Digital - 20307412 D 1329 Karakteristik Campuran Full Text
Digital - 20307412 D 1329 Karakteristik Campuran Full Text
Digital - 20307412 D 1329 Karakteristik Campuran Full Text
DISERTASI
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
DEPOK
DESEMBER 2011
DISERTASI
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
DEPOK
DESEMBER 2011
ii
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
iii
iii
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
iv
KATA PENGANTAR
Penulis
iv
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
v
v
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
vi
ABSTRAK
vi
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
vii
ABSTRACT
vii
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
viii
DAFTAR ISI
viii
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
ix
ix
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
x
DAFTAR TABEL
x
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Daya tahan sel darah merah dalam gliserol sebagai fungsi
temperatur (Best, 2007) ............................................................. 1
Gambar 2.1 Sistem kompresi uap .................................................................. 6
Gambar 2.2 Perbandingan sistem kompresi uap dengan sistem absorpsi ...... 7
Gambar 2.3 Sistem ekspansi gas .................................................................... 8
Gambar 2.4 Efek Peltier pada Sistem refrigerasi Termoelektrik ................... 8
Gambar 2.5 Sistem refrigerasi magnetik (Singh, 2010) ................................ 9
Gambar 2.6 Sistem refrigerasi dua tahap dengan satu refrigeran (two-
stage single refrigerant system) (Singh, 2010). ......................... 10
Gambar 2.7 Skema sederhana dan diagram T-s sistem refrigerasi
cascade(Cengel dan Boles, 1998). ............................................. 11
Gambar 2.8 Survei umum refrigeran alternatif (Bitzer International, 2004) . 18
Gambar 2.9 Diagram p-h karbon dioksida (Campbell, 2007 ) ...................... 19
Gambar 2.10 Jenis distribusi tekanan sepanjang pipa kapiler adiabatik
(Garcia-Valladares dkk., 2002) .................................................. 24
Gambar 3.1 Skema metode penelitian ........................................................... 26
Gambar 3.2 Diagram temperatur versus komposisi karbon dioksida
menunjukkan temperatur glide R744/R170 ............................... 27
Gambar 3.3 Skema diagram sistem refrigerasi cascade CO2/C2H6-C3H8 ..... 30
Gambar 3.4 Diagram Log P-h sistem refrigerasi cascade CO2/C2H6-C3H8 .. 30
Gambar 3.5 Flowchart simulasi sistem refrigerasi cacade dua tahap ............ 33
Gambar 3.6 Skema alat uji Sistem refrigerasi cascade.................................. 35
Gambar 3.7 Skema alat uji ............................................................................. 38
Gambar 3.8 Skema alat uji Sistem refrigerasi cascade.................................. 40
Gambar 3.9 Skema diagram alat Uji .............................................................. 42
Gambar 4.1 Variasi COP beberapa refrigeran pada sirkuit temperatur
tinggi terhadap perubahan Tcas,E pada kondisi Tsub=0K dan
Tsup=0K ...................................................................................... 45
xi
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
xii
Gambar 4.3 Variasi m& t / m& r beberapa refrigeran pada sirkuit temperatur
tinggi terhadap perubahan Tcas,E pada kondisi Tsub=5K dan
Tsup=5K ...................................................................................... 47
Gambar 4.4 Komposisi karbon dioksida terhadap etana terhadap COP
sistem refrigerasi cascade .......................................................... 48
Gambar 4.5 Diagram tekanan-komposisi menunjukkan komposisi
azeotropik karbon dioksida dan etana ........................................ 49
Gambar 4.6 Pengaruh temperatur evaporasi terhadap komposisi yang
menghasilkan COP terbaik ........................................................ 50
Gambar 4.7 Diagram P-T perbandingan beberapa refrigeran terpilih ........... 51
Gambar 4.8 Pengaruh Tcas,E terhadap COP pada beberapa rifrigeran
terpilih ........................................................................................ 51
Gambar 4.9 Pengaruh dari Tcas,E pada COPL dan COPH ............................... 52
Gambar 4.10 Pengaruh Tcas,E pada laju exergy destruction pada tiap
komponen dan keseluruhan sistem ............................................ 53
Gambar 4.11 COP sistem dan afiseensi sexergetic sebagai fungsi dari (a)
TE, (b) DT dan (c) TC ................................................................. 56
Gambar 4.12 COP sistem danefisiensi exergetic sebagai fungsi dari
efisiensi isentropic kompresor ................................................... 57
Gambar 4.13 COP sistem dan exergetic efficiency sebagai fungsi dari
m& H m& L ......................................................................................58
Gambar 4.14 COP sistem dan efisiensi exergetic sebagiai fungsi dari Tcas,E ..58
Gambar 4.15 Pengaruh TE terhadap (a) COPmax, (b) m& H m& L opt dan (c) Tcas,E
opt dari CO2+C2H6-C3H8 pada sistem refrigerasi cascade ......... 60
xii
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
xiii
xiii
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
xiv
Gambar 4.43 Mass flow pada komposisi dalam perbandingan massa 70%
etana dan 30% karbon dioksida ................................................. 88
Gambar 4.44 Perbandingan mass flow variasi panjang dan diameter pipa
kapiler ........................................................................................ 89
Gambar 4.45 Perbandingan rasio tekanan variasi panjang dan diameter
pipa kapiler................................................................................. 90
Gambar 4.46 Perbandingan temperatur keluar pipa kapiler (temperatur
evaporasi) variasi panjang dan diameter pipa kapiler ............... 91
Gambar 4.47 Normal probability plot regresi dengan menggunakan
Minitab-14.................................................................................. 92
Gambar 4.48 Faktor koreksi untuk menentukan laju massa aktual ............ 92
xiv
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
Karakteristik campuran..., Darwin Rio Budi Syaka, FT UI, 2011.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Gambar 1.1. Daya tahan sel darah merah dalam gliserol sebagai fungsi temperatur
(Best, 2007).
Penggunaan sistem refrigerasi yang menggunakan siklus tunggal hanya
mampu mencapai suhu pendinginan efektif sekitar -40oC, dan efisiensinya
memburuk di bawah -35oC karena turunnya tekanan evaporasi. Sehingga, untuk
dapat menjangkau temperatur yang lebih rendah, digunakan sistem refrigerasi
cascade (Wu dkk., 2007). Sistem refrigerasi cascade minimal terdiri dari dua
sistem refrigerasi yang bekerja secara mandiri. Dua sistem refrigerasi ini
dihubungkan penukar kalor cascade di mana kalor yang dilepaskan kondenser di
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
triple CO2 serta memiliki mampu bakar lebih rendah dari etana dalam sirkuit
temperatur rendah pada sistem refrigerasi cascade.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Membuat simulasi analisa termodinamika untuk memilih refrigeran pada
sirkuit temperatur tinggi dan menentukan komposisi campuran CO2 dan
etana pada sirkuit temperatur rendah dalam sistem refrigerasi cascade.
2. Melakukan pengujian beberapa komposisi campuran CO2 dan etana pada
sistem refrigerasi cascade.
3. Mengembangkan sebuah korelasi untuk menentukan mass flow rate pipa
kapiler bagi refrigeran campuran CO2 dan etana
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
LANDASAN TEORI
pelepasan kalor
tekanan (p)
konderser
Katup ekspansi
kompresor
evaporator
penyerapan kalor
Enthalpy (h)
efek pendinginan kerja kompresor
Kalor yang dibuang kondenser
Universitas Indonesia
Katup Katup
Kerja kerja
Katup ekspansi ekspansi ekspansi
pompa
Kompresi Kompresi
secara mekanik secara termal
Gambar 2.2. Perbandingan sistem kompresi uap dengan sistem absorpsi
• Sistem ekspansi gas (Gas expansion system)
Ketika fluida kerja adalah gas yang dikompresi dan kemudian diekspansi tidak
terjadi perubahan fase, maka sistem refrigerasi ini disebut sistem ekspansi gas.
Udara merupakan fluida kerja yang paling sering digunakan dalam sistem ini.
Pada sistem ini tidak ada proses kondensasi dan evaporasi, maka sebagai
pengganti komponen kondensor dan evaporator digunakan alat penukar kalor
panas ke dingin dari gas ke gas.
Universitas Indonesia
Pelepasan kalor
T
Penukar kalor
kerja
Katup ekspansi
Kompresor
Penukar kalor
s
Penyerapan kalor
Gambar 2.3. Sistem ekspansi gas.
• Sistem refrigerasi Termoelektrik
Sistem refrigerasi Termoelektrik merupakan metode pendinginan yang
berdasarkan pada efek Peltier. Seperti yang terlihat pada gambar 2.4 maka,
ketika baterai ditambahkan antara dua konduktor yang berhubungan pada
Adan B, pada saat arus mengalir melalui rangkaian, maka akan terjadi
perubahan suhu di titik penghubung tersebut , dimana salah satunya menjadi
panas (T1) dan yang lain menjadi dingin (T2). Efek refrigerasi diperoleh di
daerah penghubung yang dingin sedangkan pada daerah penghunbung yang
panas kalor dibuang ke lingkungan (Singh, 2010).
Universitas Indonesia
sehingga temperatur meningkat selama proses ini. Jika garam disimpan dalam
wadah dikelilingi oleh helium, panas akan diserap oleh atom helium.
Sekarang, jika medan magnet tiba-tiba dihapus, energi internal dari garam
akan berkurang. Akibatnya, garam akan mendingin (Singh, 2010).
Ke pompa vakum
Ke pompa helium
Ke pompa hidrogen
Garam paramagnetik
Universitas Indonesia
rasio kompresi kompresor pada tiap tahap dapat diset pada daerah yang sesuai
dengan spesifikasi kompresor yang digunakan, sehingga temperatur discharge
menjadi normal. Namun demikian, batasan temperatur yang dapat dicapai hanya
berkisar antara -50 hingga -70oC, tergantung pada spesifikasi refrigeran yang
digunakan [Stegmann, 2000]. Lebih lanjut, penggunaan refrigeran tunggal pada
daerah cakupan temperatur yang luas mengakibatkan tekanan evaporator dan
volume suction yang sangat rendah atau sangat tinggi tekanan di kondenser [P.K
Bansal, 2007].
