Imam As-Syafi'i Dan Hambali
Imam As-Syafi'i Dan Hambali
Imam As-Syafi'i Dan Hambali
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang permasalahan tarikh tasyri’ tidak akan lepas dari faktor yudikatif,
eksekutif dan kondisi masyarakat yang menjadi aktor dalam berkembang atau
menyusutnya sejarah tarikh tasyri’. Setiap pergantian generasi selalu saja ada
fenomena-fenomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari
masa Nabi sampai sekarang ini.
Perkembangan tasyri’ pada masa sahabat tidak begitu drastis. perubahan yang
terjadi hanya pada pola aplikasi saja, dan pada masa ini pendapat para sahabat
terkait dengan tasyri’ masih bisa disatukan. Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa
embrio pertama eksisnya perbedaan mazhab itu adalah pada masa para sahabat
setelah Nabi wafat.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum syari’ah pada masa ini sengan
berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik,
tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda, yang menjadi tanda
tanya apakah di balik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan
sekte-sekte sendiri, apakah perbedaan yang terjadi itu karena dilatar belakangi oleh
tempat mereka bermukim seperti halnya Imam Safi’i dengan background Iraq dan
Mesir sehingga hadirnya qaul qadim dan qaul jadidnya, Imam Hanifah yang
dipengruhi oleh daerah Persia, Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz,
dan Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-
faktor yang lainnya.1
B. Rumusan Masalah
1. Hukum Islam pada masa imam Syafi'i
2. Hukum Islam pada masa imam Hambali
1
Asep Saifuddin al-Mansur, Kedudukan Mazhab dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984), hal. 40.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Imam Syafi’i
Mazhab ini dibangun oleh Imam As-Syafi’i, Nama lengkap Imam As-Syafi’i adalah
Muhammad Ibn Idris al-'Abbas Ibn Utsman Ibn Shafi’i Ibn al-Sa'ib Ibn `Ubaid Ibn `Abd
Yazid fbn Hasyim Ibn `Abd al-Muthalib Ibn `Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu
daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke
Mekkah dan dibesarkan di Asqalan. Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia
54 tahun.
Syafi’i pernah belajar ilmu fiqh beserta kaidah-kaidah hukumnya di mesjid al-Haram
dari dua orang mufti besar, yaitu Muslim bin Khalid dan Sufyan bin Umayyah sampai
matang dalam ilmu fiqih. Al-Syafi’i mulai melakukan kajian hukum dan mengeluarkan
fatwa-fatwa fiqih bahkan menyusun metodelogi kajian hukum yang cenderung
2
memperkuat posisi tradisional serta mengkritik rasional, baik aliran Madinah
maupun Kuffah. Dalam kontek fiqihnya Syafi’i mengemukakan pemikiran bahwa
hukum Islam bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijma’ dan apabila
ketiganya belum memaparkan ketentuan hukum yang jelas, beliau mempelajari
perkataan-perkataan sahabat dan baru yang terakhir melakukan qiyas dan istishab. 2
Tahap terpenting dalam karier keilmuan Imam Syafi’i adalah ketika ia berkunjung ke
Irak untuk ketiga kalinya. Saat itu Khalifah Harun al-Rashid telah meninggal dan
digantikan oleh al-Ma'mun. Dan gurunya Muhammad bin al-Hasan juga telah wafat.
Lawatan ini tidak berlangsung lama, tetapi momentum yang terpenting adalah is
memproklamasikan kebebasannya dari fatwa-fatwa gurunya. Artinya ia tampil
dengan ijtihadnya sendiri dalam fatwa-fatwanya. Hal ini terjadi pada tahun 198 H.
Sejak itu ia dikenal dengan mujtahid mutlaq. Saat-saat inilah ia menyusun kitabnya
yang terkenal, al-Risālah. Kitab ini dilukiskan oleh banyak ahli sebagai kitab pertama
dalam bidang ushul al-fiqh. Pendapat-pendapat yang diutarakannya sampai dengan
periode ini dinamakan sebagai al-qaul al-qadīm (pendapat lama, yang diperlawankan
2
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 149.
3
dengan pendapat-pendapatnya sesudah itu muncul yang dinamakan al qaul al-jadīd,
pendapat baru). Buku tersebut disusun setelah bermukim di Mesir. 3
Ahmad Amin berkomentar bahwa ulama pada umumnya membagi pendapat Imam
As-Syafi’i menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat
Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah
pendapat Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
1) Al-Qur’an
Dalam menggali hukum di dalam al-Qur’an Imam Syafi’i lebih menekankan kepada
keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami
tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-
ayat al-Qur’an setiap kali beliau berfatwa, namun Syafi’i menganggap bahwa al-
3
Abdul Mun’in Saleh, Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), hal.12
4
Qur’an tidak bisa dilepaskan dari al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat
erat.4
2) Al-Sunnah
Untuk hadis Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadis yang bersifat mutawatir
dan ahad, sedangkan untuk hadis yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil ‘amal,
dalam menerima hadis ahad mazhab Syafi’i mnsyaratkan:5
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk
keshahihan suatu hadis, hadis ahad yang diterimanya sebatas kalau hadis tersebut
sahih dan bersambung.
