Tuna Wicara
Tuna Wicara
Tuna Wicara
KEBIJAKAN
Anak-anak berkebutuhan khusus mempunyai kesetaraan dengan warga negara lainnya
termasuk hak pendidikan. Kesetaraan hak mereka dengan warga negara lain ditegaskan dalam Pasal
31 UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Tiaptiap warga negara berhak mendapat
pengajaran”. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga
mengatur secara khusus perlindungan terhadap anak berkebutuhan khusus. Pasal 8 ayat 1 UU No.
20/2003 menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik atau mental berhak
memperoleh pendidikan luar biasa” Pasal 15 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa Jenis pendidikan
bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 ayat 1 UU No. 20/2003
memberikan batasan bahwa “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa” Menurut Pasal 52
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan
bahwa “Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesbilitas untuk memperoleh
Pendidikan Khusus.” Artinya bahwa anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa (keunggulan) juga
termasuk anak yang memerlukan penanganan khusus sehingga berhak diikutsertakan dalam
Pendidikan Khusus. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa “Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”. Aspek kehidupan dan
penghidupan meliputi aspek pendidikan yang diperoleh penyandang cacat melalui pendidikan
khusus pada semua satuan, jenis dan jenjang pendidikan.1
B. PENGERTIAN
Menurut Samuel A. Krik, (1986) dalam buku Moores (2001:27), “tuna wicara adalah
individu yang mengalami kesulitan berbicara. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang atau tidak
berfungsinya alat-alat bicara, seperti rongga mulut, lidah, langit-langit dan pita suara. Selain itu,
kurang atau tidak berfungsinya organ pendengaran, keterlambatan perkembangan bahasa, kerusakan
pada system saraf dan struktur otot, serta ketidakmampuan dalam kontrol gerak juga dapat
mengakibatkan keterbatasan dalam berbicara. Selanjutnya menurut Bambang Nugroho (2001:4), “
tuna wicara (bisu) disebabkan oleh gangguan pada organorgan seperti tenggorokan, pita suara, paru-
paru, mulut, lidah, dsb”. Tuna wicara (bisu) sering diasosiasikan dengan tuna rungu (tuli) karena
ada sebuah saraf eustachius yaitu saraf yang menghubungkan telinga tengah dengan rongga mulut
1
Desty Ratna Permatasari dkk, “Pemenuhan Hak Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi”, Tahun 20218
adapun organ berbicara antara lain mulut, hidung, kerongkongan, batang tenggorokan, dan paru-
paru. Menurut Bambang Nugroho (2001:7), “penghubung penting lainnya antara telinga dan mulut
adalah saraf trigeminal yaitu saraf yang terhubung ke otot martil, serta ke otot–otot yang
memungkinkan kita mengunyah dan menutup mulut, yaitu otot temporal dan otot masseter”.2
C. KLASIFIKASI
2
Ryska April Yanda dkk. (2017). Pengaruh Metode Drill pada Renang Gaya Dada untuk Peserta Didik Tunawicara di
Sekolah Luar Biasa Dharma Asih Kota Pontianak. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa, 7 (7). Hal. 1-9
b) Kelainan kualitas suara, seperti suara serak, lemah, atau desis.
c) Kelainan dalam kekerasan atau kelembutan suara.
D. FAKTOR PENYEBAB
Tuna wicara atau disabilitas wicara adalah kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan
berkomunikasi secara verbal akibat hambatan pada organ-organ bicara seperti mulut, lidah, langit-
langit mulut, dan pita suara, atau juga disebabkan oleh gangguan pendengaran. Hal ini dapat
mengakibatkan keterlambatan perkembangan bahasa.3 Beberapa faktor penyebabnya antara lain:
E. PENCEGAHAN
F. KARAKTERISTIK
Seseorang tuna wicara yang saat berkomunikasi itu gagap dan mengalami keterlambatan
saat berbicara merupakan kategori tuna wicara, karena orang yang tuna wicara tidak hanya selalu
dalam golongan bisu saja. Seseorang yang berkebutuhan khusus tunawicara biasanya mempunyai
beberapa ciri yaitu berbicara tidak jelas cenderung memiliki sifat pendiam, pandangan yang hanya
mengarah kepada satu objek saja, suara sengau, cara mereka berkomunikasi yang lebih memilih
secara tertulis, tidak mengeluarkan suara saat berbicara, menggunakan komunikasi non verbal dan
bahasa tubuh untuk mengungkapkan pendapat. Karakteristik anak berkebutuhan khusus tuna
wiacara sebagai berikut:
3
Bilqis, Memahami Anak Tunawicara, (Yogyakarta: Familia Pustaka Keluarga, 2015), h.,13
a. Karakteristik bahasa dan wicara
Pada umumnya anak tuna wicara memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa wicara bila
dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-anak normal. Perkembangan dalam berbicara
bahasa wicara mereka mengalami keterlambatan.
b. Kemampuan intelegensi
Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan anak-anak normal, hanya pada skor IQ
verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya.
c. Penyesuaian emosi, sosial dan perilaku
Dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan komunikasi verbal, hal
ini yang menyebabkan tuna wicara mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya. Sehingga
anak tuna wicara terkesan agak eksklusif atau terisolasi dari kehidupan masyarakat normal.