Gambar 2.6. Sistem refrigerasi dua tahap dengan satu refrigeran (two-stage single
refrigerant system) (Singh, 2010).
Refrigeran standar tidak dapat beroperasi pada suhu yang sangat rendah
karena tekanan saturasi-nya pada suhu rendah menjadi terlalu rendah. Jika tekanan
saturasi kurang dari 21 in Hg vacum / 4 psia (28 kPa) maka, uap refrigeran akan
sangat sedikit yang ditarik ke dalam kompresor. Densitas uap juga sangat rendah
pada tekanan ini, sehingga aliran massa rendah refrigeran yang mengalir melalui
sistem menjadi sangat rendah [Stegmann, 2000]. Refrigeran yang digunakan
untuk temperatur rendah pada umumnya dipilih refrigeran yang memiliki tekanan
dan densitas uap yang tinggi pada kondisi temperatur yang sangat rendah
[ASHRAE, 2006].
Sistem refrigerasi cascade digunakan untuk mengatasi permasalahan dari
sistem dengan refrigeran tunggal. Hal ini terjadi karena pada sistem refrigerasi
cascade terdiri dari dua sirkuit terpisah, yang masing-masing menggunakan
refrigeran sesuai dengan cakupan temperatur yang hendak dicapai [ASHRAE,
2006].
Universitas Indonesia
Gambar 2.7. Skema sederhana dan diagram T-s sistem refrigerasi cascade (Cengel
dan Boles, 1998).
Dalam 10 tahun terakhir ini, keperdulian akan masalah-masalah lingkungan
seperti rusaknya lapisan ozon yang disebabkan oleh refrigeran CFC dan
pemanasan permukaan bumi yang salah satunya disebabkan oleh refrigeran
HCFC, telah memicu studi untuk mencari pengganti refrigeran CFC atau HCFC
dari golongan refrigeran alamiah seperti CO2 (R744), Amonia (R717), atau
hidrokarbon.
Studi mengenai sistem refrigerasi cascade ini umumnya diawali dengan
melakukan simulasi analisa termodinamika untuk mencari performa terbaik dari
suatu pasangan refrigeran sirkuit temperatur rendah dan sirkuit temperatur tinggi
pada sistem refrigerasi cascade. Agnew dan Ameli (2004) dalam rangka mencari
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
, ,
COPmax = 0,03279 0,3422 (2.4)
, ,
Satuan yang dipakai dalam persamaan (2.3) dan (2.4) adalah Kelvin (K).
Getu dan Bansal (2008) juga telah melakukan studi serupa namun dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak Engineering Equation Solver (EES) 2006
dengan tujuan mendapatkan parameter disain dan operasi sistem yang optimal,
dengan menambahkan parameter perubahan temperatur superheating (∆Tsup) dan
perubahan temperatur subcooling (∆Tsub), menyimpulkan bahwa suatu analisis
regresi multilinear dapat dipergunakan untuk menentukan temperatur kondensasi
optimal pada cascade condenser (TCAS;E;OPT), COP maksimum dan rasio laju
&H m
aliran massa antara R717 dengan R744 pada sistem refrigerasi cascade ( m &L
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pula dilakukan. Penelitian mengenai performa CO2 solid-gas ini telah diawali oleh
Yamaguchi dan Zhang (2009), selanjutnya Niu dkk. (2010) dan Yamaguchi dkk.
(2011) melaporkan hasil eksperimennya yang menunjukkan bahwa di bawah
kondisi operasi yang sesuai CO2 dapat beroperasi pada -62oC secara terus-
menerus dan setabil. Tetapi, kondisi solid-gas CO2 dibawah tekanan dan
temperatur triple masih menjadi kendala penggunaan CO2. untuk menjangkau
temperatur evaporasi di sekitar -80oC,
Solusi untuk mengatasi kekurangan ini adalah dengan mencampurkan
karbon dioksida dengan refrigeran lain. Nicola dkk. (2005) melakukan simulasi
sistem refrigerasi cascade dimana amonia (R717) digunakan pada sirkuit
temperatur tinggi menunjukkan bahwa campuran CO2 dengan HFC dapat
dipergunakan untuk aplikasi temperatur dibawah titik pembekuan normal CO2
murni. Namun beberapa campuran ini hanya mencapai temperatur -68.15oC pada
tekanan evaporasi diatas tekanan atmosfir. Lebih lanjut, karena HFC masih
tergolong Green House Gas (GHG), maka diperlukan usaha jangka panjang untuk
mengurangi jumlah HFC yang diperlukan, sehingga campuran dalam penelitian
itu masih belum final untuk generasi refrigeran berikutnya dalam usaha jangka
panjang untuk mengurangi jumlah HFC yang digunakan. Oleh karena itu, maka
ditawarkan alternatif yang lain yakni mencampur CO2 dengan hidrokarbon yang
keduanya merupakan golongan refrigeran alami.
Studi mengenai refrigeran campuran biner CO2 dan hidrokarbon sebagai
pengganti R13 untuk temperatur rendah di mesin refrigerasi cascade juga sudah
mulai dilakukan. Salah satunya dilakukan oleh Niu dkk. (2007) yang
mengusulkan suatu campuran biner CO2 dengan propana (21/79 dalam fraksi
mole) cukup menjanjikan dimana didapatkan bahwa COP dan kapasitas
pendinginan lebih tinggi dibanding R13 ketika sirkuit temperatur tinggi dari mesin
refrigerasi cascade dijaga tetap. Namun demikian, campuran CO2 dan propana
hanya mencapai temperatur minimum –72oC, karena pada temperatur yang lebih
rendah refrigeran campuran CO2 dan propana akan menjadi kristal (Niu dkk.,
2007).
Hidorkarbon yang biasanya digunakan untuk temperatur sangat rendah
adalah etana. Etana memiliki performa dan efek refrigerasi yang lebih baik untuk
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.4 Refrigeran
Refrigeran merupakan fluida kerja pada sistem refrigerasi atau pompa kalor.
Refrigeran ini berfungsi menyerap kalor dari suatu lingkungan yang dikondisikan
dan membuangnya ke lingkungan yang lain, hal ini dilakukan melalui proses
evaporasi (penguapan) dan kondensasi (pengembunan).
Pemilihan refrigeran merupakan kompromi antara beberapa sifat-sifat
termodinamik. Beberapa sifat yang berhubungan dengan keamanan refrigeran
seperti tidak mudah terbakar (non-flammable) dan tidak beracun saat digunakan
merupakan sifat yang dibutuhkan. Harga, ketersediaan, efisiensi, dan kecocokan
dengan pelumas kompressor dan bahan-bahan dari komponen-komponen sistem
refrigerasi juga harus diperhatikan. Pengaruh refrigeran terhadap lingkungan
apabila refrigeran tersebut bocor dari suatu sistem harus pula dipertimbangkan
(Calm dan Didion, 1998).
Dalam rangka menjangkau suhu pendinginan sekitar -80oC pada sirkuit
temperatur tinggi dapat menggunakan refrigeran yang umum digunakan misalnya
amonia (R717), Propana (R290), Propilen (R1270), Isobutana (R600a) atau
R404A (Getu dkk., 2008). Hal ini karena pada sistem refrigerasi cascade
umumnya di sirkuit temperatur tinggi bekerja disekitar temperatur evaporasi
antara -15 sampai dengan -40oC, yang hal ini disesuaikan menurut variasi tekanan
dalam sirkuit temperatur rendah sehingga kompresor dari tiap sirkuit dapat
bekerja pada daerah tekanan yang biasanya digunakan pada sistem refrigerasi (Wu
dkk., 2007).
Sedangkan untuk temperatur rendah, dipilih refrigeran tekanan tinggi
dengan densitas uap yang tinggi, karena densitas ini diperlukan agar kompresor
yang dibutuhkan jauh lebih kecil untuk menyediakan kapasitas yang diperlukan
setara jika menggunakan refrigeran standar (Stegmann, 2000; ASHRAE, 2006).
Tetapi hanya sedikit pilihan refrigeran yang memenuhi syarat diatas. Selama ini
R13 dan R503a merupakan refrigeran yang paling umum dipakai. Namun
demikian, refrigeran ini termasuk refrigeran CFC, yang menurut Protokol
Montreal bagi negara berkembang, paling lambat pada 2010 sudah tidak dapat
dipergunakan lagi (Montreal Protocol, 1987). Sehingga, refrigeran alternatif yang
lain harus segera ditemukan untuk menggantikannya. Beberapa alternatif
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
+31 Deg.C
supercritical
Solid
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Flammability Limit. Sebuah campuran udara dengan bahan bakar hanya akan
terbakar pada konsentrasi campuran antara batas bawah mudah terbakar (Lower
Flammability Limit/LFL) atau batas atas mudah terbakar (Upper Flammability
Limit) dari campuran tersebut. LFL menggambarkan komposisi campuran bahan
bakar (dalam hal ini hidrokarbon) paling sedikit yang masih dapat menyalakan
api, sedangkan batas atas mudah terbakar (UFL) merupakan komposisi terbanyak
yang yang masih dapat menyalakan api. Adapun untuk Lower Explosive Limit
(LEL) atau Upper Explosive Limit (UEL) memiliki arti yang sama dengan Lower
Flammable Limit atau Upper Flammable Limit (Bjerketvedt dkk., 1992). Batas
mudah terbakar di udara tergantung pada suhu awal dan tekanan. Tabel 2.1
menunjukkan beberapa nilai mudah terbakar (flammability) beberapa hidrokarbon
pada kondisi uji standar, 20°C dan 1 atm.