Faktor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadis karena
sesudah Nabi wafat banyak dari kalangan aliran politik yang membuat hadis-hadis
palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadis pun bisa diatur dan
diubah sesuai dengan keinginan pemimpin.
3) Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’ para sahabat, dalam arti perkara yang
di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum
yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik al-Qur’an maupun hadis, contoh ijma’
yaitu shalat terawih 20 rakaat. Jika terjadi perbedaan di antara para sahabat, maka
Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah.
4
Rahmat Syafi’i, Usul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 52.
5
Ibid, hal. 53.
5
Ijma’ menurut para ulama menempati posisi ketiga setelah al-Qur’an dan hadis,
begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan
merujuk kepada dalil yang ada yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang memiliki
hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus
disandarkan kepada nash:
Bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai
kepada kebenaran.
Bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada Nabi, sementara Nabi tidak
pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil al-Qur’an.
Pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar.
Pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hukum
syara’ nya.
4) Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan
kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang baru
dibandingkan dengan hukum yang lama. Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran
analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang
diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash al-Qur’an dan sunnah.
B. Imam Hambali
Pendiri Mazhab Hambali ialah Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara
untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah.
Beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab musnadnya.
6
mengumpulkan hadis Imam Ahmad bin Hanbal menurut beberapa ulama dikenal
dengan ahli hadist bukan imam Fiqh.
Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu fiqih yang
berkesan yaitu Imam syafi’i yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid
Imam syafi’i yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang
belajar hadis akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh.
Karena belajar kepada Imam Syafi’i, para pengikut Imam Syafi’i menilai bahwa
Ahmad Ibn Hanbal adalah pengikut Imam Syafi’i, meskipun dalam kasus tertentu ia
berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’i yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah
Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Mazhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses tasyri’
Imam Hambali banyak Terpengaruh oleh Imam Syafi’i, yang masih nelakukan
pendekatan tekstual, tidak seperti Imam Hanafi yang menggunakan ra’yu dan qiyas
dalam mengistinbathkan hukum.
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hambali dibangun atas lima dasar yaitu sebagai
berikut6
1. Al-Nushush dari al-Qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam
al-Qur’an dan sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat ,
makna yang tersiratnya ia abaikan.
2. Apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah ia menukil fatwa
sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Imam Ahmad mengambil hadis mursal dan dhaif sekiranya tidak ada dalil
yang menghalanginya. Dimaksud dengan dhaif disini bukan dhaif yang bathil
dan yang mungkar, tetapi dhaif yang tergolong shahih atau hasan. Dalam
pandangan Imam Ahmad, hadis itu tidak terbagi atas shahih, hasan dan dhaif,
tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadis menjadi
shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya
6
Muh. Zuhri, Hukum Islam. . . , hal. 123.
7
tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadis masih
kepada shahih dan dhaif. Hadis dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang dimaksud
dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadis semacam
ini lebih utama daripada menggunakan qiyas.
5. Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada senjata
yang disebut sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut al-Syafii, setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil al-Qur’an dan al-hadits
maksudnya adalah ilmu agama, ilmu al-Qur’an dan Sunnah. Karena ilmu-ilmu
tersebut memiliki banyak keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat. Sekalipun
demikian, kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitektur,
pertanian, perekonomian, dan sebagainya; Apabila ilmu-ilmu dunia tersebut
8
digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka
jelek.
Menurut Imam Syafi’i, rujukan pokok adalah al-Quran dan Sunnah. Apabila suatu
persoalan tidak diatur dalam al-Quran dan Sunnah, hukum persoalan tersebut
ditentukan dengan qiyās. Ulama pada umumnya membagi pendapat Imam As-Syafi’i
menjadi dua: qaul qadīm dan qaul jadīd. Qaul qadīm adalah pendapat Imam As-
Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak. Sedangkan qaul jadīd adalah pendapat
Imam As-Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal
ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyain ibn Abdullah ibn Anas ibn Auf ibn Qasit
ibn Syaiban, lahir di Baghdad pada tahun 164 H. Sejak kecil sudah menjadi Yatim dan
seorang yang miskin, tetapi mempunyai semangat yang tinggi untuk memperdalam
ilmu pengetahuan.
Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual
dalam memahami al-Qur’an dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan
hadits Nabi, sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya
sebagai ilmuwan hadits daripada ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang
sangat gigih dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum,
yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
DAFTAR PUSTAKA
9
Philip, Ameanah Bilah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh. Bandung: Nusa
Media, 2005.
Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
Abdul Mun’in Saleh, Madhhab Syafi’i; Kajian Konsep al-Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa
Press, 2001),
10