0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
102 tayangan91 halaman

KIAN BAB 1-3 Eka Fajrin Apriliani Daud

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 91

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING POSISI QUARTER PRONE


DAN NESTING TERHADAP STATUS OKSIGENASI PADA BAYI
PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRES SYNDROM
MENGGUNAKAN TEORI KONSERVASI LEVINE
DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO

Disusun Oleh:
EKA FAJRIN APRILIANI DAUD, S.Tr.Kep
711490123009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MANADO
PROFESI NERS

i
2023
PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING POSISI QUARTER PRONE
DAN NESTING TERHADAP STATUS OKSIGENASI PADA BAYI
PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRES SYNDROM
MENGGUNAKAN TEORI KONSERVASI LEVINE
DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Dalam Menyelesaikan Pendidikan Profesi Ners
Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado

OLEH :
EKA FAJRIN APRILIANI DAUD, S.Tr.Kep
711490123009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MANADO
PROFESI NERS

ii
2023
HALAMAN PERSETUJUAN

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING POSISI QUARTER PRONE


DAN NESTING TERHADAP STATUS OKSIGENASI PADA BAYI
PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRES SYNDROM
MENGGUNAKAN TEORI KONSERVASI LEVINE
DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO

Disusun Oleh:

EKA FAJRIN APRILIANI DAUD, S.Tr.Kep


711490123009

Karya tulis ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Karya Ilmiah Akhir
Program Studi Profesi Ners Politeknik Kesehatan Kemenkes Manado

Di setujui oleh Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dorce Sisfiani Sarimin, M.Kep.Ns.Sp.Kep.An Tati S. Ponindjan, M.Kep,Ns, Sp.Kep.An


NIP : 19750413 199803 2001 NIP : 19680804 199003 2002

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................. iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian............................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 9
A. Konsep Dasar Respiratory Distress Syndrom (RDS) ...................................... 9
B. Asuhan Keperawatan Respiratory Distress Syndrom (RDS)........................... 28
C. Teori Keperawatan Konservasi Levine ........................................................... 38
D. Aplikasi Teori Keperawatan Konservasi Levine Pada Asuhan
Keperawatan Anak Prematur dengan Respiratory Distress Syndrom ........... 50
E. Analisis Evidence Based Nursing (EBN) ........................................................ 64
F. Standar Operasional Prosedur Posisi Quarter Prone dan Nesting................... 66
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 70
A. Desain Penelitian................................................................................................ 70
B. Penetapan Sampel............................................................................................. 70
C. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan........................................................................ 70
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 71
E. Etika Penelitian ................................................................................................ 71

iv
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 72

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Diagnosa dan Rencana Keperawatan ..................................................... 31


Tabel. 2 Analisis PICOS ....................................................................................... 64
Tabel 3. Standar Operasional Prosedur (SOP) Quarter Prone.............................. 65
Tabel 4. Standar Operasional Prosedur (SOP) Nesting......................................... 67

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pathway Distress Respiratory Sindrom .............................................. 19

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Concent ............................................................................ 76

Lampiran 2. Format Asuhan Keperawatan berdasarkan Konservasi Levine........ 77

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persalinan prematur yaitu persalinan yang terjadi ketika usia gestasi kurang

dari 37 minggu sehingga dapat mengakibatkan berbagai risiko pada neonatus,

(AlJohani et al., 2022), (Prisilia & Susilo, 2021). Faktor risiko terjadinya kelahiran

premature diantaranya yaitu diabetes, obesitas, hipertensi, berat badan kurang riwayat

kelahiran premature, infeksi, jarak kehamilan yang terlalu berdekatan, merokok,

genetika, kehamilan multijanin, gangguan plasenta, dan ketuban pecah dini

premature, (Drastita et al., 2022). Tingkat kelahiran premature di Indonesia tergolong

sangat tinggi menempati urutan ke lima yaitu sebanyak 675.700. Sebanyak 29% umur

kandungan ibu hamil di Indonesia saat melahirkan yaitu kurang dari 37 minggu,

(Riskesdas, 2018)

Salah satu masalah yang sering terjadi pada bayi prematur yaitu Respiratory

Distress Syndrom (RDS). Hal ini disebabkan karena surfaktan yang dihasilkan oleh

paru-paru pada bayi premature tidak cukup sehingga kemampuan paru-paru untuk

mengembang sangat sulit. Surfaktan adalah suatu zat yang berfungsi untuk

mengurangi ketegangan dinding alveoli paru sehingga mengakibatkan kebutuhan

oksigen dalam darah tidak tercukupi. (Mukhlis & Marini, 2020).

Respiratory Distress Syndrom (RDS) adalah penyebab kematian infeksi

tunggal terbesar pada anak-anak di seluruh dunia. Respiratory Distress Syndrom

(RDS) membunuh 740.180 anak di bawahusia 5 tahun pada tahun 2019, terhitung

1
14% dari semua kematian anak di bawah lima tahun tetapi 22% dari semua kematian

pada anak dengan usia 1 hingga 5 tahun. Respiratory Distress Syndrom (RDS)

mempengaruhi anak-anak dan keluarga di mana-mana, tetapi kematian tertinggi di

Asia Selatan dan Afrika sub-sahara (WHO, 2021).

Di Indonesia kasus Respiratory Distress Syndrom (RDS) merupakan

penyebab kematian nomor dua setelah diare pada balita. Sekitar 450.000 kasus

Respiratory Distress Syndrom (RDS) setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan

Dasar (Kemenkes, 2018), menunjukkan prevalensi Respiratory Distress Syndrom

(RDS) menurut diagnosis tenaga kesehatan (nakes) mencapai 4,0% dengan kelompok

umur balita (usia 1-4 tahun) sebesar 5,0%. Untuk prevalensi Respiratory Distress

Syndrom (RDS) pada balita menurut provinsi tertinggi yakni Nusa Tenggara Timur

sebesar 8,8%, sementara di Sulawesi Utara sebesar 4,1%. Berdasarkan laporan

Riskesdas Sulawesi Utara tahun 2018, menurut diagnosis oleh tenaga kesehatan,

angka kasus Respiratory Distress Syndrom (RDS) di Kota Manado meningkat dari

2,31% menjadi 4,54% (Riskesdas Sulawesi Utara, 2018).

Masalah yang sering muncul ketika anak masuk dan di rawat diruang NICU

RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado adalah distress pernapasan yang ditandai

dengan nafas cepat, retraksi dinding dada, nafas cuping hidung. Distress pernapasan

merupakan kompensasi tubuh terhadap kekurangan oksigen, karena konsentrasi

oksigen yang rendah, akan menstimulasi syaraf pusat untuk meningkatkan frekuensi

pernapasan. Jika upaya tersebut tidak terkompensasi maka akan terjadi gangguan

oksigenasi ringan hingga berat bahkan sampai menimbulkan kegawatan. Hal ini dapat

2
berakibat sampai pada komplikasi anak menjadi syok, hipoksia, sianosis dan bahkan

gagal pernafasan.

Untuk mencegah komplikasi tersebut maka perlu dilakukannya penanganan

khusus masalah oksigenasi. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan

untuk mengatasi masalah oksigenasi tersebut adalah dengan pemberian posisi quarter

prone dan nesting. Posisi quarter prone atau semi tengkurap merupakan posisi tidur

bayi dengan keadaan kepala bayi dimiringkan ke arah satu sisi baik kanan maupun

kiri dengan lengan ditekuk pada dada bayi dan lutut bayi menempel pada dada bayi.

Posisi quarter pronasi dapat membuat ventilasi di dalam paru-paru menjadi tidak

tergantung sehingga dapat meningkatkan saturasi oksigen, (Gomes et al., 2019). Hal

ini terjadi karena posisi pronasi membuat ventilasi pada dinding dada menjadi lebih

leluasa di area paru yang tidak tergantung. Manfaat posisi pronasi diantaranya yaitu

meningkatkan volume paru-paru, menurunkan risiko atelektasis pada paru-paru,

menunjukkan pekspansi yang lebih baik di bagian dorsal paru-paru, mencegah

komplikasi yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi oksigen inspirasi dan

meningkatkan ekskresi sekresi, meningkatkan saturasi oksigen, (Thabet & Zaki,

2018).

Nesting merupakan penyangga posisi tidur bayi agar tetap dalam posisi fleksi,

hal ini dimaksudkan untuk mencegah perubahan posisi bayi secara drastis yang dapat

mengakibatkan hilangnya tenaga pada tubuh neonatus. Nesting terbuat dari kain

bedong bayi yang digulung sedemikian rupa kemudian diposisikan mengelilingi

tubuh bayi seperti kondisi di dalam rahim ibu, (Rohmah et al., 2020). Pemberian nest

3
merupakan sebuah paket intervensi untuk membentuk posisi dengan kokoh,

(Madlinger-Lewis et al., 2015).

Beberapa penelitian membuktikan pemberian posisi quarter prone dan nesting

sangat bermanfaat dalam perawatan bayi prematur. Penelitian (Efendi et al., 2019),

menyatakan Posisi pronasi dan quarter/semi-pronasi merupakan posisi yang

direkomendasikan untuk bayi prematur dengan RDS untuk meningkatkan status

oksigenasi bayi prematur. Penelitian (Yapicioğlu Yildizdaş et al., 2021), menyatakan

penerapan teknik nesting sebagai perawatan perkembangan memberikan efek positif

terhadap skor saturasi oksigen dan skala kenyamanan bayi prematur.

Pada anak dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi, perawat perlu

membantu anak supaya kebutuhan oksigenasi anak terpenuhi agar fungsi tubuh dapat

bekerja dengan baik dalam proses penyembuhannya dan mampu melawan

ketidakmampuan. Hal ini sesuai dengan prinsip konservasi yang dikemukakan oleh

Levine. Berdasarkan teori ini peran perawat adalah mempertahankan konservasi dan

integritas pada semua situasi. Intervensi ditujukan untuk meningkatkan kemampuan

adaptasi dan mempertahankan kesehatan secara menyeluruh (Rustina Yeni, Tri

Waluyanti Fajar, 2013).

Teori keperawatan merupakan dasar dari suatu kumpulan pengetahuan yang

terstruktur dan terorganisir untuk mendukung praktik perawat. Perawat dapat

meningkatkan kekuatan profesional saat menggunakan teori yang berbasis penelitian

dalam pengambilan keputusan. Perawat juga dapat menggunakan teori berbasis bukti

untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien. Salah satu masalah yang sering

4
terjadi di profesi keperawatan adalah kurangnya integrasi konsep teoritis menjadi

klinis praktik, selain itu sangat jarang ditemukan literatur tentang pemanfaatan teori

menjadi praktik keperawatan (Mawaddah et al., 2021). Hal ini menyebabkan teori

keperawatan dianggap abstrak dan sulit diterapkan di lingkungan klinis, sehingga

penerapan teori keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan perlu terus

dikembangkan. Salah satu teori keperawatan yang dapat diterapkan pada anak yang

mengalami masalah oksigenasi adalah model konservasi Levine.

Model konservasi Levine berfokus pada individu sebagai makhluk holistik,

dan area perhatian utama untuk perawat yaitu pemeliharaan keutuhan seseorang.

Profesi perawat memberikan intervensi suportif dan terapeutik berdasarkan

pengetahuan ilmiah. Tindakan keperawatan berdasarkan empat prinsip: konservasi

energi, konservasi integritas struktur, konservasi integritas personal dan konservasi

integritas sosial (Mawaddah et al., 2021).

Berdasarkan kajian diatas, penulis melakukan studi mengenai “Penerapan

Evidence Based Nursing Posisi Quarter Prone dan Nesting terhadap Status

Oksigenasi pada Bayi Prematur dengan Respiratory Distres Syndrom

Menggunakan Teori Konservasi Levine”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan

dibahas dalam peminatan gawat darurat kritis yaitu “Bagaimana Penerapan Posisi

Quarter Prone dan Nesting terhadap Status Oksigenasi pada Bayi Prematur dengan

Respiratory Distres Sindrom Menggunakan Teori Konservasi Levine?”

5
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui penerapan intervensi Posisi Quarter Prone dan Nesting terhadap

Status Oksigenasi pada Bayi Prematur dengan Respiratory Distres Sindrom

menggunakan teori Konservasi Levine.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui hasil pengkajian pada asuhan keperawatan bayi prematur

dengan respiratory distres sindrom menggunakan teori konservasi levine.

b. Untuk mengetahui trophicognosis atau diagnosa keperawatan dalam asuhan

keperawatan bayi prematur dengan respiratory distres sindrom menggunakan

teori konservasi levine.

c. Untuk mengetahui intervensi posisi quarter prone dan nesting dalam asuhan

keperawatan bayi prematur dengan respiratory distres sindrom menggunakan

teori konservasi levine.

d. Untuk mengetahui implementasi posisi quarter prone dan nesting dalam asuhan

keperawatan bayi prematur dengan respiratory distres sindrom menggunakan

teori konservasi levine.

e. Untuk mengetahui evaluasi tindakan keperawatan posisi quarter prone dan

nesting dalam asuhan keperawatan bayi prematur dengan respiratory distres

sindrom menggunakan teori konservasi levine.

f. Untuk menganalisis intervensi posisi quarter prone dan nesting terhadap status

oksigenasi pada bayi prematur dengan respiratory distres sindrom.

6
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Bagi peneliti

Menambah wawasan, pengetahuan tentang penerapan teori konservasi levine

pada asuhan keperawatan dengan penerapan posisi quarter prone dan nesting

terhadap status oksigenasi pada bayi prematur dengan respiratory distres

sindrom dan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

b. Bagi peneliti selanjutnya

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi

bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti penerapan posisi quarter prone dan

nesting terhadap status oksigenasi pada bayi prematur dengan respiratory

distres sindrom menggunakan teori konservasi levine.

2. Manfaat praktek klinik

a. Bagi rumah sakit

Diharapkan dari hasil peminatan gawat darurat ini dapat memberikan

masukan asuhan keperawatan gawat darurat anak kepada pasien selanjutnya

dengan penerapan intervensi posisi quarter prone dan nesting terhadap status

oksigenasi pada bayi prematur dengan respiratory distres sindrom

menggunakan teori konservasi levine.

b. Bagi perawat

Dapat digunakan sebagai bahan masukan dan referensi bagi perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan dengan menerapkan intervensi posisi

7
quarter prone dan nesting pada bayi prematur dengan respiratory distres

sindrom.