Tabel 2.1. Nilai mudah terbakar (flammability) beberapa hidrokarbon
(engineeringtoolbox.com)
"Lower Explosive atau "Upper Explosive atau
Flammable Limit" Flammable Limit"
Hidrokarbon
(LEL/LFL) (UEL/UFL)
(%) (%)
n-Butana 1,86 8,41
Etana 3 12,4
Ethylin 2,75 28,6
Isobutana 1,8 9,6
Metana 5 15
n-Heptana 1,0 6,0
n-Hexana 1,25 7,0
n-Pentana 1,4 7,8
iso-Pentana 1,32 9,16
Propane 2,1 10,1
Propylene 2,0 11,1
Universitas Indonesia
Jika refrigerant yang diisikan ke dalam sistem refrigerasi lebih dari 0,15 kg,
maka apabila terjadi kebocoran tidak kosentrasi refrigeran di dalam ruangan tidak
boleh di atas batas 0,008 kg/m3. Berdasarkan hal tersebut, volume minimal yang
dibutuhkan untuk memenuhi standar keselamatan apabila sejumlah tertentu
refrigeran yang diisikan ke dalam sistem refrigerasi dapat ditentukan dengan
persamaan 2.9 (ACRIB, 2001):
(2.9)
Dengan :
Mr = maksimum refrigeran yang diisikan ke dalam sistem refrigerasi (kg)
Vroom = Volume ruangan (m3)
LFL = Lower Flammability Limit (kg/m3)
Metode untuk mengurangi sifat mampu bakar etana adalah dengan
mencampur etana dengan gas yang tidak dapat terbakar (gas inert), dan salah satu
gas inert tersebut adalah CO2. Apabila etana dicampuran dengan CO2, maka
penambahan ini akan mengurangi konsentrasi etana dalam campuran tersebut, dan
selanjutnya akan mengisolasi oksigen sehingga mengurangi mampu bakar
(flammability) etana (Niu dkk., 2007).
Universitas Indonesia
Niu dkk. (2007) menyatakan bahwa pada campuran campuran 20% karbon
dioksida dan 80% etana dalam fraksi massa, telah terjadi penurunan batas ledakan
(Explosive Limit/EL) yang signifikan dari yang semula. Perbandingan batas
ledakan bawah dan batas ledakan atas pada etana murni yang semula bernilai
3,0/12,4 menjadi 3,5/14,3. Studi eksperimen lebih lanjut yang dilakukan oleh
Ilminnafik (2010) menyatakan bahwa campuran hidrokarbon yang telah ditambah
CO2 sebesar 20% akan berpengaruh terhadap penurunan kecepatan pembakaran.
Berdasarkan hal tersebut maka diketahui bahwa semakin besar penambahan
karbon dioksida faktor keselamatan juga akan meningkat secara signifikan. Oleh
karena itu perlu dicari komposisi campuran karbon dioksida dan etana yang
mampu mencapai temperatur -80oC, namun memiliki flammability yang serendah
mungkin.
Berdasarkan hal tersebut diatas, studi analisa teoritis yang dilanjutkan
dengan validasi eksperimen pada campuran CO2 dan etana sampai saat ini masih
belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
menentukan komposisi campuran CO2 dan etana yang stabil pada temperatur
evaporasi temperatur -80oC dan memiliki mampu bakar (flammability) yang
rendah dalam sirkuit temperatur rendah pada sistem refrigerasi cascade.
Universitas Indonesia
sederhana, kenyataannya aliran fluida dalam pipa kapiler amat rumit, dimana
aliran kritis dua fase dan laju aliran massa sangat mempengaruhi mesin pendingin
secara keseluruhan (Zhang, 2005). Gambar 2.10 menyajikan distribusi perubahan
tekanan aliran refrigeran yang mengalir dalam pipa kapiler adiabatik, dimana
aliran ini dapat dibagi menjadi 4 daerah : subcooled (p≥psat,l, xg=0), metastable
liquid (psat,l>p≥pv, xg=0), metastable two-phase (pv>p≥psat,g, 0<xg≤xg equil) dan
termodynamic equalibrium two-phase (pv>p≥psat,g, xg equil<xg≤1) (Garcia-
Valladares dkk., 2002).
Gambar 2.10. Jenis distribusi tekanan sepanjang pipa kapiler adiabatik (Garcia-
Valladares dkk., 2002).
Berkaitan pentingnya pipa kapiler dalam industri refrigerasi, beberapa
dekade yang lalu, penelitian pipa kapiler difokuskan pada refrigeran CFC dan
HCFC (Zhang, 2005). Baru di 1990-an, performa pipa kapiler untuk refrigeran
alternatif HFC dan HC serta campuran refrigeran mulai banyak dilakukan (Zhang,
2005; Garcia-Valladares dkk., 2002; Bansal dan Wang, 2004; Zhang dan Ding,
2004; Choi dkk., 2004; Yang dan Wang, 2008; Hermes dkk., 2008; Hermes dkk.,
2010 ). Namun demikian, penelitian yang membahas performa pipa kapiler untuk
campuran refrigeran alamiah, khususnya campuran karbon dioksida dan etana
masih belum dikembangkan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
∑ m& =∑ m&
in out
(3.1)
Kesetimbangan energi
Q& − W& = ∑ m& .h − ∑ m& .h (3.2)
out in
Kesetimbangan Exergy
T
X& des = ∑ 1 − 0 .Q& j − W& + ∑ m& .ψ − ∑ m& .ψ (3.3)
T
out
j in out
Universitas Indonesia
Media kondensasi
T0
Q&H
7 6
TC
Kondenser W& H
Sirkuit temperatur Alat ekspansi Kompresor
tinggi
C3H8 Tcas,E
8 5
3 2
Tcas,C
Sirkuit temperatur W& L
rendah Penukar kalor Cascade
CO2/C2H6 Alat ekspansi Kompresor
Evaporator
4 1
TE
Q& L
TF
Ruangan yang didinginkan
Gambar 3.3. Skema diagram sistem refrigerasi cascade CO2/C2H6-C3H8
3 2
7 6
4 1
8 5
Universitas Indonesia
Q& E
COP = (3.4)
W& H + W& L
dengan:
TE
COPcarnot = (3.8)
TC − TE
Universitas Indonesia
m& H h2 − h3
= (3.10)
m& L h5 − h8
Universitas Indonesia
Mulai
Hitung COP
tdk
COP max ?
ya
m& H
Hitung
m& L
selesai
Alat uji yang akan digunakan untuk melakukan pengujian terdiri dari dua
sirkuit refrigerasi, yaitu sirkuit temperatur tinggi dan sirkuit temperatur rendah.
Pada sirkuit temperatur tinggi diisi dengan refrigeran propana (R290). Sementara
itu, pada sirkuit temperatur rendah dilakukan dua variasi pengujian campuran
refrigeran yakni pengujian campuran karbon dioksida (R744)/Propana (R290) dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sirkuit temperatur
Kondenser tinggi
T7 discharge P6
line
T6
liquid line TC
suction
Katup ekspansi line
P5 T5
Kompresor
temperatur tinggi
T8
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Keterangan :
T = termokopel
P = pressure transmitter
transmiter
Sirkuit temperatur
tinggi
Sirkuit temperatur
rendah
Tabung sampel
Tabung sampel gas chromatografi
gas chromatografi
Universitas Indonesia
Sampel refrigeran pada sirkuit temperatur rendah diambil pada empat posisi
yaitu pada daerah sisi keluar kompresor (discharge), daerah sisi keluar alat
penukar kalor, daerah sisi keluar alat ekspansi dan daerah sisi masuk kompresor
(suction) dengan menggunakan tabung sampel yang dilengkapi oleh sebuah Shut
off valve pada setiap tabungnya. Pada saat proses evakuasi sistem menggunakan
pompa vakum, katup pada tabung sampel dibuka dan ditutup pada saat proses
evakuasi selesai sehingga tabung sampel berada pada keadaan vakum. Pada saat
pengujian telah dalam keadaan steady state (tunak), Shut off valve tabung sampel
refrigeran dibuka secara bersamaan selama ± 10 detik. Selanjutnya sampel
refrigeran ini dilihat komposisinya menggunakan gas chromatografi Agilent
6890.
Berdasarkan pada pengujian dengan gas chromatografi, dalam fraksi mol,
kemurnian karbon dioksida yang digunakan adalah 98,86% sedangkan sisanya
terdiri dari Hexane, Propana, Isobutane, n-Butane, Isopentane, n-Pentane, Etana,
Nitrogen, Metana. Sedangkan kemurnian R170 (etana) adalah 97,27% dimana
sisanya terdiri dari 1.89% karbon dioksida dan 0,84 % terdiri dari Propana,
Isobutane, n-Butana, Isopentana, n-Pentana, Nitrogen dan Metana. Adapun
Komposisi massa R744/170 yang dimasukkan ke dalam sirkuit temperatur rendah
apabila dinyatakan dalam fraksi massa adalah karbon dioksida 63 % dan etana 37
%, dimana komposisi ini didapat dari hasil simulasi penelitian sebelumnya.
Universitas Indonesia
Keterangan :
T = termokopel
P = pressure transmitter
transmiter
Sirkuit temperatur
tinggi
Sirkuit temperatur
rendah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Keterangan :
T = termokopel
P = pressure transmitter
transmiter
Sirkuit temperatur
tinggi
Sirkuit temperatur
rendah
Universitas Indonesia
Koefisien dan eksponen dari korelasi itu nantinya akan ditentukan dengan
menggunakan analisis regresi non-linear didasarkan pada verifikasi database hasil
percobaan.
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
Gambar 4.1. Variasi COP beberapa refrigeran pada sirkuit temperatur tinggi
terhadap perubahan Tcas,E pada kondisi Tsub=0K dan Tsup=0K
Universitas Indonesia
Gambar 4.2. Variasi COP beberapa refrigeran pada sirkuit temperatur tinggi
terhadap perubahan Tcas,E pada kondisi Tsub=5K dan Tsup=5K
Rasio laju aliran massa refrigeran ditunjukkan pada gambar 4.3, terlihat
bahwa secara umum untuk semua refrigeran yang terpilih, kecuali karbon dioksida
yang tidak ada pada gambar 4.3 karena rasio laju aliran massanya sangat besar
sehingga di luar jangkauan skala, menunjukkan bahwa dengan semakin rendahnya
Tcas,E maka akan meningkatkan rasio laju aliran masa. Penggunaan refrigeran
karbon dioksida membutuhkan rasio laju aliran massa terbesar disusul berturut-
turut oleh R507A, R404A, Propylene, Propana, R22, Isobutana dan terendah
didapatkan apabila digunakan Refrigeran Amonia.