G. PREVALENSI
H. KEBUTUHAN KHUSUS
Kebutuhan khusus tunawicara adalah perkembangan yang diperlukan untuk mengatasi gangguan
dalam berbicara yang disebut tunawicara. Berikut adalah beberapa kebutuhan khusus tunawicara:
1. Pendidikan khusus: Tunawicara membutuhkan pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhan
individu. Pendidikan khusus meliputi pengenalan dan pemahaman bahasa, pembelajaran
matematika dasar, dan pengembangan kemampuan bicara.
4
Fitirani. (2018). Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Tuna Wicara di Sekolah Luar Biasa
Negeri Sekayu. Skripsi, UIN Raden Fatah Palembang
2. Stimulasi bicara: Tunawicara membutuhkan stimulasi bicara pada anak sejak dini. Stimulasi
bicara meliputi penggunaan bahasa isyarat, pengulangan membentuk kata, dan dihubungkan dengan
objek tertentu.
3. Pengawasan medis: Tunawicara membutuhkan pengawasan medis, terutama pada anak yang
mengalami kelainan bicara yang disebabkan oleh kerusakan pada saluran pernafasan, otot wajah,
dan mulut. Pengawasan medis juga penting untuk dilakukan pada anak yang mengalami kelainan
bicara yang disebabkan oleh faktor medis.
5. Bantuan profesional: Tunawicara membutuhkan bantuan profesional seperti terapis bicara jika
diperlukan. Bantuan profesional membantu mengembangkan kemampuan bicara dan mengurangi
dampak negatif dari gangguan bicara.
7. Kebutuhan khusus fisik: Tunawicara membutuhkan kebutuhan khusus fisik, seperti melindungi
kepala dari trauma atau cidera dengan penggunaan helm, dan membatasi paparan bahan kimia atau
obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi berbicara.
10. Kebutuhan khusus ekonomi: Tunawicara membutuhkan kebutuhan khusus ekonomi, seperti
mendapatkan vaksinasi yang dianjurkan, seperti vaksin meningitis.
I. INTERVENSI
Kelainan-kelainan dalam gangguan komunikasi memiliki sifat dan penyebab yang berbeda-beda.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pendampingan kepada anak atau
individu yang mengalami tunawicara, yaitu:
1. Secara medis
Penanganan terhadap anak yang mengalami kelainan bicara tidak hanya dilakukan oleh speech
pathologist melainkan dapat dilakukan oleh seorang ahli THT. Penanganan medis juga penting
untuk dilakukan pada anak yang mengalami kelainan bicara, terutama pada kelainan bicara yang
disebabkan oleh kerusakan pada saluran pernafasan, otot wajah, dan mulut. Kelainan bicara yang
disebabkan oleh faktor medis salah satu contoh dapat dilakukan dengan cara operasi sedini
mungkin, sehingga memungkinkan anak untuk belajar bahasa secara cepat dan tepat.
2. Secara Psikologis
Intervensi yang dilakukan secara psikologis dapat dilakukan salah satunya pada anak yang
mengalami permasalahan dalam penyesuaian diri. Intervensi yang dilakukan secara psikologis lebih
banyak digunakan untuk membantu anak-anak yang mengalami gagap dan kelainan bahasa.
Namun, intervensi tersebut terlihat kurang efektif apabila dilakukan kepada anak yang mengalami
kelainan bahasa dibandingkan pada anak yang gagap.
3. Dalam Pendidikan
Berdasarkan dari segi pendidikan, intervensi yang dapat dilakukan pada anak yang mengalami
kesulitan bicara dan bahasa yaitu dengan mengajarkan bunyi-bunyi yang spesifik dan melakukan
pengulangan membentuk kata serta dihubungkan dengan objek tertentu. Proses intervensi tersebut
memerlukan adanya peran dari keluarga, terutama dalam menyediakan kegiatan bermain yang
memberikan kesempatan bagi anak untuk menggunakan kemampuan verbalisasi. Orang tua
memiliki peran yang penting bagi perkembangan bicara dan bahasa anak, terutama dalam
mengajarkan anak untuk mengenal dan menguasai bahasa. Disisi lain, guru juga memiliki peran
yang penting ketika anak memasuki usia prasekolah salah satunya mengajarkan keterampilan
berbicara.5
J. LAYANAN PENDIDIKAN
5
Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus, jilid kesatu. Depok: Lembaga
Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Layanan pendidikan dan pembelajaran anak tunawicara adalah proses yang mencakup berbagai cara
untuk mengatasi gangguan dalam berbicara yang disebut tunawicara. Berbagai layanan pendidikan
dan pembelajaran telah dikembangkan untuk mendukung anak tunawicara dalam proses belajar
mereka. Berikut beberapa layanan yang umumnya tersedia:
1. Pendidikan Inklusif
Banyak negara telah beralih ke model pendidikan inklusif di mana anak tunawicara diajak belajar
bersama dengan anak-anak lain dalam lingkungan sekolah yang biasa. Dalam konteks ini, ada
berbagai strategi pendukung yang dapat digunakan, seperti terjemahan bahasa isyarat, teknologi
bantu, dan pendekatan pembelajaran berbasis gambar atau visual.