8
BAB II

TINJAUN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Respiratory Distres Syndrom

1. Definisi

Respiratory Distress Sindrom (RDS) disebut juga Hyalin Membran Disease

(HMD) merupakan gangguan pernapasan yang paling umum terjadi pada bayi

prematur dan merupakan salah satu penyebab utama gagal nafas dan kematian

neonatal pada bayi prematur. Penyebab utama yaitu buruknya perkembangan

saluran napas perifer dan buruknya produksi surfaktan karena imaturitas paru

janin, (Kim et al., 2018), (Marseglia et al., 2019).

Sindroma gagal nafas atau Respiratory Distress Sindrom (RDS) adalah

istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini

merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan

maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru, (Yosefa Moi,

2019).

2. Etiologi

Respiratory Distress Sindrom (RDS) pada neonatus secara umum terjadi

karena kekurangan surfaktan, karena produksi surfaktan yang tidak memadai, atau

inaktivasi surfaktan dalam konteks paru-paru yang belum matang. Prematuritas

mempengaruhi kedua faktor ini, sehingga berkontribusi langsung terhadap RDS,

(Yadav et al., 2022).

Selain itu penyebab RDS menurut (Yadav et al., 2022) adalah sebagai

9
berikut:

1. Perkembangan paru-paru janin

Penting untuk meninjau perkembangan paru-paru janin dan produksi

surfaktan untuk memahami etiologi RDS. Proses normal perkembangan paru-

paru janin terjadi secara bertahap, yang dikenal sebagai tahap embrionik,

kelenjar semu, kanalikuli, sakular, dan alveolar.

Selama periode embrio, tunas paru pertama kali muncul pada hari ke-26

sebagai tonjolan ventral esofagus janin.[2] Tunas paru selanjutnya menembus

dan membelah ke seluruh mesenkim di sekitarnya, awalnya membentuk

bronkus utama pada hari ke 37. Cabang utama bronkus selanjutnya mengarah

ke perkembangan bronkus subsegmental dalam 48 hari. Pembuluh darah paru

berkembang seiring dengan berkembangnya paru-paru dan arteri pulmonalis

terbentuk sebagai cabang dari lengkung aorta keenam pada hari ke-37.

Tahap kelenjar semu dimulai sekitar minggu kelima kehamilan dan

berakhir pada minggu ke-16, dan merupakan tahap di mana sel neuroepitel,

tulang rawan, sel bersilia, sel goblet, dan sel basal berkembang di epitel paru

proksimal. Selama tahap ini, saluran udara bercabang 15 hingga 20 kali pada

minggu ke-18 kehamilan.

Tahap kanalikuli, dimulai pada minggu ke-16 dan berakhir sekitar

minggu ke-25, menandai dimulainya perkembangan asinus paru,

pembentukan penghalang darah-udara, dan produksi surfaktan melalui sel tipe

2, yang berpuncak pada paru-paru yang berpotensi untuk hidup. pertukaran

10
gas. Peningkatan jumlah dan ukuran kapiler terus melakukan vaskularisasi

pada mesenkim. Bersamaan dengan pertumbuhan bronkiolus, hal ini

menipiskan ruang mesenkim antara membran basal epitel pernafasan dan

epitel vaskular. Akhirnya, membran basal kapiler dan epitel pernafasan ini

menyatu, membentuk penghalang darah-udara yang belum sempurna. Pada

minggu ke-20, badan pipih mulai terbentuk di sitoplasma epitel kuboid

bronkiolus yang sarat glikogen, dan sel-sel ini berdiferensiasi menjadi sel tipe

2, yang mampu menghasilkan surfaktan.

Selama tahap sakular, dari sekitar minggu ke-24 hingga minggu ke-32

kehamilan, sakula terminal terbentuk, mengembangkan bronkiolus

pernapasan, yang memiliki ketebalan dinding yang memungkinkan terjadinya

pertukaran gas. Pada tahap inilah bayi prematur berpotensi dapat hidup di luar

kandungan.

Pada minggu ke 32, tahap alveolar dimulai, dan alveoli mulai terbentuk

seiring dengan berkembangnya septasi pada bronkiolus respiratorik, sehingga

meningkatkan luas permukaan untuk pertukaran gas. Pada usia cukup bulan,

paru-paru mempunyai 50 hingga 150 juta alveoli.

2. Surfactant

Surfaktan paru menutupi lapisan dalam alveoli normal. Namun pada

janin, alveoli yang sedang berkembang terisi dengan cairan paru-paru janin,

sehingga tidak berkontribusi terhadap pertukaran gas. Selama kehidupan

janin, produksi surfaktan dimulai di sel alveolar tipe 2 sekitar usia kehamilan

11
20 minggu. Surfaktan sebagian besar padat lipid, terdiri dari sekitar 70%

hingga 80% fosfolipid, 10% protein, dan 10% lipid netral. Surfaktan terdiri

dari empat protein spesifik surfaktan (SP); SP-A, SP-B, SP-C, dan SP-D. SP-

A dan SP-D terlibat dalam mengatur proses inflamasi di paru-paru. SP-B

diperlukan untuk pembentukan badan pipih normal pada sel tipe 2 dan juga

terlibat dalam pemrosesan SP-C. SP-C adalah protein yang dapat bekerja

dengan SP-B untuk meningkatkan deposisi dan fungsi surfaktan di dalam

alveoli dengan menurunkan tegangan permukaan. Di dalam sel alveolar tipe

2, sintesis surfaktan dimulai dengan fosfolipid di retikulum endoplasma.

Fosfolipid berpindah melalui aparatus Golgi ke dalam badan pipih. Kompleks

lipoprotein surfaktan (SP-A, SP-B, SP-C, dan fosfolipid) terbentuk di dalam

badan lamelar pada permukaan apikal sel tipe 2, yang kemudian dilepaskan ke

alveoli melalui eksositosis.

Paru-paru mengalami gaya akibat elastisitas dinding dada dan parenkim

paru, serta tegangan permukaan antarmuka udara-cairan di saluran napas kecil

dan alveoli. Kompleks lipoprotein surfaktan penting karena menurunkan

tegangan permukaan pada saluran udara kecil dan alveoli, yang mencegah

kolapsnya alveoli dan masuknya cairan interstisial ke dalam ruang udara. Sel

tipe 2 menyerap kembali kompleks surfaktan yang disekresikan dari wilayah

udara. Molekul surfaktan didaur ulang kembali melalui endositosis menjadi

badan multivesikular dan akhirnya menjadi badan pipih. Proses daur ulang

surfaktan endogen dan eksogen dari alveoli bertanggung jawab untuk menjaga

12
kumpulan surfaktan. Selain jumlah surfaktan yang lebih rendah, bayi prematur

juga mengalami penurunan aktivitas surfaktan karena komposisinya.

3. Genetik

Kembar monozigot memiliki insiden RDS yang lebih tinggi

dibandingkan kembar dizigotik, dan peningkatan insiden RDS juga telah

dilaporkan dalam keluarga, sehingga mendukung kecenderungan genetik yang

mendasarinya. Bayi dengan penyebab genetik dari defisiensi protein surfaktan

juga dapat mengalami berbagai tingkat RDS. Mutasi resesif langka pada gen

SP-B yang menyebabkan defisiensi SP-B dapat muncul pada periode neonatal

dengan RDS parah dan berkembang menjadi gagal napas parah. Di sisi lain,

mutasi gen SP-C terlihat pada sekitar 0,1% populasi dan muncul pada

penyakit paru interstisial, biasanya setelah bulan pertama kehidupan. RDS

neonatal juga dikaitkan dengan penghapusan kaset pengikat ATP sub-

keluarga A, anggota 3 (ABCA-3). Meskipun sekitar 4% dari populasi

dilaporkan mengalami penghapusan ini, kejadian pasti RDS yang fatal pada

populasi ini tidak diketahui

Menurut Yosefa Moi, (2019), penyebab kegagalan pernafasan pada

neonatus terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.

Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih

dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit

pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi,

penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain. Faktor plasenta meliputi solusio

13
plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak

menempel pada tempatnya.

Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit

leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,gemeli, prematur, kelainan

kongenital pada neonatus dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama,

partus dengan tindakan dan lain-lain.

3. Faktor Resiko

Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi risiko terjadinya RDS antara lain:

a Prematur

Prematur adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan 20 minggu

hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (WHO, 2006).

Prematuritas menjadi faktor risiko terbesar untuk RDS. Insidensinya

berbanding terbalik dengan usia kehamilan (IDAI, 2009). Sekitar 50% bayi

yang lahir sebelum usia kehamilan 30 minggu diketahui mengalami RDS dan

insidensinya menurun dengan bertambahnya usia kehamilan, dari sekitar 60–

80% bayi yang lahir pada 26-28 minggu, hingga sekitar 15–30% dari mereka

yang lahir pada usia 32- 36 minggu (

b Jenis kelamin laki-laki

Anak laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar mengalami RDS

dibandingkan dengan anak perempuan dengan rasio kemungkinan laki-laki:

perempuan 1,3:1. Hal ini diduga disebabkan oleh efek androgen pada sel

pneumosit tipe II yang menunda produksi surfaktan.

14
c Berat badan lahir rendah (BBLR)

Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam satu jam setelah lahir.

Penimbangan ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah berat bayi lahir

normal atau rendah. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) atau low birth weight

infant didefinisikan sebagai semua berat bayi yang baru lahir dengan berat

lahir kurang dari 2500 gram. BBLR bayi dikategorikan menjadi tiga, antara

lain:

1) Berat bayi lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2499 gram.

2) Berat bayi lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1499

gram

3) Berat bayi lahir amat sangat rendah (BBLASR) dengan berat lahir <1000

gram (WHO, 2006)

BBLR erat kaitannya dengan usia kehamilan ibu, karena semakin muda usia

kehamilan ibu maka perkembangan organ semakin belum sempurna. Selain

itu kondisi BBLR dapat disertai oleh adanya komplikasi atau penyulit akibat

kurang matangnya organ karena faktor usia kehamilan. Salah satu akibat dari

BBLR adalah tidak matangnya perkembangan paru berupa defisiensi

surfaktan yang mengakibatkan bayi mengalami RDS.

d Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai kegagalan nafas secara spontan

dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang diperoleh dari

15
penilaian APGAR (Idai, 2009). Penilaian APGAR dilakukan pada saat menit

ke-1 dan ke-5 setelah persalinan. Hingga saat ini, hubungan asfiksia dengan

peningkatan risiko kematian neonatus masih belum diketahui. Pada penelitian

menggunakan hewan coba berupa domba baru lahir yang menderita asfiksia

menunjukkan adanya kerusakan alveolus dan pneumosit tipe II. Asfiksia dapat

menurunkan aktivitas enzim yang berperan pada sintesis lesitin dan inaktivasi

surfaktan.

e Usia ibu

Ibu yang berusia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun memiliki risiko

pada bayi untuk terjadi BBLR. Pada usia 20 tahun, organ reproduksi belum

matang secara biologis dan belum berkembang dengan baik. Salah satu akibat

dari belum sempurnanya organ reproduksi ini adalah berkurangnya pasokan

aliran darah ke serviks dan uterus. Aliran darah yang berkurang dapat

mengakibatkan berkurangnya asupan nutrisi pada janin yang sedang tumbuh

dan berkembang, (Purwanto & Wahyuni, 2016). Pada ibu hamil yang berusia

lebih dari 35 tahun cenderung mudah terkena penyakit seperti preeklampsia

sehingga rentan mengalami komplikasi kehamilan dan gangguan janin saat

kehamilan. Pada usia tersebut juga didapati organ reproduksi yang sudah

menua, jalan lahir yang kaku, dan terjadi perubahan pada jaringan organ

reproduksi interna (Takziah, 2013). Pada penelitian yang dilakukan Takziah

(2013) diketahui bahwa usia ibu 35 tahun berisiko 2,835 kali lebih melahirkan

BBLR dibanding dengan usia ibu 20-35 tahun hal yang serupa juga dapat

16
diketahui dari penelitian yang dilakukan Simarmata (2010) yang menyatakan

bahwa usia ibu 35 tahun berisiko 1,36 kali lebih melahirkan BBLR

dibandingkan dengan usia ibu 20-35 tahun.

f Penggunaan Deksametason

Penggunaan deksametason antenatal pada kelahiran prematur terbukti

menurunkan tingkat RDS karena deksametason dapat meningkatan

pematangan paru melalui beberapa mekanisme, termasuk pematangan sel

pneumosit tipe II dan produksi surfaktan. Selain itu penggunaan deksametason

antenatal juga dapat mengurangi risiko kematian neonatus, perdarahan

intraventricular, enterokolitis nekrotikans, morbiditas infeksi, dan pemberian

perawatan intensif neonatus. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang

menggunakan deksametason berulang, tidak memerlukan terapi oksigen

tambahan dan memiliki durasi ventilasi mekanik yang lebih pendek.

4. Patofisiologi

Sindrom gangguan pernapasan neonatal disebabkan oleh defisiensi

surfaktan, terutama pada paru-paru yang belum matang. Defisiensi surfaktan

meningkatkan tegangan permukaan saluran napas kecil dan alveoli, sehingga

menurunkan komplians paru imatur. Keseimbangan tekanan pada antarmuka

udara-cairan sangat penting untuk mencegah kolapsnya alveolus atau pengisian

alveolus dengan cairan. Patofisiologi RDS dapat digambarkan dengan

menggunakan hukum LaPlace yang dinotasikan sebagai: P=2T/R, dimana P

adalah tekanan, T adalah tegangan permukaan, dan R adalah jari-jari.

17
Hukum Laplace menjelaskan hubungan antara perbedaan tekanan pada

antarmuka dua fluida statis dengan bentuk permukaan. Ketika tegangan

permukaan pada tingkat alveolar meningkat, jumlah tekanan yang diperlukan

untuk mempertahankan bentuk alveolar meningkat. Dengan berkurangnya

produksi surfaktan, atelektasis terjadi di seluruh paru, menyebabkan berkurangnya

pertukaran gas. Atelektasis yang meluas dan berulang pada akhirnya merusak

epitel pernafasan, menyebabkan respon inflamasi yang dimediasi sitokin. Saat

edema paru berkembang akibat respons inflamasi, peningkatan jumlah cairan

kaya protein dari ruang pembuluh darah bocor ke alveoli, yang selanjutnya

menonaktifkan surfaktan. Selain itu, banyak bayi dengan RDS memerlukan

ventilasi mekanis, yang mungkin berdampak buruk pada paru-paru.