Universitas Indonesia
Gambar 4.3. Variasi m& t / m& r beberapa refrigeran pada sirkuit temperatur tinggi
terhadap perubahan Tcas,E pada kondisi Tsub=5K dan Tsup=5K
Universitas Indonesia
Gambar 4.4. Komposisi karbon dioksida terhadap etana terhadap COP sistem
refrigerasi cascade
Universitas Indonesia
Titik-titik a, b dan c pada gambar 4.4 menunjukkan adanya nilai COP yang
sama pada komposisi karbon dioksida dan etana yang berbeda, hal ini karena pada
titik-titik tersebut walaupun komposisi karbon dioksida dan etana berbeda, namun
memiliki temperatur glide yang sama seperti yang terlihat pada gambar 4.5.
Agar dapat mengurangi sifat mudah terbakar (flammability) etana, perlu
untuk mengurangi komposisi etana seminimal mungkin. Komposisi optimum
yang menghasilkan COP terbaik terjadi pada komposisi (fraksi mol) karbon
dioksida 0,54 dan etana 0,46 (gambar 4.4). COP terbaik ini terjadi karena pada
komposisi tersebut pada temperatur -85oC, terjadi campuran azeotropik antara
karbon dioksida dengan etana seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.5.
Campuran azeotropik adalah campuran yang mendidih pada temperatur konstan,
pada tekanan yang diberikan, tanpa terjadi perubahan komposisi.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam melihat pengaruh parameter-
parameter yang lain pada sistem refrigerasi cascade akan dianalisa berdasarkan
komposisi (fraksi mol) karbon dioksida 0,54 dan etana 0,46, atau dalam fraksi
massa maka komposisi-nya adalah karbon dioksida 0,63 dan etana 0,37
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.8. Pengaruh Tcas,E terhadap COP pada beberapa refrigeran terpilih
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.10. Pengaruh Tcas,E pada laju exergy destruction pada tiap komponen
dan keseluruhan sistem
Gambar 4.10 mengindikasikan bahwa laju exergy destruction rates dari tiap
components di sirkuit temperatur tinggi (C3H8), kecuali pada cascade-condenser,
turun seiring dengan naiknya temperatur Tcas,E. Laju exergy destruction dari
kompresor dan katup ekspansi (expansion valve) pada sirkuit temperatur rendah
Universitas Indonesia
(CO2+C2H6) naik seiring dengan naiknya temperatur Tcas,E,, sementara itu laju
exergy destruction rates dari evaporator tidak terpengaruh oleh naiknya Tcas.E. Saat
Tcas,E = -40oC, kompresor sirkuit temperatur tinggi (C3H8) memiliki exergy
destruction tertinggi, diikuti oleh kompresor sirkuit temperatur rendah
(CO2+C2H6), katup ekspansi sirkuit temperatur tinggi (C3H8 expansion valve),
kondenser, cascade-condenser, katup ekspansi CO2/C2H6 dan evaporator. Pada
Tcas,E -20oC, maka , kompresor CO2/C2H6 memiliki exergy destruction terbesar,
diikuti oleh kompresor C3H8, cascade-condenser, CO2/C2H6 expansion valve,
C3H8 expansion valve, kondenser dan evaporator.
Perlu diperhatikan bahwa, jumlah exergy destruction pada beberapa
komponen meningkat seiring dengan meningkat Tcas,E , sementara yang lain
menurun. Dengan demikian, exergy destruction total sistem adalah minimum pada
Tcas,E tertentu, seperti yang ditunjukkan pada Gambar. 4.10 dimana sangat
dipengaruhi oleh kompresor. Ini berarti bahwa ireversibilitas terbesar terjadi di
kompresor. Ireversibilitas yang besar pada kompresor dikaitkan dengan efisiensi
listrik, mekanik dan isentropik yang rendah karena ukuran sistem yang relatif
kecil. Kerugian yang besar ini menekankan perlu diperhatikannya pemilihan jenis
peralatan, karena komponen kinerja rendah cukup dapat mengurangi kinerja
keseluruhan sistem.
Universitas Indonesia
Table 4.2 Korelasi Bivariate hasil dari COP dan efisiensi exergetic
Pearson Correlation -0.420** 0.732** -0.534** 0.970** 0.974** 0.631** 1 0.975** -0.948**
COPmax Sig. (2-tailed) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Pearson Correlation -0.343** 0.622** -0.703** 0.945** 0.942** 0.658** 0.975** 1 -0.875**
ηII Sig. (2-tailed) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Universitas Indonesia
Gambar 4.11. COP sistem dan efisiensi exergetic sebagai fungsi dari (a) TE,
(b) DT dan (c) TC
Universitas Indonesia
Gambar 4.12. COP sistem dan efisiensi exergetic sebagai fungsi dari efisiensi
isentropic kompresor.
Rasio laju aliran massa refrigeran yang ditunjukkan pada gambar 4.13
memperlihatkan bahwa tren dari COP dan efisiensi exergetic menunjukkan
hubungan yang tidak linier. Hal ini mengindikasikan bahwa COP maksimum
& H m& L yang optimum.
terjadi pada suatu nilai m
Universitas Indonesia
& H m& L
Gambar 4.13. COP sistem dan efisiensi exergetic sebagai fungsi dari m
Gambar 4.14. COP sistem dan efisiensi exergetic sebagai fungsi dari Tcas,E
Universitas Indonesia
4.1.5 Optimisasi
Gambar 4.15(a) memperlihatkan pengaruh dari temperatur evaporasi TE
yang berhubungan dengan COPmax pada beberapa variasi temperatur kondensasi
TC dan variasi beda temperatur pada cascade-kondenser DT. Terlihat pada gambar
4.15(a) bahwa penurunan TE akan mengurangi COPmax. Gambar 4.15(a)
menunjukkan hubungan yang linear antara COPmax dan parameter-parameter TE,
TC dan DT.
Gambar 4.15(b) menyajikan pangaruh dari temperatur evaporasi TE yang
&H m
4.15(b) juga menunjukkan hubungan yang linear antara m & L OPT dan parameter-
parameter TE, TC dan DT.
Gambar 4.15(c) memperlihatkan pengaruh temperatur evaporasi TE terhadap
hubungannya dengan Tcas,E opt pada beberapa variasi temperatur kondensasi TC dan
variasi beda temperatur di cascade-kondenser DT. Pada gambar 4.15(c)
memperlihatkan bahwa peningkatan TE akan meningkatkan Tcas,E opt. Gambar
4.15(c) sekali lagi menunjukkan hubungan yang linear.
Pengaruh dari beberapa variasi parameter pada performa/kinerja campuran
azeotropik karbon dioksida dan etana – propana pada sistem refrigerasi cascade
cascade telah diamati pada bahasan diatas. Oleh karena itu, penting untuk
mengembangkan suatu persamaan matematika sebagai panduan untuk
menetapkan parameter termodinamika desain yang optimal.
Dengan menggunakan metode multilinear, coefficient of performance
(COPmax) maksimum, rasio laju aliran masa antara sirkuit temperatur tinggi
&H m
dengan sirkuit temperatur rendah yang optimum( m & L ) dan temperatur
opt
evaporasi optimum dari sirkuit temperatur tinggi (Tcas,E,opt) dari sistem refrigerasi
cascade yang telah dipetakan sebagai fungsi dari input data variabel prediktor,
seperti temperatur evaporasi (TE), temperatur kondensasi (TC), dan beda
temperatur di penukar kalor cascade-kondenser (DT). Persamaan regresi ini
dikembangkan dari perhitungan 1330 set data.
Universitas Indonesia
&H m
Gambar 4.15 . Pengaruh TE terhadap (a) COPmax, (b) m & L opt dan (c) Tcas,E opt
dari CO2/C2H6-C3H8 pada sistem refrigerasi cascade
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Analisa simulasi dan model campuran azeatropik karbon dioksida dan etana
terjadi hanya pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu saja. Oleh karena itu,
kondisi operasi masih perlu dibuktikan di dalam suatu pengujian. Selajutnya
diadakan penelitian dengan menggunakan alat uji sistem refrigerasi cascade
dirancang untuk memverifikasi parameter-parameter disain dan operasi hasil
simulasi dari analisa model.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.18. Tekanan suction pada beberapa variasi komposisi campuran karbon
dioksida dan propana
Gambar 4.19 menunjukkan daya kompresor dalam berbagai komposisi.
Untuk semua komposisi diketahui bahwa input daya terbesar ketika menggunakan
karbon dioksida, hal ini karena karbon dioksida memiliki tekanan suction
tertinggi. Sebaliknya, karena propana memiliki tekanan suction terendah, maka
daya kompresor juga yang terendah. Campuran karbon dioksida dan propana yang
memiliki daya kompresor terkecil terjadi tepat pada komposisi 70/30.
Universitas Indonesia
Gambar 4.19. Diagram daya pada beberapa variasi komposisi campuran karbon
dioksida dan propana.
Hasil dari eksperimen campuran karbon dioksida dan propana, yang paling
optimal untuk sirkuit suhu rendah dari sistem pendingin caskade adalah komposisi
70/30. Hal ini karena komposisi dari 70/30 yang menghasilkan temperatur
evaporasi -68oC dan masih memiliki tekanan evaporasi di atas tekanan atmosfer
serta membutuhkan sedikit daya dibandingkan dengan kebanyakan komposisi
campuran lainnya. Hal ini mirip dengan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Niu
dan Zhang (2007) dengan campuran biner dari karbon dioksida dengan propana
pada komposisi 70/30 dalam fraksi massa sebagai.
Campuran karbon dioksida dan propana ini merupakan campuran zoetrope
yang mana akan menghasilkan glide temperatur yakni perbedaan temperatur
antara permulaan dan akhir dari proses perubahan fase (Kim dkk., 2008), hal ini
menyebabkan masalah penurunan kemampuan penukaran kalor yaitu pada
kondenser dan evaporator. Oleh karena itu, untuk meningkatkan performa sistem
refrigerasi cascade perlu dicari suatu refrigeran campuran karbon dioksida dan
hidrokarbon yang memiliki glide temperatur sekecil mungkin dan mengurangi
mampu bakar-nya sekaligus mengurangi tingginya tekanan dan temperatur triple
karbon dioksida.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.21. Tekanan suction pada bebarapa variasi campuran karbon dioksida
dan etana
Komposisi karbon dioksida 100% menyerap daya terbesar sekitar 1000 Watt
(Gambar 4.22), hal ini disebabkan oleh refrigeran karbon dioksida membutuhkan
kompresi yang lebih tinggi. Daya yang dibutuhkan kompresor dipengaruhi oleh
temperatur evaporasi, hal ini ditunjukkan oleh komposisi 70/30 yang mulai stabil
pada sekitar 55 menit, sedangkan komposisi 66/34 mulai stabil setelah sekitar 65
menit, sedangkan untuk komposisi 60/40 masih belum stabil. Kecenderungan ini
serupa dengan trend yang terjadi pada temperatur evaporasi seperti yang dapat
dilihat pada Gambar 4.20.
