Ta'dil (Kritik terhadap Perawi Hadits): Metode ini digunakan untuk
menilai kepercayaan perawi hadits dan mencari tahu apakah perawi tersebut layak
dipercaya atau tidak. Penilaian tersebut dilakukan berdasarkan kriteria akhlak,
integritas, dan kejujuran perawi hadits.
b. Ilmu Dirayah (Penilaian terhadap Isi Hadits): Metode ini digunakan untuk
mengevaluasi keaslian hadits berdasarkan isi teksnya. Penilaian dilakukan terhadap
kesesuaian hadits dengan ayat-ayat Al-Quran dan prinsip-prinsip ajaran Islam lainnya.
c. Ilmu Musthalah al-Hadits (Metodologi Penelitian Hadits): Metode ini adalah metode
yang paling lengkap dan komprehensif dalam meneliti keabsahan hadits. Metode ini
melibatkan penilaian terhadap sanad (rantai periwayatan) dan matan (isi teks) hadits,
serta mempertimbangkan faktor-faktor sejarah dan sosial yang terkait dengan hadits.
d. Ilmu Maqalah (Studi tentang Makna): Metode ini digunakan untuk memahami makna
hadits dengan mengaitkannya dengan konteks sejarah dan sosial yang ada pada saat
hadits tersebut disampaikan.
e. Ilmu Tafsir (Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran): Metode ini digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan hadits dan memahami kaitan
antara hadits dan ajaran Al-Quran.
Dalam praktiknya, para ulama hadits biasanya menggunakan kombinasi dari beberapa metode
di atas untuk menyeleksi hadits yang sahih. Metode ini memastikan bahwa hadits yang
diterima dan dijadikan sebagai sumber ajaran Islam memang benar-benar sahih dan dapat
dipercaya
Proses penyeleksian hadits yang sahih adalah suatu tantangan dalam pengembangan ilmu
hadits, karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil seleksi tersebut. Berikut
beberapa tantangan dalam menyeleksi hadits yang sahih:
a. Keterbatasan Sumber: Salah satu tantangan dalam menyeleksi hadits yang sahih adalah
keterbatasan sumber. Banyak hadits yang hilang atau rusak, sehingga membuat sulit
untuk menilai keabsahan hadits tersebut.
b. Perbedaan Interpretasi: Hadits dalam sumber yang sama dapat diinterpretasikan
dengan cara yang berbeda oleh para ulama. Hal ini dapat membuat sulit menentukan
keaslian hadits karena adanya perbedaan pandangan.
c. Konteks Sejarah: Hadits yang terjadi pada masa lalu dapat memiliki konteks sejarah
yang berbeda dengan zaman sekarang, sehingga membutuhkan pemahaman dan
penafsiran yang tepat agar tidak salah dalam penafsirannya.
d. Kesulitan dalam Menilai Perawi: Proses menilai kepercayaan perawi hadits
membutuhkan pengetahuan yang luas tentang sejarah Islam dan kondisi sosial pada
masa itu. Ini bisa menjadi tantangan bagi para ahli hadits yang belum memiliki
pengetahuan yang cukup.
e. Pengaruh Politik dan Sosial: Seiring waktu, hadits dapat dipolitisasi dan
disalahgunakan untuk membenarkan tindakan atau pemikiran tertentu. Hal ini dapat
mempengaruhi seleksi hadits yang sahih karena para ulama harus memperhatikan
konteks sosial dan politik pada saat hadits disampaikan.
f. Keterbatasan Kepemilikan Hadits: Keterbatasan kepemilikan hadits oleh para ahli
hadits juga menjadi tantangan dalam menyeleksi hadits yang sahih. Terkadang para
ulama hadits hanya memiliki sedikit sumber untuk menyeleksi hadits, sehingga dapat
mempengaruhi keabsahan seleksi hadits.
Dalam mengatasi tantangan ini, para ahli hadits harus memiliki pemahaman yang luas tentang
sejarah Islam, serta mengembangkan metode yang lebih efektif dan efisien dalam menyeleksi
hadits yang sahih. Selain itu, perlu juga adanya kerja sama antar ulama dan lembaga terkait
untuk meningkatkan kualitas penyeleksian hadits yang sahih.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:
1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan,
diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu
ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai
ucapan, perbuatan, dan perkataan.
3. Dalam klasifikasi hadits, hadits shahih dan hasan dianggap sebagai hadits yang sahih
dan dapat dijadikan rujukan dalam ajaran Islam, sedangkan hadits dhaif dan maudhu
tidak dapat dijadikan rujukan yang sahih. Oleh karena itu, sangat penting bagi umat
Islam untuk memahami klasifikasi hadits agar dapat membedakan hadits yang sahih
dan yang tidak sahih dalam menjalankan ajaran Islam.
4. Fungsi hadis untuk menjelaskan lebih detail apa yang tidak dijelaskan dalam Al-
Qur'an. Dengan kata lain, hadis memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas, dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di Al-Qur'an
5. Dalam penentuan keabsahan hadits, para ulama hadits telah mengembangkan kriteria
dan metodologi untuk memeriksa kesahihan dan keabsahan hadits.
6. Dalam praktiknya, para ulama hadits biasanya menggunakan kombinasi dari beberapa
metode di atas untuk menyeleksi hadits yang sahih. Metode ini memastikan bahwa
hadits yang diterima dan dijadikan sebagai sumber ajaran Islam memang benar-benar
sahih dan dapat dipercaya
7. para ahli hadits harus memiliki pemahaman yang luas tentang sejarah Islam, serta
mengembangkan metode yang lebih efektif dan efisien dalam menyeleksi hadits yang
sahih.
DAFTAR PUSTAKA
https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html
https://www.merdeka.com/jateng/fungsi-hadis-dan-penjelasannya-umat-muslim-wajib-tahu-
kln.html
https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/1725
https://khazanah.republika.co.id/berita/m8k9gn/metode-seleksi-hadits-ala-imam-bukhari