Untuk anak tunawicara yang menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa komunikasi mereka,
penting untuk memiliki guru atau fasilitator yang terlatih dalam bahasa isyarat. Mereka membantu
dalam penyampaian materi pelajaran dan komunikasi sehari-hari.
3. Teknologi Bantu
Ada berbagai teknologi bantu yang dapat membantu anak tunawicara dalam proses pembelajaran,
seperti komputer dengan perangkat lunak khusus yang mendukung pembelajaran visual dan auditif,
perangkat lunak pengenalan suara, serta aplikasi untuk komunikasi alternatif dan augmentatif.
4. Pendidikan Khusus
Beberapa lembaga pendidikan khusus mungkin menyediakan program yang dirancang khusus untuk
memenuhi kebutuhan anak tunawicara. Program-program ini biasanya dikembangkan dengan
mempertimbangkan kebutuhan individu setiap anak.
Orang tua anak tunawicara juga membutuhkan dukungan dan pelatihan untuk membantu mereka
dalam mendukung perkembangan pendidikan anak mereka. Pelatihan dalam penggunaan teknologi
bantu, strategi komunikasi, dan pemahaman tentang kebutuhan anak tunawicara bisa sangat
berguna.
Lingkungan pembelajaran harus disesuaikan untuk mendukung kebutuhan anak tunawicara. Ini bisa
mencakup penggunaan papan tulis, visual, atau bahkan teknologi khusus untuk menyampaikan
informasi dengan cara yang mudah dipahami.
Untuk anak yang menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa utama mereka, kelas bahasa isyarat
dapat menjadi tambahan yang berharga untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan
berkomunikasi mereka dan meningkatkan partisipasi dalam lingkungan pembelajaran.
Semua layanan ini bertujuan untuk memastikan bahwa anak tunawicara dapat mengakses
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan memiliki kesempatan yang sama untuk
belajar dan berkembang seperti anak-anak lainnya.
K. CONTOH PPI
**Intervensi Secara Medis**: Intervensi secara medis merupakan metode yang dilakukan oleh ahli
THT (Terapi Hidup Teraputasi) untuk mengatasi kelainan bicara yang disebabkan oleh kerusakan
pada saluran pernafasan, otot wajah, dan mulut. Contoh intervensi secara medis yang dapat
dilakukan adalah operasi sedini mungkin, sehingga memungkinkan anak untuk belajar bahasa
secara cepat dan tepat[1].
**Intervensi Secara Psikologis**: Intervensi secara psikologis merupakan metode yang digunakan
untuk mengatasi gangguan komunikasi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain, seperti
permasalahan dalam penyesuaian diri. Contoh intervensi secara psikologis yang dapat dilakukan
adalah psikoedukasi, yang dapat meningkatkan pengetahuan mengenai gangguan komunikasi dan
cara mengatasinya[1].
Selain itu, ada juga intervensi psikologi cognitive-behavioral therapy (CBT) yang dapat dilakukan
untuk gangguan depresi dan kecemasan pada pasien osteosarcoma. Intervensi ini dapat
mengoptimalkan kemampuan psikososial pasien untuk bersemangat dan mengurangi tekanan
psikologis[3].
Intervensi psikologi juga dapat dilakukan melalui wawancara psikologi klinis, yang digunakan
untuk menggali informasi tentang keadaan pasien, untuk kemudian digunakan mengidentifikasi
keluhan dan gejala[2].
Pencegahan dan penanganan dini adalah kunci utama untuk meminimalkan risiko serta dampak dari
tuna wicara. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani
kondisi ini dengan lebih baik:
1. Rutin melakukan pemeriksaan kesehatan, terutama pada anak-anak.
4. Membatasi paparan bahan kimia atau obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi berbicara.
Dengan proaktif mencegah dan menangani gejala awal, kita dapat meningkatkan kualitas hidup bagi
mereka yang berpotensi mengalami atau sudah mengalami tuna wicara.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan data statistik disabilitas dalam SUSENAS 2009
untuk penyandang tuna wicara berjumlah 151.427dan tuna rungu wicara73.587 jiwadi
Indonesia.
Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistika (BPS)
tahun 2012 menerbitkan lagi jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari
jumlah tersebut sekitar 1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.885 orang penyandang
disabilitas rungu wicara, 402.817 orang penyandang disabilitas intelektual/grahita, 616.387 orang
penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan
sekitar 2.401.592 orang mengalami disabilitas ganda.
Klasifikasi tunadaksa diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
a. Tunadaksa Ortopedi
b. Tunadaksa saraf
1. Ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan dapat
menolong diri sendiri.
2. Sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus
diri dan menggunakan alat-alat khusus.
3. Berat, dengan ciri-ciri: membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan
tidakdapat menolong diri sendiri.
Sarana dan alat yang dapat digunakan untuk anak tuna wicara antara lain:
1. Bahasa isyarat: Bahasa isyarat yang menggunakan gestur, gambar, dan bahasa tangan dapat
membantu anak tuna wicara dalam mengkomunikasikan dengan lain-lain.
2. Kartu kalimat: Kartu kalimat yang terdiri dari kata-kata yang disusun dalam bentuk kartu dapat
membantu anak tuna wicara dalam mengenal kata-kata dan mengenali kalimat.
3. Kartu huruf: Kartu huruf yang terdiri dari huruf-huruf yang disusun dalam bentuk kartu dapat
membantu anak tuna wicara dalam mengenal huruf-huruf.
4. Alat bicara: Alat bicara seperti alphabet fibre box, papan keseimbangan, abacus, dan papan
bilangan dapat membantu anak tuna wicara dalam memahami konsep bicara.
5. Media belajar: Media belajar seperti geometri tiga dimensi, gradasi balok, silinder, menara
gelang, puzzle bola, puzzle kontruksi, puzzle binatang, multi indra, konsentrasi mekanik, kotak
bilangan, pias huruf, pias kalimat, dan alphabet fibre box dapat membantu anak tuna wicara dalam
belajar.
6. Papan bina wicara: Papan bina wicara dapat membantu anak tuna wicara dalam belajar bicara.
Pencegahan tunadaksa mencakup berbagai langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah atau
mengurangi kemungkinan terjadinya kelainan fisik yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau
pertumbuhan yang tidak sempurna. Berikut adalah beberapa langkah pencegahan tunadaksa:
1. Pemeriksaan kesehatan
Melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, terutama pada anak-anak, untuk mengidentifikasi
kelainan fisik atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kelainan tubuh.
2. Keselamatan
Melakukan tindakan keselamatan, seperti menggunakan helm, kacamata, dan pelindung kasar,
untuk mencegah kecelakaan yang dapat mengakibatkan kelainan tubuh.
3. Pencegahan penyakit
8. Edukasi masyarakat
Pencegahan tunadaksa dapat melibatkan berbagai strategi yang ditujukan untuk mengurangi risiko
terjadinya kondisi ini. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk pencegahan
tunadaksa:
1. **Perawatan Prenatal yang Baik**: Menghadiri perawatan prenatal yang teratur dan berkualitas
dapat membantu dalam mencegah berbagai faktor risiko yang dapat menyebabkan tunadaksa,
seperti infeksi, gangguan perkembangan janin, atau cedera pada janin selama kehamilan.
2. **Vaksinasi yang Tepat**: Memastikan bahwa ibu hamil menerima vaksinasi yang dianjurkan
dapat membantu mencegah infeksi selama kehamilan yang dapat menyebabkan kerusakan otak atau
sistem saraf janin.
4. **Pemantauan Kesehatan Janin**: Pemeriksaan prenatal yang rutin, termasuk ultrasound dan tes
lainnya, dapat membantu dalam mendeteksi masalah perkembangan pada janin yang dapat menjadi
penyebab tunadaksa.
5. **Perawatan Bayi dan Anak yang Baik**: Merawat bayi dan anak dengan baik setelah lahir
dapat membantu mencegah cedera atau kondisi medis lainnya yang dapat menyebabkan tunadaksa,
seperti cedera kepala atau infeksi otak.
6. **Pengasuhan yang Aman**: Memastikan lingkungan yang aman dan pengasuhan yang baik
dapat membantu mengurangi risiko cedera yang dapat menyebabkan tunadaksa pada anak-anak.
Pencegahan tunadaksa seringkali melibatkan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk
individu, keluarga, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan
mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat, dapat diharapkan bahwa insiden tunadaksa
dapat dikurangi, dan anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan bahagia.
Penyebab utama tunadaksa saraf seringkali berkaitan dengan kondisi yang memengaruhi
perkembangan otak, seperti cerebral palsy, sindrom down, atau cedera otak traumatis.