Universitas Indonesia
Gambar 4.22. Daya sistem pada beberapa komposisi campuran karbon dioksida
dan etana
Pada variasi campuran karbon dioksida dan etana pada gambar 4.22
menunjukkan trend yakni dengan bertambahnya komposisi karbon dioksida dalam
campuran maka, akan meningkatkan daya yang diserap oleh sistem. Hal ini karena
dengan bertambahnya komposisi karbon dioksida dalam campuran maka, akan
juga membuat rata-rata tekanan discharge akan bertambah tinggi seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.23.
Universitas Indonesia
Gambar 4.24. Pengaruh tekanan discharge pada daya pada komposisi campuran
karbon dioksida 66% & etana 34%.
Berdasarkan studi simulasi dan eksperimen yang telah dilakukan, hal ini
mengindikasikan campuran karbon dioksida dan etana mampu mencapai
temperatur minimum sekitar –75oC. Namun demikian, temperatur minimum
tersebut masih belum stabil. Hal ini diduga karena adanya perubahan komposisi
Universitas Indonesia
saat refrigeran campuran bersirkulasi dalam sistem refrigerasi. Oleh karena itu,
untuk membuktikannya, selanjutnya dilakukan penelitian yang ditujukan untuk
melihat adanya pengaruh perubahan komposisi refrigeran campuran karbon
dioksida dan etana yang bersirkulasi di dalam sirkuit temperatur rendah pada
sistem refrigerasi cascade.
Universitas Indonesia
Tekanan pada sisi keluar kompresor (discharge) ± 20 bar dan tekanan sisi
masuk kompresor (suction) ± 2,4 bar. Seperti yang di gambarkan pada gambar
4.27 dan 4.28. Walaupun temperatur masuk evaporator masih bisa diturunkan lagi
hingga lebih rendah dari -70oC yaitu dengan cara menurunkan tekanan suction
hingga batas 1 bar, akan tetapi agar contoh gas masih dapat dibaca pada gas
chromatography maka tekanan minimumnya dibatasi paling rendah 2 bar.
Universitas Indonesia
Gambar 4.29 menunjukkan bahwa mass flow rate pada tiga percobaan
terjadi lonjakan-lonjakan mass flow rate. Hal ini diduga disebabkan karena adanya
sumbatan pada sirkuit temperatur rendah. Sumbatan tersebut diduga disebabkan
oleh dua hal yaitu yang pertama karena terpisahnya karbon dioksida dari
konsentrasi komposisi campuran azeotropik. Sehingga pada temperatur -70°C ini,
karbon dioksida sudah berada dibawah triple point atau berubah fase menjadi
padat. Adapun kemungkinan lainnya yaitu karena adanya oli dalam kuantitas yang
cukup banyak yang ikut bersikulasi bersama-sama refrigeran hingga ke evaporator
dan membeku di dalam pipa evaporator.
Universitas Indonesia
Setelah melihat kinerja saat percobaan pertama dan kedua, pada percobaan
ke-3 dilakukan pengambilan sampel refrigeran pada empat posisi di sirkuit
temperatur rendah. Walaupun dalam jumlah yang tidak terlalu signifikan, ternyata
terdapat zat lain yang ikut tersirkulasi dalam sistem refirgerasi cascade selain
karbon dioksida dan etana.
Zat lain tersebut dapat dilihat pada gambar 4.30 hasil kandungan sampel
pada daerah discharge, yakni selain mendeteksi karbon dioksida dan etana dalam
kuantitas yang cukup banyak, gas chromatografi juga dalam kuantitas yang
sedikit mendeteksi pula adanya Hexane, Propana, Isobutana, n-Butana,
Isopentana, n-Pentana, Nitrogen dan Metana.
Hasil kandungan zat dari sampel saat keluar kondenser, gas chromatografi
mendeteksi adanya Hexana, Propana, Isobutana, n-Butana, Isopentana, n-Pentane,
karbon dioksida, Etana, Nitrogen, dan Metana (gambar 4.31).
Universitas Indonesia
Gambar 4.33 menunjukkan bahwa pada saat pada daerah suction. Pada
daerah suction ini terjadi sedikit perbedaan dimana gas chromatografi tidak
mendeteksi adanya propana dan isobutana. Zat-zat yang terdeteksi pada daaerah
suction ini hanya mendeteksi adanya Hexane, n-Butana, Isopentana, n-Pentana,
karbon dioksida, Etana, Nitrogen, dan Metana.
Universitas Indonesia
Berdasarkan data dari gambar 4.30 – 4.33, diketahui bahwa selain karbon
dioksida dan etana, ternyata dalam kuantitas yang sedikit terdapat juga Hexane,
Propana, Isobutana, n-Butane, Isopentane, n-Pentane, Nitrogen, dan Metana yang
berasal dari bahan dasar (ketidak murnian) refrigeran. Namun demikian minyak
pelumas kompresor yang terbuat dari bahan dasar Naphthenic oil atau turunannya
yakni Hexana terdeteksi dalam jumlah yang sangat sedikit. Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab tersumbatnya sistem karena
terjadinya perubahan kosentrasi komposisi karbon dioksida dalam campuran
sehingga komposisi campuran azeotropik tidak terbentuk. Oleh karena itu, pada
temperatur -70°C karbon dioksida yang terpisah dari komposisi azeotropik
tersebut, sudah berada dibawah triple point atau telah berubah fase menjadi padat,
yang kemudian terakumulasi di evaporator dan akhirnya menyumbat sirkuit
temperatur rendah sistem refrigerasi cascade.
Tabel 4.4 memperlihatkan konsentrasi komposisi campuran dalam fraksi
massa antara karbon dioksida dan etana pada percobaan ketiga pada ke-empat titik
pengambilan sampel refrigeran. Kandungan zat yang lain seperti Hexane,
Propana, Isobutana, n-Butane, Isopentane, n-Pentane, Nitrogen, dan Metana
karena kuantitasnya kurang dari 1 % maka pengaruhnya dapat diabaikan.
Universitas Indonesia
Daerah Percobaan 3
Pengisian 63 37
Pada tabel 4.4 ini terlihat bahwa komposisi karbon dioksida tertinggi
berturut-turut terjadi pada daerah suction dan discharge, sedangkan yang terendah
terjadi pada daerah kondenser dan evaporator. Pada daerah discharge dan suction,
refrigeran dalam keadaan (fase) gas. Pada fase gas ini terjadi peningkatan
komposisi karbon dioksida lebih banyak dari pada daerah kondenser dan
evaporator. Sehingga dari data ini dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
komposisi karbon dioksida pada daerah fase gas.
Sebaliknya, di kondenser dan evaporator, refrigeran pada daerah ini dalam
keadaan (fase) cairan. Pada fase cair ini komposisi karbon dioksida lebih sedikit
dari pada discharge dan suction. Sehingga dari data ini diketahui bahwa terjadi
penurunan komposisi karbon dioksida pada daerah fase cair.
Tabel 4.5. Tekanan dan temperatur pada empat posisi pengambilan sampel
Percobaan 3
Daerah
Pressure Temperatur
Pengambilan
[bar] [°C]
Universitas Indonesia
Bila dilihat pada gambar 4.34 dimana pada diagram hubungan antara
temperatur, fraksi massa karbon dioksida/etana dan tekanan dengan menggunakan
software REFPROP 8.0 menunjukan bahwa saat pengambilan sampel pada posisi
discharge, tekanannya sebesar 19,7 bar dengan temperatur kerja 108,4 °C seperti
data yang dapat dilihat pada table 4.5.
Kurva yang ditunjukkan pada gambar 4.34. merupakan garis saturasi uap
dan saturasi cair dan titik azeotropik campuran karbon dioksida/etana dengan
tekanan konstan 19,7 bar. Titik azeotropik pada tekanan ini berada pada
komposisi 74% karbon dioksida dan 26% etana dalam fraksi massa yang
ditunjukan dengan garis hijau. Sedangkan kondisi aktual yang ditunjukkan dengan
garis merah berada pada temperatur 108,4 °C dengan komposisi 63% dan 37%
yang berarti campuran berada dalam fase gas (superheat) dengan kondisi bukan
zoetropik. Hasil pengujian konsentrasi menggunakan Gas Chromatography
ditunjukkan garis biru (gambar 4.34) menunjukkan ada perubahan konsentrasi
komposisi menjadi 60,42 % karbon dioksida dan 39,58 % etana. Nilai konsentrasi
etana meningkat melebihi konsentrasi pengisian. dan berdasarkan hasil ini, bila di
lihat pada diagram T-x diatas campuran berada dalam fase gas.
T = 108,4
0,604 T = -25,5
0,740
Universitas Indonesia
T = -23,19
T = -25,5
0,587
0,740
Universitas Indonesia
T = -70,9
T = -76,45
0,591
0,650
Universitas Indonesia
T = -70,3
T = -80,25
0,604
0,647
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.38. Temperatur evaporasi campuran karbon dioksida dan etana pada
komposisi 20/80 dalam fraksi massa.
Lebih lanjut dalam rangka menurunan mampu bakar (flammability)
campuran ini maka selanjutnya ditambahkan kesentrasi karbon dioksida dalam
etana. Pada penambahan karbon dioksida pada campuran 30% karbon dioksida
dan 70% etana pada gambar 4.39, terlihat juga bahwa tidak ada tanda-tanda
terbentuknya fase padat (kristalisasi) CO2 yang dapat menyumbat sistem
refrigerasi pada temperatur masuk evaporator -80oC.