Distensi berlebihan pada alveoli selama ventilasi tekanan positif

menyebabkan kerusakan dan peradangan lebih lanjut. Selain itu, stres oksidatif

yang dihasilkan oleh tekanan oksigen tinggi dari ventilasi mekanis dan proses

inflamasi di paru-paru juga mendorong konversi surfaktan menjadi bentuk tidak

aktif melalui kerusakan oksidan protein dan peroksidasi lipid. Dengan demikian

RDS dapat menyebabkan hipoksemia melalui hiperventilasi alveolar, kelainan

difusi, ketidaksesuaian ventilasi-perfusi, pirau intrapulmonal, atau kombinasi dari

mekanisme ini. Hipoksemia dan hipoperfusi jaringan ini pada akhirnya

menyebabkan peningkatan metabolisme anaerobik pada tingkat sel yang

mengakibatkan acidemia laktat.

18
5. Pathway

Gambar 1. Pathway Respiratory Distress Syndrom (RDS)

6. Manifestasi Klinis

Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat

dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia

kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak

beberapa jam setelah kelahiran. Bayi RDS yang mampu bertahan hidup sampai 96

19
jam pertama mempunyai prognosis yang lebih baik. Gejala umum RDS yaitu:

takipnea (>60x/menit), pernapasan dangkal, mendengkur, sianosis, pucat,

kelelahan, apnea dan pernapasan tidak teratur, penurunan suhu tubuh, retraksi

suprasternal dan substernal, pernapasan cuping hidung.

7. Komplikasi

Komplikasi sindrom gangguan pernapasan neonatal terutama berkaitan

dengan perjalanan klinis RDS pada neonatus dan hasil jangka panjang pada

neonatus. Meskipun terapi surfaktan telah menurunkan morbiditas yang terkait

dengan RDS, banyak pasien terus mengalami komplikasi selama dan setelah RDS

akut.

Komplikasi akut akibat ventilasi tekanan positif atau ventilasi mekanis

invasif termasuk sindrom kebocoran udara seperti pneumotoraks,

pneumomediastinum, dan emfisema interstitial paru. Ada juga peningkatan

kejadian perdarahan intrakranial dan paten duktus arteriosus pada bayi dengan

berat badan lahir sangat rendah dengan RDS, meskipun hal ini secara independen

terkait dengan prematuritas itu sendiri.

Selain defisiensi surfaktan, paru-paru bayi prematur yang belum matang

juga mengalami penurunan kepatuhan, penurunan pembersihan cairan, dan

perkembangan pembuluh darah yang belum matang, yang menyebabkan paru-

paru mengalami cedera dan peradangan, sehingga semakin mengganggu

perkembangan normal alveoli dan pembuluh darah paru. Selain itu, stres oksidatif

akibat hiperoksia akibat ventilasi mekanis, dan penurunan kemampuan anti-

20
oksidan paru-paru prematur, keduanya menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada

paru-paru melalui peningkatan produksi TGF-β1 dan sitokin pro-inflamasi

lainnya.

Keterlambatan perkembangan saraf adalah komplikasi lain dari RDS,

terutama pada bayi yang menerima ventilasi mekanis dalam jangka panjang.

Insidensi Cerebral Palsy juga meningkat pada bayi dengan RDS, dan insidensinya

menurun seiring bertambahnya usia kehamilan. Lamanya waktu penggunaan

ventilasi mekanis berkorelasi dengan peningkatan angka palsi serebral dan

keterlambatan perkembangan saraf, (Yadav et al., 2022)

8. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut IDAI (2009), pemeriksaan penunjang pada bayi dengan RDS yaitu:

a Foto thoraks posisi anteroposterior dan lateral, bila diperlukan serial.

Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran

yang khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass

appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air

bronchogram). Terdapat 4 stadium :

1) Stadium 1: pola retikulogranular

2) Stadium 2: stadium1 + air bronchogram

3) Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur

4) Stadium 4: stadium 3 + white lung

Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai

indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena

21
pemakaian ventilator, atau terjadi Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)

setelah pemakaian ventilator jangka lama

b Laboraturium

1) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan dilakukan kultur darah

2) Pemeriksaan analisis gas darah jika fasilitas tersedia. Pemeriksaan ini

dapat menunjukkan keadaan: hipoksia, asidosis metabolik, respiratorik

atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak normal.

3) Pemeriksaan rasio lesitin/sfingomielin pada cairan paru (L/S ratio) <

2:1.

4) Shake test (tes kocok), dilakukan dengan cara pengocokan aspirat

lambung, jika tak ada gelembung, risiko tinggi untuk terjadinya RDS (60

%)

9. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan optimal RDS neonatal meliputi penurunan insiden

dan keparahan dengan menggunakan kortikosteroid antenatal, diikuti dengan

penatalaksanaan optimal menggunakan alat bantu pernapasan, terapi surfaktan,

dan perawatan bayi prematur secara keseluruhan.

a. Kortikosteroid antenatal

b. Memantau oksigenasi dan ventilasi

c. Ventilasi bantuan pada neonatus

d. Terapi surfaktan eksogen

e. Perawatan suportif, termasuk termoregulasi, dukungan nutrisi, manajemen

22
cairan dan elektrolit, terapi antibiotik, dll.

Secara jelasnya penetalaksanaan RDS adalah sebagai berikut:

a. Monitoring Oxygenation and Ventilation

Pemantauan gas darah serial mungkin diperlukan untuk

mengoptimalkan oksigenasi dan ventilasi. Idealnya neonatus menjalani

pemantauan gas darah menggunakan kateter arteri umbilikalis atau arteri

perifer yang dipasang dengan teknik steril. Tekanan parsial oksigen arteri

(PaO2) pada gas darah arteri dipertahankan antara 50 hingga 80 mmHg, dan

tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) dipertahankan antara 40

hingga 55 mmHg, dengan pH >7,25.

Oksimetri denyut non-invasif kini menjadi standar perawatan untuk

memantau saturasi oksigen (SaO2). Batasan yang lebih tinggi yang tidak jelas

sering kali membatasi kegunaan oksimetri nadi, karena PaO2 bisa jauh lebih

tinggi pada tingkat SaO2 >95%. Kapnografi non-invasif dan pemantauan

karbon dioksida transkutan digunakan sebagai tambahan untuk memantau

ventilasi.

b. Assisted Ventilation of the Neonate

Tujuan dari bantuan ventilasi adalah untuk mengurangi atelektasis

dengan memberikan tekanan saluran napas positif yang terus melebar. Strategi

pilihan saat ini adalah inisiasi dini tekanan saluran napas positif berkelanjutan

(CPAP) dengan pemberian surfaktan selektif. Di sebagian besar institusi,

modalitas non-invasif lebih disukai daripada ventilasi invasif karena

23
mengurangi risiko kematian dan displasia bronkopulmoner (BPD)

dibandingkan dengan ventilasi invasif dengan atau tanpa surfaktan.

c. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).

Nasal CPAP merupakan intervensi awal pada bayi prematur dengan

RDS atau risiko RDS tanpa gagal napas. Berbagai modalitas tersedia untuk

pemberian CPAP, termasuk CPAP yang berasal dari ventilator serta perangkat

bubble CPAP yang lebih murah. Bayi yang menerima CPAP bernasib sama

seperti bayi yang menerima terapi surfaktan profilaksis bersama dengan

ventilasi mekanis dalam uji coba SUPPORT (Uji Acak Tekanan Saluran

Udara Positif Surfaktan dan Oksimetri Nadi), dan bayi yang menerima CPAP

dini mengalami penurunan kebutuhan akan terapi surfaktan. . Selain itu,

kejadian BPD menurun dengan penggunaan CPAP. Tujuan pengobatan antara

lain menjaga SpO2 antara 90-95%, dan PaCO2 antara 45-65 mmHg.

d. Non-Invasive Respiratory Support

Ventilasi Tekanan Positif Intermiten Hidung (NIPPV) tampaknya lebih

unggul dibandingkan CPAP saja dalam mengurangi kegagalan ekstubasi,

kebutuhan intubasi pada bayi prematur, namun biaya dan keamanannya sama.

Perbedaan utama antara NIPPV dan CPAP adalah NIPPV memerlukan

ventilator untuk memberikan ventilasi tekanan positif, sedangkan CPAP

mungkin menggunakan perangkat yang lebih murah seperti bubble CPAP

untuk memberikan tekanan yang sesuai.

24
e. High Flow Nasal Canula

Kanula hidung aliran tinggi yang dilembabkan dengan pemanas

(HFNC) juga digunakan di beberapa pusat kesehatan sebagai alternatif CPAP

untuk memberikan ventilasi tekanan distensi positif kepada neonatus dengan

RDS. Seperti yang terlihat dalam uji klinis oleh Roberts dkk., HFNC

ditemukan lebih rendah dibandingkan CPAP.

f. Mechanical Ventilation

Pasien yang tidak berespon terhadap CPAP, mengalami asidosis

respiratorik (PH <7,2 dan PaCo2 > 60-65 mm Hg), hipoksemia (PaO2 < 50

mm Hg atau Fio2 > 0,40 pada CPAP), atau apnea berat ditangani dengan

intubasi endotrakeal. dan ventilasi mekanis. Tujuan dari ventilasi mekanis

termasuk memberikan dukungan pernapasan yang memadai sekaligus

menyeimbangkan risiko barotrauma, volutrauma, dan toksisitas oksigen.

Ventilasi terbatas tekanan siklus waktu adalah mode ventilasi awal yang

disukai pada bayi prematur dengan RDS. Ventilasi osilasi frekuensi tinggi

(HFOV) dan ventilasi jet frekuensi tinggi (HFJV) sering digunakan sebagai

modalitas penyelamatan ketika memerlukan dukungan ventilator

konvensional yang tinggi atau kekhawatiran akan kebocoran udara paru.

Strategi lain termasuk penggunaan ventilasi frekuensi tinggi secara empiris

pada bayi sangat prematur untuk meminimalkan cedera paru-paru.

g. Exogenous Surfactant Therapy

Pengobatan yang ditargetkan untuk defisiensi surfaktan adalah terapi

25
penggantian surfaktan intratrakeal melalui selang endotrakeal. Surfaktan yang

diberikan dalam waktu 30 hingga 60 menit setelah kelahiran bayi prematur

terbukti bermanfaat. Surfaktan mempercepat pemulihan dan menurunkan

risiko pneumotoraks, emfisema interstisial, perdarahan intraventrikular (IVH),

BPD, dan kematian neonatal di rumah sakit dan pada satu tahun. Namun,

neonatus yang menerima surfaktan untuk RDS yang sudah ada, memiliki

peningkatan risiko apnea prematuritas. Menurut pedoman sensus Eropa,

surfaktan diberikan kepada bayi belum dewasa dengan FiO2 > 0,3, dan bayi

dewasa dengan FiO2 > 0,4. Jenis surfaktan yang dapat diberikan yaitu:

1) Beraktan: adalah surfaktan alami yang dimodifikasi yang dibuat dari paru-

paru sapi cincang dengan bahan tambahan

2) Poractant alfa: adalah surfaktan alami yang dimodifikasi yang berasal dari

ekstrak paru babi cincang

3) Calfactant: adalah surfaktan alami yang diperoleh dari lavage alveoli paru-

paru sapi dan mengandung 80% fosfatidilkolin dengan hanya 1% protein

4) Surfaktan sintetik: Uji klinis sedang berlangsung

Surfaktan diberikan melalui intubasi endotrakeal standar, yang

memerlukan praktisi berpengalaman atau melalui teknik pemberian surfaktan

kurang invasif (LISA) seperti sediaan surfaktan nebulisasi aerosol, masker

laring, pemasangan faring, dan kateter intratrakeal tipis. Teknik standar

pemberian surfaktan melalui intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis dapat

menyebabkan obstruksi saluran napas sementara, cedera paru, kebocoran

26
udara paru, dan cedera saluran napas. Bukti yang muncul menunjukkan bahwa

teknik LISA dikaitkan dengan tingkat BPD, kematian, dan kebutuhan

ventilasi mekanis yang lebih rendah dibandingkan dengan pemberian

surfaktan melalui intubasi endotrakeal. Namun, penyelidikan lebih lanjut

diperlukan untuk memilih teknik LISA sebagai teknik standar pemberian

surfaktan dibandingkan intubasi endotrakeal. Jika neonatus mempertahankan

dorongan pernafasan yang adekuat dengan FiO2 <0,3, maka neonatus harus

direncanakan untuk menghentikan penggunaan surfaktan dan beralih ke

CPAP. Saturasi oksigen (>90%), termoregulasi (36,5 hingga 37,5 C), dan

status cairan dan nutrisi harus dipantau.

h. Supportive Care

Bayi prematur dengan apnea prematuritas mungkin memerlukan terapi

kafein. Kafein juga dapat diberikan kepada bayi prematur <28 minggu dengan

berat badan lahir sangat rendah (BB <1000 g) untuk meningkatkan dorongan

pernapasan dan meningkatkan penggunaan CPAP. Terdapat insiden BPD dan

ekstubasi dini yang rendah pada bayi prematur yang menerima kafein

dibandingkan dengan plasebo.

Manajemen cairan dan elektrolit yang optimal sangat penting pada tahap awal

RDS. Beberapa neonatus mungkin memerlukan resusitasi volume

menggunakan kristaloid serta vasopresor untuk hipotensi. Selain itu,

perawatan bayi prematur secara keseluruhan juga mencakup optimalisasi

termoregulasi, dukungan nutrisi, transfusi darah untuk anemia, pengobatan

27
PDA yang signifikan secara hemodinamik, dan terapi antibiotik jika

diperlukan.

B. Asuhan Keperawatan Respiratory Distres Syndrom

Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik

keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien di berbagai tatanan

pelayanan kesehatan. Proses keperawatan terdiri atas lima tahap yaitu pengkajian,

diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Setiap tahap dari proses

keperawatan saling terkait dan ketergantungan satu sama lain (Budiono & Dkk,

2015).

1. Pengkajian

Pengkajian yang cermat oleh perawat merupakan hal penting untuk

mendeteksi masalah keperawatan. Melakukan pengkajian pada pernafasan lebih

jauh dengan mengidentifikasi manifestasi klinis respiratory distress syndrom

(RDS) yakni: takipnea (>60x/menit), pernapasan dangkal, mendengkur, sianosis,

pucat, kelelahan, apnea dan pernapasan tidak teratur, penurunan suhu tubuh,

retraksi suprasternal dan substernal, pernapasan cuping hidung, (Surasmi, dkk

2013). Faktor resiko terjadinya RDS yakni kelahiran preterm, riwayat kehamilan

ibu menderita pendarahan, menderita hipertensi, riwayat neonatus dengan asfiksia

akibat hipoksia akut, hipotermia dan nilai APGAR skor rendah. Pada pemeriksaan

fisik mengobservasi takipnea, retraksi substernal, kreleks inspirasi, mengorok

inspiratori, pernafasan cuping hidung dan adanya sianosis (Wijanarti, 2020).

28
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons

klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik

yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan

untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap

situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017).

Setelah didapatkan data dari pengkajian, data tersebut dianalisis. Selanjutnya

semua masalah yang ditemukan dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan untuk

menentukan intervensi keperawatan. Diagnosa keperawatan pada kasus

Respiratory Distress Syndrom (RDS) yang mungkin muncul yaitu :

a. (D.0001) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang

tertahan, spasme jalan nafas.

b. (D.0005) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat

pernafasan, hambatan upaya nafas, gangguan neurologis.

c. (D.0003) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi, perubahan membrane alveolus-kapiler.

d. (D.0077) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.

e. (D.0019) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna

makanan, kurangnya asupan makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.

f. (D.0130) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.

g. (D.0034) Resiko hipovolemi berhubungan dengan kehilangan cairan secara

aktif.

29
3. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang

didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran

(outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018). Adapun intervensi keperawatan dari

diagnosa keperawatan pada pasien dengan Respiratory Distress Syndrom (RDS)

adalah sebagai berikut:

30
Tabel 1
Diagnosa dan Rencana Keperawatan

31
No Diagnosa
Tujuan dan Kriteria
Keperawatan Intervensi Keperawatan (SIKI)
Hasil (SLKI)
SDKI (PPNI, 2018)
(PPNI, 2019)
(PPNI, 2017)
1. (D.0001) Tujuan : Setelah dilakukan Latihan batuk efektif (I.01006)
Bersihan Jalan Napas intervensi, maka diharapkan Observasi
tidak Efektif bersihan jalan napas 1. Identifikasi kemampuan batuk
(L.01001) meningkat. 2. Monitor adanya retensi sputum
Dengan kriteria hasil: 3. Monitor tanda dan gejala infeksi
a. Batuk efektif meningkat saluran napas
b. Produksi sputum 4. Monitor pola napas (frekuensi,
menurun kedalaman, usaha napas)
c. Mengi menurun 5. Auskultasi bunyi napas
d. Wheezing menurun Terapeutik
e. Dispnea menurun 1. Atur posisi semi fowler atau fowler
2. Berikan minum hangat
f. Ortopnea menurun
3. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
g. Gelisah menurun 4. Berikan oksigen, jika perlu
h. Frekuensi napas Edukasi
membaik 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
i. Pola napas membaik efektif
2. Ajarkan teknik batuk efektif
3. Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik napas dalam yang ke-3.
Kolaborasi
1. Pemberian bronkodilator, mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu
Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt danchin lift (jaw-
thrust jika curiga trauma cervical)
2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat

32
dengan forsep Mc Gill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jikaperlu.
Pemantauan Respirasi (I.01014)
Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti brdipnea,
takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
cheyne-stokes, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
1. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu

33
2. (D.0005) Tujuan : Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi (I.01014)
Pola Napas Tidak intervensi, maka Observasi
Efektif diharapkan pola napas 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
(L.01004) membaik. dan upayanapas
Dengan kriteria hasil : 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
a. Tekanan ekspirasi takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
meningkat cheyne-stokes, biot,ataksik)
b. Tekanan inspirasi 3. Monitor kemampuan batuk efektif
meningkat 4. Monitor adanya produksi sputum
c. Dispnea menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
d. Penggunaan otot bantu 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
napas menurun 7. Auskultasi bunyinapas
e. Pernafasan cuping 8. Monitor saturasi oksigen
hidung menurun 9. Monitor nilai AGD
f. Frekuensi napas 10. Monitor hasil x-ray toraks
membaik Terapeutik
g. Kedalaman napas 1. Atur interval waktu pemantauan
membaik. respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu.
Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift (jaw thrust
jika curiga trauma cervical)
2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari
15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan
forsep Mc Gill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontra indikasi.
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,

34
3. (D.0003) Tujuan : Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi (I.01014)
Gangguan pertukaran intervensi, maka Observasi
gas diharapkan pertukaran gas 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
(L.01003) meningkat. dan upaya napas
Dengan kriteria hasil: 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
a. Dispnea menurun takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
b. Bunyi napas tambahan cheyne-stokes, biot, ataksik)
menurun 3. Monitor kemampuan batuk efektif
c. Napas cuping hidung 4. Monitor adanya produksi sputum
menurun 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
d. PCO2 membaik 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
e. PO2 membaik 7. Auskultasi bunyi napas
f. Takikardi membaik 8. Monitor saturasi oksigen
g. Ph arteri membaik 9. Monitor nilai AGD
h. Warna kulit membaik 10. Monitor hasil x-ray toraks
i. Pola nafas membaik Terapeutik
j. Sianosis membaik 1. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu

4. (D.0019) Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi (I.03119)


Defisit Nutrisi intervensi keperawatan, Observasi
maka status nutrisi 1. Identifikasi status nutrisi
(L.03030) membaik. 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
Dengan kriteria hasil : makanan
a. Porsi makan yang 3. Identifikasi makanan yang disukai
dihabiskan meningkat 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
b. Kekuatan otot menelan nutrien
meningkat 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
c. Nyeri abdomen nasogastrik
menurun 6. Monitor asupan makanan
d. Diare menurun 7. Monitor berat badan
e. Berat badan membaik 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
f. Indeks Massa Tubuh Terapeutik
(IMT) membaik 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan,
g. Frekuensi makan jika perlu
membaik 2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
h. Bising usus membaik (mis.piramida makanan)
i. Membran mukosa 3. Sajikan makanan secara menarik dan
membaik. suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
5. Berikan suplemen makanan, jika perlu
6. Hentikan pemberian makan melalui
selang nasogastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi

35
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika perlu
2. Anjurkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian terapi medikasi
sebelum makan (mis.pereda nyeri,
antimietik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan.

6. (D.0130) Tujuan: Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia (I.15506)


Hipertermi intervensi keperawatan, maka Observasi
termoregulasi (L.14134) 1. Identifkasi penyebab hipertermi (mis.
membaik. dehidrasi terpapar lingkungan panas
Dengan kriteria hasil : penggunaan incubator)
a. Menggigil menurun 2. Monitor suhu tubuh
b. Kulit merah menurun 3. Monitor kadar elektrolit
c. Kejang menurun 4. Monitor haluaran urine
d. Pucat menurun Terapeutik
e. Takikardi menurun 1. Sediakan lingkungan yang dingin
f. Takipnea menurun 2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
g. Bradikardi menurun 3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh
h. Hipoksia menurun 4. Berikan cairanoral
i. Suhu tubuh membaik 5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering
j. Suhu kulit membaik jika mengalami hiperhidrosis (keringat
k. Tekanan darah membaik berlebih)
6. Lakukan pendinginan eksternal (mis.
selimut hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
7. Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin
8. Batasi oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu.

7. (D.0078) Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238)


Nyeri akut intervensi keperawatan, maka Observasi
tingkat nyeri (L.08066) 1. Identifkasi lokasi, karakteristik, durasi,
menurun. frekuensi, kualitas, intensitas nyeri

36
Dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
a. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal
b. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat
c. Gelisah menurun dan memperingan nyeri
d. Kesulitan tidur menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan dan
e. Muntah menurun keyakinan tentang nyeri
f. Mual menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
g. Frekuensi nadi membaik respon nyeri
h. Pola nafas membaik 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
i. Tekanan darah membaik kualitas hidup
j. Nafsu makan membaik 8. Monitor keberhasilan terapi
k. Pola tidur membaik. komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik,
kompres hangat/kompres dingin, terapi
bermain
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi ras nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.

8. (D.0034) Tujuan : Setelah dilakukan Manajemen Hipovolemia(I.03116)


Risiko Hipovolemia intervensi keperawatan, maka Observasi
status cairan (L.03028) 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia
membaik. (mis.frekuensi nadi meningkat, nadi
Dengan kriteria hasil : teraba lemah, tekanan darah menurun,
a. Kekuatan nadi meningkat
turgor kulit menurun, membran
b. Turgor kulit meningkat
c. Output urine meningkat mukosa kering, volume urin menurun)
d. Dispnea menurun 2. Monitor intake dan output cairan
e. Suara nafas tambahan Terapeutik

37
menurun 1. Hitung kebutuhan cairan
f. Frekuensi nadi membaik 2. Berikan posisi modified trendelenburg
g. Tekanan nadi membaik
3. Berikan asupan cairan oral
h. Tekanan darah membaik
i. Membran mukosa membaik Edukasi
j. Intake cairan membaik 1. Anjurkan memperbanyak asupan
k. Suhu tubuh membaik. cairan oral
2. Anjurkan menghindari perubahan
posisi mendadak
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV
isotonis (mis. NaCl, RL)
2. Kolaborasi pemberian cairan IV
hipotonis (mis. Glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
3. Kolaborasi pemberian cairan koloid
(mis.albumin, plasmanate)
4. Kolaborasi pemberian produk darah.

4. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke

status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan. Implemetasi keperawatan adalah kategori serangkaian perilaku

perawat yang berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan

lain untuk membantu masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan perencanaan

dan kriteria hasil yang telah ditentukan dengan cara mengawasi dan mencatat

respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

38
5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan

pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Mengakhiri rencana tindakan.

C. Teori Keperawatan Konservasi Levine

1. Konsep Utama Teori

Tidak dapat dipungkiri beberapa tahun berlalu, penerapan teori-teori yang

menjelaskan pembelajaran dari disiplin keperawatan telah dikembangkan oleh

beberapa perawat. Pada konservasi model, terdapat empat konsep pokok

diantaranya: orang, lingkungan, keperawatan dan Kesehatan, dalam konsep

Levine Model telah dibahasakan tentang orang dan lingkungan telah disatukan

atau bergabung dari beberapa waktu (Risnah & Irwan, 2021).

a. Orang

Orang merupakan makhluk holistik yang terus berusaha meningkatkan

keutuhan atau integritas dan satu “yang hidup, bepikir, beriorientasi masa

depan, dan sadar pada masa lalu”. Tuntutan Seseorang yang hidup

merupakan keutuhan (integritas) “individu mempunyai maksud hanya dalam

lingkup kehidupan sosial”. Selain itu, memiliki perasaan percaya, persatuan

dan kesatuan, berpikir dan seluruh sistem dari sistem membuat orang

disebutkan juga sebagai pribadi yang unik (Risnah & Irwan, 2021).

39
b. Lingkungan

Keutuhan individu dapat dilengkapi oleh lingkungan. Lingkungan dibagi

menjadi 2 di antaranya:

1) Lingkungan internal

Aspek fisiologi dan patofisiologi yang digabungkan dari individu dan

tetap berbeda oleh lingkungan eksternal. Lingkungan internal merupakan

sebuah integrasi pada sebuah kegunaan tubuh yang serupa dengan

homeorhesis dibandingkan dengan homeostasis, serta merupakan bentuk

energi yang patuh dengan tantangan dari lingkungan eksternal.

2) Lingkungan eksternal

Lingkungan persepsi, operasional, dan konseptual merupakan bagian dari

Lingkungan eksternal. Lingkungan persepsi merupakan suatu lingkungan

yang menjadi salah satu bagian dari lingkungan eksternal, yang

melibatkan organ-organ indra pada seseorang seperti, cahaya, suara suhu,

sentuhan, serta segala perubahan kimia yang terasa atau berbau, hingga

rasa pada posisi dan keseimbangan.Salah satu dari bagian lingkungan

eksternal adalah lingkungan operasional, yang melakukan sebuah

hubungan dengan jaringan hidup walaupun individu tidak mampu

merekam sebuah faktor dan juga pada semua bentuk radiasi,

mikroorganisme dan polutan, hal tersebut disebabkan karena suatu

individu tidak memiliki organ perasa yang dapat mereka gunakan.

Salah satu bagian dari lingkungan eksternal yakni lingkungan konseptual

40
mencakup bahasa, simbol, ide, serta konsep dan penemuan. Selain itu

juga mencakup kemampuan berpikir dan pengalaman emosi, sistem nilai,

pertukaran bahasa, keyakinan agama, etnis dan tradisi budaya, serta

psikologi individu yang diambil dari pengalaman hidup.

c. Kesehatan

Pola perubahan adaptif mencakup sehat dan sakitnya seseorang. Suatu

persatuan dan kesatuan dan “merupakan adaptasi sebuah keutuhan dan

kesuksesan” diartikan sebagai sebuah kesehatan tersirat. Meningkatkan

kesehatan merupakan salah satu dari tujuan keperawatan. Levine

mengemukkan pemahaman tentang arti kesehatan sebagai: "jalan kembali ke

kegiatan sehari-hari yang dikompromikan oleh kesehatan yang buruk. Hal ini

tidak hanya cedera yang diperbaiki tetapi oleh dirinya sendiri. Ini bukan hanya

penyembuhan bagian tertindas. Ini agak kembali ke diri sendiri, dimana dapat

menyisihkan perambahan kecacatan dan individu bebas tanpa kendala untuk

mengejar sekali lagi atau kepentingannya sendiri". Selain itu ia juga

menjelaskan pengertian dari sebuah penyakit yaitu "tidak diatur dan tidak

disiplin berubah dan harus dihentikan atau kematian yang akan terjadi"

(Risnah & Irwan, 2021).

d. Perawatan

Perawatan terlibat dalam interaksi kemanusiaan. Mempromosikan adaptasi

dan memelihara keutuhan (kesehatan) merupakan salah satu dari tujuan

keperawatan. Telah dipaparkan sebelumnya, cara dimana orang dan

41
lingkungan menjadi kongruen dari waktu ke waktu merupakan pembahasan

dari Levine yaitu Model Konservasi. Hal itu merupakan pemahaman bahwa

adanya kesulitan pada waktu dan ruang memungkinkan terjadinya berbagai

tingkatan molekul, fisiologis, emosi, psikologis dan sosial merupakan hasil

dari konservasi yang merupakan respon adaptif spesifik. ada tiga faktor yang

mendasari pendapat diatas di antaranya historisitas, spesifisitas dan

redundansi.

2. Teori Levine dan Proses Keperawatan

Dikemukakan pada teori perawat Levine bahwa teorinya pada umumnya

sama dengan beberapa elemen pada proses perawatan. Dia berpendapat bahwa

seorang perawat harus selalu mengobservasi pasien, melakukan intervensi yang

berkaitan serta yang sesuai dengan perancanaan dan evaluasi. Hal tersebut

didasarkan untuk membantu pasien kedepannya. Selain itu, dia berpendapat

untuk perawatan pasien, perawat dan pasien dituntut untuk saling berinteraksi.

Levine berpendapat dalam teorinya, seorang pasien harus dilihat dari segi

ketergantungan, hingga kemampuan pasien yang terbatas untuk membantu dalam

pengumpulan data, tahap perencanaan, implementasi atau semua fase dari proses

ketergantungan. Agar dapat beradaptasi untuk gangguan kesehatannya, pada

dasarnya semua pasien sangat membutukan bantuan dari perawat. Perawat

dituntut untuk dapat bertanggung jawab untuk melihat kemampuan partisipasi

pasien. Pada fase pengkajian, ada dua metode yang akan diterapkan dalam

mengkaji klien yaitu metode interview dan metode observasi dari semua hal

42
tersebut disimpulkan bahwa peran perawat yaitu dapat membantu pasiennya

dalam segala hal untuk mencapai sebuah tujuan yaitu kesehatan pasien.

Pada dasarnya pengkajian yang dilakukan akan berfokus pada klien,

keluarga, anggota lainnya, ataupun segala hal yang akan mereka jelaskan itu

bertujuan utuk mendapatkan sebuah solusi dari sebuah permasalahan terkait

kesehatan dari klien tersebut. Dalam menghadapi lingkungan eksternal, hal ini

akan membantu pada kesiapan klien tersebut. Dikemukakan oleh Levine, bahwa

bila salah satu dari anggota keluarga klien ingin membuat suatu kesepakatan

maka yang harus menjadi sasaran sebuah pengkajian adalah keluarga tersebut.

Untuk pengkajian menyeluruh, empat prinsip pada teori Leviene akan dijadikan

pedoman pengkajian oleh perawat.

Keseimbangan energi pasien dan pemeliharaan integritas pasien merupakan

hal yang harus selalu diperhatikan oleh perawat. Fungsi dari beberapa sistem

tubuh, emosi, stress dan pola kerja seperti nutrisi, istirahat (tidur), waktu luang,

pola koping, hubungan dengan anggota keluarga/orang lain, pengobatan,

lingkungan dan penggunaan energi merupakan sumber energi yang perlu direkap

secara keseluruhan oleh perawat setelahnya. Data terkait integritas struktur

pasien juga harus diperhatikan seperti, pertahanan tubuh, struktur fisik, integritas

personal juga harus diperhatikan termasuk tentang keunikan, nilai, kepercayaan

dan integritas sosial yang terkait sutau proses pengambilan keputusan dari pasien,

interaksi yang dilakukan pasien dengan orang lain serta senang atau tidaknya

pasien dikaitkan dengan orang lain.

43
Selanjutnya setelah memperoleh seluruh data tentang klien, langkah

selanjutnya yaitu perawat akan melakukan analisis terkait data yang telah

diperoleh sebelumnya. pada empat area pengkajian (prinsip konservasi), analisis

ini akan menggambarkan keseimbangan dan kelemahan dari diri klien. selain itu

pengumpulan data yang lebih banyak akan membantu perawat melakukan

analisis yang lebih terperinci. Untuk menganalisis sebuah data, sebuah konsep

dan teori dari beberapa disiplin akan memiliki penekanan yang sama. sehingga

untuk tujuan akhirnya akan dimasukkan pada fase perencanaan. Kualitas dari

aktivitas klien dan perawat ditekankan pada proses perawatan. Untuk itu, levine

mengatakan tujuan akhir tidak hanya secara khusus untuk menekankan

kebutuhan. Secara menyeluruh tujuan harus menggambarkan sebuah usaha untuk

membantu klien dapat beradaptasi hingga dapat memiliki kondisi yang sehat.

Pada tahap perencanaan, perawat menentukan tujuan berikut:

a. Perlunya memilih sebuah strategi yang akan digunakan untuk perencanaan

b. Memilih tingkat perencanaan yang dapat ditingkatkan pengembangannya,

sehingga suatu tujuan dapat tercapai.

Dalam Peryataannya, Levine menegaskan bahwa seorang perawat dituntut

untuk memiliki ilmu tentang dasar pengetahuan praktek. Selain itu, seorang

perawat juga harus mengetahui tentang tahapan untuk melakukan sebuah

perencanaan perawatan seperti berdasarkan pada prinsip, hukum, konsep, teori

dan pengetahun tentang diri manusia. Kemampuan pertisipasi klien harus lebih

dipahami oleh perawat guna untuk mengembangkan sebuah perencanaan

44
perawatan. Selain itu, mengidentifikasi tingkat partisipasi klien juga diperlukan

dalam perencanaan. Pada fase ini, jika ada hal yang kurang dipahami oleh

perawat, mereka bisa saling bertukar informasi dengan tim kesehatan lainnya.

Implementasi merupakan sebuah proses tindakan yang dilakukan perawat.

Selama fase perencanaan respon klien merupakan hal yang diawasi oleh perawat.

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan digunakan perawat untuk fase

selanjutnya yaitu evaluasi. Selanjutnya pada fase evaluasi tugas utama perawat

yaitu memberikan perawatan pada klien sesuai dengan hasil data yang mereka

kumpulkan sebelumnya untuk menghindari terjadinya kesalahan selama proses

perawatan.

Pernyataan teori Myra Levine:

a. Dalam melakukan pelaksanaan intervesi keperawatan perawat dituntut untuk

memiliki skill.

b. Hasil dari intervensi perawat yaitu memudahkan klien untuk beradaptasi

dengan keadaan.

c. Pada tahapan evaluasi keperawatan, perawat akan berfokus pada respon dari

klien sebagai dasar dalam melakukan tindakan keperawatan.

d. Data yang telah diperolah oleh perawat dari respon klien bertujuan menetukan

intervesi perawatan mengenai pengobatan atau support yang harus mereka

gunakan.

e. Dalama teori yang Levine paparkan sering berfokus pada orang per orang,

yang akan digunakan baik untuk masa sekarang maupun dimasa depan, serta

45
pada klien yang memiliki gangguan kesehatan mereka akan membutuhkan

intervensi perawatan.

3. Teori yang dikemukakan

Pada model yang dikembangkan oleh Levine lebih beriorientasi pada pasien

(individu) dianggap mahkluk holistik dan peran perawat untuk menjaga agar

tetap menjaga keutuhan seseorang (person’s wholeness). Seorang klien adalah

makhluk hidup yang terintegrasi serta dapat beradaptai terhadap lingkungan

merupakan pandangan pada model konsep Myra Levine. Suatu kegiatan yang

bersifat konservasi dan konservasi energi yang akan menjadi sebuah

pertimbangan kedepanya disebut sebagai intervensi keperawatan. Selain itu

Levine juga berpendapat bahwa sehat dapat kita pastikan melalui konservasi

energi. Pada dasarnya dalam ilmu keperawatan terdapat tempat konservasi yang

dibagi menjadi empat bagian diantaranya integritas personal, energy klien,

struktur integitas, dan integritas sosial. Oleh karena itu, pendekatan asuhan

keperawatan lebih terfokus pada sumber kekuatan klien yang lebih optimal.

4. Konsep Dasar Model Konservasi Levine

Myra Levine telah merumuskan sebuah teori keperawatan pada tahun 1966,

namun baru dapat dipublikasikan sekitar 7 tahun kemudian yaitu pada tahun

1973, teorinya memaparkan bahwa seorang klien adalah makhluk hidup yang

yang mengalami integrasi dan saling melakukan interaksi serta dapat berdaptasi

dengan lingkungannya. Selain itu, Levine juga mengatakan bahwa intervesi

keperawatan adalah bagian dari aktivitas konservasi, pertimbangan sehat

46
tidaknya seseorang dapat dilihat pada konservasi energinya.

Pada model konservasi Levine, menggunakan prinsip bahwa kesehatan dan

penyembuhan klien berfokus pada pelestarian energinya. Berikut ini dipaparkan

empat prinsip konservasi yang telah diterapkan Levien pada model konservasi

keperawatan.

a. Konservasi Energi

Keseimbagan energi pada makhluk individu sangat dibutuhkan, selain itu

memperbarui energi secara terus menerus juga dilakukan agar dapat terus

meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu, konservasi energi sangat perlu

digunakan selama praktek keperawatan (Risnah & Irwan, 2021).

b. Konservasi Integritas Struktur

Sebuah proses pergantian yang bersumber pada integritas struktur disebut

penyembuhan. Perubahan fungsi dan intervensi sangat dibutuhkan untuk

dipahami oleh perawat agar dapat memberi batasan pada jumlah jaringan yang

terlibat dengan penyakit.

c. Konservasi Integritas Personal

Seorang pasien yang dipanggil dengan menyebut namanya akan dapat terlihat

lebih dihargai oleh perawat. Proses nilai personal yang memberikan privasi

terhadap klien selama perawatan dapat diartikan sebagai sikap menghargai.

d. Konservasi Integritas Sosial

Kehidupan dapat dipahami sebagai interaksi sosial yang ada dalam kehidupan,

sedangkan kesehatan adalah keadaan sosial yang telah ditentukan. Untuk itu,

47
peran perawat dibutuhkan agar dapat memberikan kebutuhan yang diperlukan

sebuah keluarga, kehidupan religious dan hubungan interpersonal unutk

koservasi integritas sosial juga harus diperhatikan.

5. Konsep Utama dari Model Konservasi

a. Wholeness (Keutuhan)

Levine menyatakan bahwa “interaksi terus-menerus dari organisme

individu dengan lingkungannya merupakan sistem yang ‘terbuka dan cair’,

dan kondisi kesehatan, keutuhan, terwujud ketika interaksi atau adaptasi

konstan dengna lingkungan, memungkinkan kemudahan atau jaminan

integritas di seluruh dimensi kehidupan”.

Erikson mengatakan bahwa’’sistem terbuka dianggap sebagai wholeness

yaitu keutuhan yang menekankan pada suara, organik, mutualitas progresif

antara fungsi yang beragam dan bagian-bagian dalam keseluruhan serta batas-

batas yang terbuka” (Risnah & Irwan, 2021).

b. Adaptasi

Adaptasi adalah suatu proses yang dihadapi oleh individu untuk

mempertahankan integritas individual terhadap lingkungan baru yang mereka

hadapi baik dari segi eksternal maupun internalnya adapun hasil dari adaptasi

disebut dengan konservasi. Secara umum, adaptasi yang dilakukan oleh

individu dapat dianggap baik dan berhasil, namun ada pula beberapa yang

kadang tidak dapat melakukannya.

Menurut Levine ada 3 karakter yang harus diperhatikan dalam

48
beradaptasi diantaranya, historis, specificity, dan redundancy. Menurut Levine

keberhasilan dalam beradaptasi pada suatu lingkungan yang menujukkan

adaptasi historis dan specificity dipengaruhi oleh pola respon individu. Selain

itu, kode genetik individu dapat menutupi pola adaptasi suatu individu.

Redundancy mendeskripsikan bahwa terdapat pilihan kegagalan yang

terselamatkan dari suatu individu yang sedang beradaptasi. Pada saat

kehilangan redundancy terdapat beberapa pilihan diantaranya melalui trauma,

umur, penyakit, maupun kondisi suatu lingkungan yang menyebabkan

individu tidak dapat melaluinya.

c. Lingkungan

Menurut pandangan Levine, setiap individu mempunyai kehidupannya

masing-masing baik pada lingkungan internal maupun pada lingkungan

eksternal. Dalam aspek fsikologis dan patofisiologis perawat dituntut agar

dapat menghubungkan aspek tersebut dengan lingkungan internal individu,

kemudian lingkungan eksternal juga dikatakan sebagai level persepsi,

opsional dan konseptual. Dalam level perseptual dapat dilihat dari segi

kemampuan menangkap dan menafsirkan lingkungan (dunia) dengan organ

indra. Sedangkan level operasional yaitu segala sesuatu baik yang tidak dapat

mereka persepsikan secara langsung seperti mikroorganisme, namun dapat

mempengaruhi mereka secara fisiologi. Selanjutnya dalam konseptual level,

pola budaya membentuk sebuah lingkungan baru, ditandai dengan hadirnya

rasa spiritualitas, dan ditengahi oleh simbol bahasa, pikiran dan pengalaman.

49
d. Respon organisme

Respon organisme merupakan suatu hal yang dilakukan oleh individu dalam

beradaptasi dengan lingkungannya, yang terdiri dari fight atau flight, respon

inflamasi, respon terhadap stress, serta kewaspadaan persepsi.

1) Fight-flight adalah bersifat nyata ataupun tidak nyata, menjadi sebuah

respon ketakutan yang terjadi melalui sebuah reaksi untuk melakukan

serangan ataupun menghindari serangan dan terjadi secara tiba-tiba.

Respon tersebut merupakan penyampaian bahwa individu diharuskan

selalu waspada hingga rasa aman dan sejahtera dapat dirasakan.

2) Respon inflamasi (peradangan) adalah sebuah bentuk pertahanan untuk

melindungi diri dari sebuah lingkungan yang dapat menghancurkan atau

menyebabkan kerusakan. Respon ini dijadikan sebagai proses

penyembuhan diri. Sedangkan respon individu merupakan penggunaan

energi sistemik yang tersimpan dalam diri untuk menghlangkan segala hal

yang merugikan, sehingga kontrol lingkungan sangat diperlukan dalam

hal ini.

3) Respon terhadap stress menyebabkan terjadinya respon defensif dalam

sebuah perubahan yang tidak spesifik pada individu, perubahan struktural

dan hilangnya energi selama proses beradaptasi. Proses ini tejadi bertahap

hingga rasa lelah dapat dirasa, dipaparkan dengan sebuah pengaruh yang

terjadi pada pasien terhadap pelayanan keperawatan.

4) Kewaspadaan perceptual merupakan kesadaran persepsi dihasilkan dari

50
respon sensori, sebuah informasi serta pengalaman yang telah dilalui oleh

individu akan diterima secara utuh jika hal itu bermanfaat, pertukaran

energi akan terus terjadi baik dari individu ke lingkungan maupun dari

ingkungan ke individu. Kewaspadaan perceptual individu sangat

mempengaruhi respon yang akan terjadi, hal itu akan terjadi jika individu

berada di lingkungan baru sehingga mereka akan mengumpulkan sebuah

informasi dengan tujuan mempertahankan trophicognosis. Menurut

Levine, trophicignosis sangat direkomendasikan untuk digunakan sebagai

alternatif untuk melakukan diagnosa dalam keperawatan. Hal ini

bertujuan untuk penentuan rencana keperawatan yang bersifat metode

ilmiah.

5) Konservasi Levine mengemukakan bahwa model konservasi merupakan

inti ataupun dasar dari teorinya. Kenservesi merupakan sistem yang

kompleks yang akan meneruskan fungsi jika tantangan buruk terjadi.

Selain itu, konservasi juga dapat diartikan juga sebagai suatu individu

yang dapat melakukan konfrontasi serta beradaptasi dengan tujuan

mempertahankan keunikannya.

D. Aplikasi Teori Keperawatan Konservasi Levine pada Asuhan Keperawatan

Anak dengan Respiratory Distres Syndrom (RDS)

Terdapat beberapa proses keperawatan yang diterapkan Levine dengan

menggunakan pemikiran kritis (Risnah & Irwan, 2021). Aplikasi model konservasi

levine dalam asuhan keperawatan anak dengan respiratory distress syndrom (RDS),

51
dimulai dari tahap pengkajian yang meliputi identitas umum, lingkungan internal,

lingkungan eksternal, pengkajian konservasi (konservasi energi, konservasi integritas

struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial). Tahap

berikutnya dilanjutkan dengan menetapkan diagnosa (trophicognosis), menyusun

intervensi (hipotesis), mendokumentasikan implementasi dan mendokumentasikan

evaluasi.

1. Pengkajian

Penggunaan prinsip konservasi dapat digunakan untuk mengumpulkan data

penunjang dengan metode observasi dan wawancara. Perawat melakukan

observasi dengan mengamati penyakit dengan melihat respon organisme,

menganalisa catatan medis, evaluasi hasil diagnosa serta melakukan interaksi

dengan pasien terhadap keutuhannya. Hal ini dilakukan melalui prinsip konservasi

perawat dengan melakukan pengkajian terhadap lingkungan ekternal serta

lingkungan internal pada pasien.

a. Pengkajian lingkungan internal pada anak dengan respiratory distres syndrom

diperoleh dari data yakni:

1) Alasan masuk RS

2) Faktor pencetus

3) Keluhan utama klien dengan respiratory distres syndrom adalah takipnea

4) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah

5) Diagnosa medik

b. Pengkajian lingkungan eksternal perseptual pada anak dengan respiratory

52
distres syndrom diperoleh dari data yakni:

1) Riwayat kesehatan dahulu

Penyakit diarahkan pada waktu sebelumnya, dilihat dari berbagai faktor

pencetus RDS yaitu faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor

persalinan. Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20

tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi

rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu

pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,

dan lain-lain. Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan

plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada

tempatnya. Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung,

tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,

gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain. Faktor

persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain

2) Lingkungan

Karakteristik rumah (yang berisiko terhadap kesehatan) (jelaskan keadaan

rumah, terutama yang membahayakan kesehatan seperti sirkulasi udara,

sinar matahari, tangga, lantai yang licin,

3) Praktik budaya yang mempengaruhi kesehatan (misalya pantangan dan

tindakan yang membahayakan ibu dan janin).

4) Fasilitas kesehatan yang tersedia (fasilitas kesehatan di sekitar rumah atau

yang biasa dimanfaatkan keluarga seperti Puskesmas, dokter praktik dan

53
RS).

5) Riwayat Kesehatan Keluarga (Penyakit yang pernah atau sedang diderita

oleh keluarga baik berhubungan/tidak berhubungan dengan penyakit yang

diderita klien), gambar genogram dengan ketentuan yang berlaku (symbol

dan 3 generasi).

c. Pengkajian yang berkaitan dengan konservasi energi pada anak dengan

respiratory distres syndrom diperoleh dari data:

1) Status nutrisi dan cairan (sebelum dan selama sakit)

mual, muntah karena terjadi peningkatan rangsangan gaster dari dampak

peningkatan toksik mikroorganisme.

2) Eliminasi (BAB, BAK sebelum dan selama sakit)

Penderita mengalami penurunan produksi urin akibat perpindahan cairan

karena demam.

3) Istirahat dan tidur (sebelum dan selama sakit)

Data yang muncul adalah pasien kesulitan tidur karena sesak nafas.

Penampilan lemah, sering menguap, dan tidak bisa tidur di malam hari

karena ketidaknyamanan tersebut.

4) Aktivitas bermain (sebelum dan selama sakit)

Aktiivitas menurun dan terjadi kelemahan fisik

5) Kebersihan diri

Kebersihan selalu di lakukan dibantu orangtua atau pun perawat dalam

ruangan, namun terbatas karena klien dengan sesak nafas atau batuk

54
belum dapat melakukan aktivitas secara mandiri.

d. Pengkajian kemampuan konservasi integritas struktur pada anak dengan

respiratory distres syndrom didapatkan dari data:

1) Keadaan umum dan kesadaran

Keadaan umum klien dengan respiratory distres syndrom dapat dilakukan

dengan menilai keadaan fisik bagian tubuh, yakni mengalami kelemahan

fisik dengan kesadaran penuh dan bisa sampai mengalami penurunan

kesadaran.

2) Tanda-tanda vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasien respiratory distres syndrom

biasanya mengalami peningkatan frekuensi pernafasan

3) Pengukuran antropometri

Pengukuran antropometri pada anak meliputi: berat badan, panjang

badan, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar perut dan lingkar lengan.

4) Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)

Pemeriksaan fisik meliputi:

a) Kepala

Inspeksi: bentuk dan kesimetrisan, kebersihan rambut dan kulit kepala,

adanya lesi atau tidak, penyebaran rambut.

Palpasi: benjolan (ada/tidak), nyeri tekan (ada/tidak), tekstur rambut.

b) Mata

Palpebra (edema/tidak, radang/tidak), sclera (icterus/unikterik),

55
conjungtiva (radang/tidak, anemis/pink), pupil (isokor/anisokor,

myosis/midriasis, refleks pupil terhadap cahaya, refleks kornea), posisi

mata, gerakan bola mata, penutupan kelopak mata, kemampuan visual.

c) Hidung

Bentuk, struktur, perforasi septum, secret/cairan.

d) Telinga

Posisi telinga, ukuran/bentuk telinga, aurikel, lubang telinga

(bersih/serumen/nanah), pemakaian alat bantu, pemeriksaan uji

pendengaran (rinne, weber, swabach).

e) Mulut

Gigi (keadaan gigi, karang gigi/karies, gigi berlubang), gusi

(normal/edema), lidah (mikroglosia/makroglosia/glosoptosis), mukosa

mulut (lembab/kering), tonsil (normal/bengkak), palatum

(labiopalatoskisis/tidak), pengeluaran saliva berlebihan (ada/tidak).

f) Laring

Obstruksi pada laring (ada/tidak)

g) Pemeriksaan paru

Inspeksi: bentuk dada dan gerak pernapasan. Pada klien dengan

Respiratory Distress Syndrom (RDS) sering ditemukan peningkatan

frekuensi napas cepat dan dangkal. Napas cuping hidung dan sesak

berat.

56
h) Jantung

Inspeksi : denyut apek

Perkusi: pembesaran, suara.

Auskultasi: BJ I, BJ II, BJ III, bunyi jantung tambahan.

i) Abdomen

Inspeksi: ukuran dan bentuk, lesi/luka post operasi, stoma

Auskultasi: peristaltik usus (x/menit)

Perkusi: tympani/redup

Palpasi: organ hati, limpa, ketegangan dinding perut, turgor kulit.

j) Pemeriksaan genetalia

Laki-laki: ukuran, bentuk penis (hipospadi/epispadia/normal),

peradangan, testis, fimosis.

Perempuan: labia minora tertutup oleh labia mayora, lubang uretra dan

vagina terpisah, kebersihan vagina.

k) Pemeriksaan anus

Adanya luka post op (ada/tidak), kebersihan, anus (ada/tidak).

l) Pemeriksaan tulang belakang dan ekstremitas atas dan bawah

Kelainan tulang belakang (lordosis/kifosis/skoliosis), spasme otot

(ada/tidak), paralysis (ada/tidak), atropi/hipertropi, kontraktur,

kelemahan/kelumpuhan, polidaktil, clubbing finger, CRT.

m)Pemeriksaan kulit

Turgor kulit (kencang/lembek), warna kulit (sianosis/ikterus),

57
kelembaban, penyakit pada kulit.

5) Pemeriksaan tingkat perkembangan

Kemandirian dan bergaul, motorik halus, kognitif dan bahasa, motorik

kasar.

6) Data tambahan (pemeriksaan penunjang)

Hasil laboratorium, rontgen, USG.

7) Terapi medis (pengobatan)

e. Pengkajian konservasi integritas personal pada anak dengan Respiratory

Distress Syndrom (RDS) didapatkan dari data:

1) Identitas diri

2) Harga diri

3) Stress dan koping

Ungkapan perasaan klien (pasien anak dengan Respiratory Distress

Syndrom (RDS) yang belum dapat mengungkapkan perasaan) sehingga

respon yang dapat diamati yakni keadaan anak yang dilihat secara

objektif yakni gelisah, sering menangis, dan tenang jika orangtua anak

tersebut menemani, bernyanyi atau berdoa disamping anaknya.

Pemeriksaan klasifikasi resiko jatuh klien, atau mencabut alat misalnya

OTT atau intravena line (IV). Integritas personal orangtua klien diperoleh

dari data: perasaan orangtua terhadap kondisi anaknya, dan persepsi

orangtua terhadap sakit Respiratory Distress Syndrom (RDS) yang

diderita anaknya.

58
f. Pengkajian konservasi integritas sosial pada anak dengan Respiratory Distress

Syndrom (RDS) didapatkan dari data:

1) Pembawaan secara umum

2) Hubungan dengan anggota keluarga

3) Support keluarga

4) Hubungan dengan teman sebaya

5) Harapan keluarga terhadap tindakan petugas kesehatan

Interaksi orangtua terhadap anaknya, interaksi keluarga lainnya terhadap

anak, hubungan klien dengan keluarga (Subakti, 2012).

2. Tropihicognosis / Masalah Keperawatan

Pada diagnosa keperawatan fakta provokatif sering digunakan dalam

pengambilan keputusan. Fakta provaktif menujukkan segala hal kemungkinan

yang terjadi pada pasien dan disusun sedemikian rupa. Dari hal tersebut akan

diambil sebuah keputusan terkait pertolongan apa saja yang harus diberikan

kepada pasien. Tropihicognosis merupakan istilah lain dalam pengambilan

keputusan tersebut (Risnah & Irwan, 2021).

Berdasarkan hasil pengkajian terhadap kemampuan klien anak dengan

Respiratory Distress Syndrom (RDS) yang mengalami masalah oksigenasi dengan

mempertahankan konservasi energi, konservasi integritas struktur, konservasi

integritas personal, konservasi integritas sosial, maka dapat dirumuskan beberapa

masalah keperawatan berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia

(SDKI):

59
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (masalah konservasi integritas struktur).

Bersihan jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk membersihkan

sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap

paten.

b. Pola napas tidak efektif (masalah konservasi integritas struktur)

Pola napas tidak efektif adalah inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak

memberikan ventilasi adekuat.

c. Gangguan pertukaran gas

3. Hipotesis

Hipotesis membantu dalam memenuhi suatu kebutuhan dan promosi adaptasi

dengan tujuan mengarahkan intervensi keperawatan. Hasil dari keputusan

keperawatan, perawat akan melakukan validasi terkait masalah yang terjadi pada

pasien, kemudian memaparkan tentang hipotesis yang diambil terkait masalah

serta memberikan solusi. Hal ini merupakan salah satu dari rencana keperawatan.

Hipotesis terdiri dari tujuan dan rencana keperawatan.

a. Bersihan jalan napas tidak efektif

Hipotesis:

Kemampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk

mempertahankan jalan napas tetap paten meningkat.

Kriteria hasil:

1) Batuk efektif meningkat

2) Produksi sputum menurun

60
3) Mengi menurun

4) Wheezing menurun

5) Dispnea menurun

6) Ortopnea menurun

7) Saturasi oksigen : 95-100%\

8) Gelisah menurun

9) Frekuensi napas membaik

10) Pola napas membaik

b. Pola napas tidak efektif

Hipotesis:

Inspirasi dan/atau ekspirasi yang memberikan ventilasi adekuat membaik.

Kriteria hasil:

1) Tekanan ekspirasi meningkat

2) Tekanan inspirasi meningkat

3) Dispnea menurun

4) Penggunaan otot bantu napas menurun

5) Pernafasan cuping hidung menurun

6) Frekuensi napas membaik

7) Kedalaman napas membaik.

c. Gangguan pertukaran gas

Hipotesis:

Gangguan pertukaran gas membaik

61
Kriteria hasil:

1) Dispnea menurun

2) Bunyi napas tambahan menurun

3) Napas cuping hidung menurun

4) PCO2 membaik

5) PO2 membaik

6) Takikardi membaik

7) Ph arteri membaik

8) Warna kulit membaik

9) Pola nafas membaik

10) Sianosis membaik

4. Intervensi

Dalam melakukan uji hipotesis, perawat akan mendapat arahan untuk melakukan

perawatan. Hal tersebut merupakan salah satu tujuan dari hipotesis untuk

dilakukan oleh perawat. Intervensi ini akan dilakukan berdasarkan pedoman

konservasi. Beberapa prinsip konservasi yang diterapkan selama intervensi

diantaranya konservasi struktur, energi, personal dan sosial. Pada pendekatan ini

dituntut agar dapat menjaga keutuhan dan promosi adaptasi.

Berikut rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan pada pasien dengan

Respiratory Distress Syndrom (RDS):

a. Bersihan jalan napas tidak efektif

Latihan batuk efektif (I.01006)

62
Observasi

1) Identifikasi kemampuan batuk

2) Monitor adanya retensi sputum

3) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas

4) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

5) Auskultasi bunyi napas

Terapeutik

1) Atur posisi semi fowler atau fowler

2) Berikan minum hangat

3) Lakukan terapi posisi quarter prone dan nesting

4) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

5) Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif

2) Ajarkan teknik batuk efektif

3) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang ke-3

Kolaborasi

1) Pemberian bronkodilator, mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

b. Pola napas tidak efektif

Pemantauan Respirasi (I.01014)

Observasi

1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upayanapas

63
2) Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul,

cheyne-stokes, biot,ataksik)

3) Monitor kemampuan batuk efektif

4) Monitor adanya produksi sputum

5) Monitor adanya sumbatan jalan napas

6) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

7) Auskultasi bunyinapas

8) Monitor saturasi oksigen

9) Monitor nilai AGD

10) Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

1) Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

2) Lakukan pemberian posisi quarter prone dan nesting

3) Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

1) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

5. Evaluasi

Evaluasi menurut teori konservasi levine merupakan tindakan observasi yang

dilakukan pada respon individu terhadap hasil intervensi yang telah diberikan.

Evaluasi akan dilakukan setelah hasil uji hipotesis telah didapatkan, tujuannya

untuk melakukan kajian terhadap respon individu terkait hipotesis yang telah

64
dilakukan berhasil atau tidak.

E. Analisis EBN (Evidence Based Nursing)

Evidance Based Nursing (EBN) pada studi kasus ini adalah pemberian posisi

quarter prone dan nesting pada pasien anak prematur dengan respiratory distress

syndrom (RDS).

Berikut analisis jurnal terkait pemberian posisi prone dan nesting

menggunakan metode PICOS:

Tabel. 2
Analisa PICOS
Judul Pemberian Posisi (Positoning) dan nesting pada Bayi Prematur: Evaluasi
Implementasi Perawatan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU)
Penulis Defi Efensi, Dian Sari, Yanti Riyantini, Novardian, Dian Anggur, Pipit
Lestari
Tahun 2019
Problem Problem:
Pengaturan posisi tidur pada bayi baru lahir merupakan peran perawat
Populasi neonatus dalam mem-berikan perawatan rutin sehari-hari. Pengatur-an posisi
Patient khususnya pada bayi prematur bu-kanlah hal yang mudah. Kesalahan
pemberian posisi dapat berakibat pada perubahan status fisiologis
(peningkatan laju pernapasan, freku-ensi nadi, dan penurunan saturasi
oksigen), gangguan kenyamanan dan kualitas tidur, in-toleransi minum,
deformitas sendi panggul, dan perdarahan pada otak. Sebaliknya, pemberian
posisi yang tepat dapat meningkatkan kualitas tidur bayi dan meningkatkan
keluaran klinis berupa peningkatan fungsi paru dengan optimalisasi strategi
pernapasan melalui positioning pada bayi prematur yang sedang dirawat di
unit khusus maupun intensif yang ditunjukkan dengan peningkatan SaO 2 dan
volume tidal lebih tinggi
Intervention Meletakan kain 1 yang sudah digulung pada bagian satu sisi bayi,
memposisikan bayi miring kanan/ kiri sesuai kebutuhan bayi,
Memposisikan sisi bagian kepala diatas gulungan kain, secara berbarengan
memposisikan tangan dan kaki kanan atau kiri seperti memeluk guling,
namun posisi bayi hampir seperti prone (tengkurap). Tangan bayi fleksi
dan sedekat mungkin dengan mulut, dan kaki sedekat mungkin dengan

65
perut. Selanjutnya berikan kain ke-2 yang sudah digunulung melingkari
bagian kaki membentuk “U”.
Comparisson Dalam penelitian ini membandingkan dengan posisi lainnya seperti posisi
supinasi, posisi pronasi, dan posisi lateral.
Outcomes Posisi pronasi dan quarter/semi-pronasi merupakan posisi yang
direkomendasikan untuk bayi prematur dengan RDS. Posisi lateral kanan
direkomendasikan untuk bayi prematur dengan GER. Posisi supinasi
merupakan alternatif ter-akhir pemberian posisi pada bayi prematur de-ngan
kontraindikasi posisi pronasi, quarter/ semi-pronasi, dan lateral.
Studi Desain Desain penelitian menggunakan literatur review.

F. Standar Operasional Prosedur (SOP)

Tabel. 3
Standar Operasional Prosedur (SOP) Posisi Quarter Prone.

Pengertian Posisi pronasi atau tengkurap merupakan posisi tidur bayi dengan
keadaan kepala bayi dimiringkan ke arah satu sisi baik kanan
maupun kiri dengan lengan ditekuk pada dada bayi dan lutut bayi
menempel pada dada bayi. Posisi pronasi dapat membuat ventilasi
di dalam paru-paru menjadi tidak tergantung sehingga dapat
meningkatkan saturasi oksigen, (Gomes et al., 2019). Sementara
posisi quarter prone adalah merubah posisi klien berbaring semi
tengkurap.
Tujuan 1. Untuk memperbaiki oksigenasi dan mekanisme pernapasan
yang dapat menyebabkan inflasi alveolar dan ventilasi
2. Peningkatan volume paru – paru
Indikasi 1. Bayi prematur dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS)
2. Memperbaiki serapan ASI melalui OGT
Kontra Indikasi 1. Bayi post operasi thoraks dan atau abdomen
2. Bayi dengan Intraventricular hemorrhage (IVH).
Pre 1. Cek catatan keperawatan atau catatan medis klien
Interaksi 2. Siapkan alat-alat (respiratori rate timer, pulse oximeter dan
thermometer)
3. Cuci tangan
Tahap 1. Beri salam pada keluarga bayi.
Orientasi 2. Jelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada keluarga
3. Berikan kesempatan keluarga bertanya sebelum kegiatan

66
dilakukan
4. Jaga privasi bayi. Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang
Prosedur 1. Melakukan pengukuran suhu tubuh dengan termometer,
(Tahap Kerja) frekuensi pernapasan, frekuensi nadi dan saturasi oksigen
menggunakan pulse oximeter.
2. Siapkan linen/ kain panel sebanyak 2 buah
3. Gulung masing-masing kedua kain menjadi kecil
4. hangatkan kedua tangan sebelum menyentuh tubuh bayi
5. letakan kain 1 yang sudah di gulung pada bagian satu sisi bayi
6. Posiskan bayi miring kanan atau kiri (sesuaikan kebutuhan
bayi)
7. Posisikan sisi Bagian kepala diatas gulungan kain, secara
berbarengan posisikan tangan dan kaki kanan atau kiri seperti
memeluk guling namun posisi hampir seperti prone (tengkurap)
8. Perhatikan tangan bayi fleksi dan sedekat mungkin dengan
mulut dan kaki sedekat mungkin dekat dengan perut
9. Berikan kain ke 2 yang sudah digulung melingkari bagian kaki
dengan membentuk “U”
Terminasi 1. Evaluasi hasil kegiatan (lakukan pengukuran yang kedua
terhadap RR, HR dan saturasi oksigen serta data karakteristik
anak setelah intervensi dilakukan)
2. Simpulkan hasil kegiatan
3. Kontrak pertemuan selanjutnya dengan keluarga bayi
4. Bereskan alat-alat
5. Cuci tangan
Dokumentasi 1. Catat hasil kegiatan di dalam catatan keperawatan:
a. Tindakan yang dilakukan
b. Lama tindakan
c. Reaksi selama dan setelah pemberian tindakan
d. Respon pasien

67
Tabel. 4
Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Nesting

Pengertian Nesting merupakan penyangga posisi tidur bayi agar tetap dalam
posisi fleksi, hal ini dimaksudkan untuk mencegah perubahan
posisi bayi secara drastis yang dapat mengakibatkan hilangnya
tenaga pada tubuh neonatus. Nesting terbuat dari kain bedong
bayi yang digulung sedemikian rupa kemudian diposisikan
mengelilingi tubuh bayi seperti kondisi di dalam rahim ibu,
(Rohmah et al., 2020)
Tujuan Untuk meminimalkan pergerakan bayi, memberikan rasa
nyaman, meminimalkan stress.
Manfaat Manfaat penggunaan nesting pada neonatus diantaranya adalah:
1. Memfasilitasi perkembangan neonatus
2. Memfasilitasi pola posisi hand to hand dan hand to mouth
pada neonatus sehingga posisi fleksi tetap terjaga
3. Mencegah komplikasi yang disebabkan karena pengaruh
perubahan posisi akibat gaya gravitasi.
4. Mendorong perkembangan normal neonatus.
5. Dapat mengatur posisi neonatus.
6. Mempercepat masa rawat neonatus
Indikasi 1. Neonatus (usia 0-28 hari).
2. Prematur atau BBLR
Pre 1. Cek catatan keperawatan atau catatan medis klien
Interaksi 2. Siapkan alat-alat (Bedongan bayi sebanyak 7 buah, perlak
dan selotip)
3. Cuci tangan
Tahap 1. Beri salam pada keluarga bayi
Orientasi 2. Jelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya tindakan pada
keluarga
3. Berikan kesempatan keluarga bertanya sebelum kegiatan
dilakukan
4. Jaga privasi bayi. Berikan lingkungan yang nyaman dan
tenang
Prosedur 1. Lakukan pengkajian awal pada bayi yang dirawat diruang
(Tahap Kerja) Perinatologi/NICU khususnya untuk bayi prematur dan
BBLR.
2. Pengkajian meliputi skala nyeri, TTV serta tindakan-tindakan
yang akan dilakukan.
3. Saat melakukan tindakan perhatikan keadaan umum bayi, bila
bayi dalam keadaan stress dapat ditunjukan dengan tangisan
yang melengking, perubahan warna kulit serta apnoe.

68
4. Setelah melakukan tindakan berikan sentuhan positif seperti
mengelus ataupun menggendong bayi.
5. Setelah bayi dalam kondisi tenang kemudian letakkan dalam
nesting yang sudah dibuat
6. Cara membuat nesting: Buat gulungan dari 3 bedongan
kemudian ikat kedua ujungnya sehingga didapatkan 2
gulungan bedongan dari 6 bedongan yang dipersiapkan.
Gunakan selotip untuk merekatkan sisi gulungan bedongan, 1
gulungan bedong tersebut dibuat setengah lingkaran, jadi dari
2 gulungan bedongan tersebut terlihat seperti lingkaran,
kemudian bayi diletakkan didalam nest dengan posisi fleksi
diatas kaki dibuat seperti penyangga dengan menggunakan
kain bedongan
Terminasi 1. Evaluasi hasil kegiatan (lakukan pengukuran yang kedua
terhadap RR, HR dan saturasi oksigen serta data karakteristik
anak setelah intervensi dilakukan)
2. Simpulkan hasil kegiatan
3. Kontrak pertemuan selanjutnya
4. Bereskan alat-alat
5. Cuci tangan
Dokumentasi Catat hasil kegiatan di dalam catatan keperawatan:
1. Tindakan yang dilakukan
2. Lama tindakan
3. Reaksi selama dan setelah pemberian tindakan
4. Respon pasien

69
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain

Desain karya ilmiah ini menggunakan pendekatan case study (studi kasus) yaitu

suatu pendekatan dengan melakukan penyelidikan intensif tentang individu yang

dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang

perkembangan individu yang diteliti, (Irmawartini & Nurhaedah, 2017). Studi kasus

akan dilakukan pada klien anak prematur dengan Respiratory Distress Syndrom

(RDS).

B. Penetapan Sampel

Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria

kasus anak prematur dengan respiratory distress syndrom (RDS). Sampel pada kajian

ini akan direncanakan empat pasien yang terdiri dari satu pasien dengan asuhan

keperawatan lengkap dan tiga pasien dengan resume keperawatan.

Subjek dalam penulisan karya ilmiah ini diperoleh dengan penjelasan dan

menandatangani formulir persetujuan setelah penjelasan (informed consent) dalam

pemberian asuhan keperawatan. Seluruh data dianalisis secara deskriptif dengan

menguji kesesuaian antara data subjektif dan objektif, serta menilai proses asuhan

keperawatan menggunakan pendekatan teori Konservasi Levine.

C. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Lokasi pelaksanaan studi kasus di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado dan

waktu pelaksanaan dimulai pada bulan Januari 2024 sampai dengan Februari 2024.

70
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data primer diperoleh melalui tahapan observasi, yang dapat dilihat secara

subjektif maupun objektif pada pasien anak prematur secara langsung melalui

pengkajian terkait dengan keluhan anak khususnya yang berkaitan dengan masalah

oksigenasi, kemudian wawancara terstruktur pada orangtua atau keluarga, verifikasi

secara objektif, pemeriksaan fisik. Adapun data sekunder didapatkan dari analisis

hasil dokumentasi rekam medik. Teknik pengumpulan data didapatkan melalui

instrumen berupa format pengkajian berdasarkan teori konservasi levine.

E. Etika Penelitian

Penelitian yang menggunakan objek manusia tidak boleh bertentangan dengan

etika agar hak responden dapat terlindungi, penelitian dilakukan dengan

menggunakan etika sebagai berikut:

1. Memberikan Informed Consent

Lembar persetujuan diedarkan kepada responden sebelum penelitian

dilaksanakan terlebih dahulu responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian

serta dampak yang akan terjadi selama pengumpulan data. Jika responden

bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, bila

tidak bersedia maka peneliti harus tetap menghormati hak-hak responden.

2. Anonymity (tanpa nama)

Dalam menjaga kerahasiaan identitas responden peneliti tidak

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data dan cukup

memberikan kode.

71
3. Confidentially (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dan kerahasiaan dari

responden dijamin peneliti.

72
DAFTAR PUSTAKA

AlJohani, E., Qaraqei, M., & Al-Matary, A. (2022). Estimating the neonatal length of
stay for preterm babies in a saudi tertiary hospital. Journal of Clinical
Neonatology. https://doi.org/https://doi.org/10.4103/jcn.jcn_115_19
Budiono, & Dkk. (2015). Konsep Dasar Keperawatan. Bumi Medika.
Efendi, D., Sari, D., Riyantini, Y., Novardian, N., Anggur, D., & Lestari, P. (2019).
Pemberian Posisi (Positioning) Dan Nesting Pada Bayi Prematur: Evaluasi
Implementasi Perawatan Di Neonatal Intensive Care Unit (Nicu). Jurnal
Keperawatan Indonesia, 22(3), 169–181. https://doi.org/10.7454/jki.v22i3.619
Gomes, E. L. de F. D., Santos, C. M. Dos, Santos, A. da C. S., Silva, A. G. da,
França, M. A. M., Romanini, D. S., Mattos, M. C. V. de, Leal, A. F., & Costa,
D. (2019). Respostas autonômicas de recém-nascidos prematuros ao
posicionamento do corpo e ruídos ambientais na unidade de terapia intensiva
neonatal. Revista Brasileira de Terapia Intensiva, 31(3), 296–302.
https://doi.org/10.5935/0103-507X.20190054
Irmawartini, & Nurhaedah. (2017). Metodologi Penelitian (Kemenkes RI (ed.)).
Kemenkes. (2018). LAPORAN NASIONAL RISKESDAS.
Kim, J. H., Lee, S. M., & Lee, Y. H. (2018). Risk factors for respiratory distress
syndrome in full-term neonates. Yeungnam University Journal of Medicine,
35(2), 187–191. https://doi.org/10.12701/yujm.2018.35.2.187
Lestari, P., Susmarini, D., & Awaludin, S. (2018). Quarter turn from prone position
increases oxygen saturation in premature babies with respiratory distress
syndrome. Jurnal Keperawatan Soedirman, 13(1), 38–44.
Madlinger-Lewis, L., Reynolds, L., Zarem, C., Crapnell, T., Inder, T., & Pineda, R.
(2015). Corrigendum to “The effects of alternative positioning on preterm
infants in the neonatal intensive care unit: A randomized clinical trial.” Research
in Developmental Disabilities, 41–42.
https://doi.org/10.1016/J.RIDD.2015.05.001
Marseglia, L., D’Angelo, G., Granese, R., Falsaperla, R., Reiter, R. J., Corsello, G., &
Gitto, E. (2019). Role of oxidative stress in neonatal respiratory distress
syndrome. Free Radical Biology and Medicine, 142, 132–137.
https://doi.org/10.1016/J.FREERADBIOMED.2019.04.029
Mawaddah, E., Nurhaeni, N., & Wanda, D. (2021). Aplikasi Model Keperawatan
Levine Pada Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Masalah Oksigenasi.
Jurnal Keperawatan Terpadu (Integrated Nursing Journal), 2(2).
https://doi.org/10.32807/jkt.v2i2.89
Mukhlis, H., & Marini, M. (2020). Pengaruh terapi murottal terhadap denyut nadi dan

73
pernafasan pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Indonesia Berdaya, 1(1),
29–37. https://doi.org/10.47679/ib.202015
Panada Sedianing Drastita, Hardianto, G., Fitriana, F., & Utomo, M. T. (2022).
Faktor Risiko Terjadinya Persalinan Prematur. Oksitosin : Jurnal Ilmiah
Kebidanan, 9(1), 40–50. https://doi.org/10.35316/oksitosin.v9i1.1531
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik (Edisi 1). DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Edisi 1). DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Edisi 1). DPP PPNI.
Prisilia, C., & Susilo, A. P. (2021). Manajemen Resusitasi Pada Kelahiran Prematur.
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 8(1), 37.
https://doi.org/10.30872/j.ked.mulawarman.v8i1.5739
Purwanto, A. D., & Wahyuni, C. U. (2016). Relationship Between the Age
Pregnancy, Multiple Pregnancy, Hypertension and Anemia with Incidence of
Low Birth Weight (LBW). Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(3), 384–395.
https://doi.org/10.20473/jbe.v4i3
Riskesdas Sulawesi Utara. (2018). Laporan Provinsi sulawesi utara Riskesdas 2018.
In Dinas Kesehatan Sulawesi utara.
Risnah, & Irwan, M. (2021). Falsafah dan Teori Keperawatan Dalam Integrasi
Keilmuan. In Alauddin University Press.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17880/
Rohmah, M., Saputri, N., & Bahari, J. (2020). Effectiveness Of Use Of Nesting On
Body Weight, Oxygen Saturation Stability, And Breath Frequency In
Prematures In Nicu Room Gambiran Hospital Kediri City. STRADA Jurnal
Ilmiah Kesehatan, 9(1), 119–128. https://doi.org/10.30994/sjik.v9i1.275
Rustina Yeni, Tri Waluyanti Fajar, M. (2013). Aplikasi Teori Konservasi Levine
Pada Anak Dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Di Ruang
Perawatan Anak. Keperawatan Anak, 1(No. 2 November 2013), 104–112.
Subakti, theresa adelina victoria subakti. (2012). Aplikasi Model Konservasi Levine
dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada Anak di Ruang Perawatan Anak.
Fmipa Ui, 1–95.
Thabet, A. M., & Zaki, N. A.-E. H. (2018). Effect of Positioning on Respiratory
System Function of Preterm Neonate with Respiratory Distress Syndrome.
Assiut Scientific Nursing Journal, 6(14.1), 160–166.
https://doi.org/10.21608/asnj.2018.59790
Tuti Seniwati, Nurmaulid, N., Abdul Kadir, & Irmayanti, I. (2022). Respiratory status
and behavioral response of premature infant with nesting model care approach in

74
neonatal intensive care unit. Jurnal Keperawatan, 13(2), 75–82.
https://doi.org/10.22219/jk.v13i2.19888
WHO. (2021). Pneumonia.
Yadav, S., Lee, B., & Kamity, R. (2022). Neonatal Respiratory Distress Syndrome.
StatPearls Publishing, Treasure Island (FL).
http://europepmc.org/books/NBK560779
Yapicioğlu Yildizdaş, H., Barutçu, A., Gülcü, Ü., Özlü, F., & Leventeli, M. (2021).
Effect of supportive positioning on comfort scale scores in preterm newborns.
Duzce Medical Journal, 23(1), 20–24. https://doi.org/10.18678/dtfd.833534
Yosefa Moi, M. (2019). Askep Pada Bayi Ny. T Dengan RDS diruangan NHCU
RSUD Prof.DR.W.Z. Johanes Kupang. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.
http://repository.poltekeskupang.ac.id/564/1/KTI_MARIA YOSEFA MOI.pdf

75
LAMPIRAN

INFORMED CONSENT
(PERNYATAAN PERSETUJUAN IKUT PENELITIAN)

Yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan :

76
Alamat :

Telah mendapat keterangan secara terinci dan jelas mengenai:


1. Studi kasus yang berjudul ”Penerapan Evidence Based Nursing Posisi Quarter
Prone dan Nesting terhadap status Oksigenasi pada Bayi Prematur dengan
Respiratory Distres Syndrom menggunakan teori Konservasi Levine di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado”
2. Perlakuan yang akan diterapkan pada subjek
3. Manfaat ikut sebagai subjek penelitian
4. Bahaya yang akan timbul
5. Prosedur studi kasus

Dan prosedur studi kasus ini mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberian asuhan keperawatan tersebut.
Oleh karena itu saya bersedia/ tidak bersedia*) secara sukarela untuk menjadi subjek
penelitian dengan penuh kesadaran serta tanpa keterpaksaan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak
manapun.

Manado, 2024

Pemberi Asuhan Keperawatan Responden

Eka Fajrin Apriliani Daud, S.Tr.Kep ………………………………

Saksi

………………………………
*) Coret salah satu

FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN


BERDASARKAN TEORI KONSERVASI LEVINE

1. PENGKAJIAN
1 Identitas umum
Nama :…………………. Alamat :……………
TTL : ………………… Agama :……………
Usia : ………………… Suku Bangsa : …….

77
Nama ayah/ibu : …………………
Pendidikan ayah : …………………
Pekerjaan ayah : …………………
Pendidikan ibu : …………………
Pekerjaan ibu : …………………
2 Lingkungan Internal
1) Alasan masuk :………………………………………………………
2) Faktor pencetus :………………………………………………………
3) Keluhan Utama :………………………………………………………
4) Diagnosa Medik:………………………………………………………
3 Lingkungan Eksternal
1) Riwayat Kesehatan Dahulu
a. Penyakit waktu kecil :
b. Pernah dirawat di Rs :
c. Obat-obatan yang digunakan :
d. Tindakan (operasi) :
e. Alergi :
f. Kecelakaan :
g. Imunisasi :
2) Lingkungan
Karakteristik rumah (yang beresiko terhadap Kesehatan) (jelaskan
keadaan rumah terutama yang membahayakan Kesehatan seperti
sirkulasi udara, sinar matahari, tangga, lantai yang licin,dsb)
3) Praktik kebudayaan yang mempengaruhi Kesehatan (misalnya
pantangan untuk memberi imunisasi pada anak, bayi diberi makanan
lebih awal, dll)
4) Fasilitas Kesehatan yang tersedia (Tulis fasilitas Kesehatan disekitar
rumah atau yang biasa dimanfaatkan keluarga seperti puskesmas,
dokter praktek,dsb)

d) Konservasi energi
1) Status nutrisi dan cairan
Kebiasaan Sebelum sakit Selama sakit
Makanan/minuman yang
disukai/tidak disukai
Selera makan/minum
Alat makan/minum yang

78
dipakai
Pola makan minum/jam

2) Eliminasi
Kebiasaan Sebelum sakit Selama sakit
BAB Frekuensi,
Warna,
konsistensi
BAK Frekuensi,
Warna,
Bau

3) Istirahat dan tidur


Kebiasaan Sebelum sakit Sesudah sakit
Pola tidur
Kebiasaan sebelum tidur
(perlu mainan, dibacakan
cerita, benda yang dibawa
saat tidur,dll)
Tidur siang

4) Aktivitas bermain
Kebiasaan Sebelum sakit Sesudah sakit
Jenis permainan
Frekuensi bermain

5) Kebersihan diri
Kebiasaan Sebelum sakit Sesudah sakit
Penampilan secara umum
Frekuensi mandi
Frekuensi mengganti pakaian
Frekuensi menggosok gigi

e) Konservasi Integritas Struktur


1. Keadaan umum dan kesadaran :
2. Tanda-tanda vital
a) Suhu :
b) Frekuensi napas :

79
c) Tekanan darah :
d) Nadi :
3. Pengukuran antropometri
a) Berat badan :
b) Panjang badan :
c) Lingkar kepala :
d) Lingkar dada :
e) Lingkar perut :
f) Lingkar lengan :
4. Pemeriksaan fisik (HeadtoToe)
a) Kepala
1) Inspeksi
(a) Bentuk dan kesimetrisan
(b) Kebersihan rambut & kulit kepala
(c) Lesi
(d) Penyebaran rambut
2) Palpasi
(a) Benjolan (ada/tidak)
(b) Nyeri tekan (ada/tidak)
(c) Tekstur rambut
b) Mata
Pelpebra : edema/tidak
Radang/tidak
Sclera : Icterus/Ikterik
Konjungtiva : Radang/tidak
Anemis/pink
Pupil : Isokor/anisokor
Myosis/midriasis
Refleks pupil terhadap cahaya
Posisi mata : Simetris/tidak
Gerakan bola mata :
Penutupan kelopak mata :
Keadaan bulu mata :
Kemampuan visual :
c) Hidung
Bentuk :
Struktur :
Perforasi septum :
Secret/cairan :

80
d) Telinga
Posisi telinga :
Ukuran/bentuk telinga :
Lubang telinga : bersih/serumen/nanah
Pemakaian alat bantu :
Mulut
a) Gigi
- Keadaan gigi :
- Karang gigi/karies :
- Gigi berlubang :
b) Gusi : normal/edema
c) Lidah : (mikroglosia/makroglosia/glosoptosis
d) Mukosa mulut : lembab/kering
Tonsil : normal/bengkak
Palatum : labiopalatoskisis/tidak
Pengeluaran saliva berlebih : ada/tidak
e) Faring
Hyperemia : ada/tidak
Edema faring :ada/tidak
Abses pada retroaringeal/peritonsillar : ada/tidak
f) Laring
Obstruksi pada laring : ada/tidak
g) Pemeriksaan paru
Inspeksi
Kesimetrisan : simetris/tidak
Gerakan dada : sama antara kanan/kiri atau tidak
Deformitas : ada/tidak
Penonjolan :ada/tidak
Pembengkakan : ada/tidak
Palpasi
Kesimetrisan :
Vocal fremitus :
Krepitasi subcutis :
Perkusi
Pembesaran paru :
Suara : resonan/pekak
Auskultasi : vesikuler/ronchi/cracles
h) Jantung
Inspeksi :

81
denyut apek :
Perkusi :
pembesaran :
Auskultasi
BJ 1 :
BJ 2 :
BJ 3 :
Bunyi jantung tambahan :
i) Abdomen
Inspeksi
Ukuran & bentuk :
Lesi/luka post opersi :
Stoma :
Auskultasi
Peristaltic usus : x/menit
Perkusi : tympani/redup
Palpasi :
Organ hati
Limpa
Ketegangan dinding perut
Turgor kulit
j) Pemeriksaan genetalia
Laki-laki
Ukuran
bentuk penis : hipospadi/epispadias/normal
peradangan
testis
fimosis
perempuan
labia minora tertutup oleh labia mayora
lubang uretra dan vagina terpisah
kebersihan vagina
k) pemeriksaan anus
adanya luka post op : ada/tidak
kebersihan
anus : ada/tidak
l) pemeriksaan tulang belakang dan ekstremitas atas dan
bawah :
kelainan tulang belakang : lordosis/kifosis/scoliosis
spasme otot : ada/tidak

82
paralysis : ada/tidak
atropi/hipertropi
kelemahan/kelumpuhan
m) pemeriksaan kulit
turgor kulit :
warna kulit
kelembaban
penyakit pada kulit

5. pemeriksaan tingkat perkembangan


a. kemadirian dan bergaul : sesuai umur ( ) tidak sesuai umur ( )
b. motoric halus : sesuai umur ( ) tidak sesuai umur ( )
c. kognitif dan bahasa : sesuai umur ( ) tidak sesuai umur ( )
d. motoric kasar : sesuai umur ( ) tidak sesuai umur ( )
6. data tambahan
a. hasil labolatorium :
b. rontgen :
c. USG :
7. Konservasi Integritas Personal
a. Identitas diri : Baik ( ) tidak baik ( ) lainnya (sebutkan)
b. Harga diri : Baik ( ) tidak baik ( ) lainnya (sebutkan)
c. Stress dan koping : Baik ( ) tidak baik ( ) lainnya (sebutkan)
8. Konservasi integritas sosial
a. Pembawaan secara umum : Baik ( ) tidak baik ( ) lainnya (sebutkan)
b. Hubungan dengan anggota keluarga : Baik ( ) tidak baik ( ) lainnya
(sebutkan)
c. Support keluarga : Baik ( ) tidak baik ( ) lainnya (sebutkan)
d. Harapan keluarga terhadap Tindakan petugas Kesehatan

2 Triphicognosis
Model konservasi Myra Levine merekomendasikan Triphicognosis sebagai
suatu alternatif diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan yaitu memberi arti
atau makna data atau fakta yang telah dikumpulkan sesuai dengan kondisi pasien.
3 Hipotesis
Hipotesis merupakan rencana penerapan intervensi keperawatan
berdasarkan prinsip-prinsip konservasi yang bertujuan untuk ketakutan yang
berhubungan dengan lingkungan yang tidak biasa, dan prosedur yang
menimbulkan stress.

83
4 Implementasi dan evaluasi

Hari/tanggal Triphocognosis Implementasi Evaluasi

84

Anda mungkin juga menyukai