Gambar 4.39. Temperatur evaporasi campuran karbon dioksida dan etana pada
komposisi 30/70 dalam fraksi massa.
Universitas Indonesia
Gambar 4.40. Temperatur evaporasi campuran karbon dioksida dan etana pada
komposisi 40/60 dalam fraksi massa.
Pada campuran 50% CO2 dan 50% etana dalam fraksi massa yang
ditunjukkan gambar 4.41, tanda-tanda terjadinya sumbatan karena kristalisasi CO2
dalam sistem semakin jelas, ditunjukkan dengan semakin seringnya temperatur
masuk evaporator yang lebih tinggi dari pada temperatur keluar evaporator.
Ketidak stabilan temperatur evaporasi ini menunjukkan sumbatan karena
kristalisasi CO2 semakin banyak terakumulasi di saluran evaporator.
Universitas Indonesia
Gambar 4.41. Temperatur evaporasi campuran karbon dioksida dan etana pada
komposisi 50/50 dalam fraksi massa.
Sumbatan karena kristalisasi CO2 dan terakumulasi semakin banyak di
saluran evaporator bertambah jelas pada campuran 60% karbon dioksida dan 40%
etana. Akumulasi kristalisasi CO2 ini ditunjukkan dengan seringnya temperatur
masuk evaporator yang lebih tinggi dari pada temperatur keluar evaporator
bahkan, pada campuran 60% karbon dioksida dan 40% etana ini, mulai sulit untuk
mencapai temperatur evaporasi -80oC.
Gambar 4.42. Temperatur evaporasi campuran karbon dioksida dan etana pada
komposisi 60/40 dalam fraksi massa
Universitas Indonesia
Dari beberapa kali pengujian yang dilakukan, maka dapat diketahui bahwa
komposisi maksimum karbon dioksida yang dapat ditambahkan pada etana adalah
sekitar 30% dalam fraksi massa. Karena apabila karbon dioksida yang
ditambahkan lebih dari 30% maka, kristal karbon dioksida akan terbentuk dan
terakumulasi di saluran evaporator sehingga mengganggu kestabilan temperatur
evaporasi sistem refrigerasi cascade ini.
Universitas Indonesia
Table 4.6 menunjukkan bahwa nilai LFL/UFL etana akan meningkat apabila
dicampur dengan CO2, yaitu yang semula nilai LFL etana murni 0,038 kg/m3,
pada campuran karbon dioksida dan etana dengan komposisi rasio massa 30/70,
terjadi peningkatkan LFL sebesar 0,011 kg/m3. Adapun berdasarkan standar
ASHRAE 34-2001, refrigeran campuran karbon dioksida dan etana dengan
komposisi rasio massa 30/70 masih tergolong kelas 3 karena nilai LFL sebesar
0,049 kg/m3masih jauh lebih kecil dari batas untuk naik menjadi refrigeran kelas 2
yaituharus memiliki nilai FLF lebih besar dari 0,1 kg/m3.
Namun demikian, pada kondisi lingkungan yang sama, ruangan terkecil
yang memenuhi keselamatan minimum untuk rasio massa 30/70 telah terjadi
pengurangan. Hal ini dapat ditentukan dengan apabila terjadi kebocoran 1 kg
etana murni volume ruangan minimum yang diperlukan dihitung dengan
menggunakan persamaan (2.9) adalah sebesar 132,265 m, sedangkan apabila
terjadi kebocoran 1 kg refrigeran campuran karbon dioksida dan etana dengan
komposisi rasio massa 30/70 volume ruangan minimum yang diperlukan
menyempit menjadi 102,308 m3, dengan demikian, telah terjadi peningkatan
faktor keamanan. Sebagai tambahan, total jumlah massa refrigeran yang terdapat
dalam sistem sistem refrigerasi cascade untuk kebutuhan cold storage sampel
biomedis relative kecil (total refrigeran untuk kompresor 1 hp kurang dari 500
gram), sehingga hal ini juga semakin memperkecil resiko ke mudah terbakaran
refrigeran campuran yang digunakan.
Universitas Indonesia
alternatif baru campuran karbon dioksida dan etana, dalam sirkuit temperatur
rendah pada sistem refrigerasi cascade.
Hasil pengujian mass flow pada komposisi 30% karbon dioksida dan 70%
etana dapat dilihat pada gambar 4.43. Berdasarkan hal tersebut, selanjutnya
pengujian dilakukan pada komposisi perbandingan massa 30% karbon dioksida
dan 70% etana, laju aliran massa yang terjadi cukup stabil sehingga
penyimpangan data dari beberapa pengujian yang dilakukan mempunyai nilai
standar deviasi rata-rata dari semua percobaan adalah sebesar 3,8%.
Gambar 4.43. Mass flow pada komposisi dalam perbandingan massa 70% etana
dan 30% karbon dioksida
Pengujian yang dilakukan pada beberapa variasi diameter dan panjang pipa
kapiler, didapatkan hasil berupa tekanan dan temperatur masuk dan keluar pipa
kapiler serta laju aliran massa refrigeran seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.7.
Perbandingan laju aliran massa (Mass flow rate) refrigeran pada beberapa
variasi panjang dan diameter pipa kapiler, seperti yang ditunjukkan pada gambar
4.44, menunjukkan bahwa laju aliran massa refrigeran akan menurun dengan
bertambahnya panjang pipa kapiler atau dengan semakin kecilnya diameter pipa
kapiler. Hal ini sudah dapat diduga sebelumnya karena pertambahan panjang pipa
kapiler akan menambah hambatan pada aliran refrigeran yang melintasi pipa
kapiler tersebut. Pengaruh sebaliknya terjadi apabila diameter pipa kapiler
semakin kecil maka hambatan pada aliran refrigeran yang terjadi semakin besar.
Universitas Indonesia
Namun demikian apabila panjang pipa kapilernya masih cukup pendek maka
ditemui hubungan yang liner. Hal ini dapat dilihat pada pipa kapiler dengan
diameter 0,7874 mm yang pengujiannya hanya dilakukan sampai panjang 1,5 m
saja. Untuk pipa kapiler yang cukup panjang, hubungan laju aliran massa sudah
mulai tidak linier lagi, hal ini dapat dilihat pada pipa kapiler 1,6256 mm dan 1,778
mm seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.44.
Gambar 4.44. Perbandingan mass flow variasi panjang dan diameter pipa kapiler
Laju aliran massa (mass flow rate) refrigeran dipengaruhi oleh rasio tekanan
masuk dan keluar pipa kapiler. Gambar 4.45 memperlihatkan rasio tekanan yang
terjadi pada pipa kapiler akan bertambah seiring dengan semakin panjang pipa
Universitas Indonesia
kapiler, namun sebaliknya rasio tekanan tersebut akan berkurang apabila dengan
semakin kecilnya ukuran diameter pipa kapiler tersebut. Hubungan rasio tekanan
dengan panjang dan juga diameter seperti yang terlihat pada gambar 4.45,
ternyata secara garis besar tidak menunjukkan hubungan yang linier, sehingga
seharusnya ada konstanta tertentu yang menentukan hubungan antara rasio
tekanan dengan laju aliran massa refrigeran pada panjang dan diameter pipa
kapiler yang berbeda.
Gambar 4.45. Perbandingan rasio tekanan variasi panjang dan diameter pipa
kapiler
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Persamaan 4.4 tersebut mempunyai nilai R-Sq = 99,9% dan R-Sq(adj) = 99,5%,
yang berarti lebih dari 99% π1 dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan fluida yang
telah dipilih dan kurang dari 1% yang dipengaruhi oleh faktor yang masih belum
diketahui. Adapun normal probability plot ditunjukkan pada gambar 4.47.
99
(response is pi 1_1)
95
90
80
70
Percent
60
50
40
30
20
10
1
-0.015 -0.010 -0.005 0.000 0.005 0.010
Residual
Dari persamaan di atas didapatkan laju massa teoritis !"# yang nantinya digunakan
untuk mencari faktor koreksi untuk menentukan laju massa aktualnya. Dari
grafik faktor geometri pada gambar 4.48, digunakan untuk menghitung laju massa
aktual dengan cara mengalikan laju massa teoritis dengan faktor koreksi.
!"$ . !"# (4.5)
0.185 Diameter 0,06
Diameter 0,03
0.18 Diameter 0,07
Faktor koreksi
0.175
0.17
0.165
0.16
0 2 4 6 8
Panjang (m)
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa analisis data hasil penelitian maka dapat ditarik
kesimpulan antara lain :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Agnew, B., Ameli, S.M, 2004, A finite time analysis of a cascade refrigeration
system using alternative refrigerants, Applied Thermal Engineering 24,
2667-2565.
Alhamid, M.I., Syaka, D.R.B., Nasruddin, 2010, Exergy and energy analysis of a
cascade refrigeration system using R744+R170 for low temperature
applications, International Journal of Mechanical & Mechatronics
Engineering IJMME-IJENS, vol: 10 No:06.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Choi, J., Kim, Y., Chung, J.T., 2004, An empirical correlation and rating charts
for the performance of adiabatic capillary tubes with alternative, Applied
Thermal Engineering 24 (2004) 29–41.
Cox.N, Mazur.V, Colbourne.D, 2006, New High Pressure Low-GWP Azeotropic
and Near-Azeotropic Refrigeran Blends , IIR Ustav Lorentzen Converence
On Natural Working Fluids, Trondheim, Norway, May 28-31.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Wei, L., Yi-tai, M., Zhi-guo, W., Min-xia, L., 2004, Thermodynamic Analysis on
Cascade Refrigeration System with CO2 Working in Low Temperature
Stage, Journal of Tianjin University, Vol. 37 , No. 3, Mar.
Yang, L., Wang, W., 2008, A generalized correlation for the characteristics of
adiabatic capillary tubes, International Journal Of Refrigeration; 31, 197–
203.
Yamaguchia, H., Zhang, X.R., 2009, A novel CO2 refrigeration system achieved
by CO2 solid–gas two-phase fluid and its basic study on system
performance, International Journal of Refrigeration 32, 1683 – 1693.
Yamaguchia, H., Niu, X.D, Sekimoto, K., Neksa, P., 2011, Investigation of dry ice
blockage in an ultra-low temperature cascade refrigeration system using
CO2 as a working fluid, International Journal of Refrigeration 34, 466 –
475.
Zhang, C., Ding, G., 2004, Approximate analytic solutions of adiabatic capillary
tube, International Journal of Refrigeration; 27, 17–24.
Zhang, C, 2005, Generalized correlation of refrigerant mass flow rate through
adiabatic capillary tubes using artificial neural network, International
Journal of Refrigeration; 28, 506–514.
Zhang, J., Xu, Q., 2011, Cascade refrigeration system synthesis based on exergy
analysis, Computers and Chemical Engineering 35, 1901– 1914.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN A
open (unit=1,file='f:\tSimJrn\lab\PROPYLCASeM.XLS'
& ,status='new')
c... input
data c1,c7,delta,c5/-50,35,5,-41/
data SBH,SPH,SBL,SPL/0.00d0,0.00d0,0.00d0,0.00d0/
c data EH,EL/1.01d0,0.75d0/
data ev,T0,P0/.5,298.15d0,101.325d0/
c data C/.54d0/
data TINK,TOTK,PINK,POTK/303.15D0,308.15d0,101.325d0,101.325d0/
data TINE,TOTE,PINE,POTE/193.15d0,188.15d0,101.325d0,101.325d0/
10 C7= C7 + 1
9 C1= C1 - 1
8 DELTA= DELTA + 1
Universitas Indonesia
3 EH= EH - 0.01d0
2 EL= EL - 0.01d0
15 C= C + 0.01d0
1 c5 = C5 + 1.00d0
t5=c5+273.15d0
t7=c7+273.15d0
t1=c1+273.15d0
t3=t5 + delta
write (*,*)'unit : '
write (*,101) 'P(MPa),T(C),H(J/kg),S(J/kg.K),Ex(KW) '
write
(*,*)'====================================================='
Universitas Indonesia
c...to get mass flow rate in HTC (Mh) and LTC (Ml) :
Al=(EV/(h1-h4))
Ah=(Al*(h2-h3))/(h5-h8)
CALL ENVIRO(TINK,TOTK,PINK,POTK,T0,P0,HINK,HOTK,
& SINK,SOTK,CPINK,CPOTK,H0U,S0U)
AaK=(Ah*(h6 - h7))/(HOTK-HINK)
EXuIk = (HINk - H0U) - T0*(SINK - S0U)
EXuok = (Hotk - H0U) - T0*(SOTK - S0U)
EXRuIk = AaK*EXuIk
EXRuok = AaK*EXuok
CALL ENVIRO(TINE,TOTE,PINE,POTE,T0,P0,HINE,HOTE,
& SINE,SOTE,CPINE,CPOT,H0U,S0U)
AaE=(EV)/(HOTE-HINE)
EXuIE = (HINE - H0U) - T0*(SINE - S0U)
EXuoE = (HotE - H0U) - T0*(SOTE - S0U)
EXRuIE = AaE*EXuIE
EXRuoE = AaE*EXuoE
Universitas Indonesia
EXR5 = AH*EX5
EXR6 = AH*EX6
EXR7 = AH*EX7
EXR8 = AH*EX8
Universitas Indonesia
COPc=T1/(T7-T1)
COPex=COP*abs(1-((25+273.15)/T1))
Universitas Indonesia
write (*,*)
C...write to exergy destructions result in HTC:
write (*,101) 'exergy destructions result in HTC '
Universitas Indonesia
write
(*,*)'====================================================='
write(*,90) 'compressor HS,irrever ',EXdesCH,RdesCH,XDHC
write(*,90) 'Condensor,irrever ',EXdesKOND,RdesKOND,XDHK
write(*,90) 'exspansion HS,irrever ',EXdesEXH,RdesEXH,XDHEX
write(*,90) 'cascade HS,irrever ',EXdesCas,RdesCas,XDHCAS
write (*,*)
c...write to exergy destructions result in LTC:
write (*,101) 'exergy destructions result in LTC '
write
(*,*)'====================================================='
write(*,90) 'compressor LS,irrever ',EXdesCL,RdesCL,XDLC
write(*,90) 'exspansion LS,irrever ',EXdesEXL,RdesEXL,XDLEX
write(*,90) 'Evaporator,irrever ',EXdesEVAP,RdesEVAP,XDLE
WRITE (*,*)
WRITE (*,*)'Exergy efficiencies',PSIs,PSIsL,COPex
WRITE (1,*)SX
write (*,*)AH,AL
write (*,*)Xdhc,Xdhk,Xdhex,Xdhcas,Xdlc,Xdlex,Xdle
write (*,*)'copt & COPex',COP,COPex
write (1,103)COP
write (1,104)c5,EXdesCH,EXdesKOND,EXdesEXH,EXdesCas,EXdesCL,
& EXdesEXL,EXdesEVAP,SX
write (1,104)c5,RdesCH,RdesKOND,RdesEXH,RdesCas,RdesCL,
& RdesEXL,RdesEVAP,PSIs
write (1,105)c5,Xdhc,Xdhk,Xdhex,Xdhcas,Xdlc,Xdlex,Xdle,SXL
write (1,102)c5,COP,Wl,Wh,h1,h2,p1/1000,p3/1000
write (*,*)c5,COP,bh,cpl,cph
write (*,*)c5,COP,bh,Wl,Wh
eff2 = COP/COPC
BESAR = DMAX1 (BESAR,COP)
IF (COP.EQ.BESAR)THEN
TcasE=c5
COPcar=COPc
Universitas Indonesia
Exeff=eff2
Rmh = bh
EISH=EH
EISL=EL
AU=UA
ELSE
ENDIF
WRITE (1,103)DELTA,bh,COP,EFF2
if (c5.lt.0) THEN
go to 1
else
write (*,102)C7,C1,DELTA,EISH,EISL,AU,TcasE,besar,copcar,exeff,rmh
write (1,102)C7,C1,DELTA,EISH,EISL,AU,TcasE,besar,copcar,exeff,rmh
BESAR=0
TcasE=0
COPcar=0
Exeff=0
C5 = -43
rmh=0
EISH=0
EISL=0
AU=0
endif
if (C.lt.1.01d0) THEN
write (1,103)C,COP,PSISL,SXL
write (*,*)'COMPOSISI',C,COP,PSISL,SXL
go to 15
else
write (1,103)C1,COMP,BESAR
write (*,103)C1,COMP,BESAR
C =-0.01d0
endif
Universitas Indonesia
WRITE (1,103)EL,COP,EFF2
if (EL.GT.0.50d0) THEN
write (*,*)'EL',EL
go to 2
else
EL = 1.1
endif
WRITE (1,103)EH,COP,EFF2
if (EH.GT.0.5d0) THEN
write (*,*)'EH',EH
go to 3
else
EH = 1.0
endif
if (SPL.lt.15) THEN
write (*,*)'SPL',SPL
go to 4
else
SPL = 0.00d0
endif
if (SBL.lt.15) THEN
write (*,*)'SBL',SBL
go to 5
else
SBL = 0.00d0
endif
if (SPH.lt.15) THEN
write (*,*)'SPH',SPH
go to 6
else
Universitas Indonesia
SPH = 0.00d0
endif
if (SBH.lt.15) THEN
write (*,*)'SBH',SBH
go to 7
else
SBH = 0.00d0
endif
WRITE (1,103)DELTA,COP,EFF2
if (DELTA.lt.10) THEN
write (*,*)'DELTA',DELTA
go to 8
else
DELTA = -1
endif
WRITE (1,103)C1,COP,EFF2
if (C1.Gt.-90) THEN
write (*,*)'T1',C1
go to 9
else
C1 = -79
endif
WRITE (1,103)C7,COP,EFF2
if (C7.lt.40) THEN
go to 10
else
endif
106 format (2x,a60)
105 format (1x,9f11.3)
104 format (1x,9f11.5)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN B
SUBROUTINE ENVIRO(TIN,TOT,PIN,POT,T0,P0,HIN,HOT,SIN,SOT,CPIN,
& CPOT,H0U,S0U)
implicit double precision (a-h,o-z)
implicit integer (i-k,m,n)
parameter (ncmax=20) !max number of components in mixture
dimension x(ncmax),xliq(ncmax),xvap(ncmax),f(ncmax)
character hrf*3, herr*255
character*255 hf(ncmax),hfmix
character*3 htype,hmix,hcomp(1:ncmax)
c...If the fluid files are located in a directory that the code cannot
c.....find, make a call to SETPATH
call SETPATH('C:\Program Files\Refprop')
c...Call SETUP to initialize the program and set the pure fluid component name
c write (*,*)'masukkan jenis refrigerant ?'
c read (*,*)hf
i=1
hf='AIR.PPF'
hfmix='hmx.bnc'
hrf='DEF'
c write (*,*)hf
call SETUP (i,hf,hfmix,hrf,ierr,herr)
if (ierr.ne.0) write (*,*) herr
c write (*,*)'Wmol ',WMOL (x)
c...The calculation of the thermodynamic state point in high-temperature circui
i=2
call SATT (t,x,i,p,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call SATP (p,x,i,t,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call TPFLSH (TIN,PIN,x,d,dl,dv,xliq,xvap,q,e,HIN,
& SIN,cv,cpIN,w,ierr,herr)
call TPFLSH (TOT,POT,x,d,dl,dv,xliq,xvap,q,e,HOT,
& SOT,cv,cpOT,w,ierr,herr)
call TPFLSH (T0,P0,x,d,dl,dv,xliq,xvap,q,e,H0U,
& S0U,cv,cp,w,ierr,herr)
c... change to mass basis
Universitas Indonesia
HIN=HIN/WMOL (x)
SIN=SIN/WMOL (x)
HOT=HOT/WMOL (x)
SOT=SOT/WMOL (x)
H0U=H0U/WMOL (x)
S0U=S0U/WMOL (x)
return
end
Universitas Indonesia
LAMPIRAN C
SUBROUTINE HT(EH,SBH,SPH,T5,T7,P5,H5,S5,T6,H6,P7,H7,S7,H8,S8,qh,
& CPH,S6)
implicit double precision (a-h,o-z)
implicit integer (i-k,m,n)
parameter (ncmax=20) !max number of components in mixture
dimension x(ncmax),xliq(ncmax),xvap(ncmax),f(ncmax)
character hrf*3, herr*255
character*255 hf(ncmax),hfmix
character*3 htype,hmix,hcomp(1:ncmax)
c...If the fluid files are located in a directory that the code cannot
c.....find, make a call to SETPATH
call SETPATH('C:\Program Files\Refprop')
c...Call SETUP to initialize the program and set the pure fluid component name
c write (*,*)'masukkan jenis refrigerant ?'
c read (*,*)hf
i=1
hf='PROPYLEN.FLD'
hfmix='hmx.bnc'
hrf='DEF'
c write (*,*)hf
call SETUP (i,hf,hfmix,hrf,ierr,herr)
if (ierr.ne.0) write (*,*) herr
c write (*,*)'Wmol ',WMOL (x)
c...The calculation of the thermodynamic state point in high-temperature circui
if (SPH .EQ.0)THEN
c...Call SATP to get vapor phase enthalpy and entropy at isobaric MPa:
i=2
call SATT (t5,x,i,p5,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t5,dv,x,h5v)
call ENTHAL (t5,dv,x,h5)
call ENTRO (t5,dv,x,s5)
ELSE
i=2
call SATT (t5,x,i,p5,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
Universitas Indonesia
c...Call SATP to get liquid phase enthalpy and entropy at isobaric MPa:
IF (SBH .EQ.0)THEN
c...call SATP (p3,x,i,t3,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
i=1
call SATT (t7,x,i,p7,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t7,dl,x,h7)
call ENTRO (t7,dl,x,s7)
ELSE
i=1
call SATT (t7,x,i,p7,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
dc7 = t7 - SBH
call TPFLSH (dc7,p7,x,d,dl,dv,xliq,xvap,q,e,h7,s7,cv,cp,w,ierr,herr)
ENDIF
i=2
call SATT (t5,x,i,p5,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t5,dv,x,h5v)
Universitas Indonesia
i=1
call SATT (t5,x,i,p5,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t5,dl,x,h5l)
qh=(h8-h5l)/(h5v-h5l)
call PHFLSH (p5,h8,i,t,D,Dl,Dv,x,y,q,e,s8,cv,cp,w,ierr,herr)
return
end
Universitas Indonesia
LAMPIRAN D
SUBROUTINE LT(EL,SBL,SPL,T1,T3,P1,H1,S1,T2,H2,P3,H3,S3,H4,S4,
& QL,CPL,C,S2)
implicit double precision (a-h,o-z)
implicit integer (i-k,m,n)
parameter (ncmax=20) !max number of components in mixture
dimension x(ncmax),xliq(ncmax),xvap(ncmax),f(ncmax)
character*255 hrf*3, herr
character*255 hf(ncmax),hfmix
character*3 htype,hmix,hcomp(1:ncmax)
call SETPATH('C:\Program Files\Refprop')
c.....For a mixture, use the following setup instead of the lines above.
i=1
hf='CO2.FLD'
hfmix='hmx.bnc'
hrf='DEF'
c write (*,*)hf
call SETUP (i,hf,hfmix,hrf,ierr,herr)
if (ierr.ne.0) write (*,*) herr
c j=2
c hf(1)='CO2.FLD'
c hf(2)='etana.FLD'
C write (*,*)hf(1),hf(2)
c hfmix='hmx.bnc'
c hrf='DEF'
c call SETUP (j,hf,hfmix,hrf,ierr,herr)
c if (ierr.ne.0) write (*,*) herr
c x(1)=C
c x(2)=1.00d0- C
c write (*,*)'Wmol mix CO2/etana',WMOL (x)
c call INFO (2,wmm,ttrp,tnbpt,tc,pc,Dc,Zc,acf,dip,Rgas)
c write (*,*)'Wmol2 mix CO2/etana',Wmm
Universitas Indonesia
if (SPL .EQ.0)THEN
c...Call SATP to get vapor phase enthalpy and entropy at isobaric MPa:
i=2
call SATT (t1,x,i,p1,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t1,dv,x,h1v)
call ENTHAL (t1,dv,x,h1)
call ENTRO (t1,dv,x,s1)
call ENTRO (t1,dv,x,s1V)
ELSE
i=2
call SATT (t1,x,i,p1,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call SATP (p1,x,i,t,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call TPFLSH (t1,p1,x,d,dl,dv,xliq,xvap,q,e,h1v,s1,
& cv,cp,w,ierr,herr)
dt1 = t1 + SPL
call TPFLSH (dt1,p1,x,d,dl,dv,xliq,xvap,q,e,h1,s1,
& cv,cp,w,ierr,herr)
ENDIF
c...Call SATP to get liquid phase enthalpy and entropy at isobaric MPa:
IF (SBL .EQ.0)THEN
c...call SATP (p3,x,i,t3,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
i=1
call SATT (t3,x,i,p3,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t3,dl,x,h3)
call ENTRO (t3,dl,x,s3)
ELSE
i=1
call SATT (t3,x,i,p3,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
Universitas Indonesia
i=2
call SATT (t1,x,i,p1,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
C call ENTHAL (t1,dv,x,h1v)
C call ENTRO (t1,dv,x,s1v)
i=1
call SATT (t1,x,i,p1,dl,dv,xliq,xvap,ierr,herr)
call ENTHAL (t1,dl,x,h1l)
call ENTRO (t1,dl,x,s1l)
ql=(h4-h1l)/(h1v-h1l)
C call PHFLSH (p1,h4,x,t,D,Dl,Dv,x,y,q,e,s4,
C & cv,cp,w,ierr,herr)
s4 = s1l + (ql*(s1v-s1l))
Universitas Indonesia
h1=h1/WMOL (x)
s1=s1/WMOL (x)
h2=h2/WMOL (x)
s2=s2/WMOL (x)
h3=h3/WMOL (x)
s3=s3/WMOL (x)
h4=h4/WMOL (x)
s4=s4/WMOL (x)
return
end
Universitas Indonesia
Riwayat Hidup
1. Data Pribadi
1. Nama Lengkap : Darwin Rio Budi Syaka, ST,MT
2. Tempat/tanggal Lahir : Metro, 22 April 1976
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Status : Menikah dengan Jenny Susanti, S.Sos
: Perum Bumi Anggrek S120, Karangsatria
6. Alamat Rumah
Tambun Utara, Bekasi
7. No. Telepon : (021) 8825108
2. Pendidikan Tinggi
1. 1994 - 1999 Sarjana Teknik, Program Studi Teknik Mesin Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro.
2. 2000 - 2003 Magister Teknik, Program Studi Teknik Mesin Fakultas
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
3. 2008 - 2012 Program Doktor, Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Indonesia.
3. Pekerjaan
1. 2001 - 2006 Staf Pengajar, Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Magelang.
2. 2006-sekarang Staf Pengajar, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Negeri Jakarta.
Universitas Indonesia
5. Publikasi Ilmiah
5.1 Jurnal Internasional
1. M. Idrus Alhamid, Darwin R.B Syaka, and Nasruddin, 2010, Exergy and
Energy Analysis of a Cascade Refrigeration System Using R744+R170 for
Low Temperature Applications, International Journal of engineering &
sciences, IJMME-IJENS , December, Vol:10 No:06.
2. Nasruddin, Darwin R.B. Syaka, M. Idrus Alhamid, 2011, a cascade
refrigeration system using mixture of carbon dioxide and hydrocarbons for
low temperature applications, Journal of Engineering and Applied
Sciences, Volume: 6, Issue: 6, Page No. : 379-386.
5.2 Seminar Internasional
1. Nasruddin, Darwin Rio Budi Syaka, 2009, Thermodynamics Analysis Of
Refrigerant Selection In Cascade Refrigeration System, International
Conference Of Saving Energy In Refrigeration And Air-Conditioning,
Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik-Universitas Indonesia, Depok,
January 14 – 17.
2. Nasruddin, Darwin Rio Budi Syaka, M. Idrus Alhamid, 2009, Cascade
Refrigeration System for Low-Temperature Application using
CO2+Hydrocarbon Mixture as Alternative Refrigerant, Prosiding Seminar
internasional – The 2nd IMAT, Taman Safari, Nov. 16-17.
3. Nasruddin, Darwin Rio B.S and M. Idrus Alhamid, 2010, Exergy Analysis
of Cascade Refrigeration System Using C2H6+CO2 as Alternative
Refrigerants for R23 and R508B at Low Temperature Applications, HEFAT
7th International Conference on Heat Transfer, Fluid Mechanics and
Thermodynamics, Antalya, Turkey, 19-21 July.
4. Darwin R.B Syaka, M. Idrus Alhamid, Rifky Tri Wahyu Rosadi and
Nasruddin,2010, Characteristics Of Cascade Refrigeration System with
Refrigerant Mixtures R744/R170; Simulation and Experiment, The
International Conference, 3rd International Meeting of Advances In
Thermofluids, Singapore, November 30.
5. Nasruddin, Darwin R.B. Syaka, M. Idrus Alhamid, 2011, Correlation of
refrigeration mass flow rate through adiabatic capillary tubes using mixture
refrigeration carbon dioxide and etana for low temperature applications, 4th
International Meeting of Advances In Thermo Fluids, Melaka, Malaysia,
October 3 – 4.
5.3 Jurnal Nasional
1. Darwin Rio Budi Syaka, Nasruddin dan Lasman Saputra, 2010,
Campuran Karbondioksida dan Propana Sebagai Refrigeran Temperatur
Rendah Ramah Lingkungan Pada Sistem Refrigerasi Cascade, Majalah
Ilmiah Nasional Terakreditasi-Jurnal Ketenaga Listrikan dan Energi
Terbarukan.
2. Nasruddin, M. Idrus Alhamid dan Darwin Rio Budi Syaka, 2010, Analisa
Model & Experimental Setup Sistem Refrigerasi Cascade dengan
Campuran Karbondioksida & Etana sebagai Refrigeran Temperatur
Rendah Ramah Lingkungan, Jurnal Teknik Mesin Indonesia, Volume 5,
Nomor 2, Oktober.
3. Darwin R.B Syaka, M. Idrus Alhamid, Rifky Tri Wahyu Rosadi dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia