Modul - Pelatihan Pengelolaan Limbah Fasyankes

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 396

1

Modul Pelatihan Pengelolaan


Limbah Fasyankes

[masukkan gambaran umum dokumen ini] Penulis


Dokumen ini memuat tata cara pelaksanan dalam [Masukkan nama penulis][affiliation]
pengelolaan limbah fasyankes.
Editor
xxxxx1
Publikasi ini tersedia di: xxxxx1
[Insert Link Here] xxxxx1

Reviewer
xxxxx1
xxxxx1
xxxxx1

Affiliation
1 Ministry of Environment and
Forestry
2 IPB University
3 PI AREA Institute
4 Kresa.id

Cover: © Kresa.id
Desain dan layout: Kresa.id

[masukkan alamat disini]

© Kementrian Kesehatan RI 2023

2
MPD 1 Kebijakan, Regulasi, Dan Strategi Dalam Penyelenggaran
Fasyankes ............................................................................................. 5
Materi Pokok 1: Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan
Fasyankes ................................................................................................................ 11
Materi Pokok 2: Regulasi Dalam Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan
Fasyankes ................................................................................................................ 22
Materi Pokok 3: Strategi dalam Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Fasyankes
.................................................................................................................................. 87

MPD 2 Kebijakan, Regulasi, Dan Strategi Dalam Pengelolaan


Limbah Fasyankes .............................................................................. 98
Materi Pokok 1: Kebijakan Dalam Pengelolaan Limbah Fasyankes ...................... 104
Materi Pokok 2: Regulasi dalam Pengelolaan Limbah Fasyankes ........................ 118
Materi Pokok 3: Strategi dalam Pengelolaan Limbah Fasyankes .......................... 136

MPI 1 Perencanaan Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes ........ 146


Materi Pokok 1: Risiko Pengelolaan Limbah Fasyankes ....................................... 152
Materi Pokok 2: Rencana Kegiatan Sesuai Risiko Pengelolaan Limbah Fasyankes
................................................................................................................................ 168
Materi Pokok 3: Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan Limbah Fasyankes ...... 189

MPI 2 Pengelolaan Limbah Domestik Dan Medis Padat Fasyankes


............................................................................................................ 195
Materi Pokok 1: Konsep Pengelolaan Limbah Medis Padat Fasyankes ................ 205
Materi Pokok 2: Pemilahan Dan Pewadahan Limbah Domestik dan Medis Padat
Fasyankes .............................................................................................................. 211
Materi Pokok 3: Pengumpulan dan Penyimpanan Limbah Domsetik dan Medis
Padat Fasyankes .................................................................................................... 223
Materi Pokok 4: Pengolahan Limbah Domestik dan Medis Padat Fasyankes ....... 230

MPI 3 Pengelolaan Limbah Cair Dan Gas Fasyankes .................... 245


Materi Pokok 1: Konsep pengelolaan limbah cair dan gas Fasyankes .................. 251
Materi Pokok 2: Pengelolaan Limbah Cair Fasyankes ........................................... 259

MPI 4 Pengelolaan Limbah Medis Dan Situasi Khusus ................. 284


3
Materi Pokok 1: Rencana Kesiapsiagaan Pengelolaan Limbah Medis dalam Situasi
Darurat .................................................................................................................... 291
Materi Pokok 2: Pengelolaan Limbah Medis dalam Situasi Darurat Sesuai Skenario
yang disusun ........................................................................................................... 297

MPI 5 Pemantauan, Evaluasi, Dan Pelaporan Pengelolaan Limbah


Fasyankes ......................................................................................... 302
Materi Pokok 1: Pemantauan Pengelolaan Limbah Fasyankes ............................. 309
Materi Pokok 2: Evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes ..................................... 314
Materi Pokok 3: Pelaporan Pengelolaan Limbah Fasyankes ................................. 324

MPP 1 Membangun Komitmen Belajar ........................................... 329


Materi Pokok 1: Perkenalan Peserta dan Pencarian Suasana .............................. 335
Materi Pokok 2: Kekhawatiran Peserta dan Harapan Peserta ............................... 342
Materi Pokok 3: Pembentukan Pengurus Kelas dan Penetapan Komitmen Kelas 345

MPP 2 Anti Korupsi........................................................................... 348


Materi Pokok 1: Konsep Korupsi ............................................................................ 360
Materi Pokok 2: Konsep Anti Korupsi ..................................................................... 367
Materi Pokok 3: Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi ...................... 368
Materi Pokok 4: Tata cara pelaporan dugaan pelanggaran Tindak ....................... 372
Materi Pokok 5: Gratifikasi ...................................................................................... 377

MPP 3 Rencana Tindak Lanjut ........................................................ 382


Materi Pokok 1: Pengertian dan Ruang Lingkup Rencana Tindak Lanjut .............. 387
Materi Pokok 2: Tahap Penyusunan Rencana Tindak Lanjut ................................ 391

4
MPD 1 Kebijakan, Regulasi, Dan Strategi Dalam Penyelenggaran
Fasyankes

5
6
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomi. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Kesehatan Lingkungan sebagai salah satu upaya kesehatan ditujukan
untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya Kesehatan Lingkungan diselenggarakan
melalui upaya Penyehatan, Pengamanan, dan Pengendalian, yang dilakukan
terhadap lingkungan Permukiman, Tempat Kerja, tempat rekreasi, serta
tempat dan fasilitas umum. Fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes)
merupakan salah satu tempat dan fasilitas umum yang harus memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan untuk mengurangi faktor risiko lingkungan
yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit dan atau penularan penyakit.
Fasyankes tidak hanya tempat untuk merwat rang yang sakit akan tetapi juga
banyak orang-orang sehat di dalamnya yang dapat menjadi sakit apabila
penyelenggaraan kesehatan lingkungan tidak dilaksanakan dengan baik.

7
1) Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan
kebijakan, regulasi, dan strategi dalam penyelenggaraan kesehatan
lingkungan Fasyankes.

2) Indikator Hasil Belajar


a. Menjelaskan kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan
lingkungan Fasyankes
b. Menjelaskan regulasi dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan
Fasyankes.
c. Menjelaskan strategi dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan
Fasyankes.

8
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
a. Kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes;
b. Regulasi dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes;
dan
c. Strategi dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes.

9
10
Materi Pokok 1: Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan Fasyankes

A. Pendahuluan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Fasyankes ini merupakan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang
sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan
terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Untuk
menghindari risiko dan gangguan kesehatan maka perlu penyelenggaraan
kesehatan lingkungan fasyankes sesuai dengan persyaratan kesehatan.
Penyelenggaraan kesehatan lingkungan dilakukan dengan pemenuhan
standar baku mutu dan persyaratan kesehatan terhadap media lingkungan di
fasyankes yaitu air, udara, tanah, pangan, vektor dan binatang pembawa
penyakit serta sarana dan bangunan. Kesehatan lingkungan dilakukan
melalui penyehatan media air, tanah, udara dan pangan, pengamanan
limbah dan radiasi, serta pengendalian terhadap vektor dan binatang
pembawa penyakit. Kebijakan-kebijakan pemerintah terkait pentingnya
kesehatan lingkungan di Fasyankes antara lain diatur dalam Undang-Undang
dan rencana pembangunan jangka menengah pemerintah. Hal ini
merupakan salah satu dasar bagi petugas kesehatan lingkungan di
Fasyankes agar dapat menyelenggarakan kesehatan lingkungan Fasyankes
sesuai dengan kebijakan.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan kebijakan
dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes.

11
C. Sub Materi Pokok
Kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes:
1. Undang-Undang Terkait Kesehatan Lingkungan Fasyankes
2. RPJMN 2020-2024

D. Uraian Materi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Untuk mencapai Tujuan Nasional diselenggarakan upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan
yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan
kesehatan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomi. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu
dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Kesehatan Lingkungan sebagai salah satu upaya kesehatan ditujukan untuk
mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagaimana tercantum dalam Pasal 162
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan
Lingkungan diselenggarakan melalui upaya Penyehatan, Pengamanan, dan
Pengendalian, yang dilakukan terhadap lingkungan Permukiman, Tempat
Kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak
mempunyai risiko buruk bagi kesehatan. Untuk mewujudkan lingkungan yang
sehat diperlukan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan, Persyaratan
Kesehatan, dan pengaturan yang mengharuskan penyelenggaraan upaya
12
Kesehatan Lingkungan yang meliputi Penyehatan, Pengamanan, dan
Pengendalian faktor risiko lingkungan, termasuk pengaturan tentang proses
pengolahan limbah.
Dalam penetapan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan perlu kecermatan terhadap media lingkungan, yaitu
media yang memungkinkan terjadinya interaksi antara komponen lingkungan
dengan kandungan bahan atau agen yang berpotensi menimbulkan bahaya
terhadap kesehatan, gangguan kesehatan, atau penyakit pada manusia.
Media lingkungan yang dimaksud adalah air, udara, tanah, pangan, sarana
dan bangunan, serta vektor dan binatang pembawa penyakit.
● Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
● Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko
buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi,
serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas
dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara
lain: a. limbah cair; b. limbah padat; c. limbah gas; d. sampah yang
tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
pemerintah; e. binatang pembawa penyakit; f. zat kimia yang
berbahaya; g. kebisingan yang melebihi ambang batas; h. radiasi
sinar pengion dan non pengion; i. air yang tercemar; udara yang
tercemar; dan k. makanan yang terkontaminasi.

13
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan
dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
● Standar Baku Mutu Kesling dan Proses Pengolahan Limbah (Pasal 163
ayat 2)
Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat
dan fasilitas umum.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 47 ayat 1: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman
terhadap ekosistem dan kehidupan dan/atau kesehatan dan keselamatan
manusia wajib melakukan anlisis risiko lingkungan hidup.
Analisis risiko lingkungan hidup meliputi a. pengkajian risiko, b. pengelolaan
risiko dan/atau c. komunikasi risiko.
● Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
● Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
1. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar
2. Akurat, terbuka, dan tepat waktu;
3. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
4. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
● Pasal 69
1. Setiap orang dilarang:
14
a. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. Memasukkan B2 yang dilrang menurut peraturan perundang-
undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Rabulik
Indonesia;
c. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia
d. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilyah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
e. Membuang limbah ke media lingkungan hidup; dan
f. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
● Pasal 99
1. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
3. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9
(sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00

15
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan
organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan
perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang
harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan
yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam Rumah
Sakit. Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud
memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung
jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
● Pasal 6
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk:
a. Menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan
masyarakat;
b. Menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. Membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit;
d. Memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan
bertanggung jawab;
e. Memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa
pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
16
f. Menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah
Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat;
g. Menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat;
h. Menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah
Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa;
i. Menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan
j. Mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan
berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
● Pasal 10
(1) Bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan.
(2) Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit terdiri atas ruang:
a. rawat jalan;
b. ruang rawat inap;
c. ruang gawat darurat;
d. ruang operasi;
e. ruang tenaga kesehatan;
f. ruang radiologi;
g. ruang laboratorium;
h. ruang sterilisasi;
i. ruang farmasi;
j. ruang pendidikan dan latihan;
17
k. ruang kantor dan administrasi;
l. ruang ibadah, ruang tunggu;
m. ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit;
n. ruang menyusui;
o. ruang mekanik;
p. ruang dapur;
q. laundry;
r. kamar jenazah;
s. taman;
t. pengolahan sampah; dan
u. pelataran parkir yang mencukupi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis bangunan
Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
● Pasal 11
(1) Prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dapat meliputi:
a. instalasi air;
b. instalasi mekanikal dan elektrikal;
c. instalasi gas medik;
d. instalasi uap;
e. instalasi pengelolaan limbah;
f. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
g. petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan
darurat;
h. instalasi tata udara;
i. sistem informasi dan komunikasi; dan
j. ambulan.
(2) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan
kerja penyelenggaraan Rumah Sakit
18
(3) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam
keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.
(4) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
(5) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didokumentasi dan
dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Perpres Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional Tahun 2020-2024
RPJMN 2020-2024 adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional
untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2020 sampai dengan tahun
2024. RPJMN memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum,
Proyek Prioritas Strategis, program Kementerian/Lembaga dan Lintas
Kementerian/Lembaga, arah pembangunan kewilayahan dan lintas
kewilayahan, Prioritas Pembangunan, gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja berupa
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Pengelolaan limbah medis dalam pengelolaan limbah B3 secara umum yang
termasuk dalam daftar proyek prioritas strategis (major project). Pelaksana
dari program prioritas ini antara lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Badan Usaha (BUMN/Swasta).
(Lampiran II).

19
Gambar 1 Rincian proyek prioritas strategis (major project)

Peran kesehatan adalah pengelolaan limbah medis internal fasyankes sesuai


peraturan perundangan yang berlaku pada setiap tahapan pengelolaan
limbah medis. Indikator pengelolaan limbah medis dalam RPJMN 2020-2024
pada lampiran III dengan indikator Jumlah fasyankes yang memiliki
pengelolaan limbah medis sesuai standar dengan target tahun 2020 adalah
2.600 fasyankes, tahun 2021 sebanyak 3.000 fasyankes, tahun 2022
sebanyak 4.850, tahun 2023 sebanyak 6.250 fasyanes dan pada tahun 2024
sebanyak 8.800 fasyankes. Instansi penanggung jawab/pelaksana indikator
ini adalah Kementerian Kesehatan.
Definisi operasional dari indikator Jumlah fasyankes yang memiliki
pengelolaan limbah medis sesuai standar adalah: Fasyankes (rumah sakit
dan Puskesmas) yang telah melakukan pemilahan, pewadahan,
pengangkutan yang memenuhi syarat, penyimpanan sementara limbah B3
(TPS LB3) yang berizin serta melakukan pengolahan secara mandiri sesuai
persyaratan atau berizin dan atau bekerjasama dengan jasa pengolah
limbah B3 berizin.

20
21
Materi Pokok 2: Regulasi Dalam Penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan Fasyankes

A. Pendahuluan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Fasyankes ini merupakan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang
sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan
terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Untuk
menghindari risiko dan gangguan kesehatan maka perlu penyelenggaraan
kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan kesehatan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di fasyankes memiliki potensi untuk
dapat mencemari lingkungan dna kesehatan masyarakat. Oleh karena itu
dalam penyelenggaraanya fasyankes harus dapat mengelola dampak buruk
tersebut agar tidak merugikan fasyankes itu sendiri karena mendapatkan
konsekuensi hukum dan juga tuntutan dari masyarakat sekitarnya. Setiap
kegiatan usaha yang berisiko menimbulkan pencemaran lingkungan dan juga
gangguan kesehatan masyarakat wajib melakukan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan bak di dalam lingkungan internal dan juga di
sekitarnya. Kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang, peraturan
pemerintah dan juga peraturan menteri.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan regulasi
dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Regulasi dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes:
1. Peraturan Pemerintah terkait
2. Peraturan Menteri terkait
22
D. Uraian Materi
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan
ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 163 Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan lingkungan adalah
upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan kesehatan dari faktor risiko
lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari
aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial.
Pengaturan Kesehatan Lingkungan bertujuan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial,
yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab untuk:
a. menjamin tersedianya lingkungan yang sehat untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sesuai dengan kewenangannya;
b. mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan; dan
c. memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam
penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan.
Kualitas lingkungan yang sehat ditentukan melalui pencapaian atau
pemenuhan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan
Kesehatan ditetapkan pada media lingkungan yang meliputi:
a. air;
b. udara;
c. tanah;
d. pangan;
e. sarana dan bangunan; dan
f. vektor dan binatang pembawa penyakit.

23
Media lingkungan yang ditetapkan Standar Baku Mutu Kesehatan
Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan berada pada lingkungan, antara lain
Permukiman, Tempat Kerja, tempat rekreasi; serta tempat dan fasilitas
umum. Hal ini dikarenakan media lingkungan yang ditetapkan Standar Baku
Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan tersebut
merupakan media lingkungan yang berhubungan atau berdampak langsung
terhadap kesehatan masyarakat. Sehingga, setiap penghuni dan/ atau
keluarga yang bertempat tinggal di lingkungan pemukiman wajib memelihara
kualitas media lingkungan sesuai Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan
dan Persyaratan Kesehatan.
Setiap pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab lingkungan
pemukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas umum
wajib mewujudkan media lingkungan yang memenuhi Standar Baku Mutu
Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan. Pada suatu keadaan
tertentu, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota sesuai kewenangannya wajib mewujudkan media
lingkungan yang memenuhi Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan


Kesehatan
● Pasal 4
(1) Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 terdiri atas: a. tempat praktik mandiri Tenaga
Kesehatan; b. pusat kesehatan masyarakat; c. klinik; d. rumah
sakit; e. apotek; f. unit transfusi darah; g. laboratorium kesehatan;
h. optikal; i. fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan
hukum; dan j. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional.
(2) Dalam hal tertentu untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Fasilitas Pelayanan
24
Kesehatan selain jenis fasilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
● Pasal 5
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dapat memiliki tingkatan pelayanan yang terdiri atas: a.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama; b. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tingkat kedua; dan c. Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tingkat ketiga.
(2) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a memberikan pelayanan
kesehatan dasar.
(3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b memberikan pelayanan
kesehatan spesialistik.
(4) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c memberikan pelayanan
kesehatan subspesialistik.
(5) Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua dan tingkat ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat
memberikan pelayanan yang diberikan oleh Fasilitas Pelayanan
Kesehatan tingkat dibawahnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan


Bidang Perumah Sakitan
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan
yang diberikan rumah sakit meliputi pelayanan medik dan penunjang medik,
pelayanan keperawatan dan kebidanan, pelayanan kefarmasian dan
pelayanan penunjang. Kesehatan lingkungan rumah sakit termasuk ke dalam
pelayanan penunjang. Sesuai pasal 23 salah satu sumber daya manusia
25
pada rumah sakit umum dengan klasifikasi kelas A, kelas B, kelas C dan
kelas D adalah tenaga kesehatan lingkungan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 tahun 2019 tentang Kesehatan


Lingkungan Rumah Sakit
● Pasal 1
Pengaturan kesehatan lingkungan rumah sakit bertujuan untuk:
a. mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat bagi rumah sakit
baik dari aspek fisik, kimia, biologi, radioaktivitas maupun sosial;
b. melindungi sumber daya manusia rumah sakit, pasien,
pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah sakit dari faktor
risiko lingkungan; dan
c. mewujudkan rumah sakit ramah lingkungan.
● Pasal 2
(1) Kualitas lingkungan yang sehat bagi rumah sakit ditentukan
melalui pencapaian atau pemenuhan standar baku mutu
kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan.
(2) Standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan
kesehatan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan pada media lingkungan yang meliputi:
a. air;
b. udara;
c. tanah;
d. pangan;
e. sarana dan bangunan; dan
f. vektor dan binatang pembawa penyakit.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan persyaratan kesehatan rumah sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
● Pasal 3
26
(1) Dalam rangka pemenuhan standar baku mutu kesehatan
lingkungan dan persyaratan kesehatan rumah sakit dilakukan
penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit.
(2) Penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
upaya penyehatan, pengamanan dan pengendalian.
(3) Penyehatan dilakukan terhadap media lingkungan berupa air,
udara, tanah, pangan serta sarana dan bangunan.
(4) Pengamanan dilakukan terhadap limbah dan radiasi.
(5) Pengendalian dilakukan terhadap vektor dan binatang pembawa
penyakit.
(6) Selain upaya penyehatan, pengamanan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (5),
dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit
dilakukan upaya pengawasan.
(7) Upaya pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilakukan terhadap:
a. linen (laundry);
b. proses dekontaminasi; dan
c. kegiatan konstruksi atau renovasi bangunan rumah sakit.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kesehatan
lingkungan rumah sakit tercantum dalam lampiran yang
merupakan bagian tidak tepisahkan dari Peraturan Menteri ini.
● Pasal 4
(1) Penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) juga dilakukan
untuk mendukung penyelenggaraan rumah sakit ramah
lingkungan.
(2) Penyelenggaraan rumah sakit ramah lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyusun kebijakan tentang rumah sakit ramah lingkungan;
27
b. pembentukan tim rumah sakit ramah lingkungan;
c. pengembangan tapak/lahan rumah sakit;
d. penghematan energi listrik;
e. penghematan dan konservasi air;
f. penyehatan kualitas udara dalam ruang;
g. manajemen lingkungan gedung;
h. pengurangan limbah;
i. pendidikan ramah lingkungan;
j. penyelenggaraan kebersihan ramah lingkungan; dan
k. pengadaan material ramah lingkungan.
● Pasal 5
Untuk mendukung penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah
sakit diperlukan:
a. kebijakan tertulis dan komitmen pimpinan rumah sakit;
b. perencanaan dan organisasi;
c. sumber daya;
d. pelatihan kesehatan lingkungan;
e. pencatatan dan pelaporan; dan
f. penilaian kesehatan lingkungan rumah sakit.
● Pasal 6
Kebijakan tertulis dan komitmen pimpinan rumah sakit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dimaksudkan sebagai bentuk
dukungan dalam penyelenggaraan kegiatan kesehatan lingkungan
rumah sakit, penyediaan sumber daya yang diperlukan serta
kesediaan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
● Pasal 7
Perencanaan dan organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan, dan pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah
sakit.
● Pasal 8
28
(1) Sumber daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi:
a. tenaga kesehatan lingkungan; dan
b. peralatan kesehatan lingkungan;
(2) Tenaga kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus memenuhi kompetensi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Peralatan kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
a. alat ukur suhu ruangan;
b. alat ukur suhu air;
c. alat ukur kelembaban ruangan;
d. alat ukur kebisingan;
e. alat ukur pencahayaan ruangan;
f. alat ukur swapantau kualitas air bersih;
g. alat ukur swapantau kualitas air limbah; dan
h. alat ukur kepadatan vektor pembawa penyakit.
● Pasal 9
(1) Pelatihan kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf d harus sesuai dengan standar kurikulum di bidang
kesehatan lingkungan yang diakreditasi oleh Kementerian
Kesehatan.
(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
lembaga pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
● Pasal 10
(1) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf e dilakukan terhadap penyelenggaraan kesehatan
lingkungan rumah sakit termasuk hasil inspeksi kesehatan
lingkungan.
29
(2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh unit kerja yang bertanggung jawab dibidang
kesehatan lingkungan rumah sakit.
(3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(4) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada direktur atau kepala rumah sakit dan
ditindaklanjuti dengan mekanisme pelaporan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
● Pasal 11
(1) Penilaian kesehatan lingkungan rumah sakit sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 huruf f dilakukan secara internal dan
eksternal.
(2) Penilaian kesehatan lingkungan rumah sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan formulir penilaian
sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Penilaian kesehatan lingkungan rumah sakit secara eksternal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terintegrasi dengan
akreditasi rumah sakit dan penilaian pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
● Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesehatan
lingkungan rumah sakit dilakukan oleh Menteri, kepala dinas
kesehatan daerah provinsi, dan kepala dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota, serta institusi terkait sesuai dengan kewenangan
masing-masing.

30
(2) Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi atau
asosiasi terkait.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui:
a. advokasi dan sosialisasi;
b. bimbingan teknis; dan
c. monitoring dan evaluasi.
(4) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan kesehatan
lingkungan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri, kepala dinas kesehatan daerah provinsi, kepala dinas
kesehatan daerah kabupaten/kota sesuai kewenangan masing-
masing dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran
lisan atau teguran tertulis kepada rumah sakit yang tidak
menyelenggarakan kesehatan lingkungan rumah sakit.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 tahun 2015 tentang Pelayanan


Kesehatan Lingkungan di Puskesmas
a. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyakarat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif
tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif, untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya.
b. Pelayanan Kesehatan Lingkungan adalah kegiatan atau serangkaian
kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang
sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial guna mencegah
penyakit dan/atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor
risiko lingkungan.

31
c. Faktor Risiko Lingkungan adalah hal, keadaan, atau peristiwa yang
berkaitan dengan kualitas media lingkungan yang mempengaruhi atau
berkontribusi terhadap terjadinya penyakit dan/atau gangguan
kesehatan.
d. Inspeksi Kesehatan Lingkungan adalah kegiatan pemeriksaan dan
pengamatan secara langsung terhadap media lingkungan dalam rangka
pengawasan berdasarkan standar, norma, dan baku mutu yang berlaku
untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat.
e. Intervensi Kesehatan Lingkungan adalah tindakan penyehatan,
pengamanan, dan pengendalian untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial.
f. Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas diarahkan untuk
mengendalikan faktor risiko penyakit dan/atau gangguan kesehatan
akibat buruknya kondisi kesehatan lingkungan melalui upaya promotif
dan preventif, serta spesifik proteksi.
g. Peran Puskesmas selain memberikan pelayanan yang bersifat upaya
kesehatan perseorangan, juga pada upaya kesehatan masyarakat
melalui Pelayanan Kesehatan Lingkungan, sehingga memperkuat
Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan terdepan. Dengan
demikian peran Puskesmas sangat penting dalam mendukung
pembangunan kesehatan yang langsung dirasakan oleh masyarakat
● Pasal 2
(1) Setiap Puskesmas wajib menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan Lingkungan.
(2) Pelayanan Kesehatan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bagian dari pelayanan kesehatan paripurna
yang diberikan kepada Pasien.
● Pasal 3
Kegiatan Pelayanan Kesehatan Lingkungan dilakukan dalam bentuk:
a. Konseling;
b. Inspeksi Kesehatan Lingkungan; dan/atau
32
c. Intervensi Kesehatan Lingkungan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 tahun 2019 tentang Pusat


Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
Puskesmas sebagaimana dimaksud harus memenuhi persyaratan lokasi,
bangunan, prasarana, peralatan, ketenagaan, kefarmasian, dan laboratorium
klinik.
● Pasal 11
(1) Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) meliputi:
a. geografis;
b. aksesibilitas untuk jalur transportasi;
c. kontur tanah;
d. fasilitas parkir;
e. fasilitas keamanan;
f. ketersediaan utilitas publik;
g. pengelolaan kesehatan lingkungan; dan
h. tidak didirikan di area sekitar Saluran Udara Tegangan Tinggi
dan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
● Pasal 12
(1) Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) meliputi:
a. persyaratan administratif, persyaratan keselamatan dan
kesehatan kerja serta persyaratan teknis bangunan;
b. bangunan bersifat permanen dan terpisah dengan bangunan
lain; dan
33
c. bangunan didirikan dengan memperhatikan fungsi,
keamanan, kenyamanan, perlindungan keselamatan dan
kesehatan serta kemudahan dalam memberi pelayanan bagi
semua orang termasuk yang berkebutuhan
khusus/penyandang disabilitas, anak-anak, dan lanjut usia.
● Pasal 14
(1) Persyaratan prasarana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4) paling sedikit terdiri atas:
a. sistem penghawaan (ventilasi);
b. sistem pencahayaan;
c. sistem air bersih, sanitasi, dan hygiene;
d. sistem kelistrikan;
e. sistem komunikasi;
f. sistem gas medik;
g. sistem proteksi petir;
h. sistem proteksi kebakaran;
i. sarana evakuasi;
j. sistem pengendalian kebisingan; dan
k. kendaraan puskesmas keliling.
● Pasal 17
(1) Persyaratan ketenagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) meliputi dokter dan/atau dokter layanan primer.
(2) Selain dokter dan/atau dokter layanan primer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Puskesmas harus memiliki:
a. dokter gigi;
b. Tenaga Kesehatan lainnya; dan
c. tenaga nonkesehatan.
(3) Jenis Tenaga Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. perawat;
b. bidan;
34
c. tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku;
d. tenaga sanitasi lingkungan;
e. nutrisionis;
f. tenaga apoteker dan/atau tenaga teknis kefarmasian; dan
g. ahli teknologi laboratorium medik.
● Pasal 32
(1) Untuk memperoleh izin operasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31, kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota
mengajukan permohonan tertulis kepada bupati/wali kota melalui
Instansi Pemberi Izin pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota
dengan melampirkan dokumen:
a. fotokopi sertifikat tanah atau bukti lain kepemilikan tanah
yang sah;
b. kajian kelayakan;
c. dokumen pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. fotokopi surat keputusan dari bupati/wali kota terkait kategori
Puskesmas untuk Puskesmas yang mengajukan
permohonan perpanjangan izin operasional;
e. profil Puskesmas yang meliputi aspek lokasi, bangunan,
prasarana, peralatan, ketenagaan, kefarmasian,
laboratorium klinik, pengorganisasian, dan penyelenggaraan
pelayanan untuk Puskesmas yang mengajukan permohonan
perpanjangan izin operasional
● Pasal 52
UKM tingkat pertama dan UKP tingkat pertama
harus diselenggarakan untuk pencapaian:
a. Standar pelayanan minimal kabupaten/kota bidang kesehatan;
b. Program Indonesia Sehat; dan
c. Kinerja puskesmas dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Nasioanal
35
● Pasal 53
(1) UKM tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
meliputi UKM esensial dan UKM pengembangan
(2) UKM esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan promosi kesehatan;
b. pelayanan kesehatan lingkungan;
c. pelayanan kesehatan keluarga;
d. pelayanan gizi; dan
e. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
f. persyaratan lain sesuai dengan peraturan daerah setempat.

Puskesmas harus melakukan pengelolaan kesehatan lingkungan antara lain


air bersih dan pengelolaan limbah medis dan non medis baik padat maupun
cair sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 tahun 2015 tentang Akreditasi


Puskesmas, Klinik Pratama, tempat Praktik Manidir Dokter, dan Tempat
Praktik Mandiri Dokter Gigi
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 tahun 2015 tentang
Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan
Tempat Praktik Mandiri Gigi, Upaya kesehatan lingkungan terutama
pengamanan limbah medis di Puskesmas dalam akreditasi terdapat pada:

Bab II. Kepemimpinan dan Manajemen Puskesmas (KMP) Tata Kelola


Sarana Puskesmas
Standar
2.1. Persyaratan Puskesmas sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama. Puskesmas harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan
dan ruang, prasarana, peralatan, dan ketenagaan.
Persyaratan Lokasi
Kriteria
36
2.1.1. Lokasi pendirian Puskesmas harus sesuai dengan tata ruang daerah
Pokok Pikiran:
- Pendirian Puskesmas perlu memperhatikan persyaratan lokasi: dibangun
di setiap Kecamatan, memperhatikan kebutuhan pelayanan sesuai rasio
ketersediaan pelayanan kesehatan dengan jumlah penduduk, mudah
diakses, dan mematuhi persyaratan kesehatan lingkungan.
- Analisis yang mempertimbangan tata ruang daerah dan rasio
ketersediaan pelayanan kesehatan dan jumlah penduduk dituangkan
dalam rencana strategis atau rencana pembangunan Puskesmas.
Elemen Penilaian:
1. Dilakukan analisis terhadap pendirian Puskesmas yang
mempertimbangkan tata ruang daerah dan rasio jumlah penduduk dan
ketersediaan pelayanan kesehatan.
2. Pendirian Puskesmas mempertimbangkan tata ruang daerah.
3. Pendirian Puskesmas mempertimbangkan rasio jumlah penduduk dan
ketersediaan pelayanan kesehatan.
4. Puskesmas memiliki perizinan yang berlaku.

Persyaratan Bangunan dan Ruangan Kriteria


Kriteria
2.1.2. Bangunan Puskesmas bersifat permanen dan tidak bergabung dengan
tempat tinggal atau unit kerja yang lain. Bangunan harus memenuhi
persyaratan lingkungan sehat.
Pokok Pikiran:
- Untuk menghindari gangguan dan dampak keberadaan Puskesmas
terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap lingkungan, maka pendirian
Puskesmas perlu didirikan di atas bangunan yang permanen dan tidak
bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja yang lain.
- Yang dimaksud unit kerja yang lain adalah unit kerja yang tidak ada kaitan
langsung dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Elemen Penilaian:
37
1. Puskesmas diselenggarakan di atas bangunan yang permanen.
2. Puskesmas tidak bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja yang
lain.
3. Bangunan Puskesmas memenuhi persyaratan lingkungan yang sehat.

Persyaratan Prasarana Puskesmas


Kriteria
2.1.4. Prasarana Puskesmas tersedia, terpelihara, dan berfungsi dengan baik
untuk menunjang akses, keamanan, kelancaran dalam memberikan
pelayanan sesuai dengan pelayanan yang disediakan.
Pokok Pikiran:
- Untuk kelancaran dalam memberikan pelayanan dan manjamin
kesinambungan pelayanan maka Puskesmas harus dilengkapi dengan
prasarana yang dipersyaratkan.
- Prasarana yang dipersyaratkan tersebut meliputi: sumber air bersih,
instalasi sanitasi, instalasi listrik, sistem tata udara, sistem pencahayaan,
pencegahan dan penanggulangan kebakaran, kendaraan Puskesmas
Keliling, pagar, selasar, rumah dinas tenaga kesehatan, dan prasarana
lain sesuai dengan kebutuhan.
- Prasarana klinis tersebut harus dipelihara dan berfungsi dengan baik.
Elemen Penilaian:
1. Tersedia prasarana Puskesmas sesuai kebutuhan.
2. Dilakukan pemeliharaan yang terjadwal terhadap prasarana Puskesmas.
3. Dilakukan monitoring terhadap pemeliharaan prasarana Puskesmas.
4. Dilakukan monitoring terhadap fungsi prasarana Puskesmas yang ada.
5. Dilakukan tindak lanjut terhadap hasil monitoring.

Kriteria
2.3.13. Lingkungan kerja dikelola untuk meminimalkan risiko bagi pengguna
Puskesmas dan karyawan.
38
Pokok Pikiran:
- Dalam pelaksanaan Upaya Puskesmas dan kegiatan pelayanan
Puskesmas diupayakan agar tidak berdampak negatif terhadap
lingkungan. Kajian perlu dilakukan untuk menilai sejauh mana dampak
negatif mungkin terjadi sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan dan
pencegahan.
- Lingkungan kerja meliputi kondisi-kondisi pekerjaan termasuk kondisi fisik,
lingkungan dan faktor-faktor lain seperti kebisingan, temperatur,
kelembaban, pencahayaan atau cuaca terhadap keamanan gangguan
lingkungan.
Elemen Penilaian:
1. Ada kajian dampak kegiatan Puskesmas terhadap gangguan/dampak
negatif terhadap lingkungan.
2. Ada ketentuan tertulis tentang pengelolaan risiko akibat penyelenggaraan
Upaya Puskesmas dan kegiatan pelayanan Puskesmas.
3. Ada evaluasi dan tindak lanjut terhadap gangguan/dampak negatif
terhadap lingkungan, untuk mencegah terjadinya dampak tersebut

BAB V. Kepemimpinan dan Manajemen Upaya Kesehatan Masyarakat


Standar
5.1. Tanggung jawab Pengelolaan UKM Puskesmas:
Penanggungjawab UKM Puskesmas bertanggung jawab terhadap
efektivitas dan efisiensi kegiatan pelaksanaan UKM Puskesmas sejalan
dengan tujuan UKM Puskesmas, tata nilai, visi, misi, dan tujuan
Puskesmas.
Kriteria
5.1.5. Penanggung jawab UKM Puskesmas mengupayakan minimalisasi
risiko pelaksanaan kegiatan terhadap lingkungan.
Pokok Pikiran:
- Pelaksanaan kegiatan UKM Puskesmas dapat menimbulkan risiko
terhadap lingkungan. Risiko terhadap lingkungan perlu diidentifikasi oleh
39
Penanggung jawab dan Pelaksana untuk mengupayakan langkah-
langkah pencegahan dan/atau minimalisasi risiko pelaksanaan kegiatan
terhadap lingkungan.
- Yang termasuk risiko terhadap lingkungan adalah: gangguan terhadap
kondisi fisik, seperti kebisingan, suhu, kelembaban, pencahayaan, cuaca,
bahan beracun/berbahaya, limbah medis, sampah infeksius.
Elemen Penilaian:
1. Penanggung jawab UKM Puskesmas melakukan identifikasi kemungkinan
terjadinya risiko terhadap lingkungan dan masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan.
2. Penanggung jawab UKM Puskesmas dan pelaksana melakukan analisis
risiko.
3. Penanggung jawab UKM Puskesmas dan pelaksana merencanakan
upaya pencegahan dan minimalisasi risiko.
4. Penanggung jawab UKM Puskesmas dan pelaksana melakukan upaya
pencegahan dan minimalisasi risiko.
5. Penanggung jawab UKM Puskesmas melakukan evaluasi terhadap upaya
pencegahan dan minimalisasi risiko.
6. Jika terjadi kejadian yang tidak diharapkan akibat risiko dalam
pelaksanaan kegiatan, dilakukan minimalisasi akibat risiko, dan kejadian
tersebut dilaporkan oleh Kepala Puskesmas kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.

BAB VIII. Manajemen Penunjang Layanan Klinis Pelayanan


Laboratorium.
Kriteria
8.1.8. Program keselamatan (safety) direncanakan, dilaksanakan, dan
didokumentasikan
Pokok Pikiran:
- Ada program keamanan yang aktif di laboratorium dengan tingkatan
sesuai dengan risiko dan kemungkinan bahaya dalam laboratorium.
40
Program ini mengatur praktik keamanan dan langkah-langkah
pencegahan bagi staf laboratorium, staf lain dan pasien apabila berada di
laboratorium. Program laboratorium ini merupakan program yang
terintegrasi dengan program keselamatan di Puskesmas.
- Program keselamatan di laboratorium termasuk:
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung pemenuhan standar dan
peraturan.
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis untuk penanganan dan pembuangan
bahan infeksius dan berbahaya.
▪ Tersedianya peralatan keamanan sesuai praktik di laboratorium dan untuk
bahaya yang dihadapi.
▪ Orientasi bagi semua staf laboratorium untuk prosedur dan praktik
keamanan kerja.
▪ Pendidikan (in service education) untuk prosedur-prosedur baru dan
pengenalan bahan berbahaya yang baru dikenali/diperoleh, maupun
peralatan yang baru.
Elemen Penilaian:
1. Terdapat program keselamatan/keamanan laboratorium yang mengatur
risiko keselamatan yang potensial di laboratorium dan di area lain yang
mendapat pelayanan laboratorium.
2. Program ini adalah bagian dari program keselamatan di Puskesmas.
3. Petugas laboratorium melaporkan kegiatan pelaksanaan program
keselamatan kepada pengelola program keselamatan di Puskesmas
sekurang-kurangnya setahun sekali dan bila terjadi insiden keselamatan.
4. Terdapat kebijakan dan prosedur tertulis tentang penanganan dan
pembuangan bahan berbahaya.
5. Dilakukan identifikasi, analisis dan tindak lanjut risiko keselamatan di
laboratorium.
6. Staf laboratorium diberikan orientasi untuk prosedur dan praktik
keselamatan/keamanan kerja.

41
7. Staf laboratorium mendapat pelatihan/pendidikan untuk prosedur baru
dan penggunaan bahan berbahaya yang baru, maupun peralatan yang
baru.

Kriteria
8.2.3. Ada jaminan kebersihan dan keamanan dalam penyimpanan,
penyiapan, dan penyampaian obat kepada pasien serta
penatalaksanaan obat kedaluwarsa/rusak.
Pokok Pikiran:
- Agar obat layak dikonsumsi oleh pasien, maka kebersihan dan keamanan
terhadap obat yang tersedia harus dilakukan mulai dari proses
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan penyampaian obat
kepada pasien serta penatalaksanaan obat kedaluwarsa/rusak.
- Puskesmas menetapkan kebijakan dan prosedur dalam penyampaian
obat kepada pasien agar pasien memahami indikasi, dosis, cara
penggunaan obat, dan efek samping yang mungkin terjadi.
Elemen Penilaian:
1. Terdapat persyaratan penyimpanan obat.
2. Penyimpanan dilakukan sesuai dengan persyaratan.
3. Pemberian obat kepada pasien disertai dengan label obat yang jelas
(mencakup nama, dosis, cara pemakaian obat dan frekuensi
penggunaannya).
4. Pemberian obat disertai dengan informasi penggunaan obat yang
memadai dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien/keluarga
pasien.
5. Petugas memberikan penjelasan tentang kemungkinan terjadi efek
samping obat atau efek yang tidak diharapkan.
6. Petugas menjelaskan petunjuk tentang penyimpanan obat di rumah.
7. Tersedia kebijakan dan prosedur penanganan obat yang
kadaluwarsa/rusak.
8. Obat kadaluwarsa/rusak dikelola sesuai kebijakan dan prosedur.
42
Kriteria
8.3.2. Ada program pengamanan radiasi, dilaksanakan dan didokumentasi.
Pokok Pikiran:
- Puskesmas memiliki suatu program aktif dalam keamanan radiasi yang
meliputi semua komponen pelayanan radiodiagnostik. Program
keamanan radiologi mencerminkan antisipasi risiko dan bahaya yang
dihadapi. Program mengatur praktik yang aman dan langkah pencegahan
bahaya untuk petugas radiologi karyawan lain, dan pasien. Program ini
dikoordinasi dengan program keselamatan Puskesmas.
- Program pengelolaan keamanan radiasi termasuk:
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis yang menunjang kesesuaian dengan
standar, undang-undang dan peraturan yang berlaku.
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis untuk penanganan dan pembuangan
bahan infeksius dan berbahaya.
▪ Ketersediaan alat pelindung diri yang sesuai dengan praktik dan antisipasi
bahaya yang dihadapi.
▪ Ada orientasi bagi staf radiologi dan diagnostik imajing untuk prosedur dan
praktik keselamatan kerja.
▪ Ada pendidikan/pelatihan inhouse untuk prosedur baru atau adanya
bahan berbahaya yang baru diketahui dan digunakan.
Elemen Penilaian:
1. Terdapat program keamanan radiasi yang mengatur risiko keamanan dan
antisipasi bahaya yang bisa terjadi di dalam atau di luar unit kerja.
2. Program keamanan merupakan bagian dari program keselamatan di
Puskesmas, dan wajib dilaporkan sekurang-kurangnya sekali setahun
atau bila ada kejadian.
3. Kebijakan dan prosedur tertulis yang mengatur dan memenuhi standar
terkait, undang-undang dan peraturan yang berlaku.
4. Kebijakan dan prosedur tertulis yang mengatur penanganan dan
pembuangan bahan infeksius dan berbahaya.
43
5. Risiko keamanan radiasi yang diidentifikasi diimbangi dengan prosedur
atau peralatan khusus untuk mengurangi risiko (seperti apron timah,
badge radiasi dan yang sejenis)
6. Petugas pemberi pelayanan radiodiagnostik diberi orientasi tentang
prosedur dan praktik keselamatan.
7. Petugas pemberi pelayanan radiodiagnostik mendapat pendidikan untuk
prosedur baru dan bahan berbahaya.

Kriteria
8.5.2. Inventarisasi, pengelolaan, penyimpanan dan penggunaan bahan
berbahaya serta pengendalian dan pembuangan limbah berbahaya
dilakukan berdasarkan perencanaan yang memadai.
Pokok Pikiran:
- Bahan dan limbah berbahaya perlu diidentifikasi dan dikendalikan secara
aman, yang meliputi bahan kimia, bahan, gas dan uap berbahaya serta
limbah medis dan infeksius lain sesuai ketentuan. Harus disusun rencana
pengendalian bahan dan limbah berbahaya dan ditetapkan proses untuk:
▪ inventarisasi bahan dan limbah berbahaya;
▪ penanganan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya;
▪ pelaporan dan investigasi dari tumpahan, paparan (exposure) dan
insiden lainnya;
▪ pembuangan limbah berbahaya yang benar;
▪ peralatan dan prosedur perlindungan yang benar pada saat
penggunaan, ada tumpahan (spill) atau paparan (exposure);
▪ pendokumentasian, meliputi setiap izin dan perizinan/lisensi atau
ketentuan persyaratan lainnya;
▪ pemasangan label yang benar pada bahan dan limbah berbahaya.
Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur inventarisasi, pengelolaan,
penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya.

44
2. Ditetapkan kebijakan dan prosedur pengendalian dan pembuangan
limbah berbahaya.
3. Dilakukan pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
kebijakan dan prosedur penanganan bahan berbahaya.
4. Dilakukan pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
kebijakan dan prosedur penanganan limbah berbahaya.

Kriteria
8.5.3 Perencanaan dan pelaksanaan program yang efektif untuk menjamin
keamanan lingkungan fisik dikelola oleh petugas yang kompeten.
Pokok Pikiran:
- Untuk mengelola risiko di lingkungan dimana pasien dirawat dan staf
bekerja memerlukan perencanaan. Rencana tahunan perlu disusun, yang
meliputi:
a. Keselamatan dan Keamanan. Keselamatan adalah suatu keadaan
tertentu dimana gedung, halaman/ground dan peralatan tidak
menimbulkan bahaya atau risiko bagi pasien, staf dan pengunjung.
Keamanan adalah proteksi dari kehilangan, pengrusakan dan
kerusakan, atau akses serta penggunaan oleh mereka yang tidak
berwenang.
b. Bahan berbahaya, yang meliputi: penanganan, penyimpanan dan
penggunaan bahan berbahaya lainnya harus dikendalikan dan limbah
bahan berbahaya dibuang secara aman.
c. Manajemen emergensi, yaitu tanggapan terhadap wabah, bencana
dan keadaan emergensi direncanakan dan efektif.
d. Pengamanan kebakaran: Puskesmas wajib melindungi properti dan
penghuninya dari kebakaran dan asap.
e. Peralatan medis: untuk mengurangi risiko, peralatan dipilih, dipelihara
dan digunakan sesuai dengan ketentuan.
f. Sistem utilitas, meliputi listrik, air dan sistem pendukung lainnya
dipelihara untuk meminimalkan risiko kegagalan pengoperasian.
45
- Rencana tersebut didokumentasikan dan di up-date yang merefleksikan
keadaan-keadaan terkini dalam lingkungan Puskesmas. Ada proses untuk
me-review dan meng-update.
Elemen Penilaian:
1. Ada rencana program untuk menjamin lingkungan fisik yang aman.
2. Ditetapkan petugas yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan
pelaksanaan program untuk menjamin lingkungan fisik yang aman.
3. Program tersebut mencakup perencanaan, pelaksanaan, pendidikan dan
pelatihan petugas, pemantauan, dan evaluasi.
4. Dilakukan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
program tersebut.

Akreditasi Klinik Pratama


Klinik Pratama adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan dengan
menyediakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.

Persyaratan Prasarana Klinik


Kriteria
1.1.4. Prasarana klinik tersedia, terpelihara, dan berfungsi dengan baik untuk
menunjang akses, keamanan, kelancaran dalam memberikan
pelayanan sesuai dengan pelayanan yang disediakan.

Pokok Pikiran:
- Untuk kelancaran dalam memberikan pelayanan dan manjamin
kesinambungan pelayanan maka Klinik harus dilengkapi dengan
prasarana klinis yang dipersyaratkan
- Prasarana klinis tersebut meliputi: instalasi air, instalasi listrik, instalasi
sirkulasi udara, sarana pengelolaan limbah, pencegahan dan
penanggulangan kebakaran, ambulans untuk klinik rapat inap, dan
prasarana lain sesuai dengan kebutuhan.
46
- Prasarana klinis tersebut harus dipelihara dan berfungsi dengan baik.
Elemen Penilaian:
1. Tersedia prasarana klinik sesuai kebutuhan
2. Dilakukan pemeliharaan yang terjadual terhadap prasarana klinik
3. Dilakukan monitoring terhadap pemeliharaan prasarana klinik
4. Dilakukan monitoring terhadap fungsi prasana klinik yang ada
5. Dilakukan tindak lanjut terhadap hasil monitoring

Kriteria
1.3.12. Lingkungan kerja dikelola untuk meminimalkan risiko bagi pengguna
pelayanan dan karyawan.
Pokok Pikiran:
- Dalam pelaksanaan program dan kegiatan diupayakan agar tidak
berdampak negatif terhadap lingkungan. Kajian perlu dilakukan untuk
menilai sejauh mana dampak negatif mungkin terjadi sehingga dapat
dilakukan upaya perbaikan dan pencegahan.
- Lingkungan kerja meliputi kondisi-kondisi pekerjaan termasuk kondisi fisik,
lingkungan dan faktor-faktor lain seperti kebisingan, temperatur,
kelembaban, pencahayaan atau cuaca terhadap keamanan gangguan
lingkungan
Elemen Penilaian:
1. Ada kajian dampak kegiatan klinik terhadap gangguan/dampak negatif
terhadap lingkungan
2. Ada ketentuan tertulis tentang pengelolaan risiko akibat program dan
kegiatan klinik.
3. Ada evaluasi dan tindak lanjut terhadap gangguan/dampak negatif
terhadap lingkungan, untuk mencegah terjadinya dampak tersebut.

Kriteria
3.1.2. Terdapat kebijakan dan prosedur spesifik untuk setiap jenis
pemeriksaan laboratorium
47
Pokok Pikiran:
- Agar pelaksanaan pelayanan laboratorium dapat menghasilkan hasil
pemeriksaan yang tepat, maka perlu ditetapkan kebijakan dan prosedur
pelayanan laboratorium mulai dari permintaan, penerimaaan,
pengambilan dan penyimpanan specimen, pengelolaan reagen
pelaksanaan pemeriksaan, dan penyampaian hasil pemeriksaan kepada
pihak yang membutuhkan, serta pengelolaan limbah medis dan bahan
berbahaya dan beracun (B3).

Elemen Penilaian:
1. Tersedia kebijakan dan prosedur untuk permintaan pemeriksaan,
penerimaan spesimen, pengambilan dan penyimpan spesimen
2. Tersedia prosedur pemeriksaan laboratorium
3. Dilakukan pemantauan secara berkala terhadap pelaksanaan prosedur
tersebut
4. Dilakukan evaluasi terhadap ketepatan waktu penyerahan hasil
pemeriksaan laboratorium
5. Tersedia kebijakan dan prosedur pemeriksaan di luar jam kerja (pada
klinikdengan rawat inap atau pada klinik yang menyediakan pelayanan
di luar jam kerja)
6. Ada kebijakan dan prosedur untuk pemeriksaan yang berisiko tinggi
(misalnya spesimen sputum, darah dan yang lain)
7. Tersedia prosedur kesehatan dan keselamatan kerja, dan alat pelindung
diri bagi petugas laboratorium
8. Dilakukan pemantauan terhadap penggunaan alat pelindung diri dan
pelaksanaan prosedur kesehatan dan keselamatan kerja
9. Tersedia prosedur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, dan
limbah medis hasil pemeriksaan laboratorium
10. Tersedia prosedur pengelolaan reagen di laboratorium
11. Dilakukan pemantauan dan tindak lanjut terhadap pengelolaan limbah
medis apakah sesuai dengan prosedur
48
Kriteria:
3.1.8. Program keselamatan (safety) dalam pelayanan laboratorium
direncanakan, dilaksanakan, dan didokumentasikan
Pokok Pikiran:
- Ada program keamanan yang aktif di laboratorium dengan tingkatan
sesuai dengan risiko dan kemungkinan bahaya dalam laboratorium.
Program ini mengatur praktek keamanan dan langkah-langkah
pencegahan bagi staf laboratorium, staf lain dan pasien apabila berada di
laboratorium. Program laboratorium ini merupakan program yang
terintegrasi dengan program keselamatan di klinik.
- Program keselamatan di laboratorium termasuk:
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung pemenuhan standar
dan peraturan.
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis untuk penanganan dan pembuangan
bahan infeksius dan berbahaya.
▪ Tersedianya peralatan keamanan sesuai praktek di laboratorium dan
untuk bahaya yang dihadapi.
▪ Orientasi bagi semua staf laboratorium untuk prosedur dan praktek
keamanan kerja.
▪ Pendidikan (in service education) untuk prosedur-prosedur baru dan
pengenalan bahan berbahaya yang baru dikenali/diperoleh, maupun
peralatan yang baru.
Elemen Penilaian:
1. Terdapat program keselamatan/keamanan laboratorium yang mengatur
risiko keselamatan yang potensial di laboratorium dan di area lain yang
mendapat pelayanan laboratorium.
2. Program ini adalah bagian dari program keselamatan di klinik
3. Petugas laboratorium melaporkan kegiatan pelaksanaan program
keselamatan kepada pengelola program keselamatan di klinik sekurang-
kurangnya setahun sekali dan bila terjadi insidens keselamatan.
49
4. Terdapat kebijakan dan prosedur tertulis tentang penanganan dan
pembuangan bahan berbahaya
5. Dilakukan identifikasi, analisisdan tindak lanjut risiko keselamatan di
laboratorium
6. Staf laboratorium diberikan orientasi untuk prosedur dan praktek
keselamatan/keamanan kerja

Pelayanan radiodiagnostik (jika tersedia)


Standar
3.3. Pelayanan radiodiagnostik disediakan sesuai kebutuhan pasien,
dilaksanakan oleh tenaga yang kompeten, dan mematuhi persyaratan
perundangan yang berlaku
Kriteria:
3.3.2 Ada program pengamanan radiasi, dilaksanakan dan didokumentasi.
Pokok Pikiran:
- Klinik memiliki suatu program aktif dalam keamanan radiasi yang meliputi
semua komponen pelayanan radiodiagnostik. Program keamanan
radiologi mencerminkan antisipasi risiko dan bahaya yang dihadapi.
Program mengatur praktek yang aman dan langkah pencegahan bahaya
untuk petugas radiologi karyawan lain, dan pasien.
- Program ini dikoordinasi dengan program keselamatan klinik. • Program
pengelolaan keamanan radiasi termasuk:
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis yang menunjang kesesuaian dengan
standar, undang-undang dan peraturan yang berlaku.
▪ Kebijakan dan prosedur tertulis untuk penanganan dan pembuangan
bahan infeksius dan berbahaya.
▪ Ketersediaan alat pelindung diri yang sesuai dengan praktek dan
antisipasi bahaya yang dihadapi.
▪ Ada orientasi bagi staf radiologi dan diagnostik imajing untuk prosedur
dan praktek keselamatan kerja.

50
▪ Ada pendidikan/pelatihan inhouse untuk prosedur baru atau adanya
bahan berbahaya yang baru diketahui dan digunakan.
Elemen Penilaian:
1. Terdapat program keamanan radiasi yang mengatur risiko keamanan dan
antisipasi bahaya yang bisa terjadi di dalam atau di luar unit kerja
2. Program keamanan merupakan bagian dari program keselamatan di
klinik, dan wajib dilaporkan sekurang-kurangnya sekali setahun atau bila
ada kejadian 3. Kebijakan dan prosedur tertulis yang mengatur dan
memenuhi standar terkait, undang-undang dan peraturan yang berlaku.
3. Kebijakan dan prosedur tertulis yang mengatur penanganan dan
pembuangan bahan infeksius dan berbahaya.
4. Risiko keamanan radiasi yang diidentifikasi diimbangi dengan prosedur
atau peralatan khusus untuk mengurangi risiko (seperti apron timah,
badge radiasi dan yang sejenis)
5. Petugas pemberi pelayanan radiodiagnostik diberi orientasi tentang
prosedur dan praktek keselamatan
6. Petugas pemberi pelayanan radiodiagnostik mendapat pendidikan untuk
prosedur baru dan bahan berbahaya

Manajemen Keamanan Lingkungan


Standar
3.5. Lingkungan pelayanan mematuhi persyaratan hukum, regulasi dan
perijinan yang berlaku.
Kriteria
3.5.2. Inventarisasi, pengelolaan, penyimpanan dan penggunaan bahan
berbahaya serta pengendalian dan pembuangan limbah berbahaya
dilakukan berdasarkan perencanaan yang memadai
Pokok Pikiran:
- Klinik mengidentifikasi dan mengendalikan secara aman bahan dan
limbah berbahaya. Bahan berbahaya dan limbahnya tersebut meliputi
bahan kimia, bahan, gas dan uap berbahaya serta limbah medis dan
51
infeksius lain sesuai ketentuan. Klinik harus menyusun rencana
pengendalian bahan dan limbah berbahaya dan menetapkan proses
untuk:
▪ inventarisasi bahan dan limbah berbahaya;
▪ penanganan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya;
▪ pelaporan dan investigasi dari tumpahan, paparan (exposure) dan
insiden lainnya;
▪ pembuangan limbah berbahaya yang benar;
▪ peralatan dan prosedur perlindungan yang benar pada saat
penggunaan, ada tumpahan (spill) atau paparan (exposure);
▪ pendokumentasian, meliputi setiap izin dan perizinan/lisensi atau
ketentuan persyaratan lainnya;
▪ pemasangan label yang benar pada bahan dan limbah berbahaya.
Elemen Penilaian:
1. Ditetapkan kebijakan dan prosedur inventarisasi, pengelolaan,
penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya
2. Ditetapkan kebijakan dan prosedur pengendalian dan pembuangan
limbah berbahaya
3. Dilakukan pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
kebijakan dan prosedur penanganan bahan berbahaya
4. Dilakukan pemantauan, evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
kebijakan dan prosedur penanganan limbah berbahaya

Kriteria
3.5.3. Perencanaan dan pelaksanaan program yang efektif untuk menjamin
keamanan lingkungan fisik dikelola oleh petugas yang kompeten
Pokok Pikiran:
- Untuk mengelola risiko di lingkungan dimana pasien dirawat dan staf
bekerja memerlukan perencanaan. Rencana tahunan dalam mengelola
lingkungan perlu disusun meliputi:

52
a) Keselamatan dan Keamanan. Keselamatan adalah suatu keadaan
tertentu dimana gedung, halaman, tempat parkir, dan peralatan klinik
tidak menimbulkan bahaya atau risiko bagi pasien, staf dan
pengunjung. Keamanan adalah proteksi dari kehilangan, pengrusakan
dan kerusakan, atau akses serta penggunaan oleh mereka yang tidak
berwenang
b) Bahan berbahaya, yang meliputi: penanganan, penyimpanan dan
penggunaan bahan berbahaya lainnya harus dikendalikan dan limbah
bahan berbahaya dibuang secara aman.
c) Manajemen emergensi, yaitu tanggapan terhadap wabah, bencana dan
keadaan emergensi direncanakan dan efektif
d) Pengamanan kebakaran: klinik wajib melindung properti dan
penghuninya dari kebakaran dan asap.
e) Peralatan medis: untuk mengurangi risiko, peralatan dipilih, dipelihara
dan digunakan sesuai dengan ketentuan.
f) Sistem utilitas, meliputi listrik, air dan sistem pendukung lainnya
dipelihara untuk meminimalkan risiko kegagalan pengoperasian
- Rencana tersebut didokumentasikan dan di up-date yang merefleksikan
keadaan keadaan terkini dalam lingkungan klinik. Rencana tersebut dikaji
dan dilakukan update secara reguler melalui proses yang baku.
Elemen Penilaian:
1. Ada rencana program untuk menjamin lingkungan fisik yang aman
2. Ditetapkan petugas yang bertanggungjawab dalam perencanaan dan
pelaksanaan program untuk menjamin lingkungan fisik yang aman
3. Program tersebut mencakup perencanaan, pelaksanaan, pendidikan dan
pelatihan petugas, pemantauan, dan evaluasi
4. Dilakukan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan
program tersebut.

Akreditasi Praktik Mandiri Dokter/Dokter Gigi


Persyaratan Prasarana Praktik Mandiri
53
Kriteria
1.1.4. Prasarana Praktik Mandiri tersedia, terpelihara, dan berfungsi dengan
baik untuk menunjang akses, keamanan, kelancaran dalam
memberikan pelayanan sesuai dengan pelayanan yang disediakan.
Pokok Pikiran:
- Untuk kelancaran dalam memberikan pelayanan dan manjamin
kesinambungan pelayanan maka Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
dilengkapi dengan prasarana klinis yang dipersyaratkan
- Prasarana klinis tersebut meliputi: instalasi air, instalasi listrik, instalasi
sirkulasi udara, sarana pengelolaan limbah, pencegahan dan
penanggulangan kebakarandan prasarana lain sesuai dengan kebutuhan.
- Prasarana klinis tersebut harus dipelihara dan berfungsi dengan baik.
Elemen Penilaian:
1. Tersedia prasarana Praktik Mandiri sesuai kebutuhan
2. Dilakukan pemeliharaan yang terjadual terhadap prasarana Praktik
Mandiri
3. Dilakukan monitoring terhadap pemeliharaan prasarana Praktik Mandiri
4. Dilakukan monitoring terhadap fungsi prasana Praktik Mandiri yang ada
5. Dilakukan tindak lanjut terhadap hasil monitoring

Kriteria
1.8.2. Inventarisasi, pengelolaan, penyimpanan dan penggunaan bahan
berbahaya serta pengendalian dan pembuangan limbah berbahaya
dilakukan secara memadai
Pokok Pikiran:
- Dokter Praktik Mandiri perlu mengidentifikasi dan mengendalikan secara
aman bahan dan limbah berbahaya. Bahan berbahaya dan limbah
berbahaya tersebut meliputi bahan kimia, bahan, gas dan uap berbahaya
serta limbah medis dan infeksius lain sesuai ketentuan. Dokter Praktik

54
Mandiri harus menyusun rencana pengendalian bahan dan limbah
berbahaya dan menetapkan proses untuk:
▪ inventarisasi bahan dan limbah berbahaya;
▪ penanganan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya;
▪ pembuangan limbah berbahaya yang benar;
▪ peralatan dan prosedur perlindungan yang benar pada saat
penggunaan, ada tumpahan (spill) atau paparan (exposure);
▪ pemasangan label yang benar pada bahan dan limbah berbahaya.
- Ketentuan penyimpanan, penggunaan, dan pembuangan bahan
berbahaya dapat dilihat pada Material Safety Data Sheet (MSDS) dari
bahan berbahaya tersebut.
Elemen Penilaian:
1. Dilakukan inventarisasi, pengelolaan, penyimpanan dan penggunaan
bahan berbahaya
2. Dilakukan pengendalian dan pembuangan limbah berbahaya sesuai
dengan ketentuan
3. Dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk pembuangan limbah
medis dan bahan berbahaya.

Kriteria
2.11.2. Dokter praktik mandiri bertanggung jawab untuk meminimalkan risiko
terjadinya infeksi dalam menyediakan pelayanan kesehatan.
Pokok Pikiran:
- Untuk mencegah terjadinya risiko infeksi terkait dengan pelayanan
kesehatan yang disediakan oleh dokter praktik mandiri, maka dokter
praktik mandiri berkewajiban melakukan upaya-upaya untuk mencegah
terjadinya risiko infeksi baik pada pasien, keluarga pasien, maupun dokter
dan petugas kesehatan yang membantu.
- Untuk mengupayakan pencegahan infeksi perlu disusun panduan atau
prosedur pencegahan infeksi di tempat praktik yang diterapkan dalam
penyelenggaraan praktik mandiri
55
- Upaya pencegahan meliputi: cuci tangan (hand hygiene), pengelolaan jika
terjadi cedera akibat benda tajam, pengelolaan ceceran darah atau cairan
tubuh, kebersihan tempat pelayanan, prosedur aseptic dan sterilisasi,
pembuangan limbah medis, penggunaan alat pelindung diri, dan
pencegahan terjadinya penularan penyakit, sesuai dengan panduan dan
peraturan perundangan yang berlaku.
Elemen Penilaian:
1. Tersedia panduan atau prosedur pencegahan infeksi
2. Tersedia prosedur triase untuk pasien dengan potensi penularan penyakit
3. Dokter dan petugas kesehatan yang membantu memahami upaya-upaya
pencegahan infeksi
4. Dokter dan petugas kesehatan yang membantu pada saat menjalankan
tugas pelayanan menerapkan upaya pencegahan infeksi sesuai dengan
panduan atau prosedur
5. Tempat pelayanan dijaga kebersihannya
6. Dokter praktik mandiri menggunakan alat pelindung diri jika
dipersyaratkan
7. Dilakukan sterilisasi peralatan medis yang digunakan sesuai dengan
panduan
8. Pembuangan limbah medis dilakukan sesuai dengan panduan

PermenLHK Nomor 4 tahun 2021 tentang Daftar Usaha dan/atau Kegiatan


Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup
a) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) adalah kajian
mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai
prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
56
dan/atau kegiatan serta termuat dalam perizinan berusaha, atau
persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
b) Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah rangkaian
proses pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan
dalam bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan
keputusan serta termuat dalam perizinan berusaha, atau persetujuan
pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
c) Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut SPPL adalah pernyataan
kesanggupan dari penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk
melakukan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup atas
Dampak Lingkungan Hidup dari Usaha dan/atau Kegiatannya di luar
Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL.
d) Usaha dan/atau Kegiatan adalah segala bentuk aktivitas yang dapat
menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta
menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup.
e) Dampak Penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat
mendasar yang diakibatkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan.

57
Tabel 1 Jenis Usaha Bidang Kesehatan Wajib AMDAL

Jenis Usaha Kategori


Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
1. 21021 Industri Ekstrak Sesuai ketentuan Sesuai Berpotensi Kategori C
Bahan Alam Multisektor ketentuan menyebabkan
Multisektor pencemaran
air, konflik
social,
keresahan
masyrakat,
pencemaran
udara, dan
kebisingan
2. 21022 Industri Obat Sesuai ketentuan Sesuai Berpotensi Kategori C
Tradisional Multrisektor ketentuan menyebabkan
Multisektor pencemaran
air, konflik
social,
kereshan
masyrakat,
pencemaran

58
Jenis Usaha Kategori
Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
udara dan
kebisingan
3. Usaha Kecil Obat - - Semua besaran
Tradisional
4. Usaha Mikro Obat - - Semua besaran
Tradisional
5. 86903 Unit Transfusi - Unit Transfusi -
Darah (UTD) Darah (UTD)
kelas pratama,
madya, dan
utama
6. Optikal - - Usaha/kegiatan
yang memiliki
laboratorium
7. Rumah Sakit - Semua besaran -
Kelas D Pratama
8. Laboratorium - Laboratorium -
Medis Medis kelas

59
Jenis Usaha Kategori
Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
utama dan
pratama
9. Laboratorium - Semua besaran -
Pengelolahan
Sel/Sel Punca
10. Bank Sel, Sel - Semua besaran -
Punda dan/atau
Jaringan
11. Bank Mata - - Usaha/kegiatan
yang memiliki
laboratorium
12. 86101, Rumah Sakit Sesuai Kriteria KelasA, kelas B, - Berpotensi
86103 Pemerintah dan Multisektor dan Kelas D, menyebabkan
Rumah Sakit dan rumah sakit pencmaran air,
Swasta swasta peningkatan
penanaman limbah B3, baud
modal asing an konflik sosial
dengan
skala/besaran

60
Jenis Usaha Kategori
Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
yang tidak
masuk kriteria
multisektor
13. 86104, Klink Pemerintan - - Klnik pratama
86105 dan Klinik Swasta dan utama
14. 47721 Apotek - - Semua besaran
15. 46441, Pedagang Besar - - Semua besaran
46447 Farmasi
16. Pedagang Besar - - Semua besaran
Farmasi Cabang
17. 20232 Industri Semua ketentuan Semua ketentuan Berpotensi Katogori C
Kosmetika multisektor multisektor menyebabkan
pencemaran air,
konflik social,
keresahan
masyarakat,
pencemaran
udara dan
kebisingan

61
Jenis Usaha Kategori
Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
18. 21011 Industri Farmasi Semua ketentuan Semua Berpotensi Katogori C
Bahan Obat multisektor ketentuan menyebabkan
multisektor pencemaran air,
konflik social,
keresahan
masyarakat,
pencemaran
udara dan
kebisingan
19. 21012 Industri Farmasi Sesuai ketentuan Sesuai Berpotensi Katogori C
multisektor ketentuan menyebabkan
multisektor pencemaran air,
konflik social,
keresahan
masyarakat,
pencemaran
udara dan
kebisingan

62
Jenis Usaha Kategori
Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
20 71208 Pengujian - Usaha/kegiatan Usaha.kegiatan
dan/atau Kalibrasi yang memiliki yang tidak
Alat Kesehatan laboratorium memiliki
dan Inspeksi laboratorium
Sarana Prasarana
Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan
21. 86102 Aktivitas - - Semua besaran
Puskesmas
22. 86902 Penyelenggaraan - - Semua besaran
Panti Sehat
Berkelompok
23. 86901 Griya Sehat - - Semua besaran
24 21015. Produksi Alat Sesuai ketentuan Sesuai Berpotensi Kategori C
13992 PKRT multisektor ketentuan menyebabkan
multisektor pencemaran air

63
Jenis Usaha Kategori
Skala/Besaran Skala/Besaran Skala/Besaran Alasan Ilmiah
No Nomor KBLI dan/atau Amdal/Kategori
Amdal UKL-UPL* SPPL Amdal
Kegiatan UKL-UPL*
25. 21015, Produksi Alat Sesuai ketentuan Sesuai Berpotensi Kategori C
13993, Kesehatan dan multisektor ketentuan menyebabkan
20231, PKRT multisektor pencemaran air
17091,
32501,
32509,
26792,
27510,
32502,
32503,
23121,
17099,
26602,
22194,
26601,
22299,
23124

64
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1428 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Puskesmas
Puskesmas adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama
yang merupakan tempat umum yang berisiko potensial bagi penularan
penyakit maupun pencemaran lingkungan. Penyehatan saran dan bangunan
Puskesmas sangat penting dalam rangka mewujudkan lingkungan yang
sehat yang dapat memberikan perlindungan bagi pengunjung dan petugas
Puskesmas, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan akibat kegiatan
Puskesmas. Puskesmas sebagai saran pelayanan umum, wajib memelihara
dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar
persyaratan. Puskemas wajib mematuhi standar baku mutu media
lingkungan dan persyaratan kesehatan sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah terkait aspek
persyaratan lingkungan bangunan, persyaratan bangunan, persyaratan
kualitas suhu, kelembaban, pencahayaan, debu dan kebisingan, persyaratan
sarana dan fasilitas sanitasi, tata laksana

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1128/2022 tentang Standar Akreditasi


Rumah Sakit
Menurut KMK Nomor 1128 Nomor 1128/2022 tentang Standar Akreditasi
Rumah Sakit, rumah sakit yang mengajukan permohonan survei akreditasi
paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Rumah sakit memiliki perizinan berusaha yang masih berlaku dan
teregistrasi di Kementerian Kesehatan;
2) Kepala atau direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis yang
mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan;
3) Rumah sakit memiliki Izin Pengelolaan Limbah Cair (IPLC) yang masih
berlaku;
4) Rumah sakit memiliki kerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai
izin sebagai pengolah dan/atau sebagai transporter limbah B3 yang
masih berlaku atau izin alat pengolah limbah B3;
65
5) Seluruh tenaga medis di rumah sakit yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan (pemberi asuhan) memiliki Surat Tanda Registrasi
(STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang masih berlaku atau surat tugas
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
6) Rumah sakit bersedia melaksanakan kewajiban dalam meningkatkan
mutu dan keselamatan pasien; dan
7) Pemenuhan Sarana Prasarana dan Alat Kesehatan (SPA) minimal 60%
berdasarkan ASPAK dan telah tervalidasi 100% oleh Kementerian
Kesehatan atau dinas kesehatan daerah setempat sesuai dengan
kewenangannya.

Dari persyaratan tersebut, terkait dengan kesehatan lingkungan fasyankes


bahwa salah satu syarat rumah sakit untuk dapat dilakukan survey akreditasi
dalah rumah sakit memiliki izin pengelolaan limbah cair yang masih berlaku
dan rumah sakit memiliki kerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai
izin sebagai penglah dan/atau sebagai transporter limbah B3 yang masih
berlaku atau izin alat pengolah limbah B3.
Dalam penilaian akreditasi rumah sakit salah satu yang dinilai adalah
manajemen fasilitas keamanan (MFK). Pada MFK ini banyak terkait dengan
kesehatan lingkungan. Fokus pada standar Manajemen Fasilitas dan
Keamanan ini meliputi:
a. Kepemimpinan dan perencanaan;
b. Keselamatan
c. Keamanan;
d. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3;
e. Proteksi kebakaran;
f. Peralatan medis
g. Sistim utilitas;
h. Penanganan kedaruratan dan bencana;
i. Konstruksi dan renovasi; dan
j. Pelatihan.
66
Kepemimpinan dan Perencanaan
1) Standar MFK 1
Rumah sakit mematuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan bangunan, prasarana dan peralatan
medis rumah sakit.
2) Maksud dan Tujuan MFK 1
Rumah sakit harus mematuhi peraturan perundang- undangan termasuk
mengenai bangunan dan proteksi kebakaran. Rumah sakit selalu menjaga
fasilitas fisik dan lingkungan yang dimiliki dengan melakukan inspeksi
fasilitas secara berkala dan secara proaktif mengumpulkan data serta
membuat strategi untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kualitas
fasilitas keselamatan, kesehatan dan keamanan lingkungan pelayanan
dan perawatan serta seluruh area rumah sakit.
Pimpinan rumah sakit dan penanggung jawab fasilitas keselamatan rumah
sakit bertanggung jawab untuk mengetahui dan menerapkan hukum dan
peraturan perundangan, keselamatan gedung dan kebakaran, dan
persyaratan lainnya, seperti perizinan dan lisensi/sertifkat yang masih
berlaku untuk fasilitas rumah sakit dan mendokumentasikan semua
buktinya secara lengkap.
Perencanaan dan penganggaran untuk penggantian atau peningkatan
fasilitas, sistem, dan peralatan yang diperlukan untuk memenuhi
persyaratan yang berlaku atau seperti yang telah diidentifikasi
berdasarkan pemantauan atau untuk memenuhi persyaratan yang berlaku
dapat memberikan bukti pemeliharaan dan perbaikan.
3) Elemen Penilaian MFK 1
a) Rumah sakit menetapkan regulasi terkait Manajemen Fasilitas dan
Keselamatan (MFK) yang meliputi poin a)– j) pada gambaran umum.\
b) Rumah sakit telah melengkapi izin-izin dan sertifikasi yang masih
berlaku sesuai persyaratan peraturan perundang-undangan.

67
c) Pimpinan rumah sakit memenuhi perencanaan anggaran dan sumber
daya serta memastikan rumah sakit memenuhi persyaratan
perundang-undangan.
4) Standar MFK 2
Rumah Sakit menetapkan penanggungjawab yang kompeten untuk
mengawasi penerapan manajemen fasilitas dan keselamatan di rumah
sakit.
5) Maksud dan tujuan MFK 2
Untuk dapat mengelola fasilitas dan keselamatan di rumah sakit secara
efektif, maka perlu di tetapkan penanggung jawab manajemen fasilitas
dan keselamatan (MFK) yang bertanggungjawab langsung kepada
Direktur. Penanggung jawab Manajemen Fasilitas dan Keselamatan
(MFK) dapat berbentuk unit, tim, maupun komite sesuai dengan kondisi
dan kompleksitas rumah sakit.
Penanggung jawab MFK harus memiliki kompetensi yang dibutuhkan
serta berpengalaman untuk dapat melakukan pengelolaan dan
pengawasan manajemen fasilitas dan keselamatan (MFK) seperti
kesehatan dan keselamatan kerja, kesehatan lingkungan, farmasi,
pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan utilitas, dan unsur-unsur terkait
lainnya sesuai kebutuhan rumah sakit.
Ruang lingkup tugas dan tanggung jawab penanggung jawab MFK
meliputi:
a) Keselamatan: meliputi bangunan, prasarana, fasilitas, area
konstruksi, lahan, dan peralatan rumah sakit tidak menimbulkan
bahaya atau risiko bagi pasien, staf, atau pengunjung.
b) Keamanan: perlindungan dari kehilangan, kerusakan, gangguan,
atau akses atau penggunaan yang tidak sah
c) Bahan dan limbah berbahaya: Pengelolaan B3 termasuk
penggunaan radioaktif serta bahan berbahaya lainnya dikontrol, dan
limbah berbahaya dibuang dengan aman.

68
d) Proteksi kebakaran: Melakukan penilaian risiko yang berkelanjutan
untuk meningkatkan perlindungan seluruh aset, properti dan
penghuni dari kebakaran dan asap.
e) Penanganan kedaruratan dan bencana: Risiko diidentifikasi dan
respons terhadap epidemi, bencana, dan keadaan darurat
direncanakan dan efektif,
f) Peralatan medis: Peralatan dipilih, dipelihara, dan digunakan
dengan cara yang aman dan benar untuk mengurangi risiko.
g) Sistem utilitas: Listrik, air, gas medik dan sistem utilitas lainnya
dipelihara untuk meminimalkan risiko kegagalan pengoperasian.
h) Konstruksi dan renovasi: Risiko terhadap pasien, staf, dan
pengunjung diidentifikasi dan dinilai selama konstruksi, renovasi,
pembongkaran, dan aktivitas pemeliharaan lainnya.
i) Pelatihan: Seluruh staf di rumah sakit dan para tenant/penyewa
lahan dilatih dan memiliki pengetahuan tentang K3, termasuk
penanggulangan kebakaran.
j) Pengawasan pada para tenant/penyewa lahan yang melakukan
kegiatan di dalam area lingkungan rumah sakit.

Penanggung jawab MFK menyusun Program Manajemen fasilitas dan


keselamatan rumah sakit meliputi a) – j) setiap tahun. Dalam program
tersebut termasuk melakukan pengkajian dan penanganan risiko pada
keselamatan, keamanan, pengelolaan B3, proteksi kebakaran,
penanganan kedaruratan dan bencana, peralatan medis dan sistim
utilitas.
Pengkajian dan penanganan risiko dimasukkan dalam daftar risiko
manajemen fasilitas keselamatan (MFK). Berdasarkan daftar risiko
tersebut, dibuat profil risiko MFK yang akan menjadi prioritas dalam
pemantauan risiko di fasilitas dan lingkungan rumah sakit. Pengkajian,
penanganan dan pemantauan risiko MFK tersebut akan diintegrasikan ke
dalam daftar risiko rumah sakit untuk penyusunan program manajemen
69
risiko rumah sakit. Penanggung jawab MFK melakukan pengawasan
terhadap manajemen fasilitas dan keselamatan yang meliputi:
a) Pengawasan semua aspek program manajemen fasilitas dan
keselamatan seperti pengembangan rencana dan memberikan
rekomendasi untuk ruangan, peralatan medis, teknologi, dan
sumber daya;
b) Pengawasan pelaksanaan program secara konsisten dan
berkesinambungan;
c) Pelaksanaan edukasi staf;
d) Pengawasan pelaksanaan pengujian/testing dan pemantauan
program;
e) Penilaian ulang secara berkala dan merevisi program manajemen
risiko fasilitas dan lingkungan jika dibutuhkan;
f) Penyerahan laporan tahunan kepada direktur rumah sakit;
g) Pengorganisasian dan pengelolaan laporan kejadian/insiden dan
melakukan anlisis, dan upaya perbaikan
6) Elemen Penilaian MFK 2
a) Rumah sakit telah menetapkan Penanggungjawab MFK yang
memiliki kompetensi dan pengalaman dalam melakukan
pengelolaan pada fasilitas dan keselamatan di lingkungan rumah
sakit.
b) Penanggungjawab MFK telah menyusun Program Manajemen
Fasilitas dan Keselamatan (MFK) yang meliputi poin a) – j) dalam
maksud dan tujuan.
c) Penanggungjawab MFK telah melakukan pengawasan dan evaluasi
Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) setiap tahunnya
meliputi poin a) – g) dalam maksud dan tujuan serta melakukan
penyesuaian program apabila diperlukan.
d) Penerapan program Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK)
pada tenant/penyewa lahan yang berada di lingkungan rumah sakit
meliputi poin a) – e) dalam maksud dan tujuan.
70
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3
1) Standar MFK 5
Rumah sakit menetapkan dan menerapkan pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah B3 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Maksud dan tujuan MFK 5
Rumah sakit mengidentifikasi, menganalisis dan mengendalikan seluruh
bahan berbahaya dan beracun dan limbahnya di rumah sakit sesuai
dengan standar keamanan dan peraturan perundang-undangan.
Rumah sakit melakukan identifikasi menyeluruh untuk semua area di
mana bahan berbahaya berada dan harus mencakup informasi tentang
jenis setiap bahan berbahaya yang disimpan, jumlah (misalnya, perkiraan
atau rata-rata) dan lokasinya di rumah sakit. Dokumentasi ini juga harus
membahas jumlah maksimum yang diperbolehkan untuk menyimpan
bahan berbahaya di area kerja (maximum quantity on hand). Misalnya, jika
bahan sangat mudah terbakar atau beracun, ada batasan jumlah bahan
yang dapat disimpan di area kerja. Inventarisasi bahan berbahaya dibuat
dan diperbarui, setiap tahun, untuk memantau perubahan bahan
berbahaya yang digunakan dan disimpan.
Kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai WHO meliputi:
a) Infeksius;
b) Patologis dan anatomi;
c) Farmasi;
d) Bahan kimia;
e) Logam berat;
f) Kontainer bertekanan;
g) Benda tajam;
h) Genotoksik/sitotoksik; dan
i) Radioaktif.

71
Proses pengelolaan bahan berbahaya beracun dan limbahnya di rumah
sakit (merupakan bagian dari program Manajemen Fasilitas dan
Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 meliputi:
a) Inventarisasi B3 serta limbahnya yang meliputi jenis, jumlah, simbol
dan lokasi;
b) Penanganan, penyimpanan, dan penggunaan B3 serta limbahnya;
c) Penggunaan alat pelindung diri (APD) dan prosedur penggunaan,
prosedur bila terjadi tumpahan, atau paparan/pajanan;
d) Pelatihan yang dibutuhkan oleh staf yang menangani B3;
e) Pemberian label/rambu-rambu yang tepat pada B3 serta limbahnya;
f) Pelaporan dan investigasi dari tumpahan, eksposur (terpapar), dan
insiden lainnya;
g) Dokumentasi, termasuk izin, lisensi, atau persyaratan peraturan
lainnya; dan
h) Pengadaan/pembelian B3 dan pemasok (supplier) wajib melampirkan
Lembar Data Keselamatan. Informasi yang tercantum di lembar data
keselamatan diedukasi kepada staf rumah sakit, terutama kepada
staf terdapat penyimpanan B3 di unitnya.
Informasi mengenai prosedur penanganan bahan berbahaya dan limbah
dengan cara yang aman harus segera tersedia setiap saat termasuk
prosedur penanganan tumpahan. Jika terjadi tumpahan bahan berbahaya,
rumah sakit memiliki prosedur untuk menanggapi dan mengelola
tumpahan dan paparan yang termasuk menyediakan kit tumpahan untuk
jenis dan ukuran potensi tumpahan serta proses pelaporan tumpahan dan
paparan.
Rumah sakit menerapkan prosedur untuk menanggapi paparan bahan
berbahaya, termasuk pertolongan pertama seperti akses ke tempat
pencuci mata (eye washer) mungkin diperlukan untuk pembilasan segera
dan terus menerus untuk mencegah atau meminimalkan cedera. Rumah
sakit harus melakukan penilaian risiko untuk mengidentifikasi di mana saja
lokasi pencuci mata diperlukan, dengan mempertimbangkan sifat fisik
72
bahan kimia berbahaya yang digunakan, bagaimana bahan kimia ini
digunakan oleh staf untuk melakukan aktivitas kerja mereka, dan
penggunaan peralatan pelindung diri oleh staf. Alternatif untuk lokasi
pencuci mata sesuai pada jenis risiko dan potensi eksposur. Rumah sakit
harus memastikan pemeliharaan pencuci mata yang tepat, termasuk
pembersihan mingguan dan pemeliharaan preventif.
3) Elemen Penilaian MFK 5
a) Rumah sakit telah melaksanakan proses pengelolaan B3 meliputi poin
a) – h) pada maksud dan tujuan.
b) Rumah sakit telah membuat pengkajian risiko secara proaktif terkait
pengelolaan B3 di rumah sakit setiap tahun yang didokumentasikan
dalam daftar risiko/risk register.
c) Di area tertentu yang rawan terhadap pajanan telah dilengkapi dengan
eye washer/body washer yang berfungsi dan terpelihara baik dan
tersedia kit tumpahan/spill kit sesuai ketentuan.
d) Staf dapat menjelaskan dan atau memperagakan penanganan
tumpahan B3.
e) Staf dapat menjelaskan dan atau memperagakan tindakan,
kewaspadaan, prosedur dan partisipasi dalam penyimpanan,
penanganan dan pembuangan limbah B3.
4) Standar MFK 5.1
Rumah sakit mempunyai sistem pengelolaan limbah B3 cair dan padat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Maksud dan Tujuan MFK 5.1
Rumah sakit juga menetapkan jenis limbah berbahaya yang dihasilkan
oleh rumah sakit dan mengidentifikasi pembuangannya (misalnya,
kantong/tempat sampah yang diberi kode warna dan diberi label).
Sistem penyimpanan dan pengelolaan limbah B3 mengikuti ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
Untuk pembuangan sementara limbah B3, rumah sakit agar memenuhi
persyaratan fasilitas pembuangan sementara limbah B3 sebagai berikut:
73
a) Lantai kedap (impermeable), berlantai beton atau semen dengan
sistem drainase yang baik, serta mudah dibersihkan dan dilakukan
desinfeksi;
b) Tersedia sumber air atau kran air untuk pembersihan yang dilengkapi
dengan sabun cair;
c) Mudah diakses untuk penyimpanan limbah;
d) Dapat dikunci untuk menghindari akses oleh pihak yang tidak
berkepentingan;
e) Mudah diakses oleh kendaraan yang akan mengumpulkan atau
mengangkut limbah;
f) Terlindungi dari sinar matahari, hujan, angin kencang, banjir, dan faktor
lain yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau bencana kerja;
g) Terlindung dari hewan: kucing, serangga, burung, dan lain-lainnya;
h) Dilengkapi dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik serta
memadai;
i) Berjarak jauh dari tempat penyimpanan atau penyiapan makanan;
j) Peralatan pembersihan, alat pelindung diri/APD (antara lain masker,
sarung tangan, penutup kepala, goggle, sepatu boot, serta pakaian
pelindung) dan wadah atau kantong limbah harus diletakkan sedekat-
dekatnya dengan lokasi fasilitas penyimpanan; dan
k) Dinding, lantai, dan juga langit-langit fasilitas penyimpanan senantiasa
dalam keadaan bersih termasuk pembersihan lantai setiap hari.
Untuk limbah berwujud cair dapat dilakukan di Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) dari fasilitas pelayanan kesehatan. Tujuan pengolahan
limbah medis adalah mengubah karakteristik biologis dan/atau kimia
limbah sehingga potensi bahayanya terhadap manusia berkurang atau
tidak ada. Bila rumah sakit mengolah limbah B3 sendiri maka wajib
mempunyai izin mengolah limbah B3. Namun, bila pengolahan B3
dilaksanakan oleh pihak ketiga maka pihak ketiga tersebut wajib
mempunyai izin sebagai pengolah B3. Pengangkut/transporter dan
pengolah limbah B3 dapat dilakukan oleh institusi yang berbeda.
74
6) Elemen Penilaian MFK 5.1
a) Rumah sakit melakukan penyimpanan limbah B3 sesuai poin a) – k)
pada maksud dan tujuan.
b) Rumah sakit mengolah limbah B3 padat secara mandiri atau
menggunakan pihak ketiga yang berizin termasuk untuk pemusnahan
limbah B3 cair yang tidak bisa dibuang ke IPAL.
c) Rumah sakit mengelola limbah B3 cair sesuai peraturan perundang-
undangan.

Sistem Utilitas
1) Standar MFK 8
Rumah sakit menetapkan dan melaksanakan proses untuk memastikan
semua sistem utilitas (sistem pendukung) berfungsi efisien dan efektif
yang meliputi pemeriksaan, pemeliharaan, dan perbaikan sistem utilitas.
2) Maksud dan Tujuan MFK 8
Definisi utilitas adalah sistem dan peralatan untuk mendukung layanan
penting bagi keselamatan pasien. Sistem utilitas disebut juga sistem
penunjang yang mencakup jaringan listrik, air, ventilasi dan aliran udara,
gas medik dan uap panas. Sistem utilitas yang berfungsi efektif akan
menunjang lingkungan asuhan pasien yang aman. Selain sistim utilitas
perlu juga dilakukan pengelolaan komponen kritikal terhadap listrik, air dan
gas medis misalnya perpipaan, saklar, relay/penyambung, dan lain-
lainnya.
Asuhan pasien rutin dan darurat berjalan selama 24 jam terus menerus,
setiap hari, dalam waktu 7 (tujuh) haridalam seminggu. Jadi,
kesinambungan fungsi utilitas merupakan hal esensial untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Termasuk listrik dan air harus tersedia selama 24 jam
terus menerus, setiap hari, dalam waktu 7 (tujuh) hari dalam seminggu.
Pengelolaan sistim utilitas yang baik dapat mengurangi potensi risiko pada
pasien maupun staf. Sebagai contoh, kontaminasi berasal dari sampah di
area persiapan makanan, kurangnya ventilasi di laboratorium klinik,
75
tabung oksigen yang disimpan tidak terjaga dengan baik, kabel listrik
bergelantungan, serta dapat menimbulkan bahaya. Untuk menghindari
kejadian ini maka rumah sakit harus melakukan pemeriksaan berkala dan
pemeliharan preventif.
Rumah sakit perlu menerapkan proses pengelolaan sistem utilitas dan
komponen kritikal (yang merupakan bagian dari progam Manajemen
Fasilitas dan Keselamatan (MFK) pada standar MFK 1 sekurang-
kurangnya meliputi:
a) Ketersediaan air dan listrik 24 jam setiap hari dan dalam waktu 7 (tujuh)
hari dalam seminggu secara terus menerus;
b) Membuat daftar inventaris komponen-komponen sistem utilitas,
memetakan pendistribusiannya, dan melakukan update secara
berkala;
c) Pemeriksaan, pemeliharaan, serta perbaikan semua komponen utilitas
yang ada di daftar inventaris;
d) Jadwal pemeriksaan, uji fungsi, dan pemeliharaan semua sistem
utilitas berdasar atas kriteria seperti rekomendasi dari pabrik, tingkat
risiko, dan pengalaman rumah sakit; dan
e) Pelabelan pada tuas-tuas kontrol sistem utilitas untuk membantu
pemadaman darurat secara keseluruhan atau sebagian saat terjadi
kebakaran.
3) Elemen Penilaian MFK 8
a) Rumah sakit telah menerapkan proses pengelolaan sistem utilitas yang
meliputi poin a) - e) dalam maksud dan tujuan.
b) Rumah sakit telah melakukan pengkajian risiko sistim utilitas dan
komponen kritikalnya secara proaktif setiap tahun yang
didokumentasikan dalam daftar risiko/risk register.

4) Standar MFK 8.1


Dilakukan pemeriksaan, pemeliharaan, dan perbaikan sistem utilitas.
5) Maksud dan Tujuan MFK 8.1
76
Rumah sakit harus mempunyai daftar inventaris lengkap sistem utilitas
dan menentukan komponen yang berdampak pada bantuan hidup,
pengendalian infeksi, pendukung lingkungan, dan komunikasi. Proses
menajemen utilitas menetapkan pemeliharaan utilitas untuk memastikan
utilitas pokok/penting seperti air, listrik, sampah, ventilasi, gas medik, lift
agar dijaga, diperiksa berkala, dipelihara, dan diperbaiki.
6) Elemen Penilaian MFK 8.1
a) Rumah sakit menerapkan proses inventarisasi sistim utilitas dan
komponen kritikalnya setiap tahun.
b) Sistem utilitas dan komponen kritikalnya telah diinspeksi secara
berkala berdasarkan ketentuan rumah sakit.
c) Sistem utilitas dan komponen kritikalnya diuji secara berkala berdasar
atas kriteria yang sudah ditetapkan.
d) Sistem utilitas dan komponen kritikalnya dipelihara berdasar atas
kriteria yang sudah ditetapkan.
e) Sistem utilitas dan komponen kritikalnya diperbaiki bila diperlukan.
7) Standar MFK 8.2
Sistem utilitas rumah sakit menjamin tersedianya air bersih dan listrik
sepanjang waktu serta menyediakan sumber cadangan/alternatif
persediaan air dan tenaga listrik jika terjadi terputusnya sistem,
kontaminasi, atau kegagalan.
8) Maksud dan Tujuan MFK 8.2
Pelayanan pasien dilakukan selama 24 jam terus menerus, setiap hari
dalam seminggu di rumah sakit. Rumah sakit mempunyai kebutuhan
sistem utilitas yang berbeda-beda bergantung pada misi rumah sakit,
kebutuhan pasien, dan sumber daya. Walaupun begitu, pasokan sumber
air bersih dan listrik terus menerus sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan pasien. Rumah sakit harus melindungi pasien dan staf dalam
keadaan darurat seperti jika terjadi kegagalan sistem, pemutusan, dan
kontaminasi.

77
Sistem tenaga listrik darurat dibutuhkan oleh semua rumah sakit yang
ingin memberikan asuhan kepada pasien tanpa putus dalam keadaan
darurat. Sistem darurat ini memberikan cukup tenaga listrik untuk
mempertahankan fungsi yang esensial dalam keadaan darurat dan juga
menurunkan risiko terkait terjadi kegagalan. Tenaga listrik cadangan dan
darurat harus dites sesuai dengan rencana yang dapat membuktikan
beban tenaga listrik memang seperti yang dibutuhkan. Perbaikan
dilakukan jika dibutuhkan seperti menambah kapasitas listrik di area
dengan peralatan baru.
Mutu air dapat berubah mendadak karena banyak sebab, tetapi sebagian
besar karena terjadi di luar rumah sakit seperti ada kebocoran di jalur
suplai ke rumah sakit. Jika terjadi suplai air ke rumah sakit terputus maka
persediaan air bersih darurat harus tersedia segera. Untuk
mempersiapkan diri terhadap keadaan darurat seperti ini, rumah sakit agar
mempunyai proses meliputi:
a) Mengidentifikasi peralatan, sistem, serta area yang memiliki risiko
paling tinggi terhadap pasien dan staf (sebagai contoh, rumah sakit
mengidentifikasi area yang membutuhkan penerangan, pendinginan
(lemari es), bantuan hidup/ventilator, serta air bersih untuk
membersihkan dan sterilisasi alat);
b) Menyediakan air bersih dan listrik 24 jam setiap hari dan 7 (tujuh) hari
seminggu;
c) Menguji ketersediaan serta kehandalan sumber tenaga listrik dan air
bersih darurat/pengganti/back-up;
d) Mendokumentasikan hasil-hasil pengujian;
e) Memastikan bahwa pengujian sumber cadangan/alternative air bersih
dan listrik dilakukan setidaknya setiap 6 (enam) bulan atau lebih
sering jika dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan di
daerah, rekomendari produsen, atau kondisi sumber listrik dan air.
f) Memastikan bahwa pengujian sumber cadangan atau alternatif air
bersih dan listrik dilakukan setidaknya setiap 6 (enam) bulan atau
78
lebih sering jika dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan
di daerah, rekomendasi produsen, atau kondisi sumber listrik dan air.
Kondisi sumber listrik dan air yang mungkin dapat meningkatkan
frekuensi pengujian mencakup:
(1) Perbaikan sistem air bersih yang terjadi berulang- ulang.
(2) Sumber air bersih sering terkontaminasi.
(3) Jaringan listrik yang tidak dapat diandalkan.
(4) Pemadaman listrik yang tidak terduga dan berulang-ulang.
9) Elemen Penilaian MFK 8.2
a) Rumah sakit mempunyai proses sistem utilitas terhadap keadaan
darurat yang meliputi poin a)-c) pada maksud dan tujuan.
b) Air bersih harus tersedia selama 24 jam setiap hari, 7 (tujuh) hari
dalam seminggu
c) Listrik tersedia 24 jam setiap hari, 7 (tujuh) hari dalam seminggu.
d) Rumah sakit mengidentifikasi area dan pelayanan yang berisiko
paling tinggi bila terjadi kegagalan listrik atau air bersih terkontaminasi
atau terganggu dan melakukan penanganan untuk mengurangi risiko.
e) Rumah sakit mempunyai sumber listrik dan air bersih cadangan
dalam keadaan darurat/emergensi.
10) Standar MFK 8.2.1
Rumah sakit melakukan uji coba/uji beban sumber listrik dan sumber air
cadangan/alternatif.
11) Maksud dan Tujuan MFK 8.2.1
Rumah sakit melakukan pengkajian risiko dan meminimalisasi risiko
kegagalan sistem utilitas di area-area berisiko terutama area pelayanan
pasien. Rumah sakit merencanakan tenaga listrik cadangan darurat
(dengan menyiapkan genset) dan penyediaan sumber air bersih darurat
untuk area-area yang membutuhkan. Untuk memastikan kapasitas
beban yang dapat dicapai oleh unit genset apakah benar-benar mampu
mencapai beban tertinggi maka pada waktu pembelian unit genset,

79
dilakukan test loading dengan menggunakan alat yang bernama dummy
load.
Selain itu, rumah sakit melaksanakan uji coba sumber listrik
cadangan/alternatif sekurangnya 6 (enam) bulan sekali atau lebih sering
bila diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau oleh kondisi
sumber listrik. Jika sistem listrik darurat membutuhkan sumber bahan
bakar maka jumlah tempat penyimpanan bahan bakar perlu
dipertimbangkan. Rumah sakit dapat menentukan jumlah bahan bakar
yang disimpan, kecuali ada ketentuan lain dari pihak berwenang.
12) Elemen Penilaian MFK 8.2.1
a) Rumah sakit melaksanakan uji coba sumber air bersih dan listrik
cadangan/alternatif sekurangnya 6 (enam) bulan sekali atau lebih
sering bila diharuskan oleh peraturan perundang-undanganan yang
berlaku atau oleh kondisi sumber air.
b) Rumah sakit mendokumentasi hasil uji coba sumber air bersih
cadangan/alternatif tersebut.
c) Rumah sakit mendokumentasikan hasil uji sumber
listrik/cadangan/alternatif tersebut.
d) Rumah sakit mempunyai tempat dan jumlah bahan bakar untuk
sumber listrik cadangan/alternatif yang mencukupi.
13) Standar MFK 8.3
Rumah sakit melakukan pemeriksaan air bersih dan air limbah secara
berkala sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
14) Maksud dan Tujuan MFK 8.3
Seperti dijelaskan di MFK 8.2 dan MFK 8.2.1, mutu air rentan terhadap
perobahan yang mendadak, termasuk perobahan di luar kontrol rumah
sakit. Mutu air juga kritikal di dalam proses asuhan klinik seperti pada
dialisis ginjal. Jadi, rumah sakit menetapkan proses monitor mutu air
termasuk tes (pemeriksaan) biologik air yang dipakaiuntuk dialisis ginjal.
Tindakan dilakukan jika mutu air ditemukan tidak aman.

80
Monitor dilakukan paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali atau lebih cepat
mengikuti peraturan perundang-undangan, kondisi sumber air, dan
pengalaman yang lalu dengan masalah mutu air. Monitor dapat
dilakukan oleh perorangan yang ditetapkan rumah sakit seperti staf dari
laboratorium klinik, atau oleh dinas kesehatan, atau pemeriksa air
pemerintah di luar rumah sakit yang kompeten untuk melakukan
pemeriksaan seperti itu. Apakah diperiksa oleh staf rumah sakit atau oleh
otoritas di luar rumah sakit maka tanggung jawab rumah sakit adalah
memastikan pemeriksaan (tes) dilakukan lengkap dan tercatat dalam
dokumen.
Karena itu, rumah sakit perlu mempunyai proses meliputi:
a) Pelaksanaan pemantauan mutu air bersih paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali. Untuk pemeriksaan kimia minimal setiap 6 (enam)
bulan atau lebih sering bergantung pada ketentuan peraturan
perundang- undangan, kondisi sumber air, dan pengalaman
sebelumnya dengan masalah mutu air. Hasil pemeriksaan
didokumentasikan;
b) Pemeriksaan air limbah dilakukan setiap 3 (tiga) bulan atau lebih
sering bergantung pada peraturan perundang-undangan, kondisi
sumber air, dan hasil pemeriksaan air terakhir bermasalah. Hasil
pemeriksaan didokumentasikan;
c) Pemeriksaan mutu air yang digunakan untuk dialisis ginjal setiap
bulan untuk menilai pertumbuhan bakteri dan endotoksin.
Pemeriksaan tahunan untuk menilai kontaminasi zat kimia. Hasil
pemeriksaan didokumentasikan; dan
d) Melakukan pemantauan hasil pemeriksaan air dan perbaikan bila
diperlukan
15) Elemen Penilaian MFK 8.3
a) Rumah sakit telah menerapkan proses sekurang- kurangnya
meliputi poin a) - d) pada maksud dan tujuan.

81
b) Rumah sakit telah melakukan pemantauan dan evaluasi proses
pada EP 1.
c) Rumah sakit telah menindaklanjuti hasil pemantauan dan evaluasi
pada EP 2 dan didokumentasikan.

Konstruksi dan Renovasi


1) Standar MFK 10
Rumah sakit melakukan penilaian risiko prakontruksi/ Pre Contruction Risk
Assessment (PCRA) pada waktu merencanakan pembangunan baru
(proyek konstruksi), renovasi dan pembongkaran.
2) Maksud dan tujuan MFK 10
Kegiatan konstruksi, renovasi, pembongkaran, dan pemeliharaan di
rumah sakit dapat berdampak pada semua orang dalam area rumah sakit.
Namun, pasien mungkin menderita dampak terbesar. Misalnya,
kebisingan dan getaran yang terkait dengan aktivitas ini dapat
memengaruhi tingkat kenyamanan pasien, dan debu serta bau dapat
mengubah kualitas udara, yang dapat mengancam status pernapasan
pasien. Risiko terhadap pasien, staf, pengunjung, badan usaha
independen, dan lainnya di rumah sakit akan bervariasi tergantung pada
sejauh mana aktivitas konstruksi, renovasi, pembongkaran, atau
pemeliharaan dan dampaknya terhadap perawatan pasien, infrastruktur,
dan utilitas.
Untuk menilai risiko yang terkait dengan konstruksi, renovasi, atau proyek
pembongkaran, atau aktivitas pemeliharaan yang memengaruhi
perawatan pasien maka rumah sakit melakukan koordinasi antar satuan
kerja terkait, termasuk, sesuai kebutuhan, perwakilan dari desain proyek,
pengelolaan proyek, teknik fasilitas, fasilitas keamanan/keselamatan,
pencegahan dan pengendalian infeksi, keselamatan kebakaran, rumah
tangga, layanan teknologi informasi, dan satuan kerja serta layanan klinis.
Penilaian risiko digunakan untuk mengevaluasi risiko secara
komprehensif untuk mengembangkan rencana dan menerapkan tindakan
82
pencegahan yang akan meminimalkan dampak proyek konstruksi
terhadap kualitas, keselamatan dan keamanan perawatan pasien.
Proses penilaian risiko konstruksi meliputi:
a) Kualitas udara;
b) Pencegahan dan pengendalian infeksi;
c) Utilitas;
d) Kebisingan;
e) Getaran;
f) Bahan dan limbah berbahaya;
g) Keselamatan kebakaran;
h) Keamanan;
i) Prosedur darurat, termasuk jalur/keluar alternatif dan akses ke
layanan darurat; dan
j) Bahaya lain yang mempengaruhi perawatan, pengobatan, dan
layanan.
Selain itu, rumah sakit memastikan bahwa kepatuhan kontraktor dipantau,
ditegakkan, dan didokumentasikan. Sebagai bagian dari penilaian risiko,
risiko infeksi pasien dari konstruksi dievaluasi melalui penilaian risiko
pengendalian infeksi, juga dikenal sebagai ICRA.
Setiap ada kontruksi, renovasi dan demolisi harus dilakukan penilaian
risiko prakontruksi termasuk dengan rencana/pelaksanaan pengurangan
risiko dampak keselamatan serta keamanan bagi pasien, keluarga,
pengunjung, dan staf. Hal ini berdampak memerlukan biaya maka rumah
sakit dan pihak kontraktor juga perlu menyediakan anggaran untuk
penerapan Pra Contruction Risk Assessment (PCRA) dan Infection
Control Risk Assessment (ICRA).
3) Elemen Penilaian MFK 10
a) Rumah sakit menerapkan penilaian risiko prakonstruksi (PCRA)
terkait rencana konstruksi, renovasi dan demolisi meliputi poin a) - j)
seperti di maksud dan tujuan diatas

83
b) Rumah sakit melakukan penilaian risiko prakontruksi (PCRA) bila ada
rencana kontruksi, renovasi dan demolisi.
c) Rumah sakit melakukan tindakan berdasarkan hasil penilaian risiko
untuk meminimalkan risiko selama pembongkaran, konstruksi, dan
renovasi.
d) Rumah sakit memastikan bahwa kepatuhan kontraktor dipantau dan
dilaksanakan, dan didokumentasikan.

Pelatihan
1) Standar MFK 11
Seluruh staf di rumah sakit dan yang lainnya telah dilatih dan memiliki
pengetahuan tentang pengelolaan fasilitas rumah sakit, program
keselamatan dan peran mereka dalam memastikan keamanan dan
keselamatan fasilitas secara efektif.
2) Maksud dan Tujuan MFK 11
Staf adalah sumber kontak utama rumah sakit dengan pasien, keluarga,
dan pengunjung. Oleh karena itu, mereka perlu dididik dan dilatih untuk
menjalankan perannya dalam mengidentifikasi dan mengurangi risiko,
melindungi orang lain dan diri mereka sendiri, serta menciptakan fasilitas
yang aman, selamat dan terjamin.
Setiap rumah sakit harus memutuskan jenis dan tingkat pelatihan untuk
staf dan kemudian melaksanakan dan mendokumentasikan program
pelatihan. Program pelatihan dapat mencakup instruksi kelompok, modul
pendidikan online, materi pendidikan tertulis, komponen orientasi staf
baru, dan/atau beberapa mekanisme lain yang memenuhi kebutuhan
rumah sakit. Pelatihan diberikan kepada semua staf di semua shift setiap
tahun dan membahas semua program pengelolaan fasilitas dan
keselamatan. Pelatihan mencakup instruksi tentang proses pelaporan
potensi risiko dan pelaporan insiden dan cedera. Program pelatihan
melibatkan pengujian pengetahuan staf. Staf dilatih dan diuji tentang
prosedur darurat, termasuk prosedur keselamatan kebakaran.
84
Sebagaimana berlaku untuk peran dan tanggung jawab anggota staf,
pelatihan dan pengujian membahas bahan berbahaya dan respons
terhadap bahaya, seperti tumpahan bahan kimia berbahaya, dan
penggunaan peralatan medis yang dapat menimbulkan risiko bagi pasien
dan staf. Pengetahuan dapat diuji melalui berbagai cara, seperti
demonstrasi individu atau kelompok, demonstrasi, peristiwa simulasi
seperti epidemi di masyarakat, penggunaan tes tertulis atau komputer,
atau cara lain yang sesuai dengan pengetahuan yang diuji. Dokumen
rumah sakit yang diuji dan hasil pengujian.
3) Elemen Penilaian MFK 11
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait keselamatan setiap tahun dan dapat
menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait keamanan setiap tahun dan dapat menjelaskan
dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait pengelolaan B3 dan limbahnya setiap tahun
dan dapat menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung
jawabnya dan didokumentasikan.
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait proteksi kebakaran setiap tahun dan dapat
menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait peralatan medis setiap tahun dan dapat
menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.

85
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait sistim utilitas setiap tahun dan dapat
menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
Semua staf telah diberikan pelatihan program manajemen fasilitas dan
keselamatan (MFK) terkait penanganan bencana setiap tahun dan dapat
menjelaskan dan/atau menunjukkan peran dan tanggung jawabnya dan
didokumentasikan.
Pelatihan tentang pengelolaan fasilitas dan program keselamatan
mencakup vendor, pekerja kontrak, relawan, pelajar, peserta didik,
peserta pelatihan, dan lainnya, sebagaimana berlaku untuk peran dan
tanggung jawab individu, dan sebagaimana ditentukan oleh rumah sakit.

86
Materi Pokok 3: Strategi dalam Penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan Fasyankes

A. Pendahuluan
Penyelenggaraan kesehatan lingkungan di Fasyankes harus dilakukan
dengan baik dan sesuai standar. Dalam pemenuhan penyelenggaraan
kesehatan lingkungan rumah sakit seringkali ditemui kendala-kendala baik
yang dihadapi oleh Fasyankes maupun dari pemerintah daerah dan pusat
sebagai pembuat kebijakan. Oleh karena itu perlu diupayakan strategi-
strategi yang dapat mendorong dan membantu pencapaian
penyelenggaraan kesehatan lingkungan di fasyankes yang sesuai standar.
Strategi dalam mewujudkan penyelenggaraan kesehatan lingkungan
Fasyankas dapat dibuat dan dilaksanakan mulai dari Pusat, daerah dan
internal Fasyankes itu sendiri. Strategi juga perlu melibatkan lintas program,
lintas sektor, masyarakat, mitra dan swasta.
Kesehatan lingkungan fasyankes khususnya rumah sakit menjadi salah satu
indikator dalam sasaran kegiatan penyehatan lingkungan. Dengan
dijadikannya rumah sakit yang melaksanakan penyelenggaraan kesehatan
lingkungan diharapkan akan menjadi salah satu prioritas dalam pelaksanaan
program dan penganggaran kesehatan lingkungan di rumah sakit.
Pemenuhan capaian indikator merupakan salah satu cara penilaian kinerja
suatu institusi dalam hal ini dinas kesehatan dan rumah sakit.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan strategi
dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Strategi dalam penyelenggaraan kesehatan lingkungan Fasyankes:
a. Rencana Strategis terkait
b. Rencana Aksi Kegiatan terkait
87
D. Uraian Materi
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2020-2024.Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024
Salah satu indikator program penyehatan lingkungan dalam renstra
Kementerian Kesehatan yaitu Jumlah fasyankes yang memiliki pengelolaan
limbah medis sesuai standar dengan target tahun 2020 adalah 2.600
fasyankes, tahun 2021 sebanyak 3.000 fasyankes, tahun 2022 sebanyak
4.850, tahun 2023 sebanyak 6.250 fasyankes dan pada tahun 2024
sebanyak 8.800 fasyankes. Instansi penanggung jawab/pelaksana indikator
ini adalah Kementerian Kesehatan.
Definisi operasional dari indikator Jumlah fasyankes yang memiliki
pengelolaan limbah medis sesuai standar adalah: Fasyankes (rumah sakit
dan Puskesmas) yang telah melakukan pemilahan, pewadahan,
pengangkutan yang memenuhi syarat, penyimpanan sementara limbah B3
(TPS LB3) yang berizin serta melakukan pengolahan secara mandiri sesuai
persyaratan atau berizin dan atau bekerjasama dengan jasa pengolah
limbah B3 berizin.
Indikator Kinerja Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2022-2024.
Salah satu sasaran program pencegahan dan pengendalian penyakit yaitu
meningkatnya jumlah kabupaten/kota sehat dengan indikatornya adalah
Persentase kabupaten/kota yang memenuhi kualitas lingkungan.
Kabupaten/kota yang memenuhi kualitas kesling yaitu kabupaten/kota yang:
1. 50% Tempat Pengelolaan Pangan (TPP) memenuhi standar
2. 65% Tempat dan Fasilitas Umum (TFU) yang dilakukan pengawasan
sesuai standar
3. 68% sarana air minum dengan kualitas air minum sesuai standar
4. 60% desa/kelurahan Stop Buang Air Besar Sembarangan
5. 40% RS melaksanakan penyelenggaraan kesehatan lingkungan

88
Rumah sakit yang melaksanakan penyelenggaraan kesehatan lingkungan
merupakan salah satu indikator komposit dalam mencapai kabupaten/kota
yang memenuhi kualitas kesehatan lingkungan. Adapun definisi operasinal
rumah sakit yang melaksanakan penyelenggaraan kesehatan lingkungan
adalah Rumah sakit yang memenuhi standar pelayanan dasar kesehatan
lingkungan meliputi air, sanitasi, higiene, kelola limbah, dan kebersihan
lingkungan berdasarkan instrumen kesehatan lingkungan pada sistem
informasi kelola limbah medis.

Rencana Aksi Kegiatan Penyehatan Lingkungan


Kegiatan utama untuk mewujudkan kualitas lingkungan sehat melalui
kegiatan teknis penyehatan, pengamanan dan pengendalian pada media air,
udara, tanah, pangan, sarana bangunan dan vektor atau binatang pembawa
penyakit. Dalam melaksanakan kegiatan utama untuk mewujudkan kualitas
lingkungan sehat direktorat penyehatan lingkungan, melaksanakan program
penyehatan lingkungan berupa penyehatan air dan sanitasi dasar,
penyehatan pemukiman dan tempat tempat umum, penyehatan kawasan dan
sanitasi darurat, Higiene sanitasi pangan dan pengamanan limbah udara dan
radiasi. Pendekatan kegiatan penyehatan lingkungan yang digunakan untuk
mendorong mewujudkan kualitas lingkungan sehat melalui Konseling,
Inspeksi Kesehatan Lingkungan dan intervensi kesehatan lingkungan.
Upaya Penyehatan Lingkungan mempunyai peran yang cukup penting dalam
siklus kehidupan manusia dari prenatal hingga dewasa. Faktor-faktor
lingkungan baik lingkungan fisik, kimia dan mikrobiologi apabila tidak
dikendalikan dengan benar akan mengakibatkan dampak buruk bagi
kesehatan yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. diperlukan
adanya indikator kinerja untuk mengukur capaian penyehatan lingkungan.
Adapun indikator kinerja program (IKP) adalah persentase kab/kota yang
memenuhi kualitas kesehatan lingkungan, dengan 8 indikator kinerja
kegiatan (IKK) penyehatan lingkungan tahun 2020-2024.

89
Tabel 2 Indikator kinerja kegiatan (IKK) penyehatan lingkungan tahun 2020-2024

Capaian/Outcome Indikator Keterangan


Meningkatnya Persentase Kab/Kota yang Renstra, RAP, RAK, IKP
Penyehatan dan memenuhi yang memenuhi kualitas
Pengawasan Kualitas kesehatan lingkungan
Lingkungan
Persentase desa/kelurahan Stop RPJMN, Renstra ,RAP,
Buang Air Besar Sembarangan RAK, RKP, IKK
(SBS
Jumlah kabupaten/kota sehat RPJMN, Renstra, RAP,
RAK, RKP, IKK

Persentase sarana air minum yang RPJMN, Renstra, RAP,


diawasi/diperiksa kualitas air RAK, RKP, IKK
minumnya sesuai standar.
Jumlah fasyankes yang memiliki RPJMN, RAP,
pengelolaan limbah medis sesuai RAK, RKP, IKK
standar
Persentase Tempat Pengelolaan RAP, RAK, IKK
Pangan (TPP) yang memenuhi
syarat sesuai standar
Persentase Tempat dan Fasilitas RAP, RAK, IKK
Umum (TFU) yang dilakukan
pengawasan sesuai standar
Persentase RS yang melaksanakan RAP, RAK, IKK
penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan
Persentase Kab/ Kota yang RAP, RAK, IKK
menyelenggarakan Adaptasi
Perubahan Iklim dan Kebencanaan
Lingkungan

90
Tabel 3 Target indikator 2020 - 2024

Target
No Indikator
2020 2021 2022 2023 2024

1 Persentase Kab/Kota yang memenuhi yang 0 0 40 65 80


memenuhi kualitas kesehatan lingkungan

2 Persentase desa/kelurahan dengan Stop Buang Air 40 50 60 70 90


Besar Sembarangan (SBS)

3 Jumlah Kabupaten/Kota Sehat (KKS) 110 220 280 380 420


4 Persentase sarana air minum yang 60 64 68 72 76
diawasi/diperiksa kualitas air minumnya sesuai
standar

5 Jumlah fasyankes yang memiliki pengelolaan 2600 3000 4850 6250 8800
limbah medis sesuai standar

6 Persentase Tempat Pengelolaan Pangan (TPP) 38 44 50 56 62


yang memenuhi syarat sesuai standar

7 Persentase Tempat dan Fasilitas Umum (TFU) 55 60 65 70 75


yang dilakukan pengawasan sesuai standar

8 Persentase RS yang melaksanakan 0 0 40 50 60


penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan

9 Persentase Kab/ Kota yang menyelenggarakan 0 0 3 15 30


Adaptasi Perubahan Iklim dan Kebencanaan
Lingkungan

91
Tabel 4 Penilaian dan definisi operasional indikator
No Indikator Definisi Operasional Cara Penilaian
1 Persentase Kab/Kota yang Kabupaten/kota yang memenuhi kualitas Jumlah kabupaten/kota yang memenuhi
memenuhi yang memenuhi kesehatan lingkungan yaitu kabupaten/kota kualitas kesehatan lingkungan dibagi
kualitas kesehatan lingkungan yang: dengan Jumlah kabupaten/kota dikali
 50% Tempat Pengelolaan Pangan (TPP) 100%
memenuhi standar
 65% Tempat dan Fasilitas Umum (TFU)
yang dilakukan pengawasan sesuai
standar
 68% sarana air minum dengan kualitas
air minum sesuai standar
 60% desa/kelurahan Stop Buang Air
Besar Sembarangan
 40% RS melaksanakan penyelenggaraan
kesehatan lingkungan
2 Jumlah Kabupaten/Kota yang melaksanakan 4 Jumlah Kabupaten/Kota yang telah
Kabupaten /Kota tatanan yaitu pemukiman, sarana dan Memenuhi kriteria penyelenggaraan
Sehat (KKS prasarana umum, masyarakat sehat yang Kabupaten/Kota Sehat.
mandiri dan ketahanan pangan, Kawasan Contoh Perhitungan :
Pendidikan dan Kawasan pasar , memiliki Dalam satu tahun (1 Januari s/d 31
SK Tim Pembina, Memiliki SK forum dan Desember pada tahun yang sama)
rencana kerja dan mempunyai laporan hasil terdapat 100 Kabupaten Kota yang telah
verifikasi oleh tim pembina tingkat provinsi. memenuhi kriteria berdasarkan laporan
yang disampaikan melalui
aplikasi,maka capaian Program
Kabupaten Kota yang
menyelenggarakan Kabupaten/Kota
Sehat pada tahun tersebut sebanyak
100 Kabupaten/Kota.

92
No Indikator Definisi Operasional Cara Penilaian
3 Persentase Desa/Kelurahan Stop Desa/kelurahan yang seluruh penduduknya Jumlah desa/kelurahan yang sudah
Buang Air Besar Sembarangan tidak lagi melakukan praktek buang air terverifikasi SBS dibagi jumlah seluruh
(SBS) besar sembarangan dibuktikan melalui desa/kelurahan dikali 100%
proses verifikasi. Verifikasi adalah kegiatan Jumlah desa/kelurahan di Indonesia :
untuk memastikan perubahan perilaku 80.930
masyarakat dalam menerapkan pilar-pilar
STBM. Kriteria Desa/Kelurahan SBS (Stop
Buang AirmBesar Sembarangan) adalah:
 Semua masyarakat telah Buang Air Besar
hanya di jamban yang aman dan layak
dan membuang tinja/kotoran bayi hanya
ke jamban yang aman dan layak.
 Tidak terlihat tinja manusia lingkungan
sekitar.
 Ada mekanisme pemantauan umum
yang dibuat masyarakat untuk mencapai
100% KK mempunyai jamban layak dan
aman.
4 Persentase Sarana Air Minum Sarana air minum yang dilakukan tinjauan Jumlah sarana air minum yang
yang Diawasi/Diperiksa Kualitas dokumen RPAM (Rencana Pengamanan Air diawasi/diperiksa minumnya dalam satu
Air minumnya sesuaI Standar Minum), inspeksi kesehatan lingkungan dan tahun dibagi dengan jumlah sarana air
diperiksa kualitas air minumnya oleh Dinas minum di kali 100%
Kesehatan Kabupaten/Kota.Total sarana air
minum yang masuk cakupan pengawasan
adalah 81.921 sarana, dengan rincian
sebagai berikut :
 PDAM Pemerintah : 411 PDAM (sumber:
data perpamsi)
 PDAM swasta : 17 PDAM
 KPSPAM Pamsimas : 24.833 sarana
(sumber : data KPSPAM Pamsimas)
93
No Indikator Definisi Operasional Cara Penilaian
 KPSPAM Non Pamsimas : 6.898 sarana
 Depot air minum : 49.713 Depot (sumber:
emonev HSP)
 KKP (kantor Kesehatan Pelabuhan) : 49
5 Jumlah Fasyankes yang Memiliki Fasyankes (rumah sakit dan Puskesmas) Jumlah kumulatif Fasyankes (RS dan
Pengelolaan Limbah Medis yang telah melakukan pemilahan, Puskesmas) yang telah melaksanakan
sesuai Standar pewadahan, pengangkutan yang memenuhi pengelolaan limbah medis sesuai
syarat, penyimpanan sementara B3 di standar.
tempat penyimpanan sementara limbah B3 Jumlah RS di Indonesia: 2.900
(TPS LB3) yang berizin serta telah Jumlah Puskesmas : 9.993
melakukan pengolahan secara mandiri Jumlah Fasyankes: 12.893
sesuai persyaratan atau berizin dan atau
bekerjasama dengan jasa pengolah limbah
B3 yang berizin.
Standar Prosedur pelaksanan pengelolaan
limbah medis yang dilaksanakan sesuai
standar mengacu ke peraturan dan
perundangan yang berlaku.
6 Persentase Tempat dan Fasilitas Tempat dan fasilitas umum (TFU) yang Jumlah TFU yang dilaporkan hasil
umum (TFU) yang dilakukan dilakukan pengawasan sesuai standar adalah pengawasannya oleh Kab/Kota
Pengawasan sesuai Standar Tempat dan Fasilitas Umum (pasar, berdasarkan inspeksi kesehatan
puskesmas, sekolah) yang dilakukan lingkungan minimal 1 kali dalam setahun
pengawasan oleh kabupaten/kota dibagi jumlah TFU dikali 100 %.
dengancara melakukan Inspeksi Kesehatan  Jumlah Sekolah (SD/MI dan SMP /
Lingkungan minimal 1 kali dalam kurun waktu MTs) : 230.729
setahun.  Jumlah Puskesmas : 10.060
Tempat dan fasilitas umum (TFU) adalah  Jumlah Pasar : 1.578
lokasi, sarana, dan prasarana antara lain:
fasilitas kesehatan; fasilitas pendidikan;
tempat ibadah; hotel; rumah makan dan
usaha lain yang sejenis; sarana
94
No Indikator Definisi Operasional Cara Penilaian
olahraga;sarana transportasi darat, laut,
udara, dan kereta api; stasiun dan terminal;
pasar dan pusat perbelanjaan;pelabuhan,
bandar udara, dan pos lintas batas darat
negara; dan tempat dan fasilitas umum
lainnya.
TFU yang dimaksud dalam hal ini prioritas
terdiri sekolah (SD/MI dan SMP/MTs),
puskesmas dan pasar yang terdaftar di
Kemendikbud, Kementerian Perdagangan
dan Pusdatin Kemenkes, Kementerian
Agama.
Pengawasan sesuai standar yang
dimaksud adalah kunjungan untuk
mengetahui factor risiko Kesehatan
lingkungan dengan inspeksi kesehatan
lingkungan (IKL) melalui pengamatan fisik
media lingkungan dengan menggunakan
instrumen IKL, pengukuran media lingkungan
dan analisis risiko kesehatan lingkungan
serta rekomendasi perbaikan.
7 Persentase Tempat  TPP yang memenuhi syarat kesehatan Jumlah TPP yang memenuhi syarat
Pengelolaan Pangan adalah TPP yang dilaksanakan Kesehatan berdasarkan hasil Inspeksi
(TPP) yang Memenuhi Syarat pengawasan melalui inspeksi kesehatan Kesehatan Lingkungan sesuai standar
sesuai Standar lingkungan dan memenuhi syarat sesuai dalam kurun waktu 1 tahun dibanding
standar jumlah TPP dikali 100%. Jumlah TPP
 b)TPP:rumah makan / restoran / jasaboga yang terdaftar di Kab/kota berdasarkan
/ sentra pangan jajanan, depot air minum E Monev TPM 143.950
 Standar posedur : Permenkes, Pedoman,
Juknis, Modul

95
No Indikator Definisi Operasional Cara Penilaian
Standar sarana/fasilitas : Permenkes,
Pedoman, Juknis, Modul
Standar tenaga: Sanitasian Puskesmas
8 Persentase Kab/ Kota yang Kab/kota yang menyelenggarakan adaptasi Jumlah kab/kota yang
menyelenggarakan Adaptasi perubahan iklim dan kebencanaan menyelenggarakan adaptasi perubahan
Perubahan Iklim dan lingkungan adalah Kab/kota yang iklim dan kebencanaan lingkungan
Kebencanaan Lingkungan menyelenggarakan adaptasi perubahan iklim dibagi dengan Jumlah kab/kota rentan
dan kebencanaan lingkungan yang telah adaptasi perubahan iklim dan
memiliki Peta Kerentanan, memiliki Rencana kebencanaan lingkungan dikali 100%
Kerja, ada Intervensi

96
97
MPD 2 Kebijakan, Regulasi, Dan Strategi Dalam Pengelolaan Limbah
Fasyankes

98
99
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomi. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Kesehatan Lingkungan sebagai salah satu upaya kesehatan ditujukan
untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya Kesehatan Lingkungan diselenggarakan
melalui upaya Penyehatan, Pengamanan, dan Pengendalian, yang dilakukan
terhadap lingkungan Permukiman, Tempat Kerja, tempat rekreasi, serta
tempat dan fasilitas umum
Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas umum yang harus
memperhatikan penyelenggaraan kesehatan lingkungan agar dalam
kegiatannya tidak menimbulkan dampak terhadap keseahatan dan
lingkungan. Salah satu bagian penting dalam penyelenggaraan kesehatan
lingkungan di rumah sakit adalah pengelolaan limbah medis sesuai standar
karena rumah sakit merupakan badan usaha yang wajib mengelola limbah
yang dihasilkan.

100
1) Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan
kebijakan, regulasi, dan strategi dalam pengelolaan limbah Fasyankes.

2) Indikator Hasil Belajar


a. Menjelaskan kebijakan dalam pengelolaan limbah Fasyankes
b. Menjelaskan regulasi dalam pengelolaan limbah Fasyankes.
c. Menjelaskan strategi dalam pengelolaan limbah Fasyankes.

101
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
a. Kebijakan dalam pengelolaan limbah Fasyankes
b. Regulasi dalam pengelolaan limbah Fasyankes.
c. Strategi dalam pengelolaan limbah Fasyankes.

102
103
Materi Pokok 1: Kebijakan Dalam Pengelolaan Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Strategi Pengelolaan Limbah Medis di Fasyankes
1. Fasyankes Wajib mengelola limbah dengan benar (sesuai persyaratan
2. Mendorong program pengurangan limbah di Fasyankes sesuai
Peraturan
3. Meningkatkan kapasitas SDM
4. Meningkatkan kemitraan khususnya dengan swasta
5. Mendorong penggunaan teknologi alternative selain insenerasi
6. Meningkatkan Pemantauan dan Evaluasi.

Prinsip Pengelolaan Limbah medis


Dalam pengelolaan limbah B3 perlu mengikuti 4 prinsip sebagai berikut:
1. Setiap penghasil harus bertanggung jawab terhadap limbahnya (The
Polluter Pays Principle)
2. Melindungi risiko pada petugas pengelola limbah (The Precautionary
Principle )
3. Petugas pengelola harus waspada dalam mengelola limbah medis (The
Duty of Care Principle)
4. Penanganan limbah medis harus sedekat mungkin dengan sumber
(The Proximity Principle)

Upaya Pengelolaan Limbah Medis


Sinergi dan Harmonisasi dalam Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes
Dalam pengelolaan limbah medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan diperlukan
Sinergi dan Harmonisasi dari berbagai stake holder terkait yaitu :
Kementerian Kesehatan, LSM/Profesi, Perguruan Tinggi, KLHK, Pemerintah
Daerah, Swasta dan RS/Fasyankes. Yang mana masing-masing stakeholder
memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan Tugas Pokok dan

104
Fungsinya. Dengan demikian maka Pengelolaan Limbah Medis akan berjalan
efektif dan Efisien serta tuntas.

Kendala- Kendala
Kendala-kendala yang kemungkinan akan timbul didalam Pengelolaan
Limbah Medis yaitu:
1. RS yang memiliki alat pengolah limbah terkendala proses perizinan
KLHK.
2. Keterbatasan pihak ketiga/swasta pengolah limbah terutama di luar
Pulau Jawa.
3. Sebagian RS belum mengetahui kewajiban membuat dokumen
lingkungan.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan kebijakan
dalam pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Kebijakan dalam pengelolaan limbah Fasyankess:
3. Undang-Undang Terkait Pengelolaan Limbah Fasyankes
4. RPJMN 2020-2024

D. Uraian Materi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Untuk mencapai Tujuan Nasional diselenggarakan upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan
yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan
kesehatan. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
105
sosial dan ekonomi. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu
dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya
kesehatan masyarakat.
Kesehatan Lingkungan sebagai salah satu upaya kesehatan ditujukan untuk
mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi,
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagaimana tercantum dalam Pasal 162
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan
Lingkungan diselenggarakan melalui upaya Penyehatan, Pengamanan, dan
Pengendalian, yang dilakukan terhadap lingkungan Permukiman, Tempat
Kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak
mempunyai risiko buruk bagi kesehatan. Untuk mewujudkan lingkungan yang
sehat diperlukan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan, Persyaratan
Kesehatan, dan pengaturan yang mengharuskan penyelenggaraan upaya
Kesehatan Lingkungan yang meliputi Penyehatan, Pengamanan, dan
Pengendalian faktor risiko lingkungan, termasuk pengaturan tentang proses
pengolahan limbah.
Dalam penetapan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan perlu kecermatan terhadap media lingkungan, yaitu
media yang memungkinkan terjadinya interaksi antara komponen lingkungan
dengan kandungan bahan atau agen yang berpotensi menimbulkan bahaya
terhadap kesehatan, gangguan kesehatan, atau penyakit pada manusia.
Media lingkungan yang dimaksud adalah air, udara, tanah, pangan, sarana
dan bangunan, serta vektor dan binatang pembawa penyakit
 Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang

106
memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
 Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko
buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat
rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas
dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara
lain: a. limbah cair; b. limbah padat; c. limbah gas; d. sampah
yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
pemerintah; e. binatang pembawa penyakit; f. zat kimia yang
berbahaya; g. kebisingan yang melebihi ambang batas; h. radiasi
sinar pengion dan non pengion; i. air yang tercemar; udara yang
tercemar; dan k. makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan
dan proses pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 Standar Baku Mutu Kesling dan Proses Pengolahan Limbah (Pasal
163 ayat 2).
Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat
dan fasilitas umum.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup
 Pasal 20 ayat 3 menyebutkan bahwa setiap orang diperbolehkan
untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan
persyaratan a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup dan mendapat
107
izin dari Menteri, gubernur, atau bupat/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
 Pasal 47 ayat 1: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman
terhadap ekosistem dan kehidupan dan/atau kesehatan dan
keselamatan manusia wajib melakukan anlisis risiko lingkungan
hidup. Analisis risiko lingkungan hidup meliputi a. pengkajian risiko, b.
pengelolaan risiko dan/atau c. komunikasi risiko.
 Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang,
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan
B3.
 Pasal 59
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan
pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 ayat (1)
telah kadaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan
pengelolaan limbah B3
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri
pengelolaan limbah B3, pengelolaanya diserahkan kepada pihak
lain
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan
persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin
(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur
dalam Peraturan Pemerintah
108
 Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan
media lingkungan hidup tanpa izin.
 Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di lokasi yang telah ditentukan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
dumping limbah atau bahan diatur dalam peraturan pemerintah
 Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
 Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar
b. akurat, terbuka, dan tepat waktu;
c. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
d. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
 Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

109
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
 Pasal 99
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9
(sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).
 Pasal 100
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu
emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana

110
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah
dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih
dari satu kali.
 Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
 Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
 Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke
media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan
111
organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan
perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang
harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan
yang bermutu, membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam Rumah
Sakit. Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud
memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung
jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.
• Pasal 6
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk:
a. menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan
masyarakat;
b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit;
d. memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan
bertanggung jawab;
e. memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa
pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
f. menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian
Rumah Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat;
g. menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat;
h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di
Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa;
i. menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan
112
j. mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan
berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 10
(1) Bangunan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan.
(2) Bangunan rumah sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit terdiri atas ruang:
a. rawat jalan;
b. ruang rawat inap;
c. ruang gawat darurat;
d. ruang operasi;
e. ruang tenaga kesehatan;
f. ruang radiologi;
g. ruang laboratorium;
h. ruang sterilisasi;
i. ruang farmasi;
j. ruang pendidikan dan latihan;
k. ruang kantor dan administrasi;
l. ruang ibadah, ruang tunggu;
m. ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit;
n. ruang menyusui;
o. ruang mekanik;
p. ruang dapur;
q. laundry;
r. kamar jenazah;
113
s. taman;
t. pengolahan sampah; dan
u. pelataran parkir yang mencukupi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis bangunan
Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
• Pasal 11
(1) Prasarana Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dapat meliputi:
a. instalasi air;
b. instalasi mekanikal dan elektrikal;
c. instalasi gas medik;
d. instalasi uap;
e. instalasi pengelolaan limbah;
f. pencegahan dan penanggulangan kebakaran;
g. petunjuk, standar dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan
darurat;
h. instalasi tata udara;
i. sistem informasi dan komunikasi; dan
j. ambulan.
(2) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan
dan kesehatan kerja penyelenggaraan Rumah Sakit
(3) Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam
keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.
(4) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh
petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
(5) Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didokumentasi dan
dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan.
114
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Perpres Nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional Tahun 2020-2024
RPJMN 2020-2024 adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional
untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2020 sampai dengan tahun
2024 RPJMN memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum,
Proyek Prioritas Strategis, program Kementerian/Lembaga dan Lintas
Kementerian/Lembaga, arah pembangunan kewilayahan dan lintas
kewilayahan, Prioritas Pembangunan, gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja berupa
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Pengelolaan limbah medis dalam pengelolaan limbah B3 secara umum yang
termasuk dalam daftar proyek prioritas strategis (major project). Pelaksana
dari program prioritas ini antara lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Badan Usaha (BUMN/Swasta).

115
Gambar 2 Rincian proyek prioritas strategis (major project)

Peran kesehatan adalah pengelolaan limbah medis internal fasyankes sesuai


peraturan perundangan yang berlaku pada setiap tahapan pengelolaan
limbah medis.
Indikator pengelolaan limbah medis dalam RPJMN 2020-2024 pada lampiran
III dengan indikator Jumlah fasyankes yang memiliki pengelolaan limbah
medis sesuai standar dengan target tahun 2020 adalah 2.600 fasyankes,
tahun 2021 sebanyak 3.000 fasyankes, tahun 2022 sebanyak 4.850, tahun
2023 sebanyak 6.250 fasyanes dan pada tahun 2024 sebanyak 8.800
fasyankes. Instansi penanggung jawab/pelaksana indikator ini adalah
Kementerian Kesehatan.
Definisi operasional dari indikator Jumlah fasyankes yang memiliki
pengelolaan limbah medis sesuai standar adalah: Fasyankes (rumah sakit
dan Puskesmas) yang telah melakukan pemilahan, pewadahan,
pengangkutan yang memenuhi syarat, penyimpanan sementara limbah B3
(TPS LB3) yang berizin serta melakukan pengolahan secara mandiri sesuai
persyaratan atau berizin dan atau bekerjasama dengan jasa pengolah
limbah B3 berizin.

116
117
Materi Pokok 2: Regulasi dalam Pengelolaan Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) adalah suatu alat dan/atau
tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Fasyankes sebagai tempat menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
menghasilkan limbah medis yang berpotensi menimbulkan riiko penularan
penyakit dan gangguan kesehatan lainnya serta pencemaran lingkungan
hidup sehingga perlu dilakukan pengelolaa limbah medis. Dalam pengelolaan
limbah medis harus mengacu kepada regulasi atau peraturan perundangan
yang berlaku.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan regulasi
pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Regulasi dalam pengelolaan limbah Fasyankes:
a. Peraturan Pemerintah terkait
b. Peraturan Menteri terkait

D. Uraian Materi
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 66 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Lingkungan ditetapkan untuk melaksanakan ketentuan pasal
163 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan
lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan
kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial.

118
Pengaturan Kesehatan Lingkungan bertujuan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial,
yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab untuk:
• menjamin tersedianya lingkungan yang sehat untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sesuai dengan kewenangannya;
• mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan; dan
• memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam
penyelenggaraan
Kesehatan Lingkungan.
• Kualitas lingkungan yang sehat ditentukan melalui pencapaian atau
pemenuhan Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan
Persyaratan Kesehatan ditetapkan pada media lingkungan yang meliputi:
- air;
- udara;
- tanah;
- pangan;
- sarana dan bangunan; dan
- vektor dan binatang pembawa penyakit.
Media lingkungan yang ditetapkan Standar Baku Mutu Kesehatan
Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan berada pada lingkungan, antara lain
Permukiman, Tempat Kerja, tempat rekreasi; serta tempat dan fasilitas
umum. Hal ini dikarenakan media lingkungan yang ditetapkan Standar Baku
Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan tersebut
merupakan media lingkungan yang berhubungan atau berdampak langsung
terhadap kesehatan masyarakat. Sehingga, setiap penghuni dan/ atau
keluarga yang bertempat tinggal di lingkungan pemukiman wajib memelihara
119
kualitas media lingkungan sesuai Standar Baku Mutu Kesehatan lingkungan
dilakukan melalui upaya penyehatan, pengendalian dan pengamanan.
Upaya penyehatan dilakukan terhadap media air pangan, tanah, udara,
pengendalian dilakukan terhadap vector dan binatang pembawa penyakit,
pengamanan dilakukan terhadap limbah dan radiasi.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu tempat fasilitas umum
yang harus melalukan pengamanan limbah melalui pengelolaan dan
pengawasan limbah. Proses pengelolaan dan pengawasan limbah dilakukan
terhadap limbah cair, padat dan gas sesuai peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2022 tentang Penyelenggaraan


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
dan/atau penimbunan.
Persyaratan dan kewajiban terkait dengan aspek Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang relevan terdiri atas pengolahan dan
pembuangan air limbah, pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
pembuangan Emisi, Pengelolaan Limbah B3, dan/atau pengelolaan dampak
lalu lintas
Salah satu kewajiban penangggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan adlaj
memnuhi kewajiban Persetujuan teknis terdiri atas:
a. Pemenuhan baku mutu air limbah
b. Pemenuhan baku mutu emisi
c. Pengelolaan limbah B3, dan/atau
d. Analisis mengenai dampak lalu lintas
Pengelolaan limbah B3 dan Pengelolaan LimbahnOn B3 diatur dalam Bab
VII. Setiap orang yang menghasilkan limbah wajib melakukan pengelolaan
limbah yang dihasilkannya Pengelolaan limbah meliputi pengelolaan limbah
B3 dan pengelolaan limbah non B3 Penyelenggaraan pengelolaan Limbah
B3 meliputi:
120
a. Penetapan Limbah B3
b. Pengurangan Limbah B3
c. Penyimpanan Limbah B3
d. Pengumpulan Limbah B3
e. Pengangkuan Limbah B3
f. Pemanfaatan Limbah B3
g. Pengolahan Limbah B3
h. Penimbunan Limbah B3
i. Dumping (Pembuangan) Limbah B3
j. Pengecualiasn Limbah B3
k. Perpindahan lintas batas Limbah B3
l. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup dan pemulihan fungsi Lingkungan Hidup
m. Sistem Tanggap Darurat dalam Pengelolaan Limbah B3 dan
n. pembiayaan
Pengelolaan Limbah non B3 dilakukan tehadap Limbah non B3 terdaftar dan
Limbah non B3 khusus. Penyelnggaraan pengelolaan Limbah non B3
dilakukan oleh setiap orang yang menghasilkan Limbah non B3 dan
rinciannya termuat dalam Persetujuan Lingkungan. Rincian pengelolaan
Limbah non B3 yang termuat dalam Persetujuan Lingkungan meliputi:
a. identitas Limbah non B3
b. bentuk Limbah non B3
c. sumber Limbah non B3
d. jumlah Limbah non B3 yang dihasilkan setiap bulan dan
e. jenis pengelolaan Limbah non B3
Pengelolaan Limbah non B3 meliputi:
a. pengurangan Limbah nonB3
b. penyimpanan Limbah nonB3
c. pemanfaatan Limbah nonB3
d. penimbunan Limbah nonB3
e. perpindahan Limbah nonB3
121
f. perpindahan lintas batas Limbah nonB3
g. Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan
Lingkungan Hidup dan pemulihan fungsi Lingkungn Hidup, dan
h. Pelaporan
Dalam pengelolaa Limbah non B3 setiap orang dilarang melakukan:
a. Dumping (pembuangan) Limbah nonB3 tanpa Persetujuan dari
Pemerintah Pusat
b. Pembakaran secara terbuka (open burning)
c. Pencampuran Limbah nonB3 dengan Limbah B3, dan
d. Melakukan penimbunan Limbah nonB di fasilitas tempat pemrosesn
akhir

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 tahun 2019 tentang Kesehatan


Lingkungan Rumah Sakit
• Pasal 3
(1) Penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui upaya penyehatan,
pengamanan dan pengendalian. pada ayat (3) disebutkan bahwa
Pengamanan dilakukan terhadap limbah dan radiasi
• Pasal 4
(1) Penyelenggaraan rumah sakit ramah lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyusun kebijakan tentang rumah sakit ramah lingkungan;
b. pembentukan tim rumah sakit ramah lingkungan;
c. pengembangan tapak/lahan rumah sakit;
d. penghematan energi listrik;
e. penghematan dan konservasi air;
f. penyehatan kualitas udara dalam ruang;
g. manajemen lingkungan gedung;
h. pengurangan limbah;
i. pendidikan ramah lingkungan;
122
j. penyelenggaraan kebersihan ramah lingkungan; dan
k. pengadaan material ramah lingkungan.
Penyelenggaraan kesehatan lingkungan rumah sakit dilaksanakan melalui
penyehatan terhadap media lingkungan berupa air, udara, tanah, pangan,
dan sarana dan bangunan, pengamanan terhadap limbah dan radiasi, serta
pengendalian terhadap vektor dan binatang pembawa penyakit.
Penyelenggaraan Pengamanan Limbah di rumah sakit meliputi pengamanan
terhadap limbah padat domestik, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3),
limbah cair, dan limbah gas

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P56 tahun 2015
tentang Tata Cara Dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun Dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan
• Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Limbah adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
2. Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disingkat B3,
adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena
sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain
3. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya
disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung B3.
4. Limbah B3 cair adalah Limbah cair yang mengandung
B3 antara lain Limbah larutan fixer, Limbah kimiawi cair, dan
Limbah farmasi cair
5. Limbah infeksius adalah Limbah yang terkontaminasi organisme
patogen yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan
123
organisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup
untuk menularkan penyakit pada manusia rentan
6. Limbah patologis adalah Limbah berupa buangan selama
kegiatan operasi, otopsi, dan/atau prosedur medis lainnya
termasuk jaringan, organ, bagian tubuh, cairan tubuh, dan/atau
spesimen beserta kemasannya
7. Limbah sitotoksik adalah Limbah dari bahan yang terkontaminasi
dari persiapan dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi
kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh
dan/atau menghambat pertumbuhan sel hidup.
8. Air Limbah adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal
dari kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif
yang berbahaya bagi kesehatan.
9. Pengolahan Limbah B3 adalah proses untuk mengurangi
dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun.
• Pasal 4
Limbah B3 dalam Peraturan Menteri ini meliputi Limbah:
a. dengan karakteristik infeksius;
b. benda tajam;
c. patologis;
d. bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan;
e. radioaktif
f. farmasi;
g. sitotoksik
h. peralatan medis yang memiliki kandungan logam berat tinggi;
dan
i. tabung gas atau kontainer bertekanan.
j. Ketentuan mengenai Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan mengenai ketenaganukliran
124
• Pasal 5
Pengelolaan Limbah B3 yang timbul dari fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi tahapan:
a. Pengurangan dan pemilahan Limbah B3;
b. Penyimpanan Limbah B3;
c. Pengangkutan Limbah B3;
d. Pengolahan Limbah B3;
e. penguburan Limbah B3; dan/atauPenimbunan Limbah

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 tahun 2019 tentang Pusat


Kesehatan Masyarakat
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
• Pasal 10
Menurut pasal 10 ayat 4, Puskesmas harus memenuhi persyaratan lokasi,
bangunan, prasarana, peralatan, ketenagaan, kefarmasian, dan
laboratorium klinik.
• Pasal 11
(1) Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(4) meliputi:
a. geografis;
b. aksesibilitas untuk jalur transportasi;
c. kontur tanah;
d. fasilitas parkir;
e. fasilitas keamanan;
f. ketersediaan utilitas publik;
g. pengelolaan kesehatan lingkungan; dan

125
h. tidak didirikan di area sekitar Saluran Udara Tegangan Tinggi dan
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
• Pasal 14
(1) Persyaratan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) paling sedikit terdiri atas:
a. sistem penghawaan (ventilasi);
b. sistem pencahayaan
c. sistem air bersih, sanitasi, dan hygiene;
d. sistem kelistrikan;
e. sistem komunikasi;
f. sistem gas medik;
g. sistem proteksi petir;
h. sistem proteksi kebakaran;
i. sarana evakuasi;
j. sistem pengendalian kebisingan; dan
k. kendaraan puskesmas keliling.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 18 tahun 2020 tentang Pengelolaan


Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah
• Pasal 1
1. Limbah medis adalah hasil buangan dari aktifitas medis pelayanan
kesehatan
2. Pengelolaan limbah medis fasilitas pelayanan kesehatan berbasis
wilayah adalah upaya pengelolaan limbah medis fasilitas pelayanan
kesehatan yang seluruh tahapannya dilakukan di suatu wilayah
sesuai kebutuhan dan kemampuan daerah
3. Pengeola Limbah medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
selanjutnya disebut Pengelola adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang melakukan pegelolaan Limbah Medis di luar Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
126
• Pasal 3
a. Dalam rangka meminimalkan risiko pencemaran lingkungan dan
dampak kesehatan, penyalahgunaan limbah medis fasilitas
pelayanan kesehatan, dan mengoptimalkan pengelolaan limbah
medis fasilitas pelayanan kesehatan di suatu wilayah,
diselenggarakan pengelolaan limbah medis fasilitas pelayanan
kesehatan berbasis wilayah
b. Dalam penyelenggaraan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wiayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Daerah memfasilitasi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang tidak mampu mengelola limbah medisnya sendiri
melalui Pengelola
c. Penyediaan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilaukan melalui pembentukan unit pelaksana teknis daerah, badan
usaha milisk daerah, dan/atau bekerja sama dengan pihak swasta
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
• Pasal 4
Dalam penyelenggaraan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Berbasis Wiayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
Pemerintah Daerah terlebih dahulu melakukan studi kelayakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 5
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis
Wilayah dilakukan melalui pengelolaan Limbah Medis secara:
a. internal; dan
b. eksternal
• Pasal 6
(1) Pengelolaan Limbah Medis secara internal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a meliputi tahapan:
a. pengurangan dan pemilahan;
b. pengangkutan internal;
127
c. penyimpanan sementara; dan
d. pengolahan internal.
(2) Pengelolaan Limbah Medis secara internal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan
dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah.
(3) Pengurangan dan pemilahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pengangkutan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan menggunakan
alat angkut tertutup beroda menuju tempat penyimpanan sementara
limbah bahan berbahaya dan beracun.
(5) Penyimpanan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilakukan pada tempat penyimpanan sementara limbah
bahan berbahaya dan beracun yang memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengolahan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
d dilaksanakan dengan metode non insenerasi terhadap Limbah
Medis tertentu dengan cara mengubah bentuk dari bentuk semula
sehingga tidak disalahgunakan.
• Pasal 7
(1) Pengelolaan Limbah Medis secara eksternal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan oleh Pengelola melalui
tahapan:
a. pengangkutan eksternal;
b. pengumpulan;
c. pengolahan; dan
d. penimbunan.
(2) Pengangkutan eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan:

128
a. dari tempat penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya
dan beracun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ke tempat
pengumpulan; atau
b. dari tempat penyimpanan sementara limbah bahan berbahaya
dan beracun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ke tempat
pengolahan akhir.
(3) Pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan pada tempat pengumpulan yang memiliki izin pengumpul
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tempat pengumpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
disediakan oleh Pemerintah Daerah.
(5) Pengolahan dan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
• Pasal 8
Pelaksanaan pengelolaan Limbah Medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dan Pasal 7 mengacu pada Pedoman Pengelolaan
Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah yang
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
• Pasal 9
Dalam penyelenggaraan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah diperlukan dukungan sumber
daya yang paling sedikit berupa:
a. lahan untuk lokasi pengelolaan sesuai dengan ketentuan tata
ruang;
b. sarana dan prasarana dalam pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
c. sumber daya manusia yang memiliki pengalaman dan
kompetensi dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun; dan
129
d. pendanaan.
• Pasal 10
Pendanaan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berbasis Wilayah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, swasta/masyarakat,
dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan.
• Pasal 11
Jenis sumber daya yang dibutuhkan dalam Pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah mengacu pada
Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berbasis Wilayah yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
• Pasal 12
Dalam penyelenggaraan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah, Pemerintah Pusat
bertanggung jawab:
a. menyusun kebijakan nasional dan norma, standar, pedoman, dan
kriteria di bidang pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
b. sosialisasi dan advokasi kepada Pemerintah Daerah, lintas
sektor, dan pemangku kepentingan terkait;
c. melakukan peningkatan kapasitas petugas yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan Limbah Medis; dan
d. monitoring dan evaluasi serta pembinaan teknis.
• Pasal 13
Dalam penyelenggaraan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah, Pemerintah Daerah
bertanggung jawab:
a. menyediakan lahan untuk pelaksanaan Pengelolaan Limbah
Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah;
130
b. membentuk badan usaha atau bekerjasama dengan pihak swasta
untuk menyelenggarakan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah;
c. menyusun kebijakan daerah di bidang pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. sosialisasi dan advokasi kepada lintas sektor dan pemangku
kepentingan terkait;
e. melakukan peningkatan kapasitas petugas yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan Limbah Medis; dan
f. monitoring dan evaluasi serta pembinaan teknis.
• Pasal 14
(1) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan penghasil Limbah Medis
wajib melakukan pencatatan dan pelaporan terkait Limbah Medis
yang dikelola secara internal.
(2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat:
a. jenis limbah,
b. manifest limbah;
c. sumber limbah;
d. jumlah limbah; dan
e. kegiatan pengelolaan.
(3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan secara berjenjang kepada kepala dinas
kesehatan daerah kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan
daerah provinsi, dan Menteri
(4) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara berkala setiap bulan.
(5) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara elektronik.

131
• Pasal 15
(1) Setiap Pengelola wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
terkait pengelolaan Limbah Medis secara eksternal di wilayahnya.
(2) Pencatatan dan pelaporan yang dimaksud sebagaimana pada
ayat (1) paling sedikit memuat:
a. Nama dan jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan penghasil
Limbah Medis;
b. Nomor manifest limbah
c. Jenis dan jumlah limbah; dan
d. Jenis-jenis pengolahan limbah
(3) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada kepala dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota dan kepala dinas lingkungan hidup daerah
kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan daerah provinsi dan
kepala dinas lingkungan hidup daerah provinsi, serta Menteri dan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara berkala setiap bulan.
(5) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan secara elektronik.
(6) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian dari surveilans pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
• Pasal 16
(1) Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
gubernur, bupati/walikota melakukan pembinaan dan
pengawasan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Berbasis Wilayah sesuai dengan kewenangan masing-
masing.
132
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
a. sosialisasi dan advokasi;
b. monitoring dan evaluasi; dan/atau
c. bimbingan teknis dan pelatihan.
• Pasal 17
(1) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) huruf b dilakukan untuk menilai ketaatan proses
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berbasis Wilayah baik secara internal maupun eksternal.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 537 tahun 2020 tentang Pedoman


Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Limbah dari
Kegiatan Isolasi Atau Karantina Mandiri di Masyarakat dalam Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Pengelolaan limbah medis dari Fasyankes dan isolasi atau karantina mandiri
dimasyarakata dalam penanganan Corona Virus Disease 2019 harus ada
kerja sama dan koordinasi antara lintas sektor, pemerintah pusat dan daerah
dan masyarakat.
Untuk mencegah penularan dan mengendalikan penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) serta melindungi tenaga kesehatan, tenaga non
kesehatan dan masyarakat dari dampak limbah dalam penanganan COVID-
19, perlu dilakukan pengelolaan limbah yang efektif dengan tetap
mengutamakan keselamatan dan keamanan.
Pengelolaan limbah COVID-19 pada prisnispnya tidak berbeda dengan
pengelolaan limbah medis non Covid-19 namun ada perlakuan khusus yaitu
desinfeksi.
Dalam pengelolaan limbah infeksius maupun domestik yang berasal dari
rumah atau fasilitas karantina/isolasi mandiri, diperlukan peran dari
pemerintah daerah setempat dan masyarakat.

133
Peran yang diharapkan dari pemerintah daerah setempat adalah:
1. Menyampaikan informasi tata cara mengelola limbah infeksius rumah
tangga sebagai bagian dari pengelolaan sampah rumah tangga.
2. Petugas dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kesehatan berkewajiban
untuk mengumpulkan dan mengangkut limbah infeksius yang
dikumpulkan warga untuk dibawa ke tempat pengumpulan dan
pengolah limbah B3.
3. Memastikan bahwa seluruh petugas kebersihan khusus menggunakan
APD lengkap pada saat mengumpulkan limbah infeksius dari
masyarakat dan mengangkutnya ke tempat pengolahan limbah B3.
4. Menyediakan dropbox atau depo di lokasi yang strategis agar
masyarakat dapat aktif mengumpulkan limbah infeksius COVID- 19,
serta menyediakan pengangkutan ke tempat pengumpulan dan
pengolahan limbah infeksius.
5. Memastikan limbah infeksius ditimbang sebelum diangkut ke tempat
pengolahan akhir limbah B3.
Peran masyarakat yang diharapkan antara lain sebagai berikut:
1. Membantu aparatur desa/kelurahan dan petugas Puskesmas dalam
pendataan keluarga dari yang akan menghasilkan limbah infeksius.
2. Jika wilayah tersebut tidak ada petugas kebersihan khusus, maka
keluarga bersama komunitas menghubungi Camat/Lurah/Kepala Desa
untuk meminta agar kantung limbah infeksius dapat diambil oleh Dinas
Lingkungan Hidup dan Kebersihan.
3. Mengorganisir warga untuk mengumpulkan kantung limbah infeksius
bertanda dari rumah warga yang merawat kasus/kontak erat dan
meletakkannya di dropbox atau di depo.

134
135
Materi Pokok 3: Strategi dalam Pengelolaan Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Pengelolaan limbah medis dalam implementasinya banyak menghadapi
kendala oleh karena itu diperlukan strategi dalam upaya pemenuhan
pengelolaan limbah medis yang sesuai standar. Strategi tersebut harus
dilakukan seara bersama dan berkesinambungan antar pihak terkait.
Strategi Pengelolaan Limbah Medis di Fasyankes
1. Fasyankes Wajib mengelola limbah dengan benar (sesuai persyaratan
2. Mendorong program pengurangan limbah di Fasyankes sesuai Peraturan
3. Meningkatkan kapasitas SDM
4. Meningkatkan kemitraan khususnya dengan swasta
5. Mendorong penggunaan teknologi alternative selain insenerasi
6. Meningkatkan Pemantauan dan Evaluasi.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan strategi
dalam pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Strategi dalam pengelolaan limbah Fasyankes:
a. Rencana Strategis terkait
b. Rencana Aksi Kegiatan terkait

D. Uraian Materi
Pengelolaan Limbah Medis Berbasis Wilayah
Keterbatasan jumlah dan kapasitas perusahaan pengolah limbah Medis
yang berizin untuk menjangkau rumah sakit dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan lainnya terutama di luar Pulau Jawa mengakibatkan
penumpukan Limbah Medis. Penumpukan Limbah Medis yang bersifat
infeksius ini tentunya dapat berdampak pada pencemaran di lingkungan

136
Fasilitas Pelayanan Kesehatan khususnya bagi petugas Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, pasien maupun masyarakat di luar Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Kasus penumpukan Limbah Medis di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan disebabkan karena belum terbangunnya sistem
pengolahan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan di setiap
wilayah. Selain itu dengan adanya ketidakseimbangan antara timbulan
Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan kapasitas
pengolahan limbah Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta lemahnya
pengawasan dari instansi berwenang menyebabkan terjadi kasus
penyalahgunaan Limbah Medis oleh masyarakat ataupun oknum untuk
kepentingan ekonomi.
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan diharapkan
dapat diselesaikan di setiap wilayahnya atau berbasis wilayah sesuai
dengan prinsip kedekatan, yakni semakin dekat pengelolaan limbah dari
sumbernya maka semakin kecil risiko yang dapat ditimbulkan dan semakin
murah biaya yang dikeluarkan. Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan tersebut secara teknis telah diatur dalam Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur mengenai Tata
Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Namun untuk penerapan
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis
Wilayah diperlukan strategi yang melibatkan peran serta Pemerintah
Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk melaksanakan
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis
Wilayah tersebut maka diperlukan pedoman sebagai acuan bagi
Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pengelola, dan
pemangku kepentingan terkait lainnya.
a. Konsep Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Berbasis Wilayah
Dalam pengembangan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah, Pemerintah Daerah harus
137
terlebih dahulu melakukan studi kelayakan untuk menentukan
kesiapan Pemerintah Daerah. Studi kelayakan Pengelolaan Limbah
Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah berupa
penelitian tentang dapat tidaknya Pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah dilaksanakan
dengan berhasil di daerah tersebut. Pengertian keberhasilan dapat
dilihat dari orientasi profit dan pihak non profit. Orientasi profit
biasanya hanya mengartikan keberhasilan suatu proyek lebih
terbatas dibandingkan nonprofit, yaitu mengukur keberhasilan
proyek tersebut dalam menghasilkan keuntungan material.
Sedangkan orientasi nonprofit, pengertian berhasil bisa berupa
seberapa besar penyerapan tenaga kerjanya, pemanfaatan sumber
daya yang melimpah ditempat tersebut, keuntungan investasi, dan
faktor-faktor lain yang dipertimbangkan terutama manfaatnya bagi
masyarakat luas seperti turunnya risiko kesehatan lingkungan dan
kasus gangguan kesehatan dari pengelolaan limbah yang tidak
aman dan benar serta turunnya kasus pencemaran lingkungan.
Studi kelayakan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Berbasis Wilayah meliputi faktor-faktor yang berkenaan
dengan aspek teknis, pasar, keuangan, manajemen, hukum serta
manfaatnya. Penjelasan secara ringkas aspek-aspek tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Aspek teknis berkenaan dengan kebutuhan dan penyediaan
tenaga kerja pembangunan dan operasional sesuai dengan
kompetensi tenaga, kebutuhan lahan dan lokasi, kebutuhan
fasilitas infrastuktur seperti pemilihan teknologi alat pengolah
limbah, kendaraan pengangkut, TPS/depo, lokasi pembuangan
akhir, serta sarana pendukung lainnya seperti sarana untuk
keselamatan dan kesehatan kerja, sarana dalam kondisi
kedaruratan, pemeliharaan fasilitas dan faktor-faktor produksi
lainnya. Pemerintah Daerah juga harus mempertimbangkan
138
ketersediaan fasilitas serta sarana dan prasarana yang sudah
dimiliki.
2) Aspek pasar berkenaan dengan kesempatan pasar yang ada
dan prospeknya serta strategi pemasaran yang tepat untuk
memasarkan produk atau jasa seperti jumlah Fasilitas
Pelayanan Kesehatan yang akan dilayani dan jumlah limbah
yang dihasilkan dengan membuat peta cakupan area layanan
sehingga efektif dan efisien.
3) Aspek keuangan ditinjau dari profitabilitas komersial dan
kemampuan memenuhi kebutuhan dana dan segala
konsekuensinya dengan penyiapan sumber dana baik dari
APBD, swasta, APBN, dan sumber dana lain yang sah.
Pendanaan digunakan untuk pembangunan dan operasional
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Berbasis Wilayah.
4) Aspek manajemen menilai kualitas dan kemampuan orang-
orang yang akan menangani usaha serta pembentukan
organisasi dan pembagian tugas. Pemerintah Daerah
membentuk manajemen badan usaha atau bekerja sama
dengan swasta terkait dengan manajemen sumber daya
manusia, teknis operasional termasuk prosedur, keuangan,
dan manajemen lainnya.
5) Aspek hukum meliputi segala aspek hukum yang relevan bagi
kelangsungan usaha seperti ketaatan terhadap izin lingkungan
melalui kajian dampak lingkungan, izin usaha, izin operasional
untuk pengangkutan, TPS, pengolahan (insinerator), dan
pembuangan limbah, serta izin lainnya yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan juga kewajiban
pencatatan dan pelaporan.
Agar studi kelayakan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah ini dapat mencapai
139
sasaran dari berbagai pihak maka harus dilakukan dengan
melibatkan para pihak yang memiliki keahlian/pakar. Selain itu
studi kelayakan juga harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
1. Studi harus dilakukan dengan teliti dan dengan penuh
kehati- hatian.
2. Studi harus dilakukan dengn dukungan data yang lengkap.
3. Studi harus dilakukan dengan kejujuran dan ketulusan
hati.
4. Studi harus dilakukan dengan obyektif.
5. Studi harus dilakukan dengan adil dan tidak memihak
kepentingan tertentu
6. Studi harus dapat diuji ulang jika diperlukan untuk
menguji kebenaran hasil studi.
Berdasarkan hasil studi kelayakan, Pemerintah Daerah melakukan
langkah-langkah yang diperlukan seperti proses pengurusan izin
untuk pembangunan untuk Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Hasil studi kelayakan dapat
menjadi standar kesiapan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan
Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah.
Dalam hal ini misalnya daerah yang memerlukan pengelolaan
Limbah Medis berbasis wilayah adalah daerah yang menghasilkan
Limbah Medis lebih banyak daripada kapasitas pengolahan yang
ada di wilayah tersebut.
Dalam hal pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dilakukan melalui kerja sama Pemerintah Daerah
dengan pihak swasta, maka Pemerintah Daerah juga harus
menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam melakukan kerja sama.
Kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan pihak swasta antara
lain dalam bentuk:
140
1. Penyedianan lahan untuk lokasi pembangunan pengelolaan
dan penyediaan infrastruktur;
2. Penyediaan fasilitas untuk pengelolaan Limbah Medis secara
ekstrenal seperti alat angkut, kontainer, alat pengolah Limbah
Medis, atau fasilitas sanitary landfill;
3. Penyediaan sumber daya manusia.

b. Tahapan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Berbasis Wilayah
Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Berbasis Wilayah diselenggarakan sebagaimana
gambar 3 berikut ini.

Gambar 3 Skema mekanisme pengelolaan limbah medis fasilitas pelayanan kesehatan berbasis
wilayah

Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Berbasis Wilayah dilakukan melalui tahapan pengelolaan limbah
secara internal di lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan
pengelolaan eksternal di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Indikator Pengelolaan Limbah Medis dalam RPJMN 2020-2024


Indikator pengelolaan limbah medis dalam RPJMN 2020-2024 pada lampiran
III dengan indikator Jumlah fasyankes yang memiliki pengelolaan limbah
medis sesuai standar dengan target tahun 2020 adalah 2.600 fasyankes,
tahun 2021 sebanyak 3.000 fasyankes, tahun 2022 sebanyak 4.850, tahun
2023 sebanyak 6.250 fasyanes dan pada tahun 2024 sebanyak 8.800
fasyankes. Instansi penanggung jawab/pelaksana indikator ini adalah
Kementerian Kesehatan.
141
Definisi operasional dari indikator Jumlah fasyankes yang memiliki
pengelolaan limbah medis sesuai standar adalah: Fasyankes (rumah sakit
dan Puskesmas) yang telah melakukan pemilahan, pewadahan,
pengangkutan yang memenuhi syarat, penyimpanan sementara limbah B3
(TPS LB3) yang berizin serta melakukan pengolahan secara mandiri sesuai
persyaratan atau berizin dan atau bekerjasama dengan jasa pengolah
limbah B3 berizin.
Jumlah fasyankes yang memiliki pengelolaam limbah medis sesuai standar
merupakan salah satu projek prioritas oleh karena itu agar target dapat
tercapai program terkait pengelolaan limbah medis perlu menjadi proritas.
Strategi dan upaya harus dilakukan secara bersama-sama dan terintegrasi
mulai dari Pusat dan daerah, pemerintah, swasta dan masyarakat.

Koordinasi, Advokasi, Pembinaan Teknis dan Peningkatan Kapasitas


Pengelolaan Limbah Medis
Dalam mewujudkan pengelolaan limbah medis memerlukan koordinasi yang
baik antara lintas unit/program di fasyankes mulai dari manajemen, tenaga
kesehatan seperti tenaga medis, paramedis, tenaga kesehatan lainnya yang
berpoteni menghasilkan limbah medis dalam kegiatannya, tenaga kesehatan
lingkungan hingga petugas kebersihan. Selain koordinasi internal fasyankes,
koordinasi lintas sektor di daerah hingga pusat. Sektor terkait di daerah
antara lain fasyankes, dinas kesehatan, dinas lingkungan hidup, dinas PU.
Sektor di pusat antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Perhubungan, Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Kementeriian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

142
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2020-2024.Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubaan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024.
Salah satu indikator program penyehatan lingkungan dalam rencstra
Kementerian Kesehatan yaitu Jumlah fasyankes yang memiliki pengelolaan
limbah medis sesuai standar dengan target tahun 2020 adalah 2.600
fasyankes, tahun 2021 sebanyak 3.000 fasyankes, tahun 2022 sebanyak
4.850, tahun 2023 sebanyak 6.250 fasyanes dan pada tahun 2024 sebanyak
8.800 fasyankes. Instansi penanggung jawab/pelaksana indikator ini adalah
Kementerian Kesehatan.
Definisi operasional dari indikator Jumlah fasyankes yang memiliki
pengelolaan limbah medis sesuai standar adalah: Fasyankes (rumah sakit
dan Puskesmas) yang telah melakukan pemilahan, pewadahan,
pengangkutan yang memenuhi syarat, penyimpanan sementara limbah B3
(TPS LB3) yang berizin serta melakukan pengolahan secara mandiri sesuai
persyaratan atau berizin dan atau bekerjasama dengan jasa pengolah
limbah B3 berizin.

Rencana Aksi Kegiatan Penyehatan Lingkungan


Tabel 5 Indikator rencana aksi kegiatan penyehatan lingkungan

Capaian/Outcome Indikator Keterangan


Meningkatnya Persentase Kab/Kota yang Renstra, RAP, RAK,
Penyehatan dan memenuhi yang memenuhi IKP
Pengawasan kualitas kesehatan lingkungan
Kualitas
Lingkungan
Persentase desa/kelurahan Stop RPJMN, Renstra,
Buang Air Besar Sembarangan RAP, RAK, RKP, IKK
(SBS

143
Capaian/Outcome Indikator Keterangan
Jumlah kabupaten/kota sehat RPJMN, Renstra,
RAP, RAK, RKP, IKK

Persentase sarana air minum RPJMN, Renstra,


yang diawasi/diperiksa kualitas RAP, RAK, RKP, IKK
air minumnya sesuai standar.

Jumlah fasyankes yang memiliki RPJMN, RAP,


pengelolaan limbah medis RAK, RKP, IKK
sesuai standar

Persentase Tempat Pengelolaan RAP, RAK, IKK


Pangan (TPP) yang memenuhi
syarat sesuai standar

Persentase Tempat dan Fasilitas RAP, RAK, IKK


Umum (TFU) yang dilakukan
pengawasan sesuai standar

Persentase RS yang RAP, RAK, IKK


melaksanakan penyelenggaraan
Kesehatan Lingkungan

Persentase Kab/ Kota yang RAP, RAK, IKK


menyelenggarakan Adaptasi
Perubahan Iklim dan
Kebencanaan Lingkungan

Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang mengelola limbah medis sesuai


standar merupakan salah satu indikator dalam rencana aksi kegiatan
Direktorat Penyehatan Lingkungan tahun 2020-2024. Dalam mencapai target
indikator perlu didukung dengan program dan kegiatan antara lain berupa
penyusunan NSP, Peningkatan Kapasitas SDM, Bimbingan Teknis,
Monotoring dan Evaluasi, dukungan saran dan pra sarana, koordinasi lintas
sektor dan program terkait.
144
145
MPI 1 Perencanaan Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes

146
147
Pengelolaan limbah medis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) akan menghadapi tantangan yang relatif komplek sehingga
dalam pengelolaannya di butuhkan perencanaan yang matang. Kualitas
perencanaan akan menentukan keberhasilan pengelolaan limbah medis.
Keberhasilan pengelolaan limbah medis di Fasyankes saat ini wajib
diwujudkan, karena kegagalan pengelolaan akan menghadapi sangsi hukum
akibat risiko pencemaran lingkungan pada manusia di fasyankes seperti di
amanahkan dalam peraturan perundangan tentang pengelolaan limbah
bahan berbahaya beracun (B3) di fasyankes, dan disisi lain risiko infeksi juga
akan mengancam kesehatan manusia.
Dalam menyusun perencanaan, maka langkah melaksanakan
identifikasi risiko pengelolaan limbah medis menjadi titik yang menentukan
keberhasilan melalui tahapan-tahapan manajemen risiko. Terpilihnya skala
prioritas pengelolaan risiko dan pemetaan risiko yang disusun perlu
ditindaklanjuti dengan mitigasi (pananggulangan) risiko agar menjamin
perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan bagi petugas dan
pasien/pengunjung fasyankes. Untuk itu perlu direncanakan kebutuhan
sumber daya untuk mendukung keberhasilan, antara lain sumber daya
manusia dan organisasinya, pembiayaan, fasilitas/sarana serta penyusunan
sistem dan dokumen pendukungnya.
Apabila perencanaan pengelolaan limbah medis ini dapat disusun
dengan baik, maka dapat dengan mudah diwujudkan lingkungan fasyankes
yang terbebas dari risiko negatif lingkungan dan gangguan infeksi akibat
limbah medis yang dihasilkan.

148
1) Hasil Belajar

Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu merencanakan


pengelolaan limbah Fasyankes

2) Indikator Hasil Belajar

Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu ;


1. Menentukan risiko pengelolaan limbah Fasyankes
2. Menyusun rencana kegiatan sesuai risiko pengelolaan limbah
Fasyankes
3. Merencanakan pemantauan dan evaluasi pengelolaan limbah
Fasyankes

149
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
1. Risiko pengelolaan limbah Fasyankes
2. Rencana kegiatan sesuai risiko pengelolaan limbah Fasyankes
3. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes

150
151
Materi Pokok 1: Risiko Pengelolaan Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Limbah fasyankes merupakan masalah yang cukup serius bagi penyedia
layanan kesehatan dan lingkungan sekitar, banyak masyarakat yang masih
belum paham tentang bahaya yang ditimbulkan dari limbah B3 medis ini.
Unit pengelolaan limbah fasyankes merupakan salah satu unit di fasyankes
yang pekerjaan memiliki risiko tinggi terjadinya kontaminasi baik pada
manusia maupun lingkungan. Bahaya yang dihadapi petugas unit
pengelolaan limbah berasal dari bahaya biologi, kimia, mekanik dan atau
fisik, agar dapat dilakukan pengendalian bahaya dengan tepat, maka perlu
dilakukan risk assessment terhadap potensi bahaya yang ada. Selain
petugas pengelola limbah, orang-orang yang memiliki risiko tinggi tercemar
limbah medis adalah petugas kesehatan, pasien dan pengunjung,
masyarakat sekitar fasyankes serta lingkungan sekitar.
Pentaatan terhadap kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam
pengelolaan limbah menjadi sangat penting, karena selain risikonya terhadap
masyarakat fasyankes dan lingkungan, ternyata juga memiliki dampak
hukum yang harus ditanggung oleh penghasil limbah fasyankes jika
pengelolaannya tidak sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Pengolahan limbah medis perlu mendapat perhatian dan menjadi komitmen
pimpinan fasyankes yang didukung Pemerintah Daerah setempat untuk
menuntaskan pengelolaannya disebabkan masih terbatasnya jumlah
pengelola limbah medis berijin, juga timbulan limbah medis yang dihasilkan
makin banyak apalagi dalam masa pandemi COVID-19.
Kegiatan ini diawali dengan identifikasi risiko pengelolaan limbah medis di
fasyankes sehingga didapatkan list prioritas penanganan risiko sebagai
dasar perencanaan untuk menanggulangi potensi risiko pengelolaan limbah
medis yang ditimbulkan fasyankes untuk menjamin penyelenggaraan
pengelolaan limbah medis efektif dan aman.

152
B. Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi pokok ini, peserta mampu menentukan risiko
pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 1:
a. Identifikasi risiko
b. Penilaian risiko
c. Penentuan prioritas

D. Uraian Materi Pokok

Identifikasi risiko
Tahapan awal yang harus dilakukan dalam identifikasi risiko pengelolaan
limbah medis adalah dengan mengumpulkan peraturan perundangan terkait
pengelolaan limbah medis, karena peraturan tersebut bersifat wajib untuk
ditaati. Selain itu, peraturan perundangan yang berlaku merupakan kondisi
ideal dari pengelolaan limbah medis yang dilaksanakan fasyankes, dimana
untuk mencapai kondisi ideal tersebut perlu ada upaya membandingkan
antara kondisi ideal dengan kondisi fasyankes, mengidentifikasi

153
kesenjangan, dan merencanakan upaya untuk mencapai kondisi ideal
pengelolaan limbah medis.

Pengelolaan limbah medis Fasyankes harus selalu dimutakhirkan (update)


karena dinamika perubahan kebijakan dan peraturan perundangan yang
mendukungnya di Indonesia khususnya. Pengelolaan limbah medis tidak
dapat terlaksana secara maksimal dan bersifat terkini tanpa dilakukan
penyesuaian dengan kebijakan dan peraturan perundangan yang ada. Untuk
itu, terkait dengan program pengelolaan limbah medis Fasyankes wajib
melakukan kegiatan inventarisasi peraturan perundangan. Kegiatannya
berupa pengumpulan dokumen peraturan perundangan, baik berbentuk soft
copy maupun hardcopy, disusun sesuai hirarki dan kemudian dilakukan
pendokumentasian.
Fasyankes juga perlu melakukan assessment (kajian) pentaatan
pelaksanaan pengelolaan limbah medis di fasyankes terhadap ketentuan dan
persyaratan, disajikan dalam bentuk tabel keterkaitan antara tatalaksana
pengelolaan limbah medis dan pasal-pasal dalam peraturan perundangan.

154
Tabel 6 Keterkaitan dan pentaatan peraturan perundangan dalam pengelolaan limbah medis di Fasyankes

Bunyi Peraturan Penjelasan


Peraturan Perundangan Tingkat Penaatan
No Tata Kelola Perundangan Pelaksanaan di
Terkait (Pasal dan Ayat) (%) / Kesenjangan
(Pasal dan Ayat) Lapangan

1 Tahapan Pengelolaan

a. Minimisasi

b. Pemilahan

c. Penyimpanan
Sementara

d. Pengangkutan

e. Pengumpulan

f. Pengolahan Internal

g. Pengolahan Eksternal

- Izin TPS Limbah


Medis

- Izin Alat Pengolah

2 Pencatatan

a. Logbook

155
Bunyi Peraturan Penjelasan
Peraturan Perundangan Tingkat Penaatan
No Tata Kelola Perundangan Pelaksanaan di
Terkait (Pasal dan Ayat) (%) / Kesenjangan
(Pasal dan Ayat) Lapangan

b. Neraca

c. Manifest

3 Pelaporan Limbah B3

a. Pelaporan ke KLHK

b. Pelaporan ke DLH

4 Dan Seterusnya

156
Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah medis fasyankes, pimpinan tertinggi
Fasyankes harus berkomitmen untuk merencanakan, melaksanakan,
meninjau dan meningkatkan pelaksanaan pengelolaan limbah fasyankes
secara tersistem dari waktu ke waktu dalam setiap aktifitasnya dengan
melaksanakan manajemen pengelolaan limbah fasyankes yang baik.
Fasyankes harus mematuhi hukum, peraturan, dan ketentuan yang berlaku.
Pimpinan Fasyankes termasuk jajaran manajemen bertanggung jawab untuk
mengetahui ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain
yang berlaku untuk fasilitas Fasyankes.
Kebijakan tersebut harus jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh
seluruh SDM Fasyankes baik pimpinan, petugas, pemasok dan pasien,
pengunjung, pengantar pasien, tamu serta pihak lain yang terkait. Selain itu
semuanya bertanggung jawab mendukung dan menerapkan kebijakan
pelaksanaan pengelolaan limbah medis fasyankes tersebut, serta prosedur-
prosedur yang berlaku di Fasyankes selama berada di lingkungan
Fasyankes. Kebijakan pengelolaan limbah medis fasyankes harus
disosialisasikan dengan berbagai upaya pada saat rapat pimpinan, rapat
koordinasi, rapat lainnya, spanduk, banner, poster, audiovisual, dan lain-lain.

Adapun kebijakan sebagai perwujudan komitmen pimpinan Fasyankes dalam


melaksanakan pengelolaan limbah medis dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Surat Keputusan Pimpinan Fasyankes
Berisi pernyataan tertulis tentang tujuan pengelolaan limbah medis
fasyankes ditetapkan oleh pimpinan tertinggi Fasyankes secara resmi
dan tertulis. Ketentuan penyusunan kebijakan minimal memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
● Kebijakan tertulis dapat berbentuk Surat Keputusan yang
ditandatangani oleh pimpinan tertinggi fasyankes,
● Isi Surat Keputusan minimal menyatakan dukungan pimpinan
fasyankes dalam penyelenggaraan kegiatan kesehatan

157
lingkungan (pengelolaan limbah medis), penyediaan sumber daya
dan kesediaan mentaatan terhadap ketentuan dan peraturan
perundangan yang berlaku;
● Kebijakan tertulis dilakukan pemutakhiran sesuai dengan
perkembangan kebijakan kesehatan lingkungan fasyankes

2. Pedoman/Panduan Pengelolaan Limbah fasyankes


Berupa dokumen/buku yang berisi tentang tata kelola pengelolaan
limbah medis fasyankes dengan mengacu pada ketentuan dan
persyaratan yang tertuang dalam peraturan perundangan. Pedoman
menjadi dokumen resmi fasyankes, sehingga harus ditetapkan oleh
pimpinan tertinggi Fasyankes dan dituangkan secara resmi dan tertulis.
Dalam perkembangannya pedoman perlu dilakukan pemutakhiran
(update) sesuai kebutuhan. Ketentuan penyusunan pedoman minimal
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
● Latar Belakang
● Tujuan
● Dasar Hukum
● Tata Laksana Pengelolaan
● Monitoring dan Evaluasi
● Pelaporan

3. Standar Prosedur Operasional (SPO) Pengelolaan Limbah


Fasyankes
Berupa lembar penjelasan yang berisi tentang langkah-langkah teknis
pengelolaan limbah medis fasyankes dengan mengacu pada Pedoman
Pengelolaan Limbah Medis yang telah ditetapkan. SPO akan menjadi
dokumen resmi fasyankes, sehingga harus ditetapkan oleh pimpinan
tertinggi Fasyankes dan dituangkan secara resmi dan tertulis. Dalam
perkembangannya SPO perlu dilakukan pemutakhiran (update) sesuai
kebutuhan. Ketentuan penyusunan pedoman minimal memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
158
● Judul SPO, tanggal, Nomor Revisi dan Tanda tangan pimpinan
● Pengertian
● Tujuan
● Kebijakan
● Prosedur /Langkah-langkah
● Unit kerja terkait
● Tanda tangan Unit Kerja yang menyiapkan SPO

Penilaian Risiko
Risiko lingkungan adalah probabilitas dari kerusakan lingkungan sehingga
dapat menghambat kinerja fasyankes untuk mencapai tujuannya, hal ini
dapat juga disebabkan karena ketidakmampuan fasyankes dalam mengelola
limbah berbahan berbahaya dan beracun (B3), maka dari itu perlu adanya
manajemen risiko lingkungan untuk limbah B3.
● Manajemen Risiko Pengelolaan B3
Manajemen risiko pengelolaan B3 yaitu proses yang bertahap
dan berkesinambungan untuk mencegah terjadinya penyakit akibat
limbah medis secara komprehensif di lingkungan fasyankes.
Manajemen risiko fasyankes merupakan aktifitas yang dilakukan oleh
fasyankes untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko
akibat kegagalan pengelolaan limbah medis di fasyankes. Hal ini akan
tercapai melalui kerja sama antara Unit Kesehatan Lingkungan yang
membantu manajemen dalam mengembangkan dan
mengimplementasikan program pengelolaan limbah medis, kerjasama
dengan seluruh pihak yang berada di Fasyankes. Hasil kajian
manajemen risiko dirangkum dalam bentuk tabel daftar risiko (risk
register) pengelolaan limbah medis.
Manajemen risiko pengelolaan limbah medis bertujuan meminimalkan
risiko pengelolaan limbah medis di fasyankes sehingga tidak
menimbulkan efek buruk terhadap pengelolaan limbah medis, sumber
daya manusia Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung,

159
maupun lingkungan Fasyankes. Dalam melakukan manajemen risiko
pengelolaan limbah medis perlu dipahami hal-hal berikut :

1. Bahaya potensial / hazard (Risk Register)


Bahaya potensial yaitu suatu keadaan/kondisi yang dapat
mengakibatkan (berpotensi) menimbulkan kerugian
(infeksi/pencemaran lingkungan) bagi petugas dan lingkungan
hidup.
Terkait dengan pengelolaan limbah medis, maka faktor bahaya
(hazard) yang dapat diidentifikasi adalah hazard biologi dan hazard
kimia. Hazard biologi dengan kandungan mikroorganisme
pathogen seperti bakteri, virus, jamur dan lain lain yang terkandung
dalam materi limbah medis. Demikian pula dengan hazard kimia
dalam limbah medis yang digunakan dalam tindakan medis di
fasyankes. Hazard ini dapat membahayakan kualitas lingkungan
hidup yang akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat
khususnya di lingkungan dan sekitar fasyankes.

2. Konsekuensi
Konsekuensi adalah akibat dari suatu kejadian yang dinyatakan
secara kualitatif atau kuantitatif, berupa kerugian, sakit, cedera,
keadaan merugikan atau menguntungkan. Bisa juga berupa
keadaan spesifik akibat yang mungkin terjadi dan berhubungan
dengan suatu kejadian.
Fasyankes perlu menyusun sebuah program manajemen risiko
fasilitas/ lingkungan/proses kerja yang membahas risiko
pengelolaan limbah melalui penyusunan manual, kemudian
berdasarkan manual yang ditetapkan dipergunakan untuk
membuat rencana manajemen fasilitas dan penyediaan tempat,
teknologi, dan sumber daya. Organisasi bertanggung jawab
mengawasi pelaksanaan manajemen risiko pengelolaan limbah
dimana dalam sebuah Fasyankes yang kecil, ditunjuk seorang

160
personil yang ditugaskan untuk bekerja purna waktu, sedangkan di
Fasyankes yang lebih besar, semua personil dan unit kerja harus
dilibatkan dan dikelola secara efektif, konsisten dan
berkesinambungan.

3. Risiko
Risiko yaitu kemungkinan/peluang suatu hazard menjadi suatu
kenyataan, yang bergantung pada:
● pajanan, frekuensi, konsekuensi
● dose-response
Terkait dengan pengelolaan limbah fasyankes, maka beberapa
risiko yang perlu dicermati oleh petugas pengelolaan limbah terkait
dengan penyusunan manajemen risiko, antara lain adalah risiko
pencemaran lingkungam risiko penurunan estetika lingkungan
risiko infeksi pada petugas khususnya, risiko kebakaran dan lain-
lain. Manajemen risiko meliputi semua rangkaian kegiatan yang
berhubungan dengan risiko yaitu perencanaan (planning),
penilaian (assessment), penanganan (handling), dan pemantauan
(monitoring) risiko.
Potensi risiko diatas dapat diperkirakan kemungkinan frekuensi
kejadiannya dengan berdasar pada pengalaman, kejadian
sebelumnya di fasyankes bahkan merujuk kejadian yang pernah
terjadi di fasyankes lain.

● Pengumpulan Data Masalah Pengelolaan Limbah Medis Fasyankes


Pengumpulan data ini dilakukan dengan pendekatan manajemen risiko.
Untuk menyusun manajemen risiko pengelolaan limbah ini, maka
fasyankes melakukan tahapan pelaksanaan meliputi:
a. Persiapan
b. Identifikasi risiko
c. Analisa risiko,

161
d. Evaluasi risiko,
e. Pengendalian risiko (menentukan langkah atau strategi
pengendaliannya),
f. Komunikasi,dan
g. Pemantauan dan tinjau ulang
1) Persiapan
Menyusun program dan rencana kegiatan manajemen risiko,
meliputi:
● Ruang Lingkup kegiatan manajemen risiko terkait pengelolaan
limbah di fasyankes.
● Personil yang terlibat, Unit/Instalasi Kesehatan Lingkungan
dan unit kerja terkait.
● Pertemuan dengan seluruh unit kerja untuk sosialisasi
manajemen risiko
2) Identifikasi Risiko
Kegiatan identifikasi risiko meliputi penyusunan risiko/bahaya
potensial yang telah dan akan terjadi di fasyankes baik
bersumber fasilitas limbah maupun lingkungan.

● Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah masalah teridentifikasi. Adapun
kesenjangan antara kondisi ideal dengan kondisi fasyankes tersebut
dapat diinventarisasi untuk kemudian dianalisis.
Data berupa inventaris masalah seperti masalah yang terjadi pada tiap
tahapan pengelolaan dan perizinan dapat diolah dan dianalisis sehingga
dapat dihasilkan rekomendasi untuk mengurangi masalah tersebut,
seperti menyusun SOP pengelolaan limbah, peningkatan kegiatan
promosi kesehatan terkait pengelolaan limbah, dan lainnya.
Data berupa angka yaitu timbulan limbah padat dan cair dari neraca
limbah medis, logbook, maupun pencatatan harian efluen limbah cair
dapat diolah dan didapatkan tren timbulan limbah medis padat dan
162
limbah cair pada periode tertentu sehingga dapat dilakukan perencanaan
terkait hal tersebut, misalnya untuk pengadaan sarana prasarana
pengelolaan limbah medis.
1) Analisis dan Evaluasi Risiko
● Analisis Risiko
Penilaian (analisis) risiko bertujuan untuk mengetahui tingkat
risiko dari aspek-aspek terkait dengan fasilitas dan lingkungan
di fasyankes, sehingga diperoleh prioritas waktu pelaksanaan
tindak lanjut hasil temuan.

Gambar 4 Risk Grading Analysis

● Evaluasi Risiko
Penilaian (analisis) risiko bertujuan untuk mengetahui tingkat
risiko dari aspek-aspek terkait dengan fasilitas dan lingkungan
di fasyankes, sehingga diperoleh prioritas waktu pelaksanaan
tindak lanjut hasil temuan. Ins
Evaluasi risiko bertujuan untuk menghasilkan urutan
(mengkuantifikasi) risiko berdasarkan hasil analisis risiko,
sehingga akan diketahui tingkat/grading risiko dan prioritas
pengelolaan (pengendaliannnya). Dari instrumen risk grading

163
analysis yang digunakan, akan diketahui tingkat risikonya
(tinggi, sedang dan rendah).

164
Dari tahapan manajemen risiko, maka prosesnya dapat dituangkan dalam tabel yang disebut dengan daftar risiko (risk
register), dengan contoh sbb :

Tabel 7 Daftar risiko pengelolaan limbah medis fasyankes

Kontrol (K)
Frekuensi (F) Dampak (D) Skoring Tingkat Pengendalian/ Penanggung
No Risiko Pengendalian
Nilai 1s/d 5 Nilai 1s/d 5 (FXDXK) Risiko Mitigasi Jawab
Nilai 4 s/d 1
1
2
3
4
5

165
Penentuan Prioritas
1. Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
● Tetapkan alternatif/pilihan
● Analisa untung rugi
● Pilih tindakan yang paling sesuai
● Perencanaan tindakan dan implementasi
● Bagaimana pembiayaannya
Melakukan monitoring dan komunikasi dilakukan pada seluruh tahapan
manajemen risiko.

2. Pelaksanaan Monitoring Dan Komunikasi


Manajemen risiko perlu dimengerti dan dipahami oleh seluruh unit kerja
dan instansi terkait, untuk itu perlu dilakukan monitoring dan komunikasi
secara baik, melalui kegiatan sebagai berikut:
Pelaksanaan Monitoring dan Review :
● Pelaksanaan monitoring, termasuk review tahapan pelaksanaan
pengelolaan risiko, dilaksanakan terhadap variable persiapan,
identifikasi risiko, analisis dan evaluasi risiko dan upaya
pengendalian yang telah dan akan dilakukan pada aspek
kegiatan/area/lingkup manajemen risiko di fasyankes. Monitoring
risiko tersebut meliputi :
● Kesiapan sumber daya baik material, SDM, pembiayaan dll
dalam mendukung persiapan
● Ketepatan dalam menentukan identifikasi risiko
● Kesesuaian metode, tools/instrument dalam melakukan
analisis dan evaluasi risiko
● Ketepatan dalam menyusun upaya pengendalian risiko

166
3. Pelaksanaan Komunikasi dan Konsultasi
Komunikasi dan konsultasi dalam pengelolaan risiko dilaksanakan pada
setiap tahapan pengelolaan risiko, yang dilakukan melalui :
● Rapat koordinasi pengelolaan limbah medis dengan Unit Kerja
terkait.
● Pelaporan
● Rapat tim
● Rekomendasi hasil analisis

4. Edukasi pengelolaan risiko


Edukasi meliputi : pelatihan, sosialisasi, praktek simulasi pengelolaan
risiko.

167
Materi Pokok 2: Rencana Kegiatan Sesuai Risiko Pengelolaan
Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Pemahaman yang benar tentang risiko pengelolaan limbah fasyankes
merupakan point penting sebagai dasar untuk menyusun perencanaan
kegiatan dalam upaya mengendalikan atau mengurangi risiko
tersebut. Rencana kegiatan terkait risiko pengelolaan limbah fasyankes
adalah suatu rangkaian dari rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk
menanggulangi, mengurangi dan atau mengendalikan dampak risiko
pengolahan limbah fasyankes pada periode tertentu, dengan
menggambarkan dan merumuskan suatu kegiatan tertentu yang di yakini
dapat dilakukan untuk mencapai pengelolaan limbah fasyankes yang efektif
dan aman.
Adapun dalam melakukan perencanaan kegiatan dengan
mempertimbangkan komponen “software dan hardware” seperti, SDM,
Struktur organisasi, fasilitas dan peralatan, dan sumber pembiayaan
sehingga tersusunlah rencana kegiatan yang sesuai dengan risiko
pengelolaan limbah fasyankes.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi pokok ini, peserta mampu menyusun rencana
kegiatan sesuai risiko pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 2:
a. SDM dan struktur organisasi
b. Fasilitas dan peralatan
c. Penentuan anggaran
d. Rencana kegiatan

168
D. Uraian Materi

Pengelolaan limbah di fasyankes yang baik dan benar perlu mengacu pada
persyaratan dan ketentuan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.56/Permen LHK/Setjen/2015 Tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Dalam implementasinya, pengelolaan limbah fasyankes
merupakan bagian dari pengelolaan kesehatan lingkungan rumah sakit,
sehingga perlu juga mengacu pada dan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Untuk
melakukan standarisasi pengelolaan limbah medis sesuai persyaratan dan
ketentuan tersebut perlu didukung dengan kesiapan perencanaan yang
sistematis dan komprehensif.
Fasyankes harus membuat perencanaan pengelolaan limbah fasyankes
yang efektif dalam upaya mencegah dan mengendalikan risiko negatif yang
timbul, sehingga akan mudah mencapai keberhasilan penyelenggaraan
pengelolaan limbah medis fasyankes dengan sasaran yang jelas, terukur dan
aman. Perencanaan pengelolaan limbah fasyankes dilakukan untuk

169
menghasilkan perencanaan strategis, yang diselaraskan dengan lingkup
manajemen Fasyankes. Perencanaan pengelolaan limbah tersebut disusun
dan ditetapkan oleh pimpinan Fasyankes dengan mengacu pada kebijakan
pelaksanaan kesehatan lingkungan fasyankes yang telah ditetapkan,
selanjutnya disosialisasikan untuk diterapkan dalam rangka mengendalikan
potensi bahaya dan risiko pengelolaan limbah fasyankes yang telah
teridentifikasi dan berhubungan dengan operasional Fasyankes.

Dalam rangka perencanaan pengelolaan limbah medis fasyankes perlu


mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, kondisi yang ada serta
hasil identifikasi potensi bahaya gangguan akibat kegagalan pengelolaan
limbah medis fasyankes.

Tujuan yang ingin dicapai dalam perencanaan pengelolaan limbah fasyankes


adalah:

1. Pengelolaan limbah di fasyankes dapat dilaksanakan sesuai dengan


persyaratan dan ketentuan yang berlaku
2. Pengelolaan limbah fasyankes dapat didukung dengan kesiapan
sumber daya yang dimiliki fasyankes
3. Pengelolaan limbah fasyankes dapat mencapai indikator
keberhasilan yang ditetapkan oleh fasyankes
4. Fasyankes tidak menyebabkan kasus pencemaran dan kasus infeksi
akibat kegagalan dalam pengelolaan limbah medis

170
Memahami Limbah di Fasyankes seringkali menghadapi banyak tafsiran dan
pendapat baik dari para ahli maupun beberapa referensi. Apabila merujuk ke
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 dan Permen LHK No. P56
Tahun 2015, maka limbah fasyankes lebih dikenal sebagai limbah bahan
berbahaya dan beracun. Untuk itu, agar memudahkan pemahaman dalam
penyusunan sub pokok bahasan ini, maka ruang lingkup dalam perencanaan
pengelolaan limbah fasyankes yang akan dibahas meliputi jenis limbah:

Gambar 5 Jenis limbah dalam pengelolaan limbah fasyankes

Sedang lingkup perencanaan yang akan diuraikan meliputi SDM dan struktur
organisasi, perencanaan fasilitas dan peralatan dan penentuan anggaran
serta rencana kegiatan pengelolaan limbah fasyankes.

171
Dari sisi waktu, perencanaan meliputi :
1. Perencanaan jangka pendek 🡪membuat jadwal kegiatan dengan
tanpa biaya/ biaya minimalis (minggu, bulan, triwulan, semester dan
tahunan)
2. Perencanaan jangka panjang 🡪pengadaan sarana dan prasarana,
perizinan, SDM, alat pengolahan limbah (diatas 1 tahun)
Penyusunan perencanaan sesuai dengan identifikasi risiko. Risiko
pengelolaan limbah fasyankes adalah adanya kesenjangan antara yang
seharusnya dengan fakta saat ini. Kondisi ideal pengelolaan limbah
fasyankes tentunya sesuai dengan yang dimandatkan atau diperintahkan
dalam peraturan perundangan terkait pengelolaan limbah fasyankes. Oleh
karenanya langkah pertama melakukan inventarisasi peraturan perundangan
terkait pengelolaan limbah medis di Fasyankes, kemudian melakukan
penilaian dengan fakta pengelolaan limbah di Fasyankes masing-masing.

Sumber Daya Manusia dan Struktur Organisasi


1. Perencanaan Sumber Daya Manusia
Pelaksanaan rencana pengelolaan limbah fasyankes harus didukung
oleh ketenagaan di bidang pengelolaan limbah medis, sarana dan
prasarana, dan anggaran yang memadai. Ketenagaan di bidang
pengelolaan limbah medis merupakan suatu komponen penting pada
pelaksanaan pengelolaan limbah fasyankes karena sumber daya
manusia menjadi pelaksana dalam aktivitas manajerial dan operasional
pelaksanaan pengelolaan limbah.
Elemen lain di Fasyankes, seperti sarana, prasarana dan modal
lainnya, tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa adanya campur
tangan dari ketenagaan pengelolaan limbah yang menguasai
pekerjaannya. Oleh karena itu ketenagaan pengelolaan limbah menjadi
faktor penting agar pelaksanaan pengelolaan limbah dapat berjalan
secara efisien, efektif, aman dan berkesinambungan. Adapun

172
ketenagaan pengelolaan limbah medis untuk tingkat pelaksana
lapangan di fasyankes dapat disiapkan dengan kualifikasi:
1. Minimal tenaga SLTA yang telah lama bekerja minimal 3-4
tahun di Unit Kesehatan Lingkungan dan telah memiliki sertifikat
pengelolaan limbah medis.
2. Minimal tenaga Diploma 3 (D3) bidang Kesehatan Lingkungan
dan/atau Teknik Lingkungan telah memiliki sertifikasi kesehatan
lingkungan
Adapun ketenagaan pengelolaan limbah untuk tingkat pengawasan di
fasyankes dapat disiapkan dengan kualifikasi : minimal tenaga Diploma
3 (D3) bidang Kesehatan Lingkungan dan/atau Teknik Lingkungan
telah memiliki sertifikasi kesehatan lingkungan, dan memiliki STR.
Tenaga pengelola limbah fasyankes ini setidaknya harus memiliki
kemampuan dan menguasai tugas-tugas meliputi:
1. Mengerti kebijakan dan Peraturan perundangan terkait dengan
pengelolaan limbah fasyankes
2. Mengetahui langkah-langkah manajemen risiko pengelolaan
limbah medis
3. Mengetahui tatakelola dan tahapan-tahapan pengelolaan
limbah medis
4. Mengerti pengoperasikan dan pemeliharaan
fasilitas/peralatan/sarana terkait pengelolaan limbah medis
5. Memahami pedoman, SPO dan dokumen lain
terkait pengelolaan limbah medis
6. Mengetahui cara melakukan monitoring/pencatatan dan
evaluasi dalam pengelolaan limbah medis
Untuk meningkatkan kapasitas/kompetensi petugas pengelola limbah
medis, maka petugas perlu disertakan dalam pelatihan yang telah
bersertfikasi. Pelatihan tersebut adalah latihan keteknisan, dengan
muatan materi (pokok bahasan) meliputi : kebijakan, perencanaan,

173
penyusunan program, penanganan limbah medis, operasional dan
pemeliharaan dan keselamatan kesehatan kerja (K3).

2. Perencanaan Organisasi
Penetapan Organisasi pengelolaan limbah medis dalam perencanaan
pengelolaan limbah medis memerlukan organisasi yang dapat
menyelenggarakan program pengelolaan limbah medis secara
menyeluruh dan berada di bawah pimpinan Fasyankes yang dapat
menentukan kebijakan Fasyankes. Semakin tinggi kelas Fasyankes
umumnya memiliki tingkat risiko pengelolaan limbah medis yang lebih
besar karena semakin banyak pelayanan, sarana, prasarana dan
teknologi serta semakin banyak keterlibatan manusia di dalamnya
(sumber daya manusia Fasyankes, pasien, pengunjung, pengantar,
kontraktor, dan lain sebagainya). Untuk terselenggaranya pengelolaan
limbah medis secara optimal, efektif, efesien dan berkesinambungan,
Fasyankes membentuk atau menunjuk satu unit kerja fungsional yang
mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan pengelolaan limbah
medis. Unit kerja fungsional dapat berbentuk instalasi atau
Unit Kesehatan Lingkungan.
Unit kerja ini perlu menunjuk satu orang atau lebih yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan terhadap pengelolaan limbah medis dari
mulai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai dengan
pelaporan. Kebutuhan untuk membentuk unit kerja fungsional tersebut
disesuaikan dengan besarnya tingkat risiko pengelolaan limbah medis,
sehingga pada Fasyankes dapat memiliki instalasi/Unit kesehatan
lingkungan, atau memiliki keduanya.
Jika Fasyankes memiliki Instalasi/Unit Kesehatan Lingkungan, maka
mekanisme kerja dan tugas fungsi sebagai berikut:
1) Kepala Instalasi/ Unit Kesehatan Lingkungan:
a. Kepala Instalasi/ Unit Kesehatan Lingkungan bertanggung
jawab kepada Direktur/Pimpinan teknis.
174
b. Instalasi/Unit minimal melaksanakan 3 fungsi yang terdiri
dari:
● Pengelolaan limbah medis meliputi upaya promotif dan
preventif
● Pengelolaan limbah medis meliputi upaya pencegahan,
pemeliharaan, penanggulangan dan pengendalian.
● Lingkungan meliputi pengenalan bahaya, penilaian
risiko, dan pengendalian risiko di tempat kerja.
c. Tugas Instalasi :
● Mengembangkan kebijakan, prosedur, regulasi internal
pengelolaan limbah medis , pedoman, petunjuk teknis,
petunjuk pelaksanaan dan Standar Prosedur
Operasional (SPO) untuk mengendalikan risiko.
● Menyusun program pengelolaan limbah medis.
● Menyusun rekomendasi untuk bahan pertimbangan
pimpinan Fasyankes yang berkaitan dengan
pengelolaan limbah medis.
● Memantau pelaksanaan pengelolaan limbah medis.
● Mengolah data dan informasi yang berhubungan dengan
pengelolaan limbah medis.
● Memelihara dan mendistribusikan informasi terbaru
mengenai kebijakan, prosedur, regulasi internal
pengelolaan limbah medis, pedoman, petunjuk teknis,
petunjuk pelaksanaan dan (SPO) pengelolaan limbah
medis yang telah ditetapkan.
● Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya di
sebarluaskan di seluruh unit kerja Fasyankes.
● Membantu Kepala atau Direktur dalam
penyelenggaraan pengelolaan limbah medis Fasyankes,
promosi pengelolaan limbah medis, pelatihan dan
penelitian pengelolaan limbah medis di Fasyankes.
175
● Pengawasan pelaksanaan program pengelolaan limbah
medis.
● Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan
baru, pembangunan gedung dan proses.
● Koordinasi dengan wakil unit-unit kerja Fasyankes yang
menjadi anggota organisasi/unit yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan limbah medis.
● Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan
tindakan korektif.
● Melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan limbah medis secara teratur kepada
pimpinan Fasyankes sesuai dengan ketentuan yang ada
di Fasyankes.
● Menjadi investigator dalam kejadian pencemaran
lingkungan atau kasus infeksi termasuk kecelakaan
kerja yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2) Penanggung Jawab Pengelolaan Limbah Medis :
. Penanggung jawab Pengelolaan limbah medis bertanggung
jawab kepada Kepala Instalasi/Unit Kesehatan Lingkungan
a. Penanggung jawab Pengelolaan limbah medis bertugas:
● Memberikan masukan dalam pengembangan kebijakan,
prosedur, regulasi internal pengelolaan limbah medis,
pedoman, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan dan
Standar Prosedur Operasional (SPO) terkait
pengelolaan limbah medis.
● Membantu menyusun program pengelolaan limbah
medis.
● Memberi masukkan rekomendasi untuk bahan
pertimbangan Kepala Instalasi/ Unit Kesehatan

176
Lingkungan Fasyankes yang berkaitan dengan
pengelolaan limbah medis.
● Memantau pelaksanaan pengelolaan limbah medis
dilapangan.
● Mengolah data dan informasi mentah yang berhubungan
dengan pengelolaan limbah medis.
● Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya di
sebarluaskan di seluruh unit kerja Fasyankes.
● Pengawasan teknis pelaksanaan program pengelolaan
limbah medis.
● Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan
baru, pembangunan gedung dan proses.
● Memberikan masukkan saran dan pertimbangan
berkaitan dengan tindakan korektif.
● Melaporkan kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan limbah medis secara teratur kepada Kepala
Instalasi/Unit Fasyankes sesuai dengan ketentuan yang
ada.
Fasilitas dan peralatan
Dukungan fasilitas dan peralatan dalam perencanaan pengelolaan limbah
medis diperlukan alokasi anggaran yang memadai dan sarana prasarana
lainnya. Hal ini merupakan bagian dari komitmen pimpinan Fasyankes.
Pengalokasian anggaran pada program pengelolaan limbah medis jangan
dianggap sebagai biaya pengeluaran saja, namun anggaran pengelolaan
limbah medis perlu dipandang sebagai aset atau investasi dimana upaya
pengelolaan limbah medis melakukan penekanan pada aspek pencegahan
terjadinya berbagai masalah besar pengelolaan limbah medis yang apabila
terjadi akan menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Dalam perencanaan fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan dalam
pengelolaan limbah medis, sesuai dengan tahapan penanganan meliputi:

177
Tabel 8 Kebutuhan fasilitas dan peralatan pengelolaan limbah padat medis fasyankes

Tahan Penanganan
No Kebutuhan Fasilitas dan Alat Keterangan
Limbah
1 Pemilahan Tong sampah sesuai jenis
Kantong Plastik
2 Pewadahan/Penampungan Tong sampah sesuai jenis
Kantong Plastik dengan warna
sesuai jenis limbah
Stiker Petunjuk Jenis Tong
Sampah
3 Pengangkutan Trolly Sampah medis
Alat pelindung kerja
pengangkutan untuk petugas
4 Penyimpanan Bangunan/Area TPS Limbah Dilengkapi :
Medis sesuai ketentuan teknis, Pengamanan,
dilengkapi fasilitas pendukung : penerangan,
1. Papan nama : TPS limbah B3 alat proteksi
2. Papan bertuliskan titik kebakaran,
koordinat ventilasi cukup
3. Papan/Tulisan : nama ruang dll
jenis B3
4. Papan simbol limbah B3
5. Pallet untuk alas kemasan
drum limbah B3
6. Tempat SPO/Izin TPS
7. Security acces
8. Peralatan house keeping
Tong sampah penyimpanan
sementara
5 Pengolahan Alat Pengolah On-site: Insinerasi/
Non insinerasi, dilengkapi fasilitas
pendukung :
1. Lantai kerja sampling
2. Papan nama/kode cerobong
3. Simbol B3 (bahan bakar)
4. Papan titik kordinat
5. Tempat SPO/Izin TPS
6 Pengolahan Lanjut (Daur Bangunan/Area TPS Limbah Dilengkapi :
ulang) Medis sesuai ketentuan teknis Pengamanan,
penerangan,
alat proteksi
kebakaran,
ventilasi cukup
dll
7 Fasilitas Keselamatan Minimal meliputi :
1. Tabung APAR
2. Simbol/petunjuk keselamatan
3. Eye washer

178
Tabel 9 Kebutuhan fasilitas dan peralatan pengelolaan limbah cair medis fasyankes

No Tahan Penanganan Limbah Kebutuhan Fasilitas dan Alat Keterangan


1 Pra-Pengolahan (Pre- Bangunan bak penangkap lemak
Treatment ) untuk Dapur Gizi (Grease Trap)
Bangunan bak pengolah awal air
limbah laundry
Pompa transfer (submersible
pump) dan instalasinya
2 Bak Pengumpul/ Transfer Bak Pengumpul (sumpit)
Tank/Pumping Station/Bak Pompa transfer (submersible
Kontrol pump) dan instalasinya
Panel listrik
3 Bangunan/Unit IPAL Bangunan IPAL
Pompa transfer (submersible
pump) dan instalasinya
Panel listrik
Mesin Blower
Media Biofilter
Perpipaan
Diffuser
Dozing Pump
Ait Lift Pump
Bak Sampling inlet dan outlet
Papan informasi : Koordinat dan
lokasi sampling
Peralatan house keeping
Flowmeter
4 Fasilitas Keselamatan yang Minimal meliputi :
tersedia di IPAL 1. Tabung APAR
2. Simbol/petunjuk keselamatan
3. Eye washer (dijelaskan
bagaimana fasilitas tersebut)

Penentuan anggaran
Pengelolaan limbah medis fasyankes perlu di dukung dengan alokasi
anggaran yang cukup. Pemenuhan standarisasi pengelolaan sesuai
persyaratan dan ketentuan akan membutuhkan cukup banyak biaya. Dalam
penyusunan kebutuhan biaya ini, maka perlu dikelompokkan atas : 1) Biaya
tahunan yang berbasis pada program tahunan fasyankes yang diajukan
setiap awal pengajuan anggaran dan 2). Biaya Insidentil, yakni biaya yang
diusulkan dan disediakan atas kebutuhan mendadak yang bersifat insidentil
atau biaya respon atas kejadian kasus/insiden terkait pengelolaan limbah
medis di lapangan.
179
Dalam perencanaan anggaran/biaya pengelolaan limbah padat medis
fasyankes, maka komponen biaya yang perlu disiapkan berdasarkan jenis
limbah adalah:
1) Limbah Padat Medis :
a. Biaya Pengadaan (investasi) fasilitas/alat (tong sampah, kantong
plastik, TPS, Alat pengolah (insinerasi/non insinerasi) dll)
b. Biaya pengadaan bahan (bahan bakar insinerator)
c. Biaya operasional dan pemeliharaan (spare part. house keeping,
listrik, air bersih dll)
d. Biaya uji laboratorium (uji kualitas lingkungan seperti uji emisi
insinerator dll)
e. Biaya pengolahan limbah medis ke pihak luar (perusahaan
pengangkut dan perusahaan pengolah limbah B3)
f. Biaya tenaga (gaji pokok, tunjangan, makanan tambahan, asuransi
dll)
2) Limbah Cair Medis :
a. Biaya Pengadaan (investasi) bangunan/peralatan IPAL. peralatan
mekanikal elektrikal dan perpipaannya
b. Biaya pengadaan bahan (desinfektan, bahan kebersihan dll)
c. Biaya operasional dan pemeliharaan (spare part, House keeping,
listrik, air bersih dll)
d. Biaya uji laboratorium (uji kualitas lingkungan seperti uji air limbah
inlet/outlet dll)
e. Biaya tenaga (gaji pokok, tunjangan, makanan tambahan, asuransi
dll)
Anggaran/biaya pengelolaan limbah padat medis fasyankes ini diajukan
secara reguler setiap tahun oleh Kepala Instalasi/Unit Kesehatan Lingkungan
kepada pimpinan Fasyankes. Anggaran yang telah teralokasi, dilakukan
pencatatan dan pendokumentasian.

180
Selanjutnya anggaran/biaya dilakukan evaluasi, dengan lingkup evaluasi
meliputi :
1. Persentase (%) realisasi anggaran teralokasikan terhadap usulan
anggaran yang diajukan Instalasi/Unit Kesling. Contoh perhitungan
sebagai berikut :

Tabel 10 Contoh perhitungan realisasi anggaran teralokasikan

Jumlah Usulan Jumlah RAB Prosentase


Komponen
No RAB Tahun ...... Teralokasikan (%) Realisasi
Anggaran
(Rp.) Tahun ...... (Rp.) RAB
e= (d/c x
a b c d
100%)
1 Anggaran
250.000.000,- 200.000.000,- 80,00
Investasi
2 Anggaran
Operasional & 25.000.000,- 15.000.000,- 60,00
Pemeliharaan
Total
275.000.000,- 215.000.000,- 78,18
Anggaran

2. Persentase (%) realisasi anggaran yang digunakan terhadap realisasi


anggaran terpakai. Contoh perhitungan sebagai berikut:

Tabel 11 Contoh perhitungan realisasi anggaran terpakai

Prosentase
Jumlah RAB Jumlah RAB
Komponen (%)
No Teralokasikan Terpakai
Anggaran Realisasi
Tahun ...... (Rp.) Tahun ...... (Rp.)
RAB
e= (d/c x
a b c D
100%)
1 Anggaran
200.000.000,- 190.000.000,- 95,00
Investasi
2 Anggaran
Operasional
dan 15.000.000,- 13.000.000,- 86,66
Pemeliharaa
n
Total
215.000.000,- 203.000.000,- 94,41
Anggaran
3. Pencatatan tren/kecenderungan point a dan b dari tahun ke tahun.
Disajikan dalam bentuk tabel atau grafik

181
Anggaran pengelolaan limbah medis harus di ajukan perencanaannya
kepada pimpinan fasyankes oleh Instalasi/Unit Kesling sebagai Usulan
Anggaran dan Biaya Tahunan. Dalam usulan anggaran, disiapkan dokumen,
meliputi :
1. Surat pengantar usulan anggaran dan biaya
2. Proposal singkat, terutama untuk anggaran investasi
alat/bangunan/mesin dengan biaya tinggi
3. Tabel kompilasi usulan anggaran. Dalam kompilasi tersebut, komponen
anggaran di bagi atas anggaran pengadaan/investasi, anggaran
operasional dan pemeliharaan.

182
Tabel 12 Contoh usulan anggaran dan biaya pengelolaan limbah medis fasyankes

Mata Komponen Biaya


No Satuan Vol Jumlah Keterangan
Anggaran Anggaran/ Biaya Satuan
a b c d e F g=exf H
I PENGADAAN/INVESTASI :
a. Pembangunan TPS Paket 1 Rp. ................ Rp. ................... Proposal terlampir
Limbah B3 (Limbah
Medis)
b. Pembelian Tong Sampah Buah 25 Rp. ................ Rp. ................... Spesifikasi seperti
Injak PVC Khusus brosur terlampir
Limbah Medis, Vol. 20
liter
c. Pembelian Mesin Blower Unit 1 Rp. ................ Rp. ................... Spesifikasi seperti
IPAL, Tipe Ring Blower brosur terlampir
d. Dst ....
II OPERASIONAL/
PEMELIHARAAN :
a. Pembelian olie blower Liter 50 Rp. ................ Rp. ...................
IPAL
b. Pembelian desinfektan/ Peil 1 Rp. ................ Rp. ...................
Kaporit tablet untuk IPAL
c. Pengadaan papan simbol Buah 5 Rp. ................ Rp. ...................
TPS Limbah B3 (Medis)
d. Dst .....

183
Dalam pengelolaan limbah medis di fasyankes dipastikan akan didukung
dengan ketersediaan fasilitas dan peralatan. Sesuai dengan persyaratan dan
ketentuan yang berlaku, beberapa fasilitas dan peralatan harus di lengkapi
dengan perizinan sebelum dioperasikan, karena akan berimplikasi pada
sanksi pidana.
Ketersediaan perizinan untuk fasilitas dan peralatan pengelolaan limbah
medis wajib disiapkan oleh fasyankes, sehingga dalam pengadaan fasilitas
dan peralatan, pimpinan fasyankes harus memastikan bahwa fasilitas/alat
pengolahan yang diadakan telah memenuhi syarat teknis dan pihak penyedia
harus menjamin fasilitas/alat dapat lolos sertifikat izin operasional dari
instanasi yang berwenang.
Fasilitas/peralatan pengelolaan limbah medis yang harus disiapkan
perizinannya adalah:
1. Izin Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3)
Izin ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah baik di Tingkat
Kabupaten/Kota. Pada saat ini, instalasi yang mengeluarkan izin adalah
Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah.
2. Izin Operasional mesin/alat pengolah limbah medis : teknologi Insinerasi
atau non insinerasi
Izin ini dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perizinan yang diberlakukan saat ini
dengan sistem online melalui sistem Online Single Submission (OSS).
3. Izin Pengolahan Air Limbah/ Izin Pembuangan Limbah Cair
Izin ini dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah baik di Tingkat
Kabupaten/Kota. Pada saat ini, instalasi yang mengeluarkan izin adalah
Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah.

184
Rencana kegiatan
Program kerja pengelolaan limbah medis adalah rencana kegiatan
pengelolaan limbah medis fasyankes yang disusun untuk jangka waktu
tertentu dan telah disepakati bersama. Dalam implementasinya, maka dalam
merencanakan penyusunan program kerja ini di bagi atas program kerja
tahunan, program kerja semester dan program kerja triwulan. Program kerja
semester dan triwulan disusun dengan mengacu pada program kerja
tahunan.
Dalam menyusun program kerja tidak terlepas dari daftar risiko (risk register)
yang disusun pada tahun sebelumnya dari kajian manajemen risiko.
Tujuannya agar program pengelolaan limbah medis efektif dan sesuai
dengan permasalahannya.
Untuk menyusun program kerja pengelolaan limbah medis berbasis
manajemen risiko, maka komponen yang perlu di siapkan adalah : Jenis
Risiko, Kegiatan, Tujuan, Indikator, Target, Jadwal Pelaksanaan, Biaya dan
penanggung Jawab.

185
Tabel 13 Program kerja pengelolaan limbah medis fasyankes berbasis manajemen risiko

Jenis Jadwal pelaksanaan Penanggung


No Kegiatan Tujuan Indikator Target Biaya
Risiko TW 1 TW 2 TW 3 TW 4 Jawab
1
2
3
4
dst

186
Dalam penyusunan program kerja, maka menurut beberapa versi seperti
Komite Akreditasi Rumah Sakit, maka program di susun dalam bentuk
dokumen, yang berisi :
● Latar belakang,
● Tujuan,
● Dasar hukum program kerja
● Kegiatan (sesuai dengan program manajemen risiko)
● Langkah Melaksanakan Kegiatan
● Jadwal Pelaksanaan Kegiatan dan Biaya
● Monitoring dan Evaluasi
● Pelaporan
Sedang tabel program kerja berbasis manajemen risiko diatas, dapat
dijadikan sebagai lampiran dari dokumen penysunan program kerja
pengelolaan limbah medis.
Program kerja dapat dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari program
kerja tahunan, semester dan triwulan. Dengan demikian, maka dalam
pengelolaan limbah medis perlu disusun program kerja yang di bagi atas:
1. Program Kerja Tahunan
Adalah program kerja pengelolaan limbah medis yang disusun oleh
Instalasi/Unit Kesehatan Lingkungan Fasyankes dalam rentang waktu 1
(satu) tahun. Program kerja ini menggambarkan setahun kinerja
pengelolaan limbah medis fasyankes. Terkait dengan program kerja
semester dan triwulan, maka program kerja tahunan ini merupakan
payung bagi program semester dan triwulan, sehingga hars ada saling
keterkaitan.

2. Program Kerja Semester


Adalah program kerja pengelolaan limbah medis yang disusun oleh
Instalasi/Unit Kesehatan Lingkungan Fasyankes dalam rentang waktu 1
(satu) semester. Program kerja ini menggambarkan 6 (enam) bulan
kinerja pengelolaan limbah medis fasyankes. Terkait dengan program

187
kerja semester, maka program kerja ini merupakan payung bagi program
triwulan, sehingga harus ada saling keterkaitan.

3. Program Kerja Triwulan


Adalah program kerja pengelolaan limbah medis yang disusun oleh
Instalasi/Unit Kesehatan Lingkungan Fasyankes dalam rentang waktu
triwulan. Program kerja ini menggambarkan 3 (tiga) bulan kinerja
pengelolaan limbah medis fasyankes.

188
Materi Pokok 3: Pemantauan dan Evaluasi Pengelolaan
Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Pelaksanaan kegiatan pengelolaan limbah fasyankes oleh fasyankes harus
dilakukan pemantauan dan evaluasi untuk melihat seberapa jauh kegiatan
tersebut efektif dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Monitoring adalah sistem pengawasan yang dilakukan secara periodik
terhadap berbagai aspek kegiatan pengelolaan limbah fasyankes guna
mengetahui kondisi pelaksanaan dan hasil kerja guna mengetahui secara
dini berbagai masalah yang dihadapi agar efesien dan efektif dalam
pengambilan langkah pemecahannya, evaluasi adalah kegiatan pengukuran
terhadap kinerja pengelolaan limbah untuk mengetahui pentaatan terhadap
peraturan perundangan tentang pengelolaan limbah medis/B3. Sedangkan
pelaporan adalah kegiatan penyusunan hasil monitoring dan hasil evaluasi
untuk memberikan informasi terkait dengan pengelolaan limbah dan
rekomendasi tindak lanjutnya.
Hasil pemantauan dan evaluasi kegiatan ini disusun dalam bentuk laporan
yang kemudian dilaporkan secara internal setiap bulan, sementara laporan
eksternal di sampaikan setiap 3 bulan, atau setiap 6 bulanan bila laporan
pengelolaan limbah medis tergabung dalam laporan implementasi RKL-RPL/
UKL-UPL.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi pokok ini, peserta mampu merencanakan
pemantauan dan evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 3:
a. Indikator, target, dan capaian
b. Sistem pemantauan dan formulir
189
D. Uraian Materi

Indikator, target, dan capaian


1. Indikator Keberhasilan
Pimpinan Fasyankes harus melakukan evaluasi dan kaji ulang terhadap
kinerja pengelolaan limbah medis. Hasil peninjauan dan kaji ulang
ditindaklanjuti dengan perbaikan berkelanjutan sehingga tercapai tujuan
yang diharapkan. Kinerja pengelolaan limbah medis dituangkan dalam
indikator kinerja yang akan dicapai dalam setiap tahun. Indikator kinerja
pengelolaan limbah medis yang dapat dipakai antara lain:

a. Cakupan (%) pengolahan limbah medis.


b. Pentaatan terhadap frekuensi pencatatan dan pelaporan limbah
medis
c. Pemenuhan perizinan fasilitas/sarana pengolahan limbah medis
d. Kasus kejadian pencemaran lingkungan dan kasus infeksi oleh limbah
medis

Peran pelaporan dalam pengelolaan limbah medis sangat penting dalam


rangka mewujudkan perbaikan pengelolaan yang berkelanjutan (continual
improvement). Dalam pengelolaan limbah medis, pengukuran kinerjanya
akan ditentukan oleh kegiatan monitoring dan evaluasi. Kinerja yang dinilai
190
masih kurang, perlu dilakukan upaya tindak lanjut, dan tentunya
keberhasilan tindak lanjut sangat ditentukan oleh dukungan pimpinan
fasyankes. Dukungan pimpinan tidak akan terwujud tanpa adanya laporan
hasil pencapaian kinerja, karena data laporan akan menjadi justifikasi bagi
pimpinan dalam menyusun keputusannya.
Kegiatan pelaporan dalam pengelolaan limbah medis, secara prinsip
dapat dijelaskan sebagai berikut:

i. Ditinjau dari aspek jenis pelaporannya, maka laporan dapat


dibedakan atas laporan internal dan laporan eksternal. Laporan
internal adalah laporan yang disampaikan oleh Unit/Instalasi
Kesehatan Lingkungan kepada pimpinan fasyankes yang berisi
laporan kinerja pengelolaan dan rekomendasi tindak lanjutnya,
sementara laporan eksternal adalah laporan limbah medis yang di
disampaikan pimpinan fasyankes kepada instanasi yang terkait
(dinas Lingkungan Hidup/BPLHD dll) yang berisi kinerja pengelolaan
limbah medis dan tingkat pentaatannya.
ii. Ditinjau dari aspek frekuensi laporan, maka laporan secara internal
sebaiknya dilaksanakan setiap bulan, sementara laporan eksternal
di sampaikan setiap 3 bulan, atau setiap 6 bulanan bila laporan
pengelolaan limbah medis tergabung dalam laporan implementasi
RKL-RPL/ UKL-UPL.

2. Sistem Pemantauan dan Formulir


Fasyankes harus menetapkan dan melaksanakan program pengelolaan
limbah medis, selanjutnya untuk mencapai sasaran harus dilakukan
pencatatan, pemantauan, evaluasi serta pelaporan. Penyusunan program
pengelolaan limbah medis difokuskan pada pencegahan pencemaran
lingkungan dan gangguan keselamatan petugas khususnya yang dapat
mengakibatkan kehilangan kesempatan berproduksi, kerusakan peralatan
dan kerusakan/gangguan lingkungan dan juga diarahkan untuk dapat
memastikan bahwa seluruh petugas mampu menghadapi keadaan

191
darurat. Kemajuan program pengelolaan limbah medis ini dipantau secara
periodik guna dapat ditingkatkan secara berkesinambungan sesuai
dengan risiko yang telah teridentifikasi dan mengacu kepada rekaman
sebelumnya serta pencapaian sasaran pengelolaan limbah medis yang
lalu.
Untuk kegiatan monitoring, penerapannya ditekankan pada kegiatan
inspeksi, antara lain:
● Inspeksi pentaatan prosedur dilaksanakan secara teratur.
● Inspeksi dilaksanakan bersama oleh Kepala Unit/Instalasi Kesling
dan staf yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan limbah
medis.
● Inspeksi mencari masukan dari petugas pengelola limbah medis di
tempat yang diperiksa (ruang sumber).
● Daftar periksa (check list) tempat kerja telah disiapkan oleh Kepala
Unit/Instalasi Kesling untuk digunakan pada saat inspeksi.
● Hasil inspeksi dirangkum dalam Laporan inspeksi diajukan kepada
pimpinan fasyankes.
● Pimpinan Fasyankes menetapkan penanggung jawab untuk
pelaksanaan tindakan perbaikan dari hasil laporan
pemeriksaan/inspeksi
Selanjutnya untuk penerapan kegiatan evaluasi secara umum pada
pengelolaan limbah medis fasyankes, maka evaluasi sebaiknya
difokuskan pada evaluasi pencapaian program kerja berbasis manajemen
risiko (daftar risiko) yang telah disusun. Karena pada dasarnya kegiatan
evaluasi dilakukan untuk melihat pencapaian target penurunan risiko
akibat pengelolaan limbah medis yang dilaksanakan fasyankes. Dengan
demikian, maka tingkat pencapaian target tersebut akan menggambarkan
kinerja pelaksanaan pengelolaan limbah medis.
Untuk mengevaluasi kegiatan diatas, maka perlu disusun tabel evaluasi
dengan contoh berikut.

192
Tabel 14 Evaluasi kinerja program kerja pengelolaan limbah medis fasyankes berbasis manajemen risiko

Jenis Realisasi Pencapaian Rencana Penanggung


No Kegiatan Indikator Target Analisis
Risiko Target (%) Tindak Lanjut Jawab
1
2
3
4
dst

193
194
MPI 2 Pengelolaan Limbah Domestik Dan Medis Padat Fasyankes

195
196
Fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) merupakan institusi
pelayanan kesehatan, yang melakukan pelayanan yang bersifat preventif,
kuratif, rehabilitatif, maupun promotif, dimana dalam pelaksanaan
kegiatannya akan menghasilkan limbah yang termasuk dalam kategori
limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), khususnya limbah medis padat.
Seiring dengan meningkatnya pelayanan kesehatan di fasyankes, baik jenis
maupun intensitasnya,maka akan semakin meningkatkan pula limbah medis
padat yang dihasilkan.
Di sisi lain, sebagai konsekuensi dari aktivitas utamanya, lingkungan
fasyankes memiliki potensial hazard, dalam bentuk terjadinya gangguan
kesehatan dan keselamatan kerja, serta menurunnya kualitas lingkungan
fasyankes, akibat limbah medis yang dihasilkan. Potensi resiko di atas akan
memiliki peluang yang relatif besar, jika pengelolaan limbah medis padat di
fasyankes tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Modul ini pada intinya berisi tentang upaya-upaya yang harus
dilakukan, sebagai dasar pengelolaan limbah medis padat di fasyankes,
dimulai dari pengertian dan jenis-jenis limbah medis padat, sampai dengan
tahap-tahap pengelolaannya yang meliputi pengurangan, pemilahan,
pewadahan pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan,
baik yang dilakukan secara swakelola maupun bekerja sama dengan pihak
ketiga.

197
1) Hasil Belajar
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu mengelola limbah medis
padat.
2) Indikator Hasil Belajar
1. Menjelaskan konsep pengelolaan limbah medis padat fasyankes
2. Melakukan pengelolaan limbah medis padat sesuai dengan
prosedur.

198
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai
berikut :
1. Konsep Pengelolaan Limbah Medis Padat Fasyankes
a. Pengertian
b. Tujuan
c. Kuantitas Limbah Medis Padat
d. Sumber Limbah Medis Padat
e. Jenis Limbah Medis Padat
f. Karakteristik Limbah Medis Padat
g. Wadah Limbah Medis Padat
 Kategori,
 Kode Warna
 Symbol
2. Pengelolaan limbah medis padat sesuai prosedur
a. Tahapan dalam pengelolaan
 Pengurangan
 Pemilahan
 Pewadahan
 Pengumpulan limbah
 Pengangkutan
 Penyimpanan
 Pengolahan
b. Tehnik pengelolaan limbah medis padat
 Penyusunan SPO tahapan pengelolaan limbah medis padat
 Cara pengelolaan limbah medis padat sesuai SPO yang disusun

199
Metode yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Ceramah tanya Jawab
2. Penayangan audio visual
3. Simulasi
4. Praktik lapang

200
Media dan alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Bahan tayang
2. Modul
3. Laptop
4. LCD
5. ATK
6. APD
7. Kontainer sampah
8. Safety box
9. Sampel sampah
10. Wheelbin
11. Manifest
12. Timbangan
13. Logbook harian
14. SOP
15. Checklist simulasi
16. Panduan simulasi
17. Panduan praktik lapang

201
Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 10 jam pelajaran
(T=3, P=5, dan PL=2) @ 45 menit. Untuk mempermudah proses pembelajaran
dan meningkatkan partisipasi seluruh peserta, dilakukan langkah-langkah
kegiatan sebagai berikut:

A. Persiapan dan Pengkondisian


1. Persiapan proses pembelajaran meliputi materi bahasan (bahan tayangan),
laptop, LCD, White board, spidol
2. Perkenalan singkat antara narasumber dengan peserta dan ciptakan
suasana agar peserta latih dapat rileks dan siap mengikuti kegiatan
pembelajaran. Apabila diperlukan fasilitator dapat mengajak
peserta melakukan kegiatan untuk penyegaran dan membangun suasana
siap untuk belajar.
3. Jelaskan pada peserta tentang skenario pembelajaran, topik-topik yang
akan dibicarakan, pentingnya topik-topik ini untuk dibicarakan terkit dengan
tugas dan fungsi keseharian peserta di tempat kerja, dan harapan yang
ingin diperoleh.

B. Pemaparan Materi
1. Narasumber menyampaikan materi pokok bahasan dengan menampilkan
tayangan/slide dan video yang berisi tentang pengelolaan limbah medis
padat di fasyankes. Selama proses penyampaian materi, peserta latih dpt
melibatkan diri, dengan mengajukan pertanyaan tentang materi yang telah
diberikan dan pendapat jika ada hal-hal yang perlu diklarifikasi.
2. Setelah penyampaian materi yang diselingi tanya jawab selesai, peserta
dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, dimana masing-masing kelompok
menunjuk ketua, sekretaris dan penyaji.untuk melakukan simulasi

202
pemilahan limbah medis. Jelaskan maksud penugasan tersebut, dan
berikan batas waktu diskusi, penyajian, dan tanya jawab.
3. Lakukan praktek lapangan bersama seluruh peserta. Kegiatan praktek ini
dilakukan untuk melakukan kegiatan pengelolaan limbah medis padat,
mulai dari kegiatan pengurangan, pemilahan, pewadahan dan
pengumpulan di ruangan, pengangkutan, serta penyimpanan dan
pengolahan di TP/Incinerator.

C. Penutup
1. Narasumber memandu untuk membuat rangkuman singkat terkait materi
pengolahan limbah medis padat di Fasyankes
2. Sampaikan permohonan maaf, dan ucapkan salam sebagai penutup proses
pembelajaran dan diakhiri dengantepuk tangan bersama sebagai
penyemanagat dalam proses pelatihan pengolahan limbah medis padat di
Fasyankes

203
204
Materi Pokok 1: Konsep Pengelolaan Limbah Medis Padat
Fasyankes

A. Pendahuluan
Penyelesaian masalah limbah yang mudah dan lebih banyak difokuskan
adalah dengan menghindari timbulan limbah. Upaya ini dikenal dengan
pengurangan limbah. Upaya ini dimulai dari staf medis untuk mengubah
praktik klinis sehingga menghasilkan sedikit limbah. Walaupun minimisasi
limbah ini sering diaplikasikan pada limbah yang sudah ada dengan metode
3R, namun sebaiknya kegiatan minimisasi limbah ini dilakukan sejak
perencanaan pembelian barang, strategi pengendalian stok bahan, SOP
yang efektif dan efisien, serta kesadaran seluruh pekerja Fasyankes.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mempelajari materi ini, peserta diharapkan mampu melakukan
pengurangan limbah domestik dan medis padat Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Pengurangan limbah domestik dan medis padat Fasyankes:
1. Pengurangan
2. Penggunaan kembali
3. Pendauran ulang

D. Uraian Materi
Hirarki Manajemen Pengelolaan Limbah
Untuk melindungi masyarakat dan lingkungan dari kegiatan Fasyankes, salah
satu yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan pengelolaan limbah
dengan aman dan ramah lingkungan. Semakin sedikit limbah yang dihasilkan
dari kegiatan Fasyankes dapat menurunkan risiko terjadinya pajanan bahan
berbahaya dan beracun dan menghindari pencemaran lingkungan. Seiring
dengan berkembangnya teknologi dan kebutuhan akan kegiatan dan
teknologi yang ramah lingkungan, model pengelolaan limbah yang ideal dan
205
dibutuhkan saat ini adalah yang menitikberatkan pada pencegahan timbulan
limbah dan penerapan konsep 3R.

Paling
Pencegahan
Disukai

Penggunaan Kembali

Daur Ulang

Pemulihan

Pembuangan

Paling Tidak
Disukai
Gambar 6 Penggunaan sumberdaya berkelanjutan berdasarkan konsep 3R

Manajemen pengelolaan limbah yang baik akan bertujuan pada pencegahan


timbulan limbah maupun pemulihan limbah di dalam lingkungan Fasyankes,
daripada melakukan pembuangan, pemusnahan, atau penimbunan. Maka,
ide ini sering dijelaskan sebagai pencegahan limbah pada sumber
penghasilnya, daripada mengadopsi pemecahan masalah di akhir proses
pengelolaan.
Pendekatan yang mungkin untuk dilakukan adalah mencegah terjadinya
limbah sedapat mungkin dan mengurangi jumlah limbah yang masuk ke
dalam proses pengelolaan limbah. Apabila dapat dilakukan, dapat juga
melaksanakan pemulihan limbah untuk penggunaan ulang atau pemanfaatan
kembali. Limbah yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat digunakan ulang
dapat dilakukan pengolahan dengan berfokus pada pencegahan dampak
lingkungan dan kesehatan manusia.

206
Minimisasi/Pengurangan Limbah
Kegiatan minimisasi limbah di Fasyankes dapat dilakukan pada limbah
domestik dan beberapa jenis limbah B3. Upaya yang mudah dan lebih baik
adalah dengan mengubah praktik keseharian dari kegiatan yang dapat
menghasilkan limbah, yaitu dengan membuat maupun mengubah SOP
kegiatan perkantoran, kegiatan medis, kegiatan pemeliharaan lingkungan,
dan kegiatan lainnya yang berpotensi menimbulkan limbah.
Di bawah ini merupakan contoh praktik yang dapat mengurangi timbulan
limbah:
1. Pengurangan dari sumber
Dengan melaksanakan pengurangan pembelian barang, memilih produk
yang tidak banyak menghasilkan limbah, menggunakan metode fisik
lebih banyak daripada menggunakan metode kimia dalam pembersihan
misalnya dengan disinfeksi uap daripada disinfeksi kimia, mencegah
kemubaziran dalam penggunaan produk.
2. Pengeloaan dan pengendalian
Dengan melaksanakan pembelian tersentralisasi untuk bahan kimia
berbahaya, pemantauan penggunaan bahan kimia mulai dari pembelian
hingga pengolahan akhir.
3. Pengelolaan stok produk kimia dan farmasi
Dengan melaksanakan pembelian dalam jumlah sedikit sehingga
mengurangi potensi kedaluarsa, menerapkan FIFO FEFO, melakukan
pengecekan tanggal kedaluarsa pada saat produk tiba di Fasyankes dan
mengembalikan kepada supplier apabila produk sudah dekat dengan
waktu kedaluarsa.
4. Pembelian yang berwawasan lingkungan
Pembelian berwawasan lingkungan merujuk pada pembelian suatu
produk dimana proses pembuatan hingga produk digunakan tidak
menimbulkan dampak merugikan bagi lingkungan. Sederhananya,
pembelian berwawasan lingkungan ini seperti pembelian kertas daur
ulang ataupun pembelian produk dari produsen yang menerapkan “life-
207
cycle thinking”. Penerapan pembelian berwawasan lingkungan dapat
mengurangi dampak ke lingkungan dan menciptakan kondisi yang lebih
sehat bagi pekerja Fasyankes dan pasien, pembelian produk farmasi
dalam jumlah kecil namun sering juga merupakan langkah untuk
mengurangi risiko terjadinya limbah farmasi kedaluarsa. Pembelian
peralatan medis yang ramah lingkungan dan tidak mengandung merkuri
juga merupakan salah satu langkah yang dapat diterapkan.
Upaya pembelian berwawasan lingkungan juga diikuti dengan
manajemen stok barang yang baik. Manajemen stok barang dapat
menghindari bertumpuknya barang sehingga menghindari potensi
kedaluarsa. Maka, biaya pengelolaan limbah juga dapat dikurangi.
5. Pengadaan berwawasan lingkungan
Mengurangi toksisitas dari limbah yang dihasilkan oleh Fasyankes juga
merupakan hal yang menguntungkan karena mengurangi permasalahan
yang disebabkan dari pemusnahan dan pembuangannya. Upaya yang
dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi pembelian plastic yang
mudah didaur ulang atau memesan barang dengan kemasan yang tidak
terlalu banyak. Plastic yang paling mudah didaur ulang adalah
polietilena, polipropilena, dan polietilena tereftalat. Sebaliknya polivinil
klorida (PVC) adalah yang paling sulit didaur ulang karena produk
tersebut beragam dan memiliki bahan tambahan yang berbeda. PVC
juga menjadi perhatian karena toksisitas dari beberapa bahban
tambahannya seperti Bisphenol A (BPA).

Penggunaan Kembali yang Aman (Safe Reuse)


Penggunaan kembali bahan/material dari kegiatan Fasyankes mungkin untuk
dilakukan, khususnya untuk limbah kegiatan domestic yang tidak
mengandung B3.
Untuk penggunaan kembali bahan/material kegiatan medis, perlu
diperhatikan apakah peralatan/material tersebut merupakan single use atau
memang dapat dipakai berulang kali. Peralatan/material yang bersifat single
208
use harus dibuang setelah digunakan dan tidak bisa digunakan ulang karena
tidak dapat dibersihkan secara menyeluruh dan berisiko kontaminasi silang.
Untuk peralatan/material yang bisa digunakan ulang perlu dilakukan
pengawasan terhadap upaya pembersihan dan sterilisasinya. Untuk
peralatan/material yang diperuntukkan untuk digunakan ulang dan tidak
memiliki risiko infeksi silang perlu diperhatikan kebersihannya.

Daur ulang dan pemulihan (recovery)


Daur ulang saat ini banyak dilakukan mulai dari rumah tangga hingga institusi
dan perusahaan. Dari perspektif lingkungan, daur ulang sebetulnya tidak
begitu diinginkan daripada penggunaan kembali karena proses daur ulang
memerlukan energi dan sumberdaya dalam pelaksanaannya. Daur ulang
juga cukup popular saat ini di Fasyankes khususnya untuk mengelola limbah
domestik.
Dalam definisi pemulihan, umumnya merujuk pada pemulihan energi dimana
sampah diubah menjadi bahan bakar untuk listrik atau pemanas. Pemulihan
limbah juga digunakan untuk mencakup kegiatan daur ulang limbah menjadi
produk baru dan melaksanakan kompostinjg sampah organik.
Beberapa praktik pendaurulangan limbah infeksius sebetulnya dapat
dilakukan pada jenis material tertentu. Pendaurulangan ini ditujukan untuk
mengurangi potensi pencemaran lingkungan dari pembakaran, penimbunan,
dan pembuangan sampah ke TPA. Sedapat mungkin kegiatan ini
dilaksanakan di Fasyankes, namun perlu disertai dengan pedoman/SOP,
pembinaan, pengawasan, dan regulasi. Rangkaian yang dilakukan adalah
dengan pemilahan sesuai dengan material limbah (misal: plastic, kertas) dan
menghilangkan sifat infeksius dengan upaya sterilisasi, kemudian limbah
tersebut dapat dilakukan daur ulang.
Pendaurulangan sampah makanan dari kegiatan Fasyankes juga dapat
dengan mudah dilakukan, namun perlu mempertimbangkan dengan
ketersediaan lahan dan penanganan masalah composting seperti bau,
serangga, dan tikus.
209
210
Materi Pokok 2: Pemilahan Dan Pewadahan Limbah Domestik
dan Medis Padat Fasyankes

A. Pendahuluan
Fasyankes memiliki kewajiban dalam melakukan pengelolaan limbah dan
memastikan bahwa limbah yang dihasilkan tersebut dikelola dan
dikendalikan di dalam Fasyankes, baik yang menggunakan opsi pengolahan
onsite maupun offsite. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan Fasyankes
berasal dari berbagai macam kegiatan, baik kegiatan perkantoran, dapur,
maupun kegiatan medis. Prinsip dalam pengelolaan limbah di Fasyankes
menganut prinsip pencemar membayar apa yang dilakukannya, prinsip
kedekatan, prinsip meminimalkan risiko, dan prinsip kewaspadaan. Prinsip
ini diterapkan dalam setiap tahapan pengelolaan limbah medis.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mempelajari materi ini, peserta diharapkan mampu melakukan
pemilahan dan pewadahan limbah domestik dan medis padat Fasyankes

C. Sub Materi Pokok


Pemilahan dan pewadahan limbah domestik dan medis padat Fasyankes:
1. Pemilahan limbah domestik dan medis padat Fasyankes
2. Pewadahan limbah domestik dan medis padat Fasyankes

D. Uraian Materi
Pengkategorian Limbah Fasyankes
1) Jenis dan Karakteristik Limbah
Kegiatan Fasyankes yang beragam berdampak pada bervariasinya jenis
limbah yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut. Dalam definisi limbah
Fasyankes, maka yang masuk dalam kategori limbah adalah seluruh
limbah yang ditimbulkan dari kegiatan Fasyankes termasuk dari kegiatan
medis, farmasi, laboratorium, perkantoran, dan dapur. Sekitar 75%-90%

211
limbah yang dihasilkan Fasyankes merupakan limbah domestik dan
selebihnya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang
memerlukan penanganan khusus untuk mengurangi risiko pajanannya ke
lingkungan dan manusia.

Gambar 7 Persentase limbah fasyankes berdasarkan jenisnya

Adapun karakteristik limbah Fasyankes dapat dilihat pada table di bawah


ini:
Tabel 15 Karakteristik limbah fasyankes

Katagori
Karakteristik dan contoh
limbah
Limbah Limbah yang memiliki potensi terjadinya kecelakaan karena
benda sifatnya yang tajam. Contoh : jarum hipodermik, jarum
tajam intravena, spuit dengan jarum, set infus, pipet, scalpel, pisau,
silet, pecahan kaca, dan lainnya
Limbah Limbah yang diduga mengandung pathogen yang berisiko
infeksius terjadinya penularan penyakit, contoh : limbah yang
terkontaminasi darah maupun cairan tubuh lainnya, kultur
laboratorium, kultur mikrobiologis, limbah yang mengandung
sisa eksresi maupun bahan lain yang kontak dengan pasien
dengan penyakit sangat menular di ruangan isolasi
Limbah Limbah berupa jaringan tubuh, cairan tubuh, organ tubuh
patologis manusia, janin, produk darah yang tidak digunakan
Limbah Sediaan farmasi yang kedaluarsa maupun yang tidak
farmasi digunakan
Limbah Limbah yang mengandung material sitotoksik maupun yang
sitotoksik terkontaminasi dengan material sitotoksik
212
Katagori
Karakteristik dan contoh
limbah
Limbah Limbah yang mengandung material kimiawi seperti reagen,
bahan kimia developer film, disinfektan yang sudah kedaluarsa atau tidak
digunakan, pelarut, limbah dengan kandungan logam berat
Limbah Limbah dengan kandungan material radioaktif, limbah yang
radioaktif terkontaminasi material radioaktif
Limbah Limbah yang tidak mengandung bahaya biologis, kimiawi,
domestik radioaktif maupun fisik, seperti limbah dari kegiatan dapur,
perkantoran, dan pertamanan

Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah Fasyankes, limbah yang


dihasilkan dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar, yaitu limbah
domestik (yang memiliki proporsi lebih besar) dan limbah B3.
Bahan Berbahaya dan Beracun, yang selanjutnya disingkat B3, adalah
zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain. Limbah B3 adalah dari kegiatan
Fasyankes merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung B3.
Ada 9 karakteristik B3, yaitu : mudah meledak, mudah teroksidasi,
mudah menyala, beracun, berbahaya bagi lingkungan, korosif, mudah
menyala, infeksius, menyebabkan iritasi, bersifat
karsinogenik/mutagenik/teratogenik. Limbah B3 yang dihasilkan dari
kegiatan Fasyankes ada yang memiliki karakteristik B3 seperti mudah
meledak, mudah teroksidasi, berbahaya bagi lingkungan, infeksius,
menyebabkan iritasi, dan bersifat karsinogenik/mutagenik/teratogenik.
Maka, perlu ada upaya pemilahan dari sumber penghasil yang sesuai
dengan kategorinya.
Kegiatan medis yang dilakukan di Fasyankes menghasilkan beberapa
jenis limbah, yang memiliki sifat B3 seperti pada tabel di bawah ini :

213
Tabel 16 Jenis dan contoh limbah

No Jenis Limbah Definisi Dan Contoh


1 Limbah Infeksius Limbah yang dicurigai mengandung
mikroorganisme patogen (bakteri, virus, parasit
atau jamur), yang dalam konsentrasinya dapat
menyebabkan penyakit. Contohnya: Limbah dari
bangsal isolasi, kapas, materi atau peralatan yang
tersentuh pasien yang terinfeksi, ekskreta,
Spesimen kultur mikrobiologi, limbah dari proses
outopsi, hewan dari laboratosium penelitian
2 Limbah Patologis Limbah yang berasal dari cairan atau jaringan
tubuh. Contohnya: bagian tubuh, organ tubuh,
darah, cairan tubuh yang lain, janin.
3 Limbah Benda Limbah benda tajam. Contohnya: jarum, peralatan
Tajam infus, skalpel, pisau bedah, belati, potongan kaca.
Limbah yang mengandung bahan farmasi.
4 Limbah Farmasi Contohnya: obat-obatan yang sudah kadaluarsa
atau yang sudah tidak bisa digunakan, vaksin,
item yang tercemar atau berisi obat (botol, kotak)
5 Limbah Limbah yang mengandung bahan atau senyawa
Genotoksik yang bersifat genotoksik. Contohnya: limbah yang
mengandung obat-obatan sitotoksik (sering
dipakai untuk terapi kanker), zat kimia genotoksik
6 Limbah Kimia Limbah yang mengandung bahan kimia.
Contohnya: reagen di laboratorium, film untuk
rontgen, desinfektan, solvent (pelarut), dll.
7 Limbah dengan Baterai, termometer pecah, alat ukur tekanan
kandungan logam darah
berat yang tinggi
8 Wadah Tabung gas, gas cartridge, kaleng aerosol
Bertekanan
9 Limbah Radioaktif Limbah yang mengandung bahan radioaktif.
Contohnya: cairan yang tidak terpakai dari terapi
radioaktif atau riset di laboratorium, kertas
absorben yang terkontaminasi, urine atau
ekskreta pasien yang diobati atau diuji dengan
radionuklida yang terbuka, sumber yang tertutup.

2) Sumber Limbah Fasyankes


Titik penghasil limbah yang ada di fasyankes beragam dan tiap-tiap titik
menghasilkan limbah yang spesifik pada katagori tertentu sesuai dengan
kegiatannya. Untuk memudahkan melaksanakan tahapan pelaksanaan
pengelolaan limbah, maka pemilahan dan pewadahan limbah Fasyankes
dilakukan pada sumber penghasil. Dibawah ini adalah table contoh

214
sumber limbah Fasyankes dan jenis limbah yang spesifik dihasilkan pada
kegiatan di sumber tersebut:

Tabel 17 Sumber limbah fasyankes dan jenis limbah yang dihasilkan

No Ruangan Komposisi limbah


1 Bedah sentral Bekas perban, kapas, kassa, potongan tubuh,
jarum suntik, sarung tangan, botol infus, ampul,
botol obat, kateter, selang
2 Hemodialisa Jarum suntik, selang, sarung tangan, perban,
botol infus
3 Radiologi Kertas, sarung tangan, tisu, plastik pembungkus
4 Rehabilitasi medik Kapas, kertas, sarung tangan, masker
5 UGD Bekas perban, la[as, jarum suntik, ampul, kassa,
kateter, botol infus, sarung tangan, botol
minuman, selang
6 ICU Botol infus, kapas, perban bekas, kassa, jarum
suntik, sarung tangan, masker
7 Ruang jenazah Kapas, masker, sarung tangan
8 Laboratorium Botol, jarum, pipet, kardus dan kemasan
9 Rawat inap Bekas perban, kapas, botol infus, ampul, vial,
botol minuman, kateter, set infus, kapas, plastik
pembungkus makanan, sisa makanan, styrofoam
10 Poliklinik Kertas, botol plastik, jarum suntik, kapas,
potongan jaringan tubuh, bekas perban
11 Farmasi Kertas, kardus, plastik pembungkus obat
12 Kantin Sisa makanan, plastik, kardus, botol minuman
13 Dapur Sisa makanan, plastik bungkus makanan
14 Halaman, parkiran, Daun, kertas, sisa makanan, botol minuman,
dan taman punting rokok
15 Musholla Daun, plastik, punting rokok
16 Linen Plastic
17 Kantor administrasi Kertas, plastik, kardus, alat tulis kantor, sisa
makanan
18 Gudang Kardus, plasti, kertas

Setelah diidentifikasi jenis limbah apa saja yang ada di masing-masing


ruangan, maka dapat direncanakan pewadahan limbah tersebut dari
sumber ruangan dan frekuensi pengangkutan limbah tersebut ke TPS.
Mengetahui perkiraan jumlah limbah yang dihasilkan pada tiap ruuangan
juga perlu untuk perencanaan volume wadah dan jumlah wadah limbah
yang disediakan pada tiap ruangan penghasil. Selain itu, perencanaan
pembiayaan untuk pengolahan akhir juga dapat diketahui, sehingga
Fasyankes dapat merencanakan pendanaan yang memadai.
215
Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulan limbah Fasyankes:
● Tingkat kegiatan, seperti kepadatan BOR, jumlah pasien, jumlah
pegawai
● Jenis bagian, seperti : rawat inap, ruang operasi, dan lainnya
● Tipe Fasyankes, seperti : klinik, RS Kab/Kota, RS Umum Pusat, RS
Pendidikan, dll.
● Lokasi, seperti di daerah perkotaan atau di daerah pedesaan
● Peraturan/ Kebijakan mengenai klasifikasi limbah
● Praktik pemilahan yang dilakukan di masing-masing Fasyankes
● Keragaman temporal, seperti : ahir pekan, terjadinya wabah, dll
● Tingkatan infrastruktur di suatu negara
Jumlah rata-rata timbulan limbah umumnya dinyatakan dalam satuan kg
per tempat tidur per hari.

Pemilahan Limbah
1) Prinsip pemilahan limbah
Fasyankes memiliki kewajiban “duty of care”, yaitu Prinsip kewaspadaan
bagi yang menangani atau mengelola karena secara etik bertanggung
jawab untuk menerapkan kewaspadaan tinggi pada penanganan limbah
B3 yang dihasilkan dari kegiatan Fasyankes.
Prinsip umum dalam pemilahan limbah hingga pada pengangkutan
adalah:
● Limbah dipilah sejak dari sumber penghasil untuk menhindari
potensi bahaya saat pengangkutan dan pengolahan akhir serta
untuk mengurangi biaya pengolahan apabila limbah tercampur
antara yang domestik dengan yang mengandung komponen
infeksius
● Wadah juga disediakan terpisah sesuai dengan jenis limbah dan
diletakkan di ruangan penghasil
● Limbah yang sudah dipilah dari sumber penghasil tidak boleh
dicampur, baik dari ruangan penghasil, pengangkutan internal,
216
penyimpanan sementara di TPS, pengangkutan ke pengolah, dan
pada pembuangan (untuk limbah domestic)
● Wadah diberi label untuk memudahkan proses pengelolaan
● Pemahaman risiko dan penerapan prosedur keamanan pada setiap
tahap pengelolaan limbah kepada seluruh staf

Pemilahan limbah perlu dilakukan dengan baik. Dalam hal ini, memberikan
pemahaman mengenai pemilahan limbah juga dilakukan kepada petugas
medis untuk menghindari kesalahan saat menempatkan limbah pada
wadahnya. Limbah non infeksius apabila tercampur dengan limbah yang
mengandung material infeksius diperlakukan seperti limbah infeksius.
Pemilahan limbah domestik padat yang dilakukan di Fasyankes umumnya
dikategorikan menjadi dua, yaitu limbah organik berupa sisa makanan,
daun-daun dari kegiatan pertamanan, dan limbah non organik berupa
plastik, kertas, kardus, dan lainnya yang berupa material tidak mudah
membusuk. Pengkategorian tersebut berdasarkan jenis pengolahan akhir
untuk lmbah domestik padat. Untuk limbah organik berupa sisa makanan
dan daun, dapat diolah menjadi kompos. Sedangkan untuk limbah
domestik yang tidak mudah membhusuk dapat dilakukan daur ulang.

2) Pelabelan dan Kode Warna


Di Indonesia, pelabelan dank ode warna untuk limbah Fasyankes sudah
diatur dalam kebijakan nasional.

217
Tabel 18 Kategori, kode warna, dan simbol berdasarkan kelompok limbah

Kode Simbol (gambar


No Kelompok Limbah
Warna disesuaikan dengan P56)
1 Limbah Infeksius
Limbah yang dihasilkan dari barang Kuning
dapat dibuang (disposable item)
selain Limbah benda tajam seperti
pipa karet, kateter, set intravena

Limbah mikrobiologi/bioteknologi Kuning


seperti limbah dari pembiakan di
laboratorium, stok atau specimen
mikroorganisme hidup atau vaksin
yang dilemahkan, pembiakan sel
manusia dan hewan yang digunakan
dalam penelitian dan laboratorium
industry, Limbah yang dihasilkan
dari bahan biologis, racun, dan
peralatan yang digunakan untuk
memindahkan pembiakan
Limbah pakaian kotor, yaitu barang Kuning
terkontaminasi cairan tubuh
termasuk kapas, pakaian, plaster,
atau pembalut kotor, tali temali,
sprei, selimut, dan kain-kain tempat
tidur dan barang lain yang
terkontaminasi darah
2 Limbah patologis, meliputi Limbah kuning
anatomi manusia yaitu jaringan,
organ, dan bagian tubuh

Limbah hewan yaitu jaringan hewan, kuning


organ, bagian tubuh, bangkai atau
belulang, bagian berdarah, cairan,
darah dan hewan uji yang diguanakn
dalam penelitian, Limbah yang
dihasilkan dari rumah sakit hewan,
buangan dari Fasyankes, dan rumah
hewan
3 Limbah benda tajam Kuning
Limbah benda tajam antar lain
jarum, syringe, scalpel, pisau, dan
kaca yang dapat menusuk atau
menimbulkan luka, baik yang
telahdigunakan atau belum

218
Kode Simbol (gambar
No Kelompok Limbah
Warna disesuaikan dengan P56)
4 Limbah bahan kimia kadaluarsa,
tumpahan, atau sisa kemasan
Limbah bahan kimia yang digunakan
untuk menghasilkan bahan biologis,
bahan kimia yang digunakan dalam
disinfeksi, dan insektisida
5 Limbah dengan kandungan logam coklat
berat tinggi, contoh: thermometer
merkuri pecah, sphygmomanometer
merkuri pecah
6 Limbah Radioaktif, berupa isotop merah
radioaktif

7 Limbah tabung/kontainer
bertekanan

8 Limbah Farmasi, obat buangan yang coklat


kadaluarsa, terkontaminasi dan
buangan
9 Limbah Sitotoksik, yaitu Limbah obat ungu
kadaluarsa, terkontaminasi, dan
buangan dari obat yang bersifat
sitotoksik (biasanya untuk
kemoterapi)

Catatan :
● Limbah medis non infeksius (plabot bekas, bekas jerrycan HD, spuit bekas, botol
kaca) dilakukan daur ulang dengan pewadahan kantong plastik warna berbeda (putih
atau bening)
● Bila kondisi tertentu Fasyankes tidak memiliki plastic kuning dapat menggunakan
warna lain dengan label dan tulisan infeksius sesuai dengan kebijakan daerah

219
Pemberian kode warna dan simbol pada plastik wadah limbah dan
kontainer limbah dimaksudkan untuk mempermudah pewadahan limbah.
Untuk karakteristik limbah tertentu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pewadahan.
Pada limbah B3 Fasyankes jenis tertentu, ada yang memerlukan
penanganan khusus sebelum dibuang ke wadah sesuai dengan kategori
limbah. Limbah sangat infeksius seperti sediaan/kultur pathogen dari
kegiatan lab seperti lab BSL 1,2, dan 3 perlu mendapat perlakuan khusus
sebelum diwadahi di kantong kuning. Perlakuan yang perlu dilakukan
adalah dengan melakukan sterilisasi dengan autoklaf. Limbah ini tidak
boleh dibuang ke saluran limbah cair.

3) Praktik Pemilahan Limbah


Pemilahan limbah yang dilakukan oleh Fasyankes sebaiknya
menyesuaikan dengan opsi pengolahan akhir yang akan dilakukan. Bila
sebuah Fasyankes akan menerapkan skenario pengolahan akhir dengan
menggunakan metode insinerasi, maka pemilahan limbah yang dilakukan
adalah : limbah domestik, limbah yang dapat diinsinerasi, dan limbah yang
tidak dapat diinsinerasi. Jenis limbah tersebut perlu diuraikan dengan jelas
dan ditempelkan pada wadah limbah di ruangan penghasil. Sebagai
contoh:

Tabel 19 Pemilahan limbah

Ruangan Limbah yang dapat Limbah yang tidak


Limbah domestik
penghasil diinsinerasi dapat diinsinerasi
Laboratorium Kardus dan kemasan Botol, jarum, dan pipet
Rawat inap Botol minuman, plastik Bekas perban, kapas, Tabung bertekanan,
pembungkus makanan, botol infus, ampul, alkes bermerkuri
sisa makanan, dan vial, kateter, set infus, yang pecah
styrofoam dan kapas

Apabila Fasyankes memiliki beberapa skema pengolahan akhir limbah,


misalnya ada beberapa jenis limbah yang akan diberi perlakuan tertentu

220
untuk dapat dimanfaatkan kembali, maka pemilahan yang dilakukan juga
menyesuaikan dengan skema tersebut, sehingga tidak ada praktik
pemilahan ulang. Sebagai contoh:

Tabel 20 Pemilahan limbah dengan perlakuan tertentu

Limbah
Limbah yang
domestic Limbah Limbah yang Limbah
diautoclaving
Ruangan Limbah yang yang dapat diautoclaving yang akan
dan
penghasil domestik akan didisinfeksi untuk dipihak
dimanfaatkan
dibuat kimiawi vermikultur ketigakan
kembali
kompos
Laboratorium Kardus dan Botol Jarum, pipet Kapas bekas,
kemasan perban bekas
Rawat inap Botol Sisa Botol infus, Kateter, set Kapas bekas, Tabung
minuman, makanan, vial infus, kapas, perban bekas, bertekanan,
plastik ampul pembalut, alkes
pembungkus popok bayi bermerkuri
makanan, yang pecah
styrofoam

Pada pelaksanaannya, akan banyak petugas/staf yang terlibat dalam


kegiatan pemilahan ini. Maka, yang perlu diperhatikan adalah:
a. Memastikan ada SPO untuk pemilahan limbah yang dapat digunakan
oleh seluruh petugas/staf
b. Peningkatan kapasitas maupun refresh khususnya bagi petugas medis
dan petugas pengelola limbah, sehingga mengurangi risiko
tercampurnya limbah dan mengurangi kejadian kecelakaan kerja
c. Peletakan tempat limbah di ruangan penghasil dalam jumlah yang
cukup
d. Peletakan keterangan limbah yang dapat disimpan pada masing-
masing wadah limbah yang ada di ruangan penghasil
e. Pengangkutan limbah dari ruangan penghasil perlu dijadwalkan
dengan baik sehingga tidak overload
f. Petugas cleaning service bekerjasama dengan penanggung jawab
kebersihan/house keeping di ruangan menyiapkan tempat sampah

221
infeksius/benda tajam/sitotoksik/radioaktif/non infeksius, kantong
plastik kuning/ungu/merah/hitam dan stiker sampah.
g. Petugas cleaning service meletakan wadah benda tajam dan tempat
sampah infeksius/sitotoksis yang telah dilapisi kantong plastik sesuai
jenis sampah

Pewadahan Limbah
1) Pewadahan Limbah
Dalam melakukan pemilahan, perlu memperhatikan pewadahan sesuai
dengan jenis limbah yang dihasilkan. Pewadahan limbah dilakukan di
sumber penghasil. Minimal ada 3 wadah limbah untuk 3 jenis limbah
berbeda yaitu benda tajam (contoh: jarum suntik), limbah infeksius, botol
infus/plastik kemasan. Adapun persyaratan wadah adalah:
a. Untuk limbah jarum suntik dan limbah benda tajam lainnya, wadah yang
digunakan adalah safety box atau wadah yang tahan tusukan.
b. Wadah harus memenuhi persyaratan, yaitu tertutup, dilengkapi dengan
pedal injakan untuk membuka, dilapisi kantong plastik berwarna sesuai
dengan jenis limbah.
c. Seluruh wadah dilengkapi dengan simbol dan label sesuai jenis limbah
yang dihasilkan dengan mengacu ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Gambar 8 Wadah limbah medis

222
Materi Pokok 3: Pengumpulan dan Penyimpanan Limbah
Domsetik dan Medis Padat Fasyankes

A. Pendahuluan
Pengumpulan dan penyimpanan limbah yang dilakukan secara internal di
Fasyankes perlu memperhatikan waktu pengumpulan dan lama
penyimpanan sehingga risiko terjadinya pajanan dari limbah Fasyankes dan
kecelakaan kerja dapat diminimalkan.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mempelajari materi ini, peserta diharapkan mampu melakukan
pengumpulan dan penyimpanan limbah domestik dan medis padat
Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Pengumpulan dan penyimpanan limbah domestic dan medis padat
Fasyankes:

D. Uraian Materi
Pengumpulan limbah domestik dan medis padat Fasyankes
1) Pengumpulan limbah domestik padat
Waktu pengumpulan dari tempat sumber penghasil limbah perlu diatur
dengan baik sehingga tidak terjadi penumpukan di tempat sampah, tidak
terjadi perindukan lalat dan vektor. Hal ini juga untuk menjaga kebersihan
dan estetika dari Fasyankes. Limbah domestik berupa sisa makanan
maupun sampah basah perlu dikumpulkan dan diangkut ke TPS sesering
mungkin karena mudah membusuk dan menimbulkan bau.
Pengumpulan limbah domestik padat umumnya dilakukan minimal sehari
dua kali khususnya untuk sampah basah dan sisa makanan. Sedangkan
untuk limbah domestik lainnya yang tidak mudah membusuk dapat
dikumpulkan dan diangkut satu kali sehari.

223
Jadwal pengangkutan dan rute troli pengangkut sebaiknya diatur sehingga
tidak crossing dengan pengangkutan makanan pasien dan lalu lalang
pasien dan pengunjung, dan menyesuaikan dengan waktu puncak
timbulan limbah di sumber penghasil sehingga Fasyankes dapat selalu
bersih.

2) Pengumpulan limbah medis padat Fasyankes


Waktu pengumpulan sebaiknya sesuai dengan jumlah limbah yang
dihasilkan pada tiap area di Fasyankes. Limbah domestic seharusnya
tidak dikumpulkan pada waktu yang sama dan tidak boleh menggunakan
troli yang sama dengan limbah domestik.
Isi kantung limbah medis tidak boleh melebihi ¾ kapasitas kantung.
Apabila sudah ¾ penuh, maka kantung limbah segera diikat dan siap
untuk diangkut ke TPS. Kantung limbah diikat satu kali atau dapat
menggunakan seal/segel plastik untuk mengikat. Kantung pengganti
harus sudah tersedia dan begitu kantung berisi limbah diambil, kantung
baru harus segera dipasang ke wadah/tempat sampah.

Gambar 9 Batas kapasitas limbah dalam satu wadah (a) dan wadah yang over capacity (b)

Limbah yang sudah diikat kemudian ditimbang dan dicatat ruangan


penghasil, waktu penimbangan, waktu pengangkutan ke TPS, berat, dan
petugas pelaksana. Kemudian limbah tersebut dibawa ke TPS. Untuk
waktu pengumpulan, sebaiknya disesuaikan dengan perkiraan jumlah

224
limbah yang dihasilkan di ruangan dan jam-jam dimana tidak bersilangan
dengan pengantaran makanan pasien, jam jenguk, dan jam sibuk kegiatan
medis. Ruangan dengan kesibukan yang sangat banyak dan estimasi
limbah yang dihasilkan banyak akan lebih sering diangkut limbahnya.
Namun, idealnya adalah pengumpulan limbah 2 kali dalam sehari.
Troli atau wheel bin yang digunakan untuk mengangkut limbah dari
kegiatan medis bukan troli yang sama yang digunakan untuk mengangkut
limbah domestic. Troli atau wheel bin tersebut terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan dan terhindar dari kemungkinan ceceran Ketika
pengangkutan internal. Troli maupun wheel bin pengangkut agar selalu
dibersihkan dan didisinfeksi secara berkala dengan disinfektan yang
sesuai seperti senyawa klorin, formaldehida, fenolik atau bersifat asam.
Pengangkutan menggunakan jalur yang sudah ditentukan, apabila
menggunakan lift harus lift khusus mengangkut barang kotor atau bila
tidak ada lift khusus maka jam pembuangan harus ditentukan oleh
manajer gedung dan lakukan disinfeksi segera setelah dipergunakan.
Troli limbah medis (untuk sampah infeksius/sitotoksik/radioaktif) berwarna
kuning, simbol biohazard dan tertutup rapat dan troli sampah non medis
(untuk sampah non infeksius dan sampah daur ulang) berwarna hijau atau
biru. Untuk fasyankes dengan timbulan limbah medis yang kurang dari 3
kg per hari agar menyesuaikan dengan kondisi fasyankes.
Pendokumentasian/pencatatan juga penting untuk dilakukan. Petugas
cleaning service menyiapkan dokumen serah terima limbah medis dan
sampah daur ulang 2 rangkap yang telah diisi lengkap. Petugas cleaning
service mengangkut troli sampah dengan membawa dokumen manifest
dan mengirimnya ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
Petugas cleaning service menyerahkan limbah medis (limbah
infeksius/limbah sitotoksik) dan dokumen manifest ke operator incinerator
dan untuk sampah non infeksius dan daur ulang diserahkan ke petugas
TPS sampah. Untuk RS dengan fasilitas kedokteran nuklir dan radioterapi,

225
limbah radioaktif dari fasilitas tersebut dapat dikelola dengan mengikuti
peraturan yang berlaku.
Petugas yang melakukan pengangkutan limbah harus terlatih sesuai
standar dan dilengkapi dengan alat pelindung diri yang memenuhi standar
keselamatan dan kesehatan kerja. Limbah yang telah diserahkan
ditimbang dan dicatat dalam dokumen manifest.

Penyimpanan limbah domestik dan medis padat Fasyankes


1) Penyimpanan limbah domestik padat Fasyankes
Limbah domestic disimpan di TPS khusus limbah domestic maksimal 1x24
jam. Limbah domestic berupa limbah anorganik dan material tidak mudah
membusuk dapat disimpan lebih dari 1x24 jam. Maka akan lebih baik
apabila limbah anorganik ini dapat dimanfaatkan kembali seperti didaur
ulang menjadi bentuk dan kegunaan yang lain.
Penyimpanan limbah domestic perlu diperhatikan :
● Lokasi tidak mudah terkena banjir maupun genangan air
● Ada saluran khusus untuk pengelolaan air lindi/leachate
● Mudah diakses kendaraan pengangkut
● Terlindung dari binatang pengganggu dan tidak menjadi tempat
perindukan vektor
2) Penyimpanan limbah medis padat Fasyankes
Penyimpanan sementara limbah B3 dari kegiatan medis di Fasyankes
mengikuti regulasi nasional yang mengatur mengenai pengelolan limbah
B3 Fasyankes. Penyimpanan sementara dilakukan dengan cara:
a. Cara penyimpanan limbah B3 harus dilengkapi dengan SPO dan
dapat dilakukan pemutakhiran/revisi bila diperlukan
b. Penyimpanan sementara limbah B3 ditempatkan di TPS limbah B3
sebelum dilakukan pengangkutan dan pengolahan
c. TPS limbah B3 harus memiliki izin dari Pemda setempat.

226
d. Penyimpanan limbah B3 menggunakan wadah/tempat/kontainer
limbah medis dengan desain dan bahan sesuai kelompok atau
karakteristik limbah medis;
e. Untuk limbah farmasi perlu ada penanganan khusus. Apabila
fasyankes tidak bisa mengolah, maka dikembalikan ke distributornya
f. Pemberian simbol dan label limbah medis pada setiap kemasan
dan/atau wadah limbah medis sesuai karakteristik limbah
medis. Simbol pada kemasan dan/atau wadah limbah medis tersebut
adalah:
1. Radioaktif, untuk limbah radioaktif;
2. Infeksius, untuk limbah infeksius; dan
3. Sitotoksik, untuk limbah sitotoksik.
4. Toksik/flammable sesuai dengan bahayanya untuk limbah bahan
kimia
g. Lamanya penyimpanan limbah medis untuk jenis limbah dengan
karakteristik infeksius, benda tajam dan patologis di rumah
sakit sebelum dilakukan pengangkutan limbah medis, pengolahan
limbah medis, dan/atau penimbunan limbah medis, harus memenuhi
ketentuan lama penyimpanan paling lama sebagai berikut:
1. Limbah medis kategori sitotoksis dan farmasi, harus disimpan pada
TPS dengan suhu lebih besar dari 0oC dalam waktu sampai
dengan 90 hari;
2. Limbah medis kategori infeksius, patologis, benda tajam harus
disimpan pada TPS dengan suhu lebih kecil atau sama dengan
0oC dalam waktu sampai dengan 30 hari.
h. Limbah medis kategori infeksius, patologis, benda tajam dapat
disimpan pada TPS dengan suhu di atas 0oC (nol derajat celsius)
dalam waktu sampai dengan 2 (dua) hari, atau; Limbah medis
kategori infeksius, patologis, benda tajam dapat disimpan pada TPS
dengan suhu 3 sampai dengan 8oC (delapan derajat celsius) dalam
waktu sampai dengan 7 (tujuh) hari. Sedang untuk limbah medis
227
bahan kimia kedaluwarsa, tumpahan, atau sisa kemasan radioaktif;
farmasi; sitotoksik; peralatan medis yang memiliki kandungan logam
berat tinggi; dan tabung gas atau kontainer bertekanan, dapat
disimpan di tempat penyimpanan limbah medis dengan
ketentuan paling lama sebagai berikut:
1. 90 (sembilan puluh) hari, untuk limbah medis yang dihasilkan
sebesar 50 kg (lima puluh kilogram) per hari atau lebih; atau
2. 180 (seratus delapan puluh) hari, untuk limbah medis yang
dihasilkan kurang dari 50 kg (lima puluh kilogram) per hari untuk
limbah medis kategori 1, sejak limbah medis dihasilkan.
i. Persyaratan fasilitas penyimpanan limbah B3 meliputi:
1. Lantai kedap (impermeable), berlantai beton atau semen dengan
sistem drainase yang baik, serta mudah dibersihkan dan
dilakukan disinfeksi.
2. Tersedia sumber air atau kran air untuk pembersihan.
3. Mudah diakses untuk penyimpanan Limbah.
4. Dapat dikunci untuk menghindari akses oleh pihak yang tidak
berkepentingan.
5. Mudah diakses oleh kendaraan yang akan mengumpulkan atau
mengangkut Limbah.
6. Terlindungi dari sinar matahari, hujan, angin kencang, banjir, dan
faktor lain yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau
bencana kerja.
7. Tidak dapat diakses oleh hewan, serangga, dan burung.
8. Dilengkapi dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik dan
memadai.
9. Berjarak jauh dari tempat penyimpanan atau penyiapan
makanan.
10. Peralatan pembersihan, pakaian pelindung, dan wadah atau
kantong Limbah harus diletakkan sedekat mungkin dengan lokasi
fasilitas penyimpanan.
228
11. Dinding, lantai, dan langit-langit fasilitas penyimpanan senantiasa
dalam keadaan bersih, termasuk pembersihan lantai setiap hari.
j. Penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan dari fasilitas pelayanan
kesehatan oleh penghasil limbah B3 sebaiknya dilakukan pada
bangunan terpisah dari bangunan utama Fasyankes. Dalam hal tidak
tersedia bangunan terpisah, penyimpanan limbah B3 dapat dilakukan
pada fasilitas atau ruangan khusus yang berada di dalam bangunan
Fasyankes, apabila:
1. Kondisi tidak memungkinkan untuk dilakukan pembangunan
tempat penyimpanan secara terpisah dari bangunan utama
Fasyankes;
2. Akumulasi Limbah yang dihasilkan dalam jumlah relative kecil
3. Limbah dilakukan pengolahan lebih lanjut dalam waktu kurang dari
48 jam sejak Limbah dihasilkan.

229
Materi Pokok 4: Pengolahan Limbah Domestik dan Medis Padat
Fasyankes

A. Pendahuluan
Pengolahan limbah domestic dan medis padat Fasyankes merupakan
metode untuk menghilangkan sifat B3 dan risiko …...

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mempelajari materi ini, peserta diharapkan ….

C. Sub Materi Pokok


Pengolahan limbah domestic dan medis padat Fasyankes:

D. Uraian Materi
Pengolahan Limbah Domestik dan Medis Padat Fasyankes
a. Pengolahan Limbah Domestik Padat
b. Pengolahan Limbah Medis Fasyankes
a) Autoclave
1. Autoclave adalah peralatan sterilisasi panas basah (menggunakan
uap) yang biasa digunakan untuk sterilisasi material-material yang
diperlukan dalam proses produksi. Autoclave terutama ditujukan
untuk membunuh endospora, yaitu sel resisten yang diproduksi oleh
bakteri, sel ini tahan terhadap pemanasan, kekeringan, dan
antibiotik. Pada spesies yang sama, endospora dapat bertahan
pada kondisi lingkungan yang dapat membunuh sel vegetatif bakteri
tersebut. Endospora dapat dibunuh pada suhu 100 °C, yang
merupakan titik didih air pada tekanan atmosfer normal. Pada suhu
121 °C, endospora dapat dibunuh dalam waktu 4-5 menit, dimana
sel vegetatif bakteri dapat dibunuh hanya dalam waktu 6-30 detik
pada suhu 65 °C.
2. Prinsip: Uap panas yang dihasilkan oleh autoclave bersumber dari
uap panas yang dihasilkan oleh api. Autoclave dapat
230
dioperasionalkan pada suhu 115-150˚C. Sterilisasi efektif bila
dilakukan pada lamanya waktu, misalnya pada media nutrisi yang
volumenya 25-50 ml disterilisasikan di autoclave dengan suhu
121˚C selama 15-20 menit pada tekanan 1.5kg/cm2. Perhitungan
waktu sterilisasi autoclave dimulai ketika suhu di dalam autoclave
mencapai 121 °C. Jika objek yang disterilisasi cukup tebal atau
banyak, transfer panas pada bagian dalam autoclave akan
melambat, sehingga terjadi perpanjangan waktu pemanasan total
untuk memastikan bahwa semua objek bersuhu 121 °C untuk waktu
10-15 menit. Perpanjangan waktu juga dibutuhkan ketika cairan
dalam volume besar akan diautoclave karena volume yang besar
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai suhu
sterilisasi.

Gambar 10 Pengelolaan limbah menggunakan autoclave dengan perpindahan gravitasi (kiri)


dan pompa vakum (kanan)

3. Terdapat dua jenis autoclave, yaitu gravity displacement


dan prevacuum atau high vacuum Perbedaan kedua jenis autoclave
ini terletak pada bagaimana udara dihilangkan dari dalam autoclave
selama proses sterilisasi.
- Gravity Displacement
Udara dalam ruang autoclave dipindahkan hanya berdasarkan
gravitasi. Prinsipnya adalah memanfaatkan keringanan uap

231
dibandingkan dengan udara, sehingga udara terletak di bawah
uap. Cara kerjanya dimulai dengan memasukan uap melalui
bagian atas autoclave sehingga udara tertekan ke bawah. Secara
perlahan, uap mulai semakin banyak sehingga menekan udara
semakin turun dan keluar melalui saluran di bagian bawah
autoclave, selanjutnya suhu meningkat dan terjadi sterilisasi.
Autoclave ini dapat bekerja dengan cakupan suhu antara 121-
134 °C dengan waktu 10-30 menit.
- Prevacuum atau High Vacuum
Autoclave ini dilengkapi pompa yang mengevakuasi hampir
semua udara dari dalam autoclave. Cara kerjanya dimulai
dengan mengeluar-kan udara. Proses ini berlangsung selama 8-
10 menit. Ketika keadaan vakum tercipta, uap dimasukkan ke
dalam autoclave. Akibat kevakum-an udara, uap segera
berhubungan dengan seluruh permukaan benda, kemudian
terjadi peningkatan suhu sehingga proses sterilisasi berlangsung.
Autoclave ini bekerja dengan suhu 132-135 °C dengan waktu 3-
4 menit.
4. Limbah yang tidak boleh masuk ke autoclave
a. Patologis
b. Bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, atau sisa kemasan
c. Radioaktif
d. Farmasi
e. Sitotoksik
f. Alat medis yang memiliki kandungan logam berat tinggi
5. Penggunaan teknologi autoclave harus mendapatkan Izin
Operasional dari Kementerian Lingkungan Hidup sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah B3.

232
6. Validasi untuk hasil proses microwave sesuai PermenLHK nomor
P.56 tahun 2015 adalah terhadap spora Bacillus
stearothermophilus pada konsentrasi 1x104 spora per milimeter.
7. Kelebihan autoclave ini adalah tidak menghasilkan emisi yang
dapat mencemari udara, tidak membutuhkan lahan luas, dan
aman pengoperasiannya.
8. Kelemahannya adalah hanya dapat mengolah limbah Fasyankes
terbatas, yakni jenis limbah infeksius saja.

b) Microwave (Gelombang Mikro)


1. Teknologi microwave adalah suatu proses berbasis uap dimana
pengolahan terjadi melalui kerja panas lembab dan uap yang
dihasilkan oleh energi microwave (gelombang mikro). Air yang
terkandung di dalam limbah secara cepat dipanaskan dengan energi
gelombang mikro pada suatu frekuensi sekitar 2.450 MHz dan
panjang gelombang 12,24 cm.
2. Secara umum, sistem pengolahan gelombang mikro terdiri dari satu
area pengolahan atau ruang dimana energi gelombang mikro masuk
secara langsung dari suatu penghasil gelombang mikro
(magnetron).
3. Sistem microwave semi kontinyu terdiri dari sistem peingisian
(charging) otomatis, hopper, shredder (penghancur), conveyor
screw, generator uap, generator microwave, discharge screw,
secondary shredder and control (pengendali dan penghancur
kedua). Peralatan meliputi hidrolik, HEPA filter dan kotrol berbasis
mikroprosesor dilindungi di dalam suatu penutup baja segala cuaca.
Kantong limbah dimasukkan ke dalam hopper, dimana uap dapat
dijuga disuntikkan. Untuk mencegah terlepasnya pathogen melalui
udara, udara diekstrak melalui suatu filter HEPA saat Limbah
dimuat. Setelah tutup hopper ditutup, Limbah dilewatkan ke
penghancur. Partikel Limbah dilewatkan melalui suatu auger
233
(conveyor screw), dimana mereka selanjutnya terkena uap dan
dipanaskan pada 100oC dengan 4 atau 6 generator.

Gambar 11 Pengelolaan limbah menggunakan microwave

4. Limbah yang tidak boleh masuk ke microwave


a. Patologis
b. Bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, atau sisa kemasan
c. Radioaktif
d. Farmasi
e. Sitotoksik
5. Penggunaan teknologi microwave harus mendapatkan Izin
Operasional dari Kementerian Lingkungan Hidup sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3.
6. Validasi untuk hasil proses microwave sesuai PermenLHK nomor
P.56 tahun 2015 adalah terhadap spora Bacillus stearothermophilus
pada konsentrasi 1x101 spora per milimeter.

234
7. Kelebihan microwave ini adalah tidak menghasilkan emisi yang
dapat mencemari udara, tidak membutuhkan lahan luas, dan aman
pengoperasiannya.
8. Kelemahannya adalah hanya dapat mengolah limbah Fasyankes
terbatas, yakni jenis limbah infeksius saja.
c) Enkapsulasi
1. Enkapsulasi adalah salah satu proses solidifikasi untuk mengurangi
potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya
memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/ penyebaran dan
daya racunnya (amobilisasi unsur yang bersifat racun) sebelum
limbah B3 tersebut dibuang ke tempat penimbunan akhir (landfill)
untuk memperbaiki karakteristik fisik dan mempermudah
penanganan limbah atau menurunkan luas permukaan yang dapat
memfasilitasi pelepasan pencemar dari dalam limbah (Bone et al,
2004).
2. Enkapsulasi dilakukan dengan cara memasukkan Limbah sebanyak
2/3 dari volume wadah dan selanjutnya ditambahkan material
immobilisasi sampai penuh sebelum wadahnya ditutup dan
dikungkung. Material immobilisasi dapat berupa pasir bituminus
dan/atau semen, sedangkan wadah yang digunakan dapat berupa
high density polyethylene (HDPE) atau drum logam.
3. Jenis-jenis Enkapsulasi:
a. Enkapsulasi makro: proses pemadatan/ stabilisasi dengan
bahan dalam Limbah dibungkus dalam matriks struktur besar
yang inert dan kedap air, seperti fiberglass, resin apoksida, dll

235
Gambar 12 Pengelolaan limbah secara enkapsulasi

b. Enkapsulasi mikro: proses pemadatan/ stabilisasi dengan


bahan pencemarnya dibungkus secara fisik yang diawali
pengadukan dalam struktur kristalin pada tingkat mikroskopik.
c. Enkapsulasi termoplastik: proses pemadatan/stabilasasi
dengan menggunakan bahan polimer termoplastik yang inert
d. Adsorpsi: proses pemadatan/stabilisasi bahan pencemar
dengan mengikat secara elektrokimia pada bahan pemadat
melalui mekanisme adsorpsi.
e. Absorpsi: proses pemadatan/stabilisasi bahan pencemar
dengan menyerapkan bahan pencemar ke bahan padat.
f. Detoksifikasi: Proses pemadatan/stabilisasi dengan mengubah
suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat
toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
4. Jenis Limbah yang dapat dilakukan enkapsulasi antara lain:
a. Limbah benda tajam
b. Limbah farmasi

236
c. Abu terbang (fly ash) dan/atau abu dasar (bottom ash) dari
insinerator
5. Penerapan enkapsulasi harus mendapatkan persetujuan dari Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3
dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 18 tahun 2009
tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah B3.
6. Setelah dilakukan inertisasi, limbah dilakukan penimbunan (landfill)
saniter/terkontrol/ penimbusan akhir.
7. Kelebihan enkapsulasi ini adalah tidak menghasilkan emisi yang
dapat mencemari udara, tidak membutuhkan lahan luas, dapat
diterapkan untuk kondisi khusus termasuk bencana, serta dan aman
pengoperasiannya.
8. Kelemahannya adalah hanya dapat mengolah limbah Fasyankes
terbatas.

d) Inertisasi
(a) Inertisasi adalah salah satu proses solidifikasi untuk mengurangi
potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya
memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/penyebaran dan
daya racunnya (amobilisasi unsur yang bersifat racun) sebelum
limbah B3 tersebut dibuang ke tempat penimbunan akhir (landfill)
untuk memperbaiki karakteristik fisik dan mempermudah
penanganan limbah atau menurunkan luas permukaan yang dapat
memfasilitasi pelepasan pencemar dari dalam limbah (Bone et al,
2004).
(b) Proses inertisasi dilakukan dengan cara:
1. Limbah dicampur dengan pasir dan semen menggunakan
sekop dengan perbandingan limbah, pasir dan semen Portland
3:2:1, atau dengan komposisi lain seperti 65% limbah, 15%

237
lime, 15% semen, dan 5% air, sehingga dapat memenuhi
persyaratan uji kuat tekan dan uji TCLP.
2. Hasil pencampuran selanjutnya dituangkan dalam sebuah
cetakan dengan ukuran dimensi minimal 40 cm x 40 cm x 40 cm,
setelah cetakan tersebut sebelumnya telah dilapisi dengan plastik
sehingga dapat mengungkung campuran limbah. Hasil
pencampuran didiamkan selama 5 hari untuk penyempurnaan
proses solidifikasi.
3. Jenis Limbah yang dapat dilakukan inertisasi antara lain:
a. Limbah benda tajam
b. Limbah farmasi
c. Abu terbang (fly ash) dan/atau abu dasar (bottom ash) dari
insinerator
4. Penerapan inertisasi harus mendapatkan persetujuan dari Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah
B3 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 18 tahun
2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah B3.
5. Setelah dilakukan inertisasi, limbah dilakukan penimbunan
(landfill) saniter/terkontrol/ penimbusan akhir.
6. Kelebihan inertisasi ini adalah tidak menghasilkan emisi yang
dapat mencemari udara, tidak membutuhkan lahan luas, dapat
diterapkan untuk kondisi khusus termasuk bencana, serta dan
aman pengoperasiannya.
7. Kelemahannya adalah hanya dapat mengolah limbah Fasyankes
terbatas.

e) Disinfeksi Kimia
1. Disinfeksi kimia adalah proses penghancuran mikroorganisme atau
racunnya tapi tidak termasuk spora melalui pajanan langsung
dengan agen kimia. Metode ini menggunakan bahan kimia seperti
238
senyawa aldehida, klor, fenolik dan lain sebagainya untuk
membunuh atau inaktivasi pathogen pada limbah medis.
2. Disinfeksi kimiawi merupakan salah satu cara yang tepat untuk
melakukan pengolahan limbah berupa darah, urin, dan air limbah.
Metoda ini dapat pula digunakan untuk mengolah limbah infeksius
yang mengandung pathogen.
3. Metoda ini dapat pula dikombinasikan dengan pencacahan untuk
mengoptimalkan proses disinfeksi kimiawi.
4. Metode desinfeksi kimiawi ini hanya dapat digunakan apabila tidak
terdapat fasilitas pengolahan limbah medis lainnya, karena
penggunaan bahan kimia akan menyebabkan perlunya dilakukan
pengelolaan lebih lanjut terhadap limbah hasil pengolahannya.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi disinfeksi:
a. Jenis disinfektan
b. Jenis mikroorganisme
c. Konsentrasi disinfektan dan waktu kontak
d. Derajat keasaman (pH)
e. Suhu
f. Fisika dan kimia pada proses
g. Bahan kimia yang lazim digunakan sebagai disinfektan antara
lain:
 Natrium hipoklorit (NaOCl) 3% sd 6%
 Asam peroksi-asetat (asam perasetat)
 Glutaraldehida
 Natrium hidroksida
 Gas ozon
 Kalsium oksida
Contoh: jika menggunakan natrium hipoklorit lama kontak
desinfeksi antara 15 - 30 menit

239
f) Insinerasi
1. Insinerasi adalah proses oksidasi kering suhu tinggi yang
mengurangi limbah organik dan mudah terbakar menjadi organik
dan bahan yang tidak mudah terbakar melalui proses termal suhu
tinggi pada suhu dari sekitar 200oC sampai lebih kurang 1000oC.
yang menimbulkan kerusakan kimia dan fisika bahan organik
melalui proses pembakaran, pirolisis atau gasifikasi.
2. Limbah yang tidak boleh diinsinerasi
a. Kontainer gas bertekanan
b. Limbah kimia reaktif dalam jumlah besar
c. Limbah silver salt dan fotografi atau radiografi
d. Material terhalogenasi seperti polyvinyl chloride (PVC), plastik
(limbah dan kemasan limbah tidak mengandung material PVC)
e. Limbah mengandung merkuri, kadmium, dan logam berat
lainnya, seperti termometer pecah, batere bekas dan panel kayu
lapis timbal.
f. Ampul atau vial tertutup yang mudah meledak selama proses
pembakaran
g. Bahan radioaktif dengan paruh waktu lama
h. Limbah farmasi secara termal stabil dalam kondisi di bawah
1200oC
3. Spesifikasi insinerator yang diatur di dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah
bahan berbahaya dan beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan
adalah:
A. Efisiensi pembakaran sekurang-kurangnya 99,95%;
B. Temperatur pada ruang bakar utama sekurang-kurangnya
8000C;

240
Gambar 13 Bagian-bagian insinerator

C. Temperatur pada ruang bakar kedua paling rendah 1.0000C


dengan waktu tinggal paling sedikit 2 (dua) detik;
D. Memiliki alat pengendalian pencemaran udara berupa wet
scrubber atau sejenis;
E. Ketinggian cerobong paling rendah 14 meter terhitung dari
permukaan tanah atau 1,5 kali bengunan tertinggi; dan
F. Residu abu (buttom ash) dari insinerator dapat dibuang ke
fasilitas penimbunaan saniter (sanitary landfill) atau fasilitas
penimbunan terkontrol (contolled landfill) sampah domestik
setelah dilakukan enkapsulisasi atau inertisasi.
4. Proses insinerator harus memenuhi baku mutu emisi yang berlaku.
5. Penggunaan teknologi insinerasi harus mendapatkan Izin
Operasional dari Kementerian Lingkungan Hidup sesuai dengan
241
Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah B3.
6. Kelebihan teknologi ini adalah menghasilkan pengurangan volume
dan berat limbah yang signifikan.
7. Kekurangan teknologi ini adalah melepaskan produk samping
pembakaran ke atmosfer dan menghasilkan abu sisa. Pembakaran
limbah layanan kesehatan memproduksi emisi gas, termasuk uap,
karbon diaksida, nitrogen oksida, berbagai zat yang mudah
menguap/volatile (seperti metal, asam halogen, produk pembakaran
tidak sempurna, POPs) dan zat partikel, juga residu padat dalam
bentuk abu.

c. Teknik pengelolaan limbah medis padat


Prosedur penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan pengelolaan
limbah medis padat adalah, seperti:
1. Penyediaan sarana dan peralatan sesuai dengan ketentuan teknis
yang dipersyaratkan seperti:
a. Kantong plastik limbah dengan pembedaan warna sesuai dengan
jenis limbah berdasarkan ketentuan yang berlaku
b. Kontainer/tempat sampah, termasuk safety box
c. Label sesuai dengan jenis-jenis limbah
d. Wheelbin untuk pengangkut limbah dari ruangan ke TPS
e. Timbangan
f. TPS sampah medis
g. Alat pemusnah limbah (sistem incinerasi/non-incinerasi)
2. Tersedianya dan digunakannya APD (sepatu, sarung tangan, apron,
masker, dan topi) oleh petugas pelaksana sesuai dengan prosedur,
baik pada tahap pewadahan, pengangkutan, maupun pengolahan.
3. Terimplementasinya kegiatan pengelolaan limbah, baik oleh petugas
ruangan, petugas cleaning service, dan petugas TPS, sesuai dengan
kebijakan, SOP dan Insruksi Kerja yang berlaku
242
4. Terlaksananya kegiatan pengawasan yang efektif oleh petugas
sanitasi, dalam upaya mencegah terjadinyan kesalahan maupun
penyalahgunaan yang tidak diharapkan.
5. Adanya perlakuan khusus untuk limbah dari hasil kegiatan penelitian.
6. Beberapa SOP yang terkait dengan kegiatan pengelolaan limbah
medis padat adalah:
a. SOP Pengelolaan Limbah Medis Padat
b. SOP Pengoperasian Alat Pengolah Limbah Medis Padat
(Incinerator/ Autoclave/Microwabe dll)
c. SOP Pemantauan Emisi Incinerator (jika fasyankes menggunakan
incinerator)
d. SOP Tanggap Darurat Jika Alat Pengolah Limbah Medis Padat
Terganggu

d. Simulasi Pengelolaan Limbah Medis


1. Karakteristik Limbah
2. Jenis limbah
3. Tahapan pengelolaan limbah
4. Studi kasus permasalahan pengelolaan limbah
5. Solusi permasalahan pengelolaan limbah

243
Pengolahan limbah medis dengan metode non insinerasi merupakan
cara terbaik untuk mengurangi emisi, mendaur ulang limbah, dan
menurunkan penggunaan energi dan bahan bakar.

Pengolahan limbah medis dengan metode non insinerasi memastikan


mitigasi terhadap perubahan iklim dengan cara mengurangi pelepasan
gas rumah kaca melalui pengurangan pembakaran.

244
MPI 3 Pengelolaan Limbah Cair Dan Gas Fasyankes

245
246
Fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu institusi yang melakukan
berbagai aktivitas dengan interaksi antara manusia yaitu petugas, pasien,
juga pengunjung, serta peralatan, sarana dan prasarana, juga berbagai
bahan menghasilkan limbah, di antaranya limbah cair dan gas.
Limbah cair yang dihasilkan oleh kegiatan fasilitas pelayanan
kesehatan dapat mengandung bahan berbahaya beracun dan infeksius
seperti cairan tubuh, sisa kegiatan laboratorium, penatu, atau dapat juga
berupa limbah cair domestik yang berasal dari kamar mandi, dapur, dan
sebagainya. Untuk limbah cair yang mengandung kimia berbahaya dan
beracun perlu mendapatkan perlakuan khusus, sedangkan untuk kategori
domestik dapat diperlakukan sesuai ketentuan pengelolaan limbah cair
domestik. Sedangkan limbah gas umumnya bersumber dari penggunaan
sarana seperti pengolah limbah berupa insinerator, pemanasan air, generator
listrik, dan sebagainya.
Fasilitas pelayanan kesehatan perlu mendapatkan pembekalan dalam
memilih teknologi yang memadai karena banyak metode pengolahan limbah
cair yang ditawarkan dan teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi
emisi. Standar pengolahan limbah cair adalah tercapainya kualitas limbah
cair sebelum dibuang ke lingkungan sesuai baku mutu yang berlaku. Begitu
juga dengan limbah gas yang memiliki standar agar emisi yang dilepaskan
ke lingkungan sesuai dengan baku mutu yang berlaku.
Modul limbah cair dan gas ini disusun untuk memberi bekal bagi para
peserta agar mampu memahami pengelolaan limbah cair dan gas fasilitas
pelayanan kesehatan.

247
1) Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan
pengelolaan limbah cair dan gas Fasyankes.

2) Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu:
a. Menjelaskan konsep pengelolaan limbah cair dan gas Fasyankes.
b. Melakukan pengelolaan limbah cair Fasyankes.

248
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah :
1. Konsep pengelolaan limbah cair dan gas Fasyankes.
2. Pengelolaan limbah cair Fasyankes

249
250
Materi Pokok 1: Konsep pengelolaan limbah cair dan gas
Fasyankes

A. Pendahuluan
Limbah cair fasilitas pelayanan kesehatan adalah semua air buangan yang
telah tercemar kualitasnya selama pelaksanaan kegiatan pelayanan
kesehatan, dapat mengandung beberapa padatan yang diproduksi oleh
manusia (staf dan pasien) atau selama proses yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan, sehingga kemungkinan mengandung mikroorganisme
pathogen, darah, bahan kimia berbahaya dan beracun, serta radioaktivitas
yang berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan limbah gas fasilitas pelayanan
kesehatan adalah semua gas buangan atau emisi yang bersumber dari
kegiatan dan penggunaan alat di fasilitas pelayanan kesehatan seperti emisi
dari generator listrik, emisi dari pemanas air, emisi dari insinerator, dll.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan konsep
pengelolaan limbah cair dan gas Fasyankes serta melakukan pengelolaan
limbah cair dan gas Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 1:
1. Pengelolaan limbah cair Fasyankes:
- Pengertian dan tujuan
- Kuantitas dan sumber
2. Pengelolaan limbah gas Fasyankes:
- Pemilihan
- Pemeliharaan

251
D. Uraian Materi
Sebelum mempelajari tentang konsep pengelolaan limbah cair dan gas
Fasyankes, apakah Anda pernah melihat pengelolaan limbah cair dan gas
Fasyankes, cobalah mengingat dan ceritakan hal apa yang paling menarik
bagi Anda.

Pengertian limbah cair dan gas


Limbah cair atau air limbah adalah semua air buangan termasuk tinja yang
berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung
mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif serta darah yang
berbahaya bagi kesehatan. Limbah cair fasilitas pelayanan kesehatan dapat
dibagi menjadi tiga kategori berikut:
Blackwater (sewage) adalah air limbah yang sangat tercemar dan
mengandung konsentrasi tinja dan urin yang tinggi.
Greywater (sullage) mengandung lebih banyak residu encer dari pencucian,
mandi, proses laboratorium, proses teknis seperti air pendingin atau
pembilasan film sinar X.
Stormwater (air hujan) secara teknis bukan air limbah, tetapi akibat curah
hujan yang terkumpul di atap rumah sakit, tanah, pekarangan dan permukaan
beraspal yang mungkin hilang ke saluran air, aliran air dan pengisian air
tanah, atau digunakan untuk mengairi lahan rumah sakit, pembilasan toilet
dan keperluan mencuci umum lainnya.
Limbah gas adalah semua gas buangan atau emisi yang bersumber dari
kegiatan dan penggunaan alat di fasilitas pelayanan kesehatan seperti emisi
dari generator listrik, emisi dari pemanas air, emisi dari insinerator, dll.

Kuantitas limbah cair dan gas


Kuantitas limbah cair yang dihasilkan di fasilitas pelayanan kesehatan
tergantung pada kuantitas air yang digunakan dan diukur sebagai konsumsi
air bersih. Konsumsi air bersih tergantung pada faktor jenis layanan
kesehatan yang disediakan, jumlah tempat tidur, akses air, kondisi iklim,
252
tingkat pelayanan, dan praktik pemakaian air setempat. Secara umum,
kuantitas limbah cair yang dihasilkan dapat diperkirakan sebesar 80% dari
penggunaan air bersih. Limbah cair yang dihasilkan biasanya menggunakan
satuan berdasarkan pada rasio rawat inap, yaitu liter/tempat tidur/hari.
Sedangkan menurut WHO, perkiraan kuantitas limbah cair dari rumah sakit
dapat menggunakan kategori kapasitas rumah sakit sebagai berikut:
- Rumah sakit kapasitas kecil-sedang: 300 s.d. 500 liter/tempat tidur/hari
- Rumah sakit kapasitas besar: 400 s.d. 700 liter/tempat tidur/hari
- Rumah sakit pendidikan: 500 s.d. 900 liter/tempat tidur/hari
Kuantitas limbah gas tergantung dari sumber energi dan penggunaan
teknologi serta frekuensi penggunaan alat yang menimbulkan limbah gas,
sumber energi yang bersih akan menghasilkan emisi lebih kecil dari pada
energi biomassa dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dapat
menurunkan jumlah emisi, begitu juga perawatan alat yang baik dan rutin
dapat menurunkan jumlah emisi. Hal yang perlu diperhatikan dalam kuantitas
limbah gas adalah diharapkan agar gas rumah kaca yang dilepaskan ke
lingkungan hanya dalam jumlah kecil.

Kualitas limbah cair dan gas


Kualitas limbah cair sangat tergantung pada tingkat dan jenis pelayanan yang
dilakukan. Di bawah ini beberapa contoh gambaran karakteristik dan
pengaruh limbah cair dari beberapa sumber limbah cair.

Tabel 21 Pengaruh limbah cari berdasarkan sumber limbah

Sumber Material Utama Pengaruh


Ruang pasien Material organik Antiseptik: beracun
Ammoniak untuk mikroorganisme
Operasi Bakteri patogen Antibiotik: beracun untuk
Ruang emergency Antiseptik mikroorganisme
Antibiotik
Ruang hemodialysis
Toilet, ruang bersalin

253
Sumber Material Utama Pengaruh
Klinik dan ruang Material pelarut Logam berat: beracun
pengujian patologi organik untuk mikroorganisme
Fosfor pH fleksibel: beracun
Laboratorium Logam berat untuk mikroorganisme
pH fleksibel
Ruang dapur Material-material Minyak/lemak:
organik mengurangi perpindahan
Minyak/lemak oksigen ke air
Fosfor Pembersih ABS:
Pembersih ABS terbentuk gelembung
dalam bio-reaktor
Ruang cuci (laundry) Fosfor pH 8~10: beracun bagi
pH 8 ~ 10 mikroorganisme
ABS, N-heksana ABS: terbentuk
gelembung dalam bio-
reaktor
Ruang pemrosesan Perak (Argentum), Perak beracun bagi
sinar X logam berat lain mikroorganisme

Contoh gambaran kualitas limbah cair yang diperiksa sebelum diolah dari
beberapa rumah sakit terdapat di bawah ini. Gambaran kualitas limbah cair
rumah sakit yang diperiksa sebelum diolah dibandingkan untuk kapasitas
kurang dari 100 tempat tidur dan lebih dari 100 tempat tidur.

Tabel 22 Kualitas limbah cair rumah sakit kapasitas kurang dari 100 tempat tidur

Parameter Satuan Min Max Rata-rata


pH - 5,7 9,1 7,27
TSS mg/L 2 908,0 130,70
BOD mg/L 1,05 467,4 88,69
COD mg/L 7,68 1877,55 234,15
Minyak & Lemak mg/L 0,06 18,6 1,28
MBAS mg/L 0,01 11,11 1,63
Amonia Nitrogen mg/L 0,07 79,7 14,10
Fosfat mg/L 4,51 2,43 3,42
Total Coliform MPN/100 mL 2100 11000 5900,00

Tabel 23 Kualitas limbah cair rumah sakit kapasitas lebih dari 100 tempat tidur

Parameter Satuan Min Max Rata-rata


pH - 3,10 11,10 7,38
TSS mg/L 1,00 950,00 26,80
BOD mg/L 0,15 323,5 23,21
254
COD mg/L 0,93 3607,84 59,91
Minyak & Lemak mg/L 0,009 9,22 0,52
MBAS mg/L 0,01 22,38 0,75
Amonia Nitrogen mg/L 0,01 263,3 6,46
Fosfat mg/L 0,17 5,58 2,31
Total Coliform MPN/100 mL 23,00 15000 1170,10

Baku mutu limbah cair dari kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan yang
berlaku di Indonesia adalah berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P-68/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang
Baku Mutu Air Limbah Domestik sebagai berikut:

Tabel 24 Baku mutu air limbah domestik (Permen LHK P-68)

Konsentrasi Paling Tinggi


Parameter
Nilai Satuan
pH 6–9 -
BOD 30 mg/L
COD 100 mg/L
TSS 30 mg/L
Minyak dan lemak 5 mg/L
Amoniak 10 mg/L
Total Coliform 3000 Jumlah/100mL
Debit 100 L/orang/hari

Sedangkan untuk limbah cair dari Fasyankes yang mengandung bahan


kimia berbahaya, maka baku mutu yang digunakan adalah Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup 05 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah

Tabel 25 Baku mutu air limbah (Permen LHK 05)

Konsentrasi Paling Tinggi


Parameter
Nilai Satuan
Kimia
pH 6-9 -
Besi, terlarut (Fe) 5 mg/L
Mangan, terlarut (Mn) 2 mg/L
Barium, (Ba) 2 mg/L
Tembaga, (Cu) 2 mg/L
Seng, (Zn) 5 mg/L
Krom valensi enam, (Cr6+) 0,1 mg/L
Krom total, (Cr) 0,5 mg/L
Kadmium, (Cd) 0,05 mg/L
Merkuri, (Hg) 0,002 mg/L
255
Konsentrasi Paling Tinggi
Parameter
Nilai Satuan
Timbal, (Pb) 0,1 mg/L
Stanium, (Sn) 2 mg/L
Arsen, (As) 0,1 mg/L
Selenium, (Se) 0,05 mg/L
Nikel, (Ni) 0,2 mg/L
Kobal, (Co) 0,4 mg/L
Sianida, (CN) 0,05 mg/L
Sulfida, (S=) 0,05 mg/L
Flourida, (F-) 2 mg/L
Klorin bebas, (Cl2) 1 mg/L
Amoniak bebas, (NH3-N) 1 mg/L
Nitrat, (NO3-N) 20 mg/L
Nitrit, (NO2-N) 1 mg/L
Senyawa aktif biru metilen, (MBAS) 5 mg/L
Fenol 0,5 mg/L
AOX 0,5 mg/L
PCBs 0,005 mg/L
PCDFs 10 mg/L
PCDDs 10 mg/L

Kualitas limbah gas sangat dipengaruhi oleh pemilihan teknologi,


pemeliharaan alat, penggunaan bahan bakar dan frekuensi penggunaan
alat. Teknologi ramah lingkungan harus diprioritaskan dalam pemilihan
teknologi yang berpotensi menimbulkan emisi atau limbah gas.
Pemeliharaan alat yang menimbulkan emisi juga sangat penting,
pemeliharaan seperti pembersihan ruang pembakaran dan saluran emisi,
penggantian suku cadang yang rusak atau usang, dan pengecekan emisi
sangat direkomendasikan. Selain itu penggunaan bahan bakar juga perlu
dipertimbangkan, penyediaan listrik dari panel surya atau mikrohidro untuk
pemanasan air atau penerangan sangat dierkomendasikan.
Berikut ini merupakan standar kualitas emisi untuk sumber tidak bergerak
dan insinerator:

Tabel 26 Baku Mutu Emisi Mesin dengan Pembakaran Dalam atau Genset

No Kapasitas Bahan Bakar Parameter Kadar Maksimum


1 101 s.d. 500 KW Minyak Nitrogen Oksida NOx 3.400 mg/Nm3
Karbon Monoksida CO 170 mg/Nm3
Gas Nitrogen Oksida NOx 300 mg/Nm3
256
Karbon Monoksida CO 450 mg/Nm3
2 501 s.d. 1.000 KW Minyak Nitrogen Oksida NOx 1.850 mg/Nm3
Karbon Monoksida CO 77 mg/Nm3
total partikulat 95 mg/Nm3
Sulfur Dioksida SO2 160 mg/Nm3
Gas Nitrogen Oksida NOx 300 mg/Nm3
Karbon Monoksida CO 250 mg/Nm3
Sulfur Dioksida SO2 150 mg/Nm3
3 501 s.d. 1.000 KW Minyak Nitrogen Oksida NOx 2.300 mg/Nm3
Karbon Monoksida CO 168 mg/Nm3
total partikulat 90 mg/Nm3
Sulfur Dioksida SO2 150 mg/Nm3
Gas Nitrogen Oksida NOx 285 mg/Nm3
Karbon Monoksida CO 250 mg/Nm3
Sulfur Dioksida SO2 60 mg/Nm3
Catatan:
 Volume gas diukur dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm) pada
kondisi kering dan semua parameter dikoreksi sebesar 15% (lima belas
persen).
 Nitrogen Oksida (NOx) ditentukan sebagai NO2 + NO.

Tabel 27 Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Sampah Secara Termal

No. Parameter Satuan Batas Maksimum


1 Total Partikulat mg/Nm3 120
2 Sulfur Dioksida SO2 mg/Nm3 210
3 Oksida Nitrogen NOx mg/Nm3 470
4 Hidrogen Klorida HCI mg/Nm3 10
5 Merkuri Hg mg/Nm3 3
6 Karbon Monoksida CO mg/Nm3 625
7 Hidrogen Fluorida HF mg/Nm3 2
8 Dioksin & Furan mg/Nm3 0,1

Keterangan:
 Volume gas diukur dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1
(satu) atmosfer).
 Semua parameter dikoreksi dengan Oksigen (O2) sebesar 11%
(sebelas persen).

257
 Pengukuran dioksin dan furan dilakukan setiap 5 (lima) tahun
sekali.
Setelah Anda mengetahui pengertian dan ruang lingkup rencana tindak
lanjut maka Anda akan siap dan dapat diukur hasilnya untuk melakukan
tahap penyusunan rencana tindak lanjut pada materi berikutnya.

258
Materi Pokok 2: Pengelolaan Limbah Cair Fasyankes

A. Pendahuluan
Pengelolaan air limbah adalah proses penanganan limbah cair dari sumber
penghasil, penyaluran hingga pengolahannya termasuk pengawasan,
pencatatan dan pelaporan sehingga memenuhi baku mutu efluen yang
berlaku dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan hidup.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan
pengelolaan limbah cair Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 2:
1. Pengelolaan limbah cair Fasyankes:
- Pengurangan
- Penanganan pada sumber
- Penyaluran
- Pengolahan primer, sekunder, tersier
- Penyusunan prosedur
- Penanganan masalah IPAL

D. Uraian Materi

“Sebelum mempelajari tentang pengelolaan limbah cair Fasyankes, apakah


Anda pernah terlibat dalam pengelolaan limbah cair Fasyankes, cobalah
mengingat dan ceritakan pengalaman Anda!”

Pengelolaan limbah cair terdiri atas beberapa tahapan, meliputi


pengurangan, penanganan pada sumber, penyaluran, dan pengolahan.
259
Pengurangan limbah cair ditujukan untuk mengurangi dampak akibat
penggunaan air, baik dampak kesehatan, lingkungan, maupun ekonomi.
Beberapa praktik pengurangan limbah cair yang dapat dilakukan antara lain:
● Penghematan dalam pemakaian air, sehingga limbah cair yang
dihasilkan minimal.
● Pemilahan antara limbah cair domestik dan limbah cair yang
mengandung bahan berbahaya dan beracun, sehingga risiko bagi
lingkungan, kesehatan dan pembiayaan dapat minimal.
● Pemanfaatan kembali limbah cair yang telah diolahdan memenuhi baku
mutu, sehingga mengurangi konsumsi air bersih.
Penanganan pada sumber limbah cair dilakukan terhadap kegiatan yang ada
di fasilitas pelayanan kesehatan, upaya penanganan tersebut antara lain
dilakukan dengan:
● Menyediakan prosedur standar pembuangan air
● Menyediakan wadah khusus untuk limbah kimia B3
● Menyediakan saringan pada lubang pembuangan limbah cair
Penyaluran limbah cair dilakukan untuk menyalurkan limbah cair dari sumber
ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Beberapa yang harus
diperhatikan dalam penyaluran adalah kemiringan saluran, kecepatan alir
dan sumur pemeriksaan.
Kemiringan saluran, saluran limbah cair harus cukup miring untuk
memastikan aliran air lancar, sesuai tingkat kemiringan berikut:
Tabel 28 Tingkat kemiringan saluran limbah cair
Ukuran Pipa (inchi) Kemiringan Minimal Per 100 feet jarak
8 0,400
10 0,280
12 0,220
14 0,170
16 0,150
18 0,120
21 0,100
24 0,080
7 0,067
30 0,058
36 0,046

260
Kecepatan alir, kriteria kecepatan alir dalam penyaluran limbah cair
berdasarkan jenis benda yang mungkin ada di dalam cairan untuk menjamin
aliran air lancar adalah sebagai berikut:

Tabel 29 Kriteria kecepatan alir dalam saluran limbah cair


Jenis Benda dalam Cairan Kecepatan Alir (m/detik)
Lumpur 0,10
pasir yang halus 0,15
pasir kasar 0,20
kerikil halus 0,30
kerikil kasar 0,70
batu-batuan 1,20

Sumur pemeriksaan adalah lubang yang digunakan untuk pengawasan


aliran. Kondisi yang memerlukan sumur pemeriksaan antara lain tempat-
tempat yang terdapat perubahan arah aliran saluran limbah cair atau pada
belokan serta pada tempat yang salurannya mendapatkan tambahan aliran
dari pipa lain atau pada sambungan. Apabila saluran tersebut merupakan
saluran yang lurus, maka lubang pemeriksaan ditempatkan pada jarak
tertentu sesuai ukuran pipa, meliputi:
Tabel 30 Kriteria sumur pemeriksaan
Jarak antar sumur (m) Diameter saluran (cm)
50-100 20-50
101-125 51-100
126-150 101-200
200 > 200

Pemantauan pengelolaan limbah cair antara lain adalah:

Gambar 14 Komponen pemantauan pengelolaan limbah cair


261
Pengolahan
1) Prinsip
Menghilangkan atau mengurangi kontaminan yang terdapat di dalam
limbah cair sehingga hasil olahan limbah dapat dimanfaatkan kembali atau
tidak mengganggu lingkungan apabila dibuang ke lingkungan.
2) Tujuan
Tujuan pengolahan limbah cair, antara lain:
- Mengurangi jumlah padatan tersuspensi
- Mengurangi jumlah padatan terapung
- Mengurangi bahan organik
- Membunuh bakteri pathogen
- Mengurangi jumlah bahan kimia yang berbahaya dan beracun
- Mengurangi unsur nutrisi (N dan P) yang berlebihan
- Mengurangi unsur lain yang dianggap dapat memberikan dampak
negatif
3) Tahapan Pengolahan
Tahapan pengolahan limbah cair secara umum, khususnya Limbah cair
rumah sakit meliputi pengolahan pendahuluan, primer, sekunder, tersier,
disinfeksi, dan pengolahan lumpur.
• Pengolahan Pendahuluan (Pre-treatment)
Pengolahan pendahuluan dilakukan untuk mengurangi beban
pengolahan, menahan benda atau zat yang dapat mengganggu, dan
mengkondisilkan agar limbah cair yang masuk ke dalam proses
berikutnya sesuai dengan kemampuannya. Beberapa pengolahan
pendahuluan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pengumpulan secara terpisah untuk limbah kimia dari
laboratorium, radiologi, dan farmasi, khususnya kimia fotografi,
aldehid (formaldehid dan glutaraldehid), pewarna dan farmasi
untuk diolah secara khusus pengolahan Limbah kimia.

262
2. Netralisasi asam-basa, penyaringan untuk menahan sedimen,
atau autoclaving sampel pasien sangat infeksius untuk Limbah cair
yang berasal dari laboratorium klinik.
3. Grease trap (penangkap lemak) dapat dipasang untuk
menghilangkan lemak, minyak dan zat terapung lainnya dari
Limbah cair dapur. Lemak yang terkumpul dibuang setiap 2-4
minggu.
4. Pengumpulan cairan tubuh dengan kuantitas sedikit, baik darah,
cairan tubuh, dan cairan pembersih dari ruang operasi dan rawat
intensif untuk kemudian dapat dibuang IPAL.
5. Screen, ditujukan untuk menyaring benda yang berukuran besar
seperti sampah, lemak, kerikil atau pasir. Bar screen terdiri dari
batang baja. Penggolongan bar screen meliputi kasar, halus, dan
sedang tergantung dari jarak antar batang (bar). Saringan halus
(fine screen) jarak antar batang 1,5-13 mm, saringan sedang
(medium screen) jarak antar batang 13-25 mm, dan saringan kasar
(coarse screen) jarak antar batang 32-100 mm. Saringan halus
(fine screen) terdiri dari fixed screen atau static screen dipasang
permanen dengan posisi vertical, miring atau horizontal.

Gambar 15 Bentuk screens

• Pengolahan Primer (Primary Treatment)


Pengolahan primer bertujuan untuk menghilangkan zat padat
tersuspensi melalui pengendapan (sedimentasi) atau pengapungan
(floatasi). Proses pengendapan tahap pertama ini biasanya
menggunakan cara gravitasi untuk mengendapkan partikel yang ada.

263
Alat yang digunakan biasa tangki sedimentasi/floatasi. Pengendapan
dapat dilakukan pada tangki dengan bentuk persegi atau silinder.

Gambar 16 Tangki pengendapan

• Pengolahan Sekunder (Secondary Treatment)


Pengolahan sekunder bertujuan untuk mengurangi kadar bahan
organik di dalam limbah cair dengan menggunakan proses biologi,
mikroorganisme aerob. Beberapa teknologi proses pengolahan
sekunder untuk air limbah rumah sakit yang sering digunakan antara
lain: biomasa tersuspensi seperti: proses lumpur aktif (activated
sludge process), proses biomasa melekat seperti: reaktor putar
biologis (rotating biological contactor, RBC), proses aerasi kontak
(contact aeration process), proses pengolahan "biofilter anaerob-
aerob".
Di bawah ini klasifikasi proses pengolahan limbah cair secara biologis
yang dapat menjadi alternatif pilihan teknologi untuk mengolah limbah
cair rumah sakit.

264
Gambar 17 Klasifikasi proses pengolahan air limbah secara biologis

Di dalam memilih teknologi, salah satu aspek yang harus diperhatikan


adalah efisiensi penghilangan BOD. Di bawah ini gambaran efisiensi
menurut jenis proses.

Tabel 31 Efisiensi penghilangan BOD menurut jenis proses

Kelompok Proses Efisiensi (%) Keterangan


Lumpur aktif 85 – 95 -
standar
Step Aeration 85 – 95 Untuk beban
pengolahan yang
besar.
Modified 60 – 75 Untuk beban
Aeration pengolahan ualitas
air olahan sedang.
Biomassa
Contact 80 – 90 Untuk pengolahan
Tersuspensi
Stabilization paket, dan
mereduksi ekses
lumpur.
High Rate 75 – 90 Untuk pengolahan
Aeration paket, bak aerasi
dan pengendap akhir
merupakan satu
paket. Memerlukan
area yang kecil.
Pure Oxygen 85 – 95 Untuk pengolahan
Process air limbah yang sulit
265
Kelompok Proses Efisiensi (%) Keterangan
diuraikan secara
biologis. Luas area
yang dibutuhkan
kecil.
Oxidation Ditch 75 – 95 Konstruksinya
mudah, tetapi
memerlukan area
yang luas.
Trickling Filter 80 – 95 Sering timbul lalat
dan bau. Proses
operasinya mudah.
Rotating 80 – 95 Konsumsi energi
Biological rendah, produksi
Contactor lumpur kecil. Tidak
memerlukan proses
Proses Biomassa aerasi.
Melekat Contact Aeration 80 – 95 Memungkinkan
Process untuk penghilangan
nitrogen dan
phospor.
Biofilter 65 – 85 Memerlukan waktu
Anaerobic tinggal yang lama,
lumpur untuk reaksi
biologi hanya
terbentuk sedikit.
Memerlukan waktu
tinggal yang cukup
Lagoon Kolam stabilisasi 60 – 80 lama, dan area yang
dibutuhkan sangat
luas.

• Metode Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge)


Prinsip: metode lumpur aktif melakukan proses degradasi cemaran
dengan menggunakan lumpur aktif. Lumpur aktif berarti lumpur yang
kaya akan bakteri aerob. Proses yang terjadi dalam bak aerasi adalah
proses biologi yang bekerja dengan memanfaatkan pertumbuhan
mikroorganisme secara tersuspensi dalam limbah cair untuk
mendekomposisi materi organik.
Proses degradasi berlangsung di dalam tangki selama beberapa jam
(waktu tinggal), dibantu dengan pemberian gelembung udara aerasi
(pemberian oksigen). Aerasi dapat mempercepat kerja bakteri dalam
mendegradasi Limbah. Untuk keberlangsungan proses aerasi,
266
dilakukan suplai udara untuk mentransfer oksigen ke dalam limbah cair
dengan bantuan mesin blower (aerator) yang memanfaatkan tenaga
listrik selama 24 jam.
Untuk mencapai transfer oksigen yang maksimal dan merata, maka
pada dasar bak aerasi biasanya dipasang diffuser yang dihubungan
dengan pipa dari mesin blower. Diffuser ini akan memecah udara yang
disuplai menjadi ukuran kecil berbentuk bubble. Hasil proses ini
terbentuk flok biologi (biofloc) yang terbentuk dari sisa padatan yang
tidak terproses dan mikroorganisme. Semakin baik proses aerasi,
semakin banyak terbentuk biofloc yang berarti semakin mencapai
kinerja pengolahan yang diinginkan. Bioflok yang terbentuk selanjutnya
secara overflow akan diendapkan di bak pengendapan akhir.
Proses pengolahan dengan lumpur aktif dilengkapi dengan proses
sebelum tangki aerasi, seperti screening, sedimentasi awal, aerasi,
sedimentasi akhir, pengolahan lumpur, dan disinfeksi. Gambaran
proses pengolahan dengan lumpur aktif dapat dilihat pada bagan alir
berikut.

Gambar 18 Pengolahan limbah cair metode lumpur aktif

Kelebihan:
- Pengoperasian dan perawatannya mudah
- Dapat mengolah limbah cair dengan beban BOD yang besar

267
- Dapat dipasang beberapa tahap (multi stage), sehingga tahan
terhadap fluktuasi beban pengolahan
- Reaksi nitrifikasi lebih mudah terjadi, sehingga efisiensi
penghilangan amonium lebih besar
Kelemahan:
- Kadang-kadang konsentrasi BOD air olahan masih tinggi.
- Terjadi bulking atau buih (foam) seperti pda lumpur aktif.

• Proses Aerasi Kontak


Merupakan model pengolahan pengembangan proses pengolahan
limbah cair lumpur aktif, namun menggunakan biofilter pada bak proses
biologi untuk menghilangkan senyawa organik berupa anoksik dan bak
aerasi.
Limbah cair yang sudah terkurangi bebannya, kemudian diolah lagi
dalam bak aerasi yang dilengkapi biofilter. Bahan biofilter ini sama
dengan bak anoksik. Proses biologi dalam bak ini dilakukan oleh
mikroorganisme aerob dibantu suplai oksigen dari blower yang dipecah
membentuk bubble (gelembung kecil) dengan bantuan diffuser. Hasil
proses adalah tumbuhnya biofilm mikroorganisme pada permukaan
biofilter (attached growth system).
Kontak Limbah cair dengan oksigen terjadi secara merata dengan
melakukan pengadukan menggunakan tiupan udara dari blower.
Mikroorganisme aerob akan menguraikan senyawa organic dalam
Limbah cair melalui kontak dalam biofilter, sehingga beban organik
akan semakin kecil.
Proses nya terdiri atas saringan kasar, pengendapan awal, kontak
anoksik. Kontak aerasi dengan biofilter, klorinasi, stabilisasi lumpur.

268
Gambar 19 Pengolahan limbah cair metode lumpur aktif

Kelebihan:
- Lahan yang dibutuhkan relatif lebih kecil
- Pengoperasiannya sangat mudah
- Biaya operasional rendah
- Dibandingkan lumpur aktif, lumpur yang dihasilkan relative lebih
sedikit
- Dapat menghilangkan nitrogen dan fosfor yang dapat
menyebabkan eutrofikasi pertumbuhan yang tidak terkendali
pada tanaman air (gulma)
- Suplai udara untuk aerasi lebih sedikit
- Dapat digunakan untuk Limbah cair dengan beban BOD yang
cukup besar
Kelemahan:
- Dalam proses diperlukan bahan tambahan berupa biofilter
- Biaya investasi relative lebih besar
- Pada keadaan jenuh dengan biofilm yang sudah tebal, maka
biofilter harus dibersihkan agar bekerja optimum.

269
• Metode Proses Reaktor Biologis Putar (Rotating Biological Contactor)
Prinsip: metode proses reaktor biologis putar ini memanfaatkan
mikroorganisme aerob seperti bakteri, alga, protozoa, fungi dan lainnya
tumbuh melekat pada permukaan media yang berputar perlahan
membentuk suatu lapisan yang terdiri dari mikroorganisme yang
disebut biofilm (lapisan biologis). Mikroorganisme ini akan
menguraikan/ mendekomposisi senyawa organik yang ada di dalam
limbah cair serta mengambil oksigen yang larut dalam air atau dari
udara untuk proses metabolismenya, sehingga kandungan senyawa
organik akan dapat berkurang.
Piringan dapat tersusun secara berjajar pada suatu poros sehingga
membentuk suatu modul atau paket, selanjutnya modul tersebut
diputar secara perlahan dalam keadaan tercelup sebagian ke dalam
limbahcair yang mengalir secara kontinyu ke dalam reaktor tersebut.
Pada saat biofilm yang sarat dengan mikroorganisme yang melekat
pada media tercelup ke dalam Limbah cair, mikroorganisme akan
menguraikan senyawa organik yang kompleks menjadi lebih
sederhana. Kemudian pada saat piringan dengan biofilm berputar pada
sisi di atas permukaan (udara bebas), maka mikroorganisme akan
menyerap oksigen di udara bebas sebagai energi.
Proses pengolahan dengan metode reaktor biologis putar ini dilengkapi
dengan proses sebelum tangki RBC, seperti screening, sedimentasi
awal, aerasi, sedimentasi akhir, pengolahan lumpur, dan disinfeksi.
Gambaran proses pengolahan dengan proses kontak biologis putar
dapat dilihat pada bagan alir berikut.

270
Gambar 20 Pengolahan limbah cair metode reaktor biologis putar

Kelebihan:
- Pengoperasian alat dan perawatannya mudah
- Untuk kapasitas kecil/paket, dibandingkan dengan proses
lumpur aktif konsumsi energi lebih rendah
- Dapat dipasang beberapa tahap (multi stage), sehingga tahan
terhadap fluktuasi beban pengolahan
- Reaksi nutrifikasi lebih mudah terjadi, sehingga efisiensi
penghilangan ammonium lebih besar
- Tidak terjadi bulking atau buih (foam) seperti pada lumpur aktif.
Kelemahan:
- Pengontrolan jumlah mikroorganisme sulit dilakukan
- Sensiti terhadapperubahan suhu
- Kadang konsentrasi BOD air olahan masih tinggi
- Dapat menimbulkan pertumbuhan cacing rambut, ataupun bau
yang tidak sedap

• Filter Anaerob Aliran Ke Atas (Anaerobic Upflow Fliter)


Prinsip: pengoperasian filter anaerob adalah melewatkan air buangan
dengan kecepatan rendah melalui kolom berisi materi terkemas yang akan
menjadi bidang lekat mikroorganisme. Air buangan mengalir dari bawah
keatas dalam kolom melewati rongga diantara media, dan berkontak

271
dengan lapisan biologi berupa bakteri anaerob yang tumbuh dan tertahan
pada permukaan media padat dan pada rongga rongga tersebut.
Filter anaerob dioperasikan dengan aliran vertikal ke atas untuk menjamin
perendaman media di dalam air buangan yang memasukinya, sehingga
diperoleh kondisi anaerob. Karena bakteri tertahan pada media dan tidak
terlepas pada efluen maka jumlah biomassa dalam sistem menjadi sangat
besar dan dapat diperoleh umur lumpur yang panjang.
Mekanisme penahanan mikroorganisme ini dapat menghasilkan umur
lumpur ≥100 hari. Jumlah biomassa dalam sistem juga merupakan fungsi
diameter media penahan. Biasanya digunakan media batuan dengan
diameter 3-6 cm tetapi penggunaan partikel yang lebih kecil dapat
meningkatkan jumlah biomassa dalam sistem.
Konsep filter anaerob dibentuk dari kolom filter vertikal berisi materi inert
yang berfungsi sebagai permukaan penahan tetap untuk peletakan
lapisan mikroorganisme, media padat yang dipergunakan dapat berupa
batu kerikil ataupun plastik. Untuk kapasitas filter 0,05 m3/or/hr, spesifikasi
agregat yang memuaskan adalah 3-6 mm untuk filter ini efektif dan praktis
digunakan sebagai metoda pengolahan lanjutan untuk enfuen tangki
septik.
Proses pengolahan dengan metode Filter Anaerob Aliran Ke Atas ini
dilengkapi dengan proses sebelum tangki Anaerob, seperti screening,
sedimentasi awal, Anaerob Filter, sedimentasi akhir, pengolahan lumpur,
dan disinfeksi. Gambaran proses pengolahan dengan proses Fiter
Anaerob dapat dilihat pada bagan alir berikut.

272
Gambar 21 Pengolahan limbah cair metode anaerob aliran ke atas
Kelebihan:
- Sangat sesuai untuk pengolahan air buangan terlarut.
- Tidak memerlukan resirkulasi karena massa organisme tinggi
dalam filter memungkinkan pengolahan air buangan berkekuatan
lemah pada suhu udara bebas sehingga tidak diperlukan
pemanasan.
- Volume lumpur yang dihasilkan kecil.
Kelemahan:
- Sebaiknya filter anaerob hanya digunakan untuk mengolah
buangan terlarut sebab bila digunakan untuk mengolah buangan
yang mengandung suspended solid dapat tejadi pemampatan.
- Distribusi aliran menjadi masalah bila konsentrasi biomassa
meningkat sampai mencapai titik yang menyebabkan terbentuknya
saluran-saluran dalam sistem. Kondisi ini menyebabkan waktu
pembersihan filter menjadi pendek.
- Belum diperoleh teknik yang tepat dalam pembersihan media.

• Biofilter Anaerob-Aerob
Prinsip: Pengolahan Limbah cair dengan proses biofilter anaerob-aerob
adalah proses pengolahan air Limbah dengan cara menggabungkan
proses biofilter anaerob, polutan organik yang ada di dalam Limbah cair
akan terurai menjadi gas karbon dioksida dan methan tanpa
273
menggunakan energi (blower udara), tetapi amoniak dan gas hydrogen
sulfide (H2S) tidak hilang.
Jika hanya menggunakan proses biofilter anaerob saja hanya dapat
menurunkan polutan organic (BOD, COD) dan padatan tersuspensi (TSS).
Supaya hasil air olahan dapat memenuhi baku mutu, maka air olahan dari
proses anaerob diproses menggunakan aerob, sehingga polutan organik
yang masih tersisa akan terurai menjadi gas karbon dioksida (CO2) dan
air (H2O). Amoniak akan teroksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi
nitrat, sedangkan gas H2S akan diubah menjadi sulfat.
Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah akan terdifusi ke dalam
lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada
saat bersamaan, dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air
Limbah, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme
yang ada di dalam air limbah, senyawa polutan akan diuraikan oleh
mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang
dihasilkan akan diubah menjadi biomassa.
Pada zona aerobik, ammonium akan dibuah menjadi nitrit dan nitrat.
selanjutnya pada zona anaerobik, nitrat yang terbentuk mengalami proses
denitrifikasi menjadi gas nitrogen karena di dalam sistem biofilm terjadi
kondisi anaerobik dan aerobik pada saat yang bersamaan, maka dengan
sistem tersebut proses penghilangan senyawa nitrogen menjadi lebih
mudah.
Proses pengolahan dengan metode Biofilter Anaerob-Aerob ini dilengkapi
dengan proses sebelumnya, seperti screening, sedimentasi awal, Biofilter
Anaerob-Aerob, sedimentasi akhir, pengolahan lumpur, dan disinfeksi.
Gambaran proses pengolahan dengan proses Biofiter Anaerob-Aerob
dapat dilihat pada bagan alir berikut.

274
Gambar 22 Pengolahan limbah cair metode biofilter anaerob-aerob
Kelebihan:
- Pengoperasian dan perawatannya mudah.
- Proses pengolahan sangat sederhana.
- Dapat mengolah limbah cair dengan beban organik tinggi.
- Dapat menghilangkan nitrogen dan fosfor.
- Suplai oksigen relatif kecil.
- Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit.
- Tahan terhadap shock loading.
- Tidak menggunakan bahan kimia.
Kelemahan:
- Biaya investasi lebih mahal.
- Menghasilkan bau metana dan sulfida pada bak anaerob.

• Pengelolaan Tersier (Tertiary Treatment)


Pengolahan tersier merupakan pengolahan lanjutan dari pengolahan
sekunder, antara lain pengolahan lumpur dan disinfeksi.
Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Setiap tahap pengolahan limbah cair, baik primer maupun sekunder akan
menghasilkan endapan polutan berupa lumpur. Lumpur tersebut tidak
dapat dibuang secara langsung, melainkan perlu diolah lebih lanjut.
Beberapa cara pengolahan lumpur meliputi: bak pengering lumpur, bak
stabilisasi lumpur, dan mesin pengering lumpur.
275
a) Bak Pengering Lumpur
Bak pengering lumpur adalah bak yang berisi media saring tersusun
seperti kerikil, pasir dan ijuk. Media ini disusun secara berurutan dari
bawah bak mulai dengan ijuk, kerikil dan pasir dengan ketebalan
berimbang tergantung pada ketinggian dinding bak. Proses
pengeringan dilakukan dengan cara memindahkan lumpur dari bak
sedimentasi dan pra sedimentasi dengan pompa dan disebarkan di
atas media bak pengering lumpur. Pada lumpur yang terhampar di
permukaan media ini, kandungan air akan terpisah secara gravitasi,
turun ke dasar bak, dan selanjutnya dengan pipa yang terpasang, air
dikembalikan ke bak sedimentasi.

Gambar 23 Bak pengering lumpur

b) Bak Stabilisasi Lumpur (Sludge Stabilization)


Bak ini berfungsi untuk menampung lumpur dari IPAL yang dipindahkan
menggunakan pompa. Proses stabilisasi dilakukan dengan cara
memberikan suplai udara (oksigen) dengan menggunakan mesin
blower ke dalam badan lumpur secara merata. Pewmberian oksigen ini
akan menciptakan proses penguraian senyawa organik dan anorganik
sehingga struktur materi lumpur akan lebih stabil.

c) Mesin Pengering Lumpur


Bentuk alatnya adalah berupa mesin press yang secara mekanik
menggunakan energi listrik. Proses kerjanya adalah lumpur cair
dimasukkan ke dalam mesin press dengan menggunakan pompa.
276
Lumpur cair ditekan/press secara mekanik sehingga kandungan air
terpisah, sementara lumpurnya akan mengering sampai membentuk
cake.

• Disinfeksi (Disinfection)
Desinfeksi atau pembunuhan kuman bertujuan untuk membunuh atau
mengurangi mikroorganisme patogen yang ada dalam limbah cair.
Meknisme desinfeksi dapat secara kimia, yaitu dengan menambahkan
senyawa/zat tertentu, atau dengan perlakuan fisik. Proses desinfeksi pada
limbah cair biasanya dilakukan setelah proses pengolahan limbah selesai,
yaitu setelah pengolahan primer, sekunder atau tersier, sebelum limbah
dibuang ke lingkungan.
Beberapa mekanisme disinfeksi pada Limbah cair adalah penambahan
klorin (klorinasi), penyinaran dengan sinar ultra violet (UV), dan ozon
(O3).
Klorinasi adalah proses mengontakkan senyawa disinfektan dengan air
limbah untuk membunuh mikroorganisme pathogen di dalam air Limbah.
Senyawa disinfektan yang sering digunakan adalah senyawa klorin seperti
Kalsium hipoklorit atau Sodium/Natrium hipoklorit. Waktu kontak atau
waktu tinggal di dalam bak klorinasi berkisar antara 10-15 menit. Cara
pembubuhan senyawa disinfektan dapat dilakukan dengan menggunakan
pompa dosing atau secara manual dengan pembubuhan secara gravitasi.
Selain itu, proses disinfeksi pembubuhan senyawa klorin adalah untuk
mereaksikan amoniak menjadi kloramin.

277
Tabel 32 Permasalahan dan solusi operasional IPAL

Gejala Kemungkinan Penyebab Tindakan Penyelesaian


Banyak busa Aerasi berlebihan Kurangi waktu aerasi
Sedikit lumpur Biasanya terjadi pada permulaan operasi
Banyak kandungan deterjen Kurangi/kendalikan busa sebelum masuk ke IPAL
Menggunakan deterjen non- Mengganti dengan deterjen biodegradable
biodegradable Menggunakan spray pada tangka aerob
IPAL tidak bekerja Kesalahan pengesetan waktu Periksa sistem kelistrikan
secara otomatis Saklar beban turun Tekan tombol reset
Saklar otomatis pompa celup rusak Sering memeriksa saklar otomatis pada pompa
celup dan segera menggganti kalau rusak
Lumpur terkumpul di Pompa lumpur tidak cukup untuk Cek pompa dari kemungkinan tersumbat
permukaan membuang lumpur Periksa dan bersihkan penangkap lemak jika
Jumlah lemak yang terlalu banyak diperlukan
Tidak memiliki tangki pre-treatment Melengkapi tangki pre-treatment secara benar
yang benar dan lengkap
Banyak lumpur Pompa lumpur tidak dapat membuang Cek volume lumpur dan saluran udara dan tabung
melewati saluran lumpur, sehingga lumpur terlalu pompa dari tersumbat
pembuangan banyak di tangki Cek aliran limbah dan volume
Beban air limbah melebihi kapasitas Analisa limbah terhadap BOD dan lumpur
IPAL Membuat tangki pre-treatment yang benar dan
Tidak memiliki tangki pre-treatment lengkap
yang baik dan benar Memperbaiki fitting yang salah pada tangka
Tingkat penurunan Jumlah lumpur aktif terlalu sedikit Cek konsentrasi dan warna lumpur aktif
kandungan BOD/ COD Meningkatkan MLSS dengan menambah makanan
terlalu kecil glukose, molase
Menaikkan volume return sludge ke bak aerasi
Aerasi dan kebutuhan oksigen tidak Naikkan tingkat/durasi suplai oksigen
cukup

278
Gejala Kemungkinan Penyebab Tindakan Penyelesaian
Limbah yang masuk tidak dapat Periksa sumber limbah, lakukan pengolahan
didegradasi (COD: terlalu tinggi; BOD: pendahuluan
o.k.)
Tingkat penurunan Tahap Start-up Menaikan kandungan oksigen di bak aerasi
Nitrogen terlalu kecil Meningkatkan waktu tinggal air limbah di bak aerasi.
Menambah suplai oksigen di bak efluen
Menambah unit biofilter
Meningkatkan konsentrasi kaporit pada bak efluen
Kandungan Ammonia Umur lumpur masih pendek Cek konsentrasi lumpur aktif
yang tinggi di efluen Pemeriksaan secara visual
Turunkan jumlah pembuangan lumpur
Kapasitas Nitrifikasi terlalu kecil Naikkan tingkat aerasi
Menambahkan dosis klor di tangki disinfeksi
Menggunakan Detergen yang tidak Mengganti dengan detergen yang ramah lingkungan
ramah lingkungan (ABS) (Bahan Dasar ALS)
Kandungan Fosfor Konsentrasi terlalu tinggi pada Pergunakan presipitasi dengan lime (kapur), ferric
melewati batas penurunan secara biologis chloride (FeCl3)

(lihat juga: bagian persiapan dan pemberian dosis


bahan kimia)
Proses monitoring MLSS pada bak erasi di jaga
sesui kriteria.
Pemberian dosis ferric chloride tidak Cek larutan dalam tangki dosis, sistem dosing dan
bekerja kapasitas dosis
Sludge Bulking: Lumpur aktif Cara sederhana: Tambahkan Poly-Electrolite atau
Terdapat lumpur di Menggunakan bakteri yang tidak Ferric Chloride untuk memperbaiki pengendapan
effluent sesuai dengan bakteri yang ada di
IPAL

Lumpur tidak mau Terlalu tinggi beban organik (kg BOD Periksa sumber yang punya beban tinggi; turunkan
mengendap tiap hari) beban organik
279
Gejala Kemungkinan Penyebab Tindakan Penyelesaian
Kurangnya waktu tinggal air Limbah di Menambah waktu tinggal didalam tangka
dalam tangka (menambah volume tangki)
pH rendah Perbaiki pH dengan menambah kapur tohor (add
lime or hydrated lime)
Tumbuh bakteri filamentos Cek komposisi limbah untuk BOD, Nitrogen dan
Phosphorus
Dalam hal presipitasi Phosphorus: Cek tingkat
dosisnya
Terdapat racun pada Inflow Identifikasi sumbernya; lakukan pengolahan
pendahuluan
Terlalu tinggi tingkat aerasinya Kurangi aerasi pada saat aliran influen sedikit
(malam hari)
Lumpur tidak mau Terlalu tinggi beban organik (kg BOD Periksa sumber yang punya beban tinggi; turunkan
mengendap tiap hari) beban organik
Kurangnya waktu tinggal air Limbah di Menambah waktu tinggal didalam tangka
dalam tangka (menambah volume tangki)
pH rendah Perbaiki pH dengan menambah kapur tohor (add
lime or hydrated lime)
Tumbuh bakteri filamentos Cek komposisi limbah untuk BOD, Nitrogen dan
Phosphorus
Dalam hal presipitasi Phosphorus: Cek tingkat
dosisnya
Terdapat racun pada Inflow Identifikasikan sumbernya; lakukan pengolahan
pendahuluan
Terlalu tinggi tingkat aerasinya Kurangi aerasi pada saat aliran influen sedikit
(malam hari)
Terdapat endapan pada Terlalu banyak endapan di tangki Perbanyak pengambilan lumpur. Sehingga jarak
efluen biologis sehingga endapan mengalir permukaan lumpur paling atas dengan limpahan air
Pengendapan bersama efluen pada saat akhir buangan tidak kurang dari 40 cm pada saat akhir
lumpurnya bagus decanting decanting

280
Gejala Kemungkinan Penyebab Tindakan Penyelesaian
Terdapat endapan di Untuk lumpur tua: Waktu tinggal Turunkan umur lumpur dengan cara meningkatkan
efluen (pin-point size) lumpur dalam tangki terlalu lama banyaknya pembuangan lumpur
Untuk sistem yang lebih dari satu Kurangi tangki lumpur aktif yang beroperasi selama
tangki lumpur aktif: tidak tersedia inflow limbah masih sedikit
cukup limbah yang diolah untuk
beroperasi
Rising Sludge: Terlalu tinggi tingkat aerasinya Turunkan kapasitas aerasi
Pengendapan bagus
tapi muncul lagi ke
permukaan
Reaksi denitrifikasi terjadi setelah Cek komposisi limbah yang diolah dan lumpurnya /
pengendapan konsentrasi endapan dalam tangki
TSS terlalu tinggi Pengendapan yang tidak sempurna Memperbesar volume bak sedimentasi.
Kualitas lumpur pada bak aerasi tidak Menambah unit filtrasi.(sand filter, karbon filter)
sempurna Mengatur debit pada inlet apabila kapasitas masih
Tidak tersedia tangka pendahuluan memungkinkan
yang lengkap Membuat tangki pendahulan yang lengkap dan
benar
Waktu tinggal air Limbah di dalam tangka kurang
Bau busuk di tangki Kondisi anaerobik di tangki Salah Tingkatkan kapasitas aerasi
(bau telur busuk) pemasangan fitting da tangki Memperbaiki fitting di dalam tangka
Jumlah lumpur aktif terlalu sedikit Cek konsentrasi endapan dan aktifitas biologisnya
(penurunan kandungan BOD)
Perhitungan bakteri coli Sisa chlorine terlalu rendah Tingkatkan debit chlorine
tidak memenuhi
(dibawah) standar
desinfeksi
Tidak cukupnya kontrol klorin residu Cek perlengkapan dan prosedur untuk menentukan
chlorine residu
Terdapat endapan di kolam desinfeksi Bersihkan kolam desinfeksi
Debit air melewati tembok pembatas Cek muka air dan pipa keluarnya
281
Gejala Kemungkinan Penyebab Tindakan Penyelesaian
Kapasitas klorinasi terlalu rendah Dibutuhkan kapasitas dosis yang lebih tinggi
Tidak dapat Debit dosis terlalu kecil Perbesar debit dosis
memperoleh chlorine
residu
Kebutuhan bahan kimia yang banyak Cek kualitas air buangan terolah dan air buangan
yang masuk
Hasil tes berubah-ubah Tambahkan asam sulfat pada sampel
Dosis maksimum tidak dapat dicapai Cek sistem dosis:
tekanan gas, bocor
ada kotoran di injektor
injektor aliran air
lihat petunjuk dari pabrik!
Terdapat variasi yang Meter pengukur aliran chlorine terlalu Gunakan yang berkapasitas besar
lebar pada residual kecil
chlorine efluen
Kurang teraduknya antara air Cek peralatan pengaduk dan instalasinya
buangan terolah dengan air yang
mengandung chlor
Terlalu tinggi chlorine Cek dosis yang cocok Pasang instalasi penurun chlor
yang dilepas di
lingkungan

282
“Setelah Anda mengetahui tahap dan penyusunan rencana tindak lanjut maka
Anda akan siap untuk melakukan penyusunan rencana tindak lanjut dengan
detail untuk pelaksanaan kegiatan pada saat Anda bertugas.”

283
MPI 4 Pengelolaan Limbah Medis Dan Situasi Khusus

284
285
Materi pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi khusus atau
darurat merupakan materi yang harus disampaikan dengan metode ceramah
interaktif dan tanya jawab serta studi kasus dan simulasi. Pengelolaan limbah
Fasyankes dalam situasi darurat seperti pada kondisi bencana alam, konflik,
sarana pengolah yang tidak berfungsi, dan kendala atau permasalahan
sistem. Limbah Fasyankes pada kondisi tersebut memerlukan prosedur
khusus untuk pengelolaannya. Situasi khusus atau darurat merupakan
kejadian di luar keadaan normal yang tidak diinginkan terjadi pada suatu
tempat yang cenderung membahayakan manusia dan merusak lingkungan
sekitarnya, kejadian ini berpotensi terjadi secara mendadak dan tidak
terduga, terjadi dimana saja dan kapan saja, mengganggu aktivitas normal,
berdampak negatif dan membutuhkan penanggulangan segera serta
sebagian bisa dicegah, sebagian lagi tidak.
Beberapa kejadian khusus atau darurat terjadi di Indonesia yang
hampir setiap tahun mengalami bencana alam yang memprihatinkan.
Bencana alam ini mengakibatkan banyak korban dan pengungsi akan tetapi
pemerintah dan beberapa bantuan kemanusiaan turut meringankan beban
masyarakat dalam penanganan bencana tersebut, termasuk salah satunya
dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan pada situasi bencana
sangat sulit dilakukan bila mengacu pada prosedur kondisi normal, demikian
halnya dalam menangani sampah medis dari pelayanan kesehatan di daerah
pengungsian. Limbah medis dengan volume yang cukup besar akan menjadi
tugas tambahan yang harus dikelola sesuai regulasi oleh penghasil baik oleh
pemerintah dan swasta maupun instansi lain, sehingga risiko kesehatan
dapat terkendali.
Permasalahan lainnya adalah pengelolaan limbah Fasyankes yang
pada kondisi normal dilakukan melalui kerja sama dengan perusahaan

286
pengangkut dan pengolah berpotensi terganggu pada kondisi khusus atau
darurat misalnya pada saat bencana. Hal ini dapat diakibatkan oleh jalan
yang tidak dapat diakses yang kemungkinan rusak karena bencana,
komunikasi yang tidak dapat dilakukan karena jaringan komunikasi yang
rusak, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan tidak beroperasinya
pengangkutan atau berkurangnya frekuensi pengangkutan dari Fasyankes
sebagai penghasil ke perusahaan pengolah limbah B3 medis. Selain itu
Fasyankes yang mengolah limbahnya secara mandiri juga berpotensi tidak
dapat mengolah limbahnya karena potensi kerusakan dari bencana baik
kerusakan pada alat pengolah seperti insinerator tahu autoklaf/microwave
dan kerusakan pada aliran listrik ke Fasyankes sehingga alat pengolah tidak
dapat difungsikan.
Pengelolaan limbah pada kondisi darurat bencana sangat berbeda
dengan pengelolaan limbah pada kondisi normal sehingga perlu
mendapatkan perhatian khusus. Limbah Fasyankes yang timbul dan tidak
dikelola pada saat kondisi bencana mengakibatkan timbunan limbah di
Fasyankes semakin besar, sehingga diperlukan upaya dalam pengelolaan
limbah Fasyankes pada kondisi khusus atau darurat.

287
1) Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan pengelolaan
limbah medis dalam situasi darurat
2) Tujuan Pembelajaran Khusus
a. Menyusun skenario pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi
darurat.
b. Melakukan skenario pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi
darurat.

288
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan
sebagai berikut:
a. Penyusunan skenario pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi
darurat.
b. Skenario pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi darurat.

289
290
Materi Pokok 1: Penyusunan Skenario Pengelolaan Limbah
Fasyankes Dalam Situasi Darurat

A. Pengertian
Setiap daerah memiliki potensi bencana atau kondisi kedaruratan yang
berbeda-beda. Misalnya daerah tertentu mungkin memiliki potensi terjadinya
konflik dan daerah lainnya mungkin memiliki potensi terjadinya bencana
seperti gempa bumi atau tsunami. Selain itu bencana lainnya seperti letusan
gunung berapi, banjir, dan kegagalan industri juga dapat mengakibatkan
korban yang memerlukan pelayanan kesehatan yang bisa jadi saat bencana
terjadi juga terkena dampaknya. Oleh karena itu perlu disusun skenario
dalam menghadapi kondisi tersebut sehingga dapat ditangani dengan baik.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menyusun skenario
pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi darurat.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 1:
Penyusunan skenario pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi darurat:
 Pengertian
 Struktur organisasi
 SDM
 Fasilitas
 Penyusunan skenario

D. Uraian Materi Pokok


“Sebelum mempelajari tentang penyusunan skenario pengelolaan limbah
Fasyankes dalam situasi darurat, apakah Anda pernah mengalami situasi
tersebut, cobalah mengingat dan ceritakan hal apa yang paling menarik
bagi Anda.”

Pengertian
Situasi khusus yang dimaksud adalah kondisi dimana pengelolaan limbah
Fasyankes terhenti akibat bencana atau kondisi darurat lainnya. Kondisi ini
dapat berupa berhentinya suatu sistem akibat dari permasalahan
291
pengelolaan limbah seperti kerusakan insinerator, kerusakan sarana
transportasi, rusaknya jalan akses untuk pengangkutan limbah dan faktor
lainnya.
Bencana merupakan kejadian yang mengganggu keadaan sehingga kondisi
normal berubah menjadi darurat hal ini menyebabkan tingkat penderitaan
yang melebihi kapasitas penyesuaian dari komunitas yang terdampak.
Pengelolaan sampah di daerah tanggap darurat adalah suatu kegiatan
penanganan sampah mulai dari identifikasi, pemilahan, pewadahan,
pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan, agar tidak
mencemari lingkungan serta agar masyarakat terhindar dari bahaya serta
faktor risiko penyakit yang ditimbulkan.

Struktur Organisasi
Struktur organisasi ini melibatkan dinas terkait, yaitu dinas lingkungan hidup
dan kehutanan, dinas kesehatan, dan pihak lainnya termasuk pihak swasta
dalam pelaksanaan pengangkutan dan pengolahan akhir limbah. Dalam
menyusun struktur organisasi penanganan limbah medis dalam kondisi
darurat, maka perlu ada beberapa hal:
1. Pembagian peran dan tanggung jawab
Dalam rangka penanggulangan kondisi khusus atau darurat maka harus
ada kejelasan peran dan tanggung jawab sesuai kewenangan tugas dalam
pengelolaan limbah Fasyankes. Instansi yang memiliki tugas dan fungsi
melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pengelolaan limbah
Fasyankes adalah dinas lingkungan hidup. Dinas lingkungan hidup baik
ditingkat provinsi/kabupaten/kota memiliki peran dan tanggung jawab
dalam keberlangsungan implementasi yang baik dari pengelolaan limbah
Fasyankes sesuai dengan tingkat kewenangannya.
Dinas kesehatan berperan sebagai pembina Fasyankes dan Fasyankes
bertanggung jawab mengelola limbah yang dihasilkannya. Pembagian
peran pengelolaan limbah Fasyankes pada kondisi darurat bencana
dilakukan mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota,
hingga provinsi dan pusat. Peran dan tanggung jawab ini juga disesuaikan
dengan satu garis komando oleh instansi pemerintah yang menanggulangi

292
bencana, sehingga untuk pengelolaan limbah masuk dalam sub klaster
kesehatan lingkungan.
2. Koordinasi Lintas Program dan Lintas Sektoral serta pihak swasta
Koordinasi dalam bentuk komunikasi yang baik antara semua pihak yang
terkait dengan pengelolaan limbah Fasyankes diperlukan pada situasi
darurat. Koordinasi dilakukan melalui komunikasi, baik secara langsung
misalnya pertemuan dan diskusi atau secara tidak langsung misalnya
korespondensi. Koordinasi dapat dilakukan lintas program dan sektor
serta pihak swasta. Pembagian peran dan kewenangan juga dapat
ditentukan melalui koordinasi ini.
3. Pembiayaan
Anggaran atau perencanaan pembiayaan pengelolaan limbah Fasyankes
dimulai dari pencegahan lalu pemilahan sampai dengan pemusnahan. Hal
ini diperlukan secara menyeluruh pada situasi darurat. Selain itu sumber
pembiayaan juga perlu dipertimbangkan agar dapat diakses pada kondisi
darurat. Alokasi dana yang baik dalam penganggaran dapat membagi
biaya pengelolaan limbah pada situasi khusus atau darurat. Alokasi
tersebut dapat dibebankan pada pihak Fasyankes, pemerintah atau
swasta.
4. Pelaksanaan RHA (Rapid Health Assessment)
Pengelolaan limbah Fasyankes pada situasi khusus atau darurat
memerlukan penilaian cepat atau RHA dalam rangka pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat. Penilaian cepat dilakukan agar diperoleh
informasi yang akurat terkait pengelolaan limbah Fasyankes pada situasi
khusus atau darurat. Hasil penilaian empat ini menggambarkan
permasalahan limbah yang ada dan rekomendasi yang dapat digunakan
sebagai solusi dari permasalahan yang terjadi. Penilaian cepat dilakukan
melalui pengumpulan data dan informasi dengan tujuan untuk menilai
kerusakan dan mengidentifikasi kebutuhan dasar yang diperlukan segera
sebagai tanggap darurat dalam suatu kejadian bencana atau situasi
khusus pengelolaan limbah Fasyankes. Berdasarkan penilaian cepat
293
diharapkan untuk diperoleh dengan segera apa saja permasalahan
pengelolaan limbah Fasyankes yang terjadi saat itu. Penilaian cepat
dilakukan mulai dari sumber limbah medis sampai dengan pengolahan
akhir, sehingga dapat memudahkan dalam mencari solusi jangka pendek
dan menengah. Penilaian cepat ini juga menggali potensi dan kemampuan
Fasyankes serta peran pemerintah dan swasta dalam kontribusinya untuk
solusi dari permasalahan.
5. Inventarisasi
Inventarisasi jumlah Fasyankes dan potensi timbulan limbahnya di suatu
wilayah sangat penting untuk dilakukan pada situasi khusus atau darurat.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara umum mengenai
kondisi pengelolaan limbah Fasyankes dan timbunan limbah yang harus
segera dikelola. Hal ini juga dilakukan untuk mempersiapkan sarana dan
prasarana serta perhitungan kebutuhan biaya pengelolaan limbah
Fasyankes pada saat kondisi khusus atau darurat. Inventarisasi
perusahaan pengangkut dan pengolah limbah juga diperlukan untuk
mendukung pengelolaan limbah Fasyankes. Inventarisasi perusahaan
pengangkut dan pengolah di sekitar daerah yang mengalami kondisi
khusus atau kedaruratan berguna untuk memudahkan dan mempercepat
pengelolaan limbah Fasyankes pada kondisi darurat.
6. Alternatif Teknologi Pengolahan
Informasi mengenai teknologi pengolahan limbah alternatif sangat
diperlukan pada saat kejadian bencana atau situasi khusus di suatu
wilayah. Gambaran dan kemampuan teknologi alternatif pengolahan
limbah Fasyankes dapat digunakan untuk menghitung besarnya beban
biaya dan hal teknis lainnya yang diperlukan untuk mengelola limbah.

Sumber Daya Manusia (SDM)


Sumber daya manusia (SDM) terutama tenaga kesehatan sangat penting
dalam rangka menghadapi dan menanggulangi situasi khusus atau darurat
seperti bencana dan berhentinya sistem pengolahan limbah Fasyankes.
294
Kebutuhan SDM harus disesuaikan dengan luas wilayah terdampak dan
besarnya timbulan limbah pada Fasyankes. Penugasan SDM dilakukan
dalam rangka melakukan upaya pengelolaan limbah seperti penyimpanan
sementara, pengangkutan dan pengolahan akhir. Peningkatan kapasitas
SDM dalam pengelolaan limbah Fasyankes dan pembentukan Tim Gerak
Cepat (TGC) sangat diperlukan, pembentukan TGC memiliki pelatihannya
tersendiri. SDM yang melakukan pengelolaan kondisi khusus harus terbagi
secara jelas, sehingga peran masing-masing unit terkait seperti Puskesmas,
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi dan Kabupaten/Kota, organisasi profesi serta BUMN dan swasta.

Fasilitas
Pemerintah daerah harus memiliki sistem inventarisasi sarana dan prasarana
pengelolaan limbah Fasyankes untuk situasi khusus atau darurat dan
berhentinya sistem yang mencakup sarana transportasi, buffer stock wadah
limbah medis, tempat penyimpanan sementara (TPS)/depo limbah medis dan
sarana pengolah. Selain itu juga dipersiapkan terkait dengan pengolahan
sementara berbiaya rendah yang dapat dilakukan. Hal ini mencakup metode,
prosedur, ketersediaan alat, bahan, dan lahan untuk melakukan pengolahan
tersebut.

Penyusunan Skenario Pengelolaan


Prosedur situasi khusus atau darurat dan berhentinya sistem merupakan hal
yang penting dalam pengelolaan limbah Fasyankes mulai dari pencegahan
dan pemilahan hingga pengangkutan dan pengolahan. Prosedur merupakan
instruksi tertulis yang dipakai untuk kegiatan baik rutinitas maupun kondisi
tertentu. Prinsip penyusunan prosedur harus memenuhi kaidah:

a. Mudah dipahami dan mampu dilaksanakan


b. Efisien dan efektif
c. Keselarasan dengan prosedur atau standar lain yang terkait
d. Sesuai dengan regulasi yang ada
295
296
Materi Pokok 2: Skenario Pengelolaan Limbah Fasyankes Dalam
Situasi Darurat

A. Pendahuluan
Pengelolaan limbah pada kondisi darurat bencana sangat berbeda dengan
pengelolaan limbah pada kondisi normal sehingga perlu mendapatkan
perhatian khusus. Limbah Fasyankes yang timbul dan tidak dikelola pada
saat kondisi bencana mengakibatkan timbunan limbah di Fasyankes semakin
besar, sehingga diperlukan upaya dalam pengelolaan limbah Fasyankes
pada kondisi khusus atau darurat. Hal ini berlaku baik untuk limbah domestik,
limbah medis padat, dan limbah cair. Dampak tidak terkelolanya limbah
tersebut dapat menjadi semakin besar dengan semakin banyaknya timbulan.
Limbah domestik yang tidak dikelola dapat menjadi tempat
perkembangbiakan vektor penyakit, mengakibatkan bau yang tidak sedap,
memperburuk estetika. Limbah medis padat yang tidak dikelola
mengakibatkan penularan penyakit seperti tertusuk jarum yang terinfeksi.
Limbah cair yang tidak dikelola dapat merembes ke sumber air yang
digunakan pada kondisi darurat sehingga mencemari dan menjadi faktor
risiko penyakit. Semua hal ini dapat dihindari dengan melakukan
implementasi pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi khusus atau
darurat sesuai dengan skenario/prosedur yang telah disusun di materi
sebelumnya.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan skenario
pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi darurat.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi:
Skenario pengelolaan limbah Fasyankes dalam situasi darurat:
 Tidak ada pengolah
 Pengolah rusak
 Bencana/KLB

D. Uraian Materi Pook


Bencana
Pada saat bencana maka dilakukan pengelolaan limbah medis sebagai
berikut:

297
a. Tahap Pra Bencana
Dalam rangka penanggulangan pada kondisi khusus atau darurat maka
dilakukan persiapan pada kondisi pra kedaruratan (sebelum bencana),
pada kondisi ini dapat dilakukan beberapa hal, antara lain:
 Mitigasi/kesiapsiagaan bencana termasuk rencana kontingensi,
pengurangan korban yang berarti sedikit pasien sehingga sedikit juga
limbahnya (hal ini didukung dengan penyediaan jalur evakuasi yang
jelas, pelatihan masyarakat tangguh bencana, titik kumpul yang jelas,
akses Fasyankes rujukan saat bencana, dll)
 Koordinasi dan advokasi satu komando dengan pemangku
kepentingan terkait pengelolaan limbah Fasyankes, termasuk lintas
program dan lintas sektor serta pihak swasta.
 Melakukan identifikasi risiko dan potensi bahaya cemaran limbah
Fasyankes bila terjadi bencana.
 Perencanaan (penyediaan SDM, penyediaan tenaga cadangan bila
diperlukan, pembiayaan, sarana, prasarana, perlengkapan, serta
prosedur teknis untuk mekanisme pengelolaan limbah Fasyankes saat
bencana).
 Inventarisasi sarana, prasarana, dan perlengkapan pengelolaan
limbah Fasyankes.
 Pelatihan petugas pengelola limbah Fasyankes pada kondisi khusus
atau darurat.
b. Tahap Bencana
Tahap pengelolaan limbah Fasyankes saat bencana disebut juga tahap
tanggap darurat, semua yang telah dipersiapkan pada tahap pra bencana
dapat digunakan untuk melakukan tahap tanggap bencana ini, di
antaranya:
 Melakukan Rapid Health Assessment (RHA) meliputi jumlah
Fasyankes yang ada, jumlah pelayanan kesehatan/posko kesehatan
yang ada, jumlah timbulan limbah domestik dan medis, jumlah tenaga
yang tersedia, jumlah sarana dan prasarana serta peralatan
pengelola limbah Fasyankes. Penilaian awal ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang didukung data-data yang diperlukan
untuk memulai kembali pengelolaan sementara limbah Fasyankes.
 Koordinasi pemangku kepentingan, termasuk lintas program dan
lintas sektor serta pihak swasta.
 Penerapan prosedur teknis, sesuai rencana/skenario yang sudah
ditetapkan menurut panduan/pedoman, pengalaman menunjukkan
bahwa daerah yang memiliki sistem pengelolaan limbah Fasyankes

298
dalam keadaan darurat yang baik akan cepat melakukan tanggap
darurat dalam penanganan limbah Fasyankesnya.
 RHA, koordinasi, dan penerapan prosedur memerlukan SDM terlatih
atau tim gerak cepat yang sudah dilatih sesuai bidangnya pada tahap
pra bencana.
 Penyiapan teknologi sederhana sementara atau memaksimalkan
fungsi sarana pengolah yang ada.
 Penyiapan sarana dan prasarana darurat atau kerja sama dengan
pihak pengelola limbah Fasyankes pada kondisi darurat.
 Sumber biaya kegiatan tanggap darurat dapat berasal dari APBN atau
APBD dan swasta/BUMN atau Fasyankes.
 Pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes disampaikan melalui
sistem informasi dan pada saat koordinasi, minimal berupa:
 Jumlah timbulan limbah
 Jumlah limbah yang dikelola
c. Tahap Pasca Bencana
Tahap pasca bencana merupakan tahap untuk memastikan kinerja
pengelolaan limbah Fasyankes serta melakukan penyesuaian
pengelolaan limbah yang dilakukan secara sementara menjadi
permanen hingga pembangunan kembali, hal yang dilakukan pada tahap
pasca bencana antara lain:
 Pemantauan dan evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes yang telah
dilakukan pada saat bencana.
 Pengelolaan limbah Fasyankes sesuai dengan ketentuan/peraturan
yang berlaku.
 Inventarisasi sarana tempat pengelolaan limbah Fasyankes yang
mengalami kerusakan dan menginformasikannya kepada pemangku
kepentingan.

Kondisi Saat Berhentinya Sistem


Kondisi saat berhentinya sistem dapat diakibatkan oleh permasalahan dalam
pengelolaan limbah seperti ketidakmampuan penerapan prosedur secara
normal pada kondisi khusus/darurat/bencana, transportasi atau
pengangkutan limbah yang terganggu dari penghasil ke pengolah, dan
pengolahan limbah yang tidak dapat dilakukan karena permasalahan
pengolah atau faktor lainnya. Tahapan yang harus dilakukan, yaitu:

299
a. Pelaksanaan prosedur
Penetapan dan pelaksanaan prosedur pengelolaan limbah pada kondisi
terhentinya sistem dimulai dari pencegahan dan pemilahan sampai
dengan pengolahan limbah sesuai dengan standar.
b. Pengolahan alternatif
Pemilihan teknologi pengolahan diutamakan dengan mengedepankan
pengolahan non insinerasi (disinfeksi, autoklaf, gelombang mikro, sumur
jarum, pemotong/penghancur jarum, penguburan, enkapsulasi, dan lain-
lain) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengelolaan limbah dengan
metode insinerasi dapat bekerja sama dengan Fasyankes lain atau
perusahaan/industri yang memiliki fasilitas insinerator yang ditunjuk
pemerintah untuk mengolah limbah medis.
c. Koordinasi pemangku kepentingan
Koordinasi pemangku kepentingan dilakukan dengan lintas program dan
lintas sektor serta pihak swasta.
d. Pembiayaan
Sumber biaya kegiatan pasca bencana dapat berasal dari APBN atau
APBD dan swasta/BUMN atau Fasyankes.
e. Pemantauan dan evaluasi
Pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan limbah Fasyankes pada
saat berhentinya sistem meliputi pengangkutan dan pengolahan limbah
Fasyankes serta melakukan evaluasi terhadap upaya-upaya yang sudah
dilakukan dan analisis penyebab terhentinya sistem untuk perbaikan ke
depannya.

“Setelah Anda mengetahui skenario dan implementasi dalam pengelolaan


limbah Fasyankes pada situasi khusus atau darurat maka anda sudah
berpartisipasi dalam persiapan penanggulangan bencana pada kondisi pra
bencana, semoga hal ini tidak perlu dilakukan pada saat anda bertugas.”

300
301
MPI 5 Pemantauan, Evaluasi, Dan Pelaporan Pengelolaan Limbah
Fasyankes

302
303
Pelaksanaan pengelolaan limbah medis Fasyankes tidak terbatas
hanya seputar pengelolaan limbahnya saja tetapi termasuk sistem dan
kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pengelolaan limbah
Fasyankes. Sistem dan kegiatan tersebut diperlukan untuk mengetahui
kinerja pengelolaan limbah Fasyankes serta uraian data dan informasinya.
Kegiatan pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes mencakup berbagai
indikator operasional agar sistem tetap berjalan secara berkelanjutan,
mengetahui penggunaan sumber daya, dan pemanfaatan peringatan dini
(early warning) bila ditemukan gejala kegagalan sistem. Kegiatan evaluasi
merupakan keberlanjutan dari kegiatan pemantauan untuk dapat menjaga
keluaran kegiatan tetap baik, yaitu berupa evaluasi kinerja pengelolaan
limbah Fasyankes, baik yang menyangkut aspek kuantitatif maupun kualitatif.
Pemantauan yang ditindaklanjuti dengan evaluasi dapat mengukur sejauh
mana efektivitas dan efisiensi yang dihasilkan. Pelaporan merupakan hasil
dari pemantauan dan evaluasi yang sebelumnya dilakukan kemudian
dijadikan data yang dikirimkan sebagai laporan yang nantinya akan diubah
menjadi informasi sehingga dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan
dan penentuan program selanjutnya. Manfaat pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes:
1. Memudahkan identifikasi penaatan Fasyankes terhadap peraturan
mengenai kesehatan dan lingkungan seperti standar dan persyaratan
terkait pengelolaan limbah Fasyankes.
2. Mendorong Fasyankes untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan dan
pemantauan limbahnya sebagai upaya perbaikan yang berkelanjutan
(continual improvement).
3. Mengetahui kecenderungan pengelolaan dan pemantauan limbah medis
Fasyankes, sehingga memudahkan instansi luar untuk melakukan

304
pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan dalam penyelesaian
permasalahan pengelolaan limbah Fasyankes serta perencanaan
pengelolaan limbah Fasyankes dalam skala yang lebih besar.
4. Mengetahui kinerja pengelolaan limbah Fasyankes bagi kepentingan
internal untuk pengembangan program penilaian peringkat kinerja
pengelolaan lingkungan.

305
1) Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan
pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes.

2) Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu:
a. Melakukan pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes.
b. Melakukan evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes.
c. Melakukan pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes.

306
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
a. Pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes.
b. Evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes.
c. Pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes.

307
308
Materi Pokok 1: Pemantauan Pengelolaan Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Pemantauan adalah rangkaian kegiatan pengawasan yang dilaksanakan
secara periodik terhadap berbagai aspek kegiatan pengelolaan limbah
Fasyankes wsehingga pengambilan langkah pemecahan masalahnya dapat
dilakukan secara efektif dan efisien. Kegiatan pemantauan pengelolaan
limbah Fasyankes mencakup berbagai indikator operasional agar sistem
tetap berjalan secara berkelanjutan, mengetahui penggunaan sumber daya,
dan pemanfaatan peringatan dini (early warning) bila ditemukan gejala
kegagalan sistem. Tujuan pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes
adalah:
1. Untuk mengetahui penaatan pelaksanaan pengelolaan limbah
Fasyankes terhadap prosedur yang telah ditetapkan.
2. Untuk mengetahui data keluaran (output) kegiatan pengelolaan limbah
Fasyankes.
3. Untuk mengetahui penggunaan sumber daya pengelolaan limbah
Fasyankes.
4. Untuk mengetahui kinerja operasional dan pemeliharaan fasilitas
pengelolaan limbah Fasyankes.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan
pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 1:
1. Titik kritis
2. Parameter
3. Instrumen

309
D. Uraian Materi
“Sebelum mempelajari tentang pemantauan, apakah Anda pernah terlibat
dalam pelaksanaan pemantauan, cobalah mengingat dan ceritakan
pengalaman Anda.”

Titik kritis pemantauan


Kegiatan pemantauan dilakukan secara rutin oleh Fasyankes dengan
menentukan titik kritis pemantauan. Titik kritis pemantauan biasanya berupa
lokasi/tempat atau proses/tahap yang berisiko dalam pengelolaan limbah
Fasyankes. Lingkup data yang dipantau untuk pengelolaan limbah medis
padat meliputi tahap pengurangan, pemilahan dan pewadahan,
pengumpulan dan penyimpanan, pengangkutan, serta pengolahan dan
pasca pengolahan. Titik kritis dalam pemantauan dapat berupa, misalnya
pemilahan limbah domestik dengan limbah medis, proses pengumpulan
limbah dari sumber ke TPSLB3, lama penyimpanan limbah, parameter emisi
udara bila mengolah dengan insinerator sendiri, parameter tingkat sterilitas
bila mengolah sendiri menggunakan autoclave/microwave, dan seterusnya.
Lingkup data yang dipantau untuk pengelolaan limbah cair Fasyankes
termasuk tetapi tidak terbatas pada penyaluran, kualitas dan kuantitas air
limbah inlet IPAL, serta kualitas dan kuantitas air limbah outlet IPAL.
1. Parameter pemantauan
Parameter pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes umumnya berupa
satuan yang dapat diukur. Parameter pemantauan pengelolaan limbah
cair yang wajib adalah suhu, pH, BOD, COD, TSS, minyak dan lemak,
amoniak, total coliform, dan debit. Sedangkan parameter pemantauan
pengelolaan limbah medis padat antara lain:
a. Kesesuaian pemilahan berdasarkan wadah dengan jenis limbahnya.
b. Jumlah timbulan limbah medis (kg/bulan).
c. Jumlah limbah medis yang dilakukan pengurangan (kg/bulan).
d. Jumlah limbah medis yang diolah (kg/bulan).
e. Satuan timbulan limbah medis (kg/tempat tidur/hari).
310
f. Persen limbah medis yang diolah (limbah medis yang diolahtimbulan
limbah medis×100%).
g. Jumlah kantong limbah yang digunakan (lembar/bulan).
h. Jumlah safety box yang digunakan (kotak/bulan).
i. Suhu pada autoclave/microwave saat proses pengolahan limbah
(derajat Celcius).
j. Tekanan pada autoclave saat proses pengolahan limbah (atmosfer).
k. Hasil uji laboratorium mikrobiologi sebelum dan setelah proses
pengolahan dengan autoclave/microwave (cfu).

2. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam pelaksanaan


kegiatan pemantauan antara lain:
a. Metode pemantauan data primer:
 Pengukuran dengan alat ukur/instrumen
 Uji laboratorium
 Pencatatan kondisi dan kasus penanganan limbah medis
 Observasi lapangan
b. Metode pemantauan data sekunder:
 Pengumpulan data laporan aspek-aspek terkait
 Studi pustaka/referensi/laporan kajian

3. Instrumen pemantauan
Instrumen pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes dapat berupa
instrumen formulir/kuesioner/daftar cek serta peralatan untuk
pengambilan sampel dan pemeriksaan. Instrumen pemantauan berbentuk
formulir/kuesioner/daftar cek yaitu berupa pertanyaan/lembar isian yang
harus dilengkapi untuk memudahkan peserta latihan dalam
mengaplikasikan kegiatan kerjanya. Pengisian formulir/kuesioner/daftar
cek ini diharapkan dapat memberikan gambaran kegiatan dan
pemantauan serta evaluasi kegiatan kerja. Instrumen pemantauan
dibedakan menjadi instrumen pemantauan internal dan instrumen
311
pemantauan eksternal. Instrumen pemantauan internal dapat berupa
formulir swapantau air limbah, neraca limbah medis, dan log book limbah
medis. sedangkan instrumen pemantauan eksternal dapat berupa formulir
pengisian dokumen setiap triwulan (3 bulanan) dan laporan implementasi
UKL-UPL (RKL-RPL) setiap semester (6 bulanan).
Instrumen pemantauan internal disesuaikan dengan kegiatan yang
dilakukan oleh Fasyankes, sehingga apa saja yang dipantau bisa berbeda
antara satu Fasyankes dengan Fasyankes lain. Acuan dari instrumen
pemantauan internal adalah peraturan yang berlaku dan instrumen
pemantauan eksternal. Hasil dari pemantauan internal akan digunakan
untuk evaluasi internal dan sebagai bahan melakukan perencanaan
kegiatan, penentuan prioritas, dan perencanaan penganggaran terkait
dengan pengelolaan limbah Fasyankes.
Instrumen pemantauan eksternal merupakan instrumen yang hasilnya
akan digunakan sebagai laporan kepada pihak lain di luar Fasyankes.
Instrumen pemantauan eksternal sebaiknya tidak jauh berbeda dengan
instrumen pemantauan internal. Dalam pelaksanaan pemantauan,
peralatan pengambilan sampel dan pemeriksaan seperti ember, jeriken
dan botol sampel, alat pelindung diri (APD), flow meter, pH meter,
termometer, dan sebagainya diperlukan untuk pemantauan yang nantinya
akan dimasukkan ke dalam formulir/kuesioner/daftar cek.

“Setelah anda mengetahui mengenai pemantauan, maka anda akan siap


untuk melakukan pemantauan dalam pelaksanaan kegiatan pada saat
anda bertugas”

312
313
Materi Pokok 2: Evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Evaluasi merupakan rangkaian kegiatan pengukuran kinerja pengelolaan
limbah Fasyankes untuk mengetahui aspek kecenderungan, titik kritis, dan
penaatan pengelolaan Fasyankes dibandingkan dengan ketentuan yang
berlaku. Kegiatan evaluasi merupakan keberlanjutan dari kegiatan
pemantauan untuk dapat menjaga keluaran kegiatan tetap baik, yaitu berupa
evaluasi kinerja pengelolaan limbah Fasyankes, baik yang menyangkut
aspek kuantitatif maupun kualitatif. Pemantauan yang ditindaklanjuti dengan
evaluasi dapat mengukur sejauh mana efektivitas dan efisiensi yang
dihasilkan. Tujuan evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes adalah:
1. Untuk mengetahui kinerja penaatan prosedur, data kegiatan, dan
penggunaan sumber daya dalam pengelolaan limbah Fasyankes.
2. Untuk menganalisis efektivitas dan efisiensi pelaksanaan teknis dan
administratif pengelolaan limbah Fasyankes.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan evaluasi
pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 2:
1. Penaatan
2. Evaluasi
3. Rekomendasi

D. Uraian Materi
“Sebelum mempelajari tentang evaluasi, apakah Anda pernah terlibat dalam
melaksanakan evaluasi, cobalah mengingat dan ceritakan pengalaman
Anda.”

314
Penaatan
a. Pemeriksaan sampel harian limbah cair
Pemeriksaan sampel harian dilakukan setiap hari untuk mengetahui
kondisi terkini air limbah pada instalasi pengolah air limbah (IPAL) dan
sebagai salah satu cara untuk antisipasi/pencegahan sebelum IPAL
mengalami masalah. Sampel yang diambil berasal dari air limbah pada
outlet IPAL. Adapun parameter yang diperiksa dalam pemeriksaan
harian adalah debit, pH, dan suhu serta waktu dan lokasi pengambilan
sampel sebagai berikut:

Tabel 33 Parameter pemeriksaan harian

Parameter Pengambilan Pemeriksaan


Catat debit air dari flow
Baca debit air melalui flow
Debit meter dalam satuan
meter
liter/hari
Celupkan sensor/probe pH
pH meter lalu baca pH air Catat pH air dari pH meter
melalui pH meter
Gunakan termometer infra Catat suhu air dari
Suhu merah untuk mengukur suhu termometer dalam satuan
air derajat Celcius
Waktu Catat jam dan tanggal
Catat lokasi pengambilan
Lokasi
sampel (outlet IPAL)

Petugas harus menggunakan alat pelindung diri (APD) pada setiap


pengambilan dan pemeriksaan sampel. Teknologi terkini dapat
digunakan untuk mendukung pengambilan sampel harian dan otomatis
menunjukkan angka untuk parameter tersebut.

b. Pemeriksaan sampel bulanan limbah cair


Pemeriksaan sampel bulanan dilakukan setiap bulan untuk mengetahui
kondisi terkini air limbah pada instalasi pengolah air limbah (IPAL) dan
sebagai salah satu cara untuk antisipasi/pencegahan sebelum IPAL
mengalami masalah. Sampel yang diambil berasal dari air limbah pada
inlet dan outlet IPAL. Adapun parameter yang diperiksa dalam

315
pemeriksaan bulanan adalah debit, pH, BOD, COD, TSS, minyak dan
lemak, amoniak, dan total coliform serta waktu dan lokasi pengambilan
sampel sebagai berikut:

Tabel 34 Parameter pemeriksaan bulanan

Parameter Pengambilan Pemeriksaan


BOD Inlet ● Buat surat pengantar
COD ● Ambil air limbah dari ke Dinas Lingkungan
TSS inlet menggunakan Hidup setempat.
Minyak dan ember kemudian ● Pastikan sampel air
lemak dimasukkan ke dalam yang akan diuji
jeriken (2 liter) dan langsung diantar ke
kocok (agar jeriken (maksimal 2 jam dari
homogen) lalu air waktu pengambilan
kocokan dibuang. sampel).
● Ambil air limbah dari
inlet menggunakan
ember kemudian
dimasukkan ke dalam
jeriken hingga hampir
penuh lalu ditutup rapat.
● Jerigen diberi identitas
(waktu, lokasi, dan
nama Fasyankes).
Outlet
● Disinfeksi mulut keran
outlet menggunakan
Amoniak alkohol 70% atau
dibakar dengan korek
(bila keran bukan
plastik) sebelum
pengambilan sampel
lalu buka keran dan
biarkan air mengalir
sekitar 1 menit.
● Alirkan air limbah dari
keran outlet ke dalam
jeriken (2 liter) dan
kocok (agar jeriken
homogen) lalu air
kocokan dibuang.
● Alirkan air limbah dari
keran outlet ke dalam
jeriken hingga hampir
penuh lalu ditutup rapat.

316
Parameter Pengambilan Pemeriksaan
● Jeriken diberi identitas
(waktu, lokasi, dan
nama Fasyankes).

Inlet ● Buat surat pengantar


● Ambil air limbah dari ke Dinas Lingkungan
inlet menggunakan Hidup setempat.
ember dan bakar mulut ● Pastikan sampel air
botol kaca steril yang akan diuji
(terapkan prinsip steril) langsung diantar ke
kemudian air limbah (maksimal 2 jam dari
tadi dimasukkan ke waktu pengambilan
dalam botol (100 sampel).
mililiter) hingga penuh
(pastikan botol tidak
tersentuh ember).
● Botol diberi identitas
(waktu, lokasi, dan
nama Fasyankes) dan
masukkan ke dalam
cooler box yang dingin.
Total Outlet
coliform ● Buka keran outlet air
limbah alirkan air
limbah dan biarkan air
mengalir sekitar 1 menit
kemudian bakar mulut
botol kaca steril
(terapkan prinsip steril)
lalu masukan air limbah
melalui keran outlet ke
dalam botol (100
mililiter) hingga penuh
(pastikan botol tidak
tersentuh keran).
● Botol diberi identitas
(waktu, lokasi, dan
nama Fasyankes) dan
masukkan ke dalam
cooler box yang dingin.

Waktu Catat jam dan tanggal


Catat lokasi pengambilan
Lokasi
sampel (outlet IPAL)

Petugas harus menggunakan alat pelindung diri (APD) pada setiap


pengambilan dan pemeriksaan sampel.

317
c. Pemeriksaan sampel pengolahan limbah padat medis
Pemeriksaan sampel pengolahan limbah padat medis dilakukan
terhadap limbah padat medis yang diolah secara mandiri oleh
Fasyankes. Pengolahan limbah padat medis dan pemeriksaan
sampelnya dilakukan sesuai dengan tabel berikut:

Tabel 35 Pemeriksaan sampel pengolahan limbah padat

Pengolah Pemantauan
Insinerator Uji emisi
Autoklaf Spora Bacillus stearothermophilus (1 x 104 spora/ml)
Gelombang mikro Spora Bacillus stearothermophilus (1 x 101 spora/ml)
Iradiasi frekuensi Spora Bacillus stearothermophilus (1 x 104 spora/ml)
Disinfeksi Kimia Spora Bacillus Subtillis (1 x 101 spora/ml)
Solidifikasi Uji kuat tekan dan TCLP (Toxicity Characteristic
Leaching Procedure)

Evaluasi
Evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes dilakukan melalui tahapan:
a. Analisis hasil pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes menjadi
evaluasi
Data hasil pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes perlu diolah dan
dianalisis agar dapat menjadi informasi. Informasi yang berasal dari data
pemantauan pengelolaan limbah Fasyankes merupakan bentuk evaluasi
yang dapat dinilai dan ditindaklanjuti sehingga dapat dibuatkan
rekomendasi. Analisis data hasil pemantauan pengelolaan limbah
Fasyankes menjadi informasi sebagai bahan evaluasi dilakukan dengan
metode:
 Membandingkan pelaksanaan di lapangan dengan prosedur
operasional standar yang ditetapkan, disebut juga sebagai evaluasi
prosedur. Hal ini dapat dilakukan dengan cara survey/observasi di
lapangan dilengkapi dengan daftar cek pengelolaan limbah
Fasyankes yang sesuai prosedur. Langkah yang dilakukan adalah
menyiapkan daftar cek, melakukan survey/observasi pengelolaan

318
limbah Fasyankes di lapangan, membandingkan daftar cek dengan
hasil observasi, bila ditemukan ketidaksesuaian antara daftar cek
dengan hasil observasi maka diidentifikasi penyebabnya dan
ditentukan rekomendasinya. Metode ini sangat efektif untuk
melakukan koreksi dan memastikan prosedur dijalankan sesuai
standar. Tahap pelaksanaan dan prosedur yang dibandingkan
yaitu:
a) Tahap Pengurangan
b) Tahap Pemilahan dan pewadahan
c) Tahap Pengumpulan dan penyimpanan
d) Tahap Pengangkutan
e) Tahap Pengolahan

 Membandingkan pelaksanaan di lapangan dengan standar baku


mutu, disebut juga sebagai evaluasi standar baku mutu atau
evaluasi kinerja. Standar baku mutu ini digunakan untuk mengukur
kinerja dan penaatan terkait dengan keberhasilan dari kegiatan
pengolahan limbah medis. Apabila pengolahan limbah medis
dilakukan dengan insinerasi maka standar baku mutu emisi
insinerator digunakan untuk membandingkan kualitas emisi gas
buang insinerasi. Apabila limbah medis diolah menggunakan
metode non insinerasi maka standar baku mutu digunakan
terhadap kualitas limbah medis pasca pengolahan, misalnya limbah
medis yang telah diolah dengan autoklaf atau oven gelombang
mikro dilakukan uji spora sesuai peraturan yang berlaku. Ukuran
evaluasi yang digunakan adalah bila hasil uji emisi insinerasi atau
hasil uji limbah pasca pengolahan non insinerasi sesuai dengan
standar baku mutu maka pengolahan limbah dinyatakan berhasil
dan sebaliknya. Standar baku mutu tersebut juga dapat digunakan
sebagai standar kinerja pengolahan limbah medis terkait dengan
proses legal.

319
 Membandingkan pelaksanaan di lapangan dengan spesifikasi dan
panduan pengguna, disebut juga sebagai evaluasi kerja alat. Dalam
pengolahan limbah medis baik secara insinerasi maupun non
insinerasi, evaluasi ini biasanya digunakan untuk mengecek proses
kerja alat insinerator, autoklaf, atau oven gelombang mikro.
Produsen insinerator, autoklaf, atau oven gelombang mikro pada
umumnya mencantumkan/menyertakan spesifikasi dan panduan
pengguna bersama dengan produknya. Standar spesifikasi dan
panduan pengguna yang tercantum inilah yang dijadikan acuan
dalam mengevaluasi kerja alat pengolah limbah. Aspek yang
dievaluasi untuk mengukur kesesuaian kerja alat pengolah limbah
antara lain:
a) Suhu proses pengolahan dalam satuan derajat Celcius untuk
insinerator, autoklaf, atau oven gelombang mikro.
b) Durasi proses pengolahan dalam satuan menit untuk
insinerator (ruang bakar kedua retensi 2 detik) autoklaf, atau
oven gelombang mikro.
c) Tekanan saat proses pengolahan dalam satuan atmosfer/psi
untuk autoklaf.
d) Pengumpan limbah medis untuk insinerator, autoklaf, atau
oven gelombang mikro.
e) Kelistrikan untuk insinerator, autoklaf, atau oven gelombang
mikro.
f) Bahan bakar untuk insinerator.
 Membandingkan pelaksanaan di lapangan dengan variabel atau
komponen lain yang terkait. Evaluasi ini diterapkan untuk
mengetahui keterkaitan antara pengolahan limbah medis dengan
variabel atau komponen lain yang terkait. Misalnya kemampuan
anggaran, kemampuan kelistrikan, kapasitas sumber saya, dan
variabel atau komponen lainnya. Tujuannya untuk mengetahui
apakah terjadi penyimpangan (kondisi tidak normal) yang tidak
320
sesuai sehingga hal ini bisa segera ditindaklanjuti dan diperbaiki
untuk memastikan kinerja optimal salam pengolahan limbah medis.

Data hasil pemantauan pengelolaan limbah cair dilakukan analisis


sebagai evaluasi pengelolaan limbah cair, beberapa analisis untuk
evaluasi pengelolaan limbah cair antara lain kesesuaian dengan baku
mutu, kesesuaian kapasitas dengan timbulan air limbah, grafik dan
gambaran hasil uji swapantau dan uji bulanan, fungsi dan kondisi IPAL
secara umum, dan lain-lain.

b. Penilaian evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes


Evaluasi ini dilakukan setiap semester (setiap enam bulan sekali),
penilaian evaluasi ini dilakukan melalui:
 Evaluasi kecenderungan adalah evaluasi untuk melihat
kecenderungan (tren) perubahan kualitas lingkungan dalam suatu
rentang waktu dan ruang tertentu sebagai acuan peringatan dini
(early warning) agar dapat segera dilakukan tindakan dini (early
response) apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan penanganan
limbah medis di Fasyankes.
 Evaluasi tingkat kritis dilakukan dengan membandingkan kualitas
lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan Fasyankes dengan
standar baku mutu sesuai peraturan yang berlaku.
 Evaluasi penaatan dilakukan terhadap tingkat kepatuhan
Fasyankes dalam memenuhi berbagai ketentuan dan komitmen
yang terdapat di dalam dokumen lingkungan.

c. Tindak lanjut evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes


Tindak lanjut evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes dilakukan sebagai
bagian dari:
 Identifikasi penaatan Fasyankes terhadap peraturan yang berlaku
seperti standar pengelolaan limbah medis.
321
 Evaluasi kinerja pengelolaan dan pemantauan limbah medis
sebagai upaya perbaikan secara menerus (continual improvement).
 Informasi kecenderungan pengelolaan dan pemantauan limbah
medis Fasyankes, sehingga memudahkan instansi yang memiliki
kewenangan untuk melakukan pengendalian dampak lingkungan
serta menanggulangi permasalahan pengelolaan limbah medis.
Informasi ini juga berguna sebagai dasar perencanaan pengelolaan
limbah medis dalam skala yang lebih besar.
 Informasi kinerja pengelolaan limbah medis oleh Fasyankes untuk
program akreditasi serta penilaian peringkat kinerja pengelolaan
lingkungan.
 Dokumentasi bagi Fasyankes, dokumentasi dilakukan sehingga
data yang ada mudah dimengerti dan disajikan dalam bentuk narasi
(singkat, padat dan jelas) dielngkapi tabel dan grafik serta gambar
atau foto.

“Setelah Anda mengetahui mengenai evaluasi maka Anda akan siap untuk
melakukan evaluasi dalam pelaksanaan kegiatan pada saat Anda
bertugas.”

322
323
Materi Pokok 3: Pelaporan Pengelolaan Limbah Fasyankes

A. Pendahuluan
Pelaporan merupakan hasil dari pemantauan dan evaluasi yang sebelumnya
dilakukan kemudian dijadikan data yang dikirimkan sebagai laporan yang
nantinya akan diubah menjadi informasi sehingga dapat digunakan dalam
pengambilan kebijakan dan penentuan program selanjutnya. Tujuan
pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes adalah:
1. Untuk memberikan data dan informasi pengelolaan limbah Fasyankes.
2. Untuk memenuhi ketentuan pengelolaan limbah Fasyankes sesuai
dengan peraturan yang berlaku.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan pelaporan
pengelolaan limbah Fasyankes.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 3:
1. Sistem informasi kelola limbah medis (Sikelim)

D. Uraian Materi
Sebelum mempelajari tentang pelaporan, apakah Anda pernah terlibat dalam
melakukan pelaporan, cobalah mengingat dan ceritakan pengalaman Anda.
Mekanisme pelaporan pengelolaan limbah medis di rumah sakit dibagi
menjadi pelaporan internal dan eksternal:

Pelaporan internal
Pelaporan internal ditujukan kepada pimpinan Fasyankes dengan tujuan
menyampaikan informasi tentang kinerja pelaksanaan pengelolaan limbah
medis. Pelaporan internal yang disampaikan ke pimpinan diharapkan
menjadi pertimbangan bagi pimpinan untuk menentukan tindakan/aksi serta

324
kebijakan, program, perencanaan, pendanaan, atau kegiatan lebih lanjut
untuk mendukung pengelolaan limbah Fasyankes. Pelaporan ini dilakukan
minimal setiap triwulan (setiap tiga bulan) atau setiap ada permasalahan
yang harus segera diselesaikan atau ditindaklanjuti.

Pelaporan Eksternal
Pelaporan eksternal pengelolaan limbah Fasyankes disusun untuk
memenuhi kewajiban capaian indikator kinerja dan ketentuan sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pelaporan eksternal pengelolaan limbah Fasyankes
pada umumnya disampaikan kepada instansi pemerintah yang memiliki
kewenangan di bidang kesehatan atau lingkungan. Laporan ini merupakan
data dan informasi yang penting bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan
pengelolaan limbah Fasyankes dan untuk merencanakan program terkait
pengelolaan limbah Fasyankes. Laporan ini juga digunakan untuk
mengetahui dan mengatasi kendala di Fasyankes dalam melaksanakan
pengelolaan limbah Fasyankes, sehingga dapat diberikan rekomendasi dan
bantuan apabila diperlukan. Pelaporan eksternal kepada instansi pemerintah
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu laporan secara luring berbasis kertas dan
daring berbasis digital.

Laporan luring berbasis kertas dilakukan dengan menggunakan surat resmi


dan dokumen yang sudah dicetak. Laporan luring yang wajib dipenuhi dan
dilaporkan ke instansi pemerintah antara lain:
a. Laporan rutin yang ditujukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan setiap 3 bulan.
b. Laporan implementasi RKL-RPL/UKL-UPL Fasyankes yang dilakukan
setiap semester.

Laporan secara daring berbasis digital dilakukan secara elektronik


menggunakan situs atau aplikasi tertentu yang terhubung dengan internet.
Pengguna di Fasyankes mendapatkan akun dari Dinas Kesehatan Provinsi
325
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan atau Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tergantung sistem informasi yang
digunakan untuk pelaporan. Pelaporan eksternal secara daring berbasis
digital yang wajib dipenuhi dan dilaporkan ke instansi pemerintah adalah:
a. Sistem informasi kelola limbah medis (Sikelim)
Sistem informasi kelola limbah medis merupakan sistem informasi yang
dibuat oleh Kementerian Kesehatan untuk pelaporan pengelolaan limbah
Fasyankes. Tangkapan layar Sikelim dapat dilihat pada gambar di
bawah ini. Sistem ini ditujukan kepada rumah sakit dan puskesmas untuk
pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes yang berupa limbah domestik,
limbah medis padat, dan limbah cair, serta aspek manajemen dari
Fasyankes tersebut. Pelaporan pengelolaan limbah Fasyankes melalui
Sikelim dilakukan setiap bulan. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten
kota dapat mengakses sistem informasi ini menggunakan akun yang
telah disesdiakan. Panduan penggunaan sistem informasi kelola limbah
medis dapat diakses pada menu dokumen di situs Sikelim dalam bentuk
dokumen dan video.

Gambar 24 Sistem informasi kelola iklim (Sikelim)

326
b. Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup (Simpel)
Sistem informasi ini dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). Sistem informasi ini digunakan untuk pelaporan
pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya pengelolaan limbah
padat, cair dan udara.
c. Manifes Elektronik Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Festronik)
Festronik adalah sistem pemantauan yang dibuat oleh KLHK untuk
memantau kegiatan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3), khususnya kegiatan pengangkutan limbah B3. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan akibat pengelolaan
limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan. Festronik merupakan
bentuk transformasi dari manifes pengangkutan limbah B3 berbasis
kertas. Aplikasi dibuat daring agar dapat diakses kapanpun dan
dimanapun. Pelaporan dilakukan oleh Fasyankes setiap limbah B3
diangkut keluar Fasyankes.

“Setelah Anda mengetahui mengenai pelaporan maka Anda akan siap


untuk melakukan pelaporan dalam pelaksanaan kegiatan pada saat
Anda bertugas.”

327
328
MPP 1 Membangun Komitmen Belajar

329
330
Pengelolaan limbah medis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes) akan menghadapi tantangan yang relatif komplek sehingga
dalam pengelolaannya di butuhkan perencanaan yang matang. Kualitas
perencanaan akan menentukan keberhasilan pengelolaan limbah medis.
Keberhasilan pengelolaan limbah medis di Fasyankes saat ini wajib
diwujudkan, karena kegagalan pengelolaan akan menghadapi sangsi hukum
akibat risiko pencemaran lingkungan pada manusia di fasyankes seperti di
amanahkan dalam peraturan perundangan tentang pengelolaan limbah
bahan berbahaya beracun (B3) di fasyankes, dan disisi lain risiko infeksi juga
akan mengancam kesehatan manusia.
Dalam menyusun perencanaan, maka langkah melaksanakan
identifikasi risiko pengelolaan limbah medis menjadi titik yang menentukan
keberhasilan melalui tahapan-tahapan manajemen risiko. Terpilihnya skala
prioritas pengelolaan risiko dan pemetaan risiko yang disusun perlu
ditindaklanjuti dengan mitigasi (pananggulangan) risiko agar menjamin
perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan bagi petugas dan
pasien/pengunjung fasyankes. Untuk itu perlu direncanakan kebutuhan
sumber daya untuk mendukung keberhasilan, antara lain sumber daya
manusia dan organisasinya, pembiayaan, fasilitas/sarana serta penyusunan
sistem dan dokumen pendukungnya.
Apabila perencanaan pengelolaan limbah medis ini dapat disusun
dengan baik, maka dapat dengan mudah diwujudkan lingkungan fasyankes
yang terbebas dari risiko negatif lingkungan dan gangguan infeksi akibat
limbah medis yang dihasilkan.

331
1) Hasil Belajar

Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu merencanakan


pengelolaan limbah Fasyankes

2) Indikator Hasil Belajar

Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu ;


1. Menentukan risiko pengelolaan limbah Fasyankes
2. Menyusun rencana kegiatan sesuai risiko pengelolaan limbah
Fasyankes
3. Merencanakan pemantauan dan evaluasi pengelolaan limbah
Fasyankes

332
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
1. Risiko pengelolaan limbah Fasyankes
2. Rencana kegiatan sesuai risiko pengelolaan limbah Fasyankes
3. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan limbah Fasyankes

333
334
Materi Pokok 1: Perkenalan Peserta dan Pencarian Suasana

A. Pendahuluan
Perkenalan merupakan proses yang sangat penting dalam suatu pelatihan.
Pada awal pelatihan, tugas utama fasilitator/ narasumber adalah
menciptakan suasana yang mendukung para peserta untuk saling mengenal
satu sama lain, termasuk fasilitator/narasumber sendiri. Yang paling penting
adalah perkenalan tidak hanya sekedar untuk saling mengenal antar peserta,
tetapi juga dimaksudkan untuk “memecah kebekuan” antar peserta, apalagi
jika peserta pelatihan ini sudah saling mengenal satu sama lain.
Perkenalan yang baik akan menumbuhkan rasa kebersamaan yang menjadi
landasan bagi terciptanya suasana keterbukaan dan cairnya suasana
pelatihan.
Untuk pelatihan pengelolaan limbah Fasyankes, perkenalan ini merupakan
pintu masuk yang sangat penting dalam memahami masalah-masalah yang
berkaitan dengan pengelolaan limbah Fasyankes dan potensi dampak
kesehatannya. Oleh karena itu perlu proses perkenalan yang dilakukan
dikaitkan dengan topik-topik yang akan dibahas dalam pelatihan ini.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi pokok ini, peserta mampu melakukan perkenalan
dan pencairan suasana.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 1:
1. Mengenal diri sendiri
2. Mengenal orang lain

335
D. Uraian Materi

Mengenal Diri Sendiri


Manusia sebagai makhluk individu sekaligus sosial memiliki potensi diri
sebagai modal dalam berinteraksi. Pencapaian tujuan pelatihan, dimana
waktu kegiatannya yang berlansung singkat kefotannya perlu disikapi secara
cermat oleh peserta latih. Disinilah peranaktif fasilitator/widyaiswara untuk
memandu pserta latih mampu mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri
dengan sifat bawaan positif/negatifnya sehingga dapat mengelola secara
optimal segala potensinya. Berbagai modalitas dalam pembelajaran yakni
tipe visual, auditorik, kinestik dapat disampaikan secara singkat oleh
wi/fasilitator untuk membantu peseta latih mengenal kembali dirinya
sendiri. Mengenali gaya belajar akan membantu mengefektifkan pencapaian
hasil belajar. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengenali gaya atau
cara-cara belajar, namun dari hasilnya mereka sepakat bahwa gaya belajar
seseorang umumnya ada 2 (dua) kategori utama, yaitu:
1) Bagaimana kita bisa menyerap informasi dengan mudah (modalitas) dan
2) Bagaimana cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut
(dominasi otak).

336
Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap dan
kemudian mengatur dan mengolah informasi. Jika seseorang akrab dengan
gaya belajarnya sendiri, ia dapat mengambil langkah-langkah penting untuk
membantu dirinya belajar lebih cepat dan lebih mudah, dan juga dengan
memahami cara belajar orang lain, seperti atasan, rekan, guru,
siswa/peserta, suami/istri, orang tua dan anak-anak akan dapat membantu
kita memperkuat hubungan dengan mereka.

Bobbi De Porter dalam bukunya “Quantum Learning” (1999)


mengemukakan ada tiga modalitas belajar yang dimiliki seseorang, yaitu
visual, auditorial, dan kinestetik.

Dibawah ini beberapa karakteristik masing-masing modalitas.


1. Visual (belajar dengan cara memilih)
a. Mencorat-coret tanpa arti ketika berbicara di telepon
b. Berbicara dengan cepat
c. Rapi dan teratur
d. Lebih suka melihat peta daripada mendengar penjelasannya
e. Mengingat apa yang dilihat dari pada apa yang didengar
f. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat “YA” atau
“Tidak”
Selain itu, banyak ciri-ciri perilaku lain yang merupakan petunjuk
kecenderungan belajar anda. Ciri-ciri berikut ini akan membantu anda
menyesuaikan dengan modalitas belajar anda yang terbaik antara lain
yaitu teliti terhadap detail, mementingkan penampilan, misalnya dalam
hal berpakaian, pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang
sebenarnya dalam pikiran mereka, biasanya tidak terganggu dengan
keributan, mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal, kecuali
jika ditulis dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya,
pembaca cepat dan tekun, lebih suka dibaca daripada dibacakan.

337
2. Auditorial (Belajar dengan cara mendengar)
a. Berbicara kepada diri sendiri pada saat bekerja
b. Mudah terganggu oleh keributan
c. Menggerakan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika
membaca
d. Merasa kesulitan dalam menulis tapi hebat dalam berbicara.
e. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, irama dan warna
suara
f. Suka berbicara, suka berdiskusi dan menjelaskan sesuatu dengan
panjang lebar.
Selain itu banyak ciri-ciri perilaku lain yang merupakan petunjuk
kecenderungan belajar Anda, seperti berbicara dalam irama terpola,
biasanya pembicara yang fasih, belajar dengan mendengarkan dan
mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat, mempunyai
masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi,
seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain, lebih
suka gurau lisan daripada membaca komik.

3. Kinestetik (Belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh)


a. Berbicara dengan perlahan
b. Menanggapi perhatian fisik
c. Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka
d. Berdiri dengan orang ketika berbicara
e. Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak.

Mengenal Orang lain


Manusia hidup berkelompok dan membentuk komunitasnya. Manusia hidup
saling memerlukan dan saling tergantung satu sama lain. agar manusia
diterima dengan baik oleh kelompoknya, maka ia harus menjadi manusia
yang berguna, yang menyenangkan dan dapat diajak bekerjasama.
Kerjasama yang efektif dan kelompok yang sinergis akan terbentuk kalau
338
masing-masing anggota kelompok saling mengenal dengan baik. Saling
memahami apa kelebihan kelebihan yang dimiliki dan apa kekurangan-
kekurangan anggota kelompok. Kelompok ini akan sinergis, kalau di antara
masing-masing anggota kelompok dapat menerima anggota kelompok
lainnya dengan segala kelebihan dan segala kekurangan serta patuh untuk
melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuan-kemampuan yang ada.
Kelompok akan efektif bahkan sinergis kalau diantara masing-masing
anggotanya ada saling mempercayai satu dengan lainnya (trust). Memiliki
sikap keterbukaan (opennes), memiliki rasa tanggung jawab (responsibility)
dan merasa bahwa dirinya bagian integrasi dari yang lainnya
(interdependency). Ini akan dapat dicapai kalau sesama anggota kelompok
saling mengenal dengan baik.
Kegiatan perkenalan dapat dilaksanakan melalui permainan selama 5 menit,
peserta saling berkenalan dengan sebanyak-banyaknya antar peserta latih.
Peserta yang dapat mengenal paling 3 terbanyak dan paling sedikit
menyampaikan di kelas. Apabila ada yang belum disampaikan di kelas maka
memperkenalkan diri di kelas.
Kegiatan pencairan kelas merupakan langkah penting sebagai upaya untuk
membangun komitmen belajar. Kelas yang sudah cair akan berpengaruh
besar kelancaran proses pelatihan sehingga tujuan sesuai kurikulum dapat
tercapai. Pencairan (bina suasana) ini untuk mengurangi kebekuan psychis
antar warga belajar, sehingga suasana familiar dapat dicapai. Dengan bina
suasana ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana aman dan penuh
kepercayaan diantara peserta dan widyaiswara. Dengan merasa senang,
bebas dari tekanan fisik maupun mental emosional, memungkinkan peserta
belajar lebih efektif dan menyerap serta mengingat sejumlah besar materi
dengan baik. Mengapa demikian? Karena dalam keadaan seperti ini, peserta
bisa memanfaatkan potensinya secara optimal. Kuncinya adalah
membangun ikatan emosional dengan menciptakan kesenangan dalam
belajar, menjalin hubungan dan menyingkirkan segala macam ancaman.

339
Oleh karena itu, bina suasana atau pencairan kelas adalah sesuatu yang
mutlak diperlukan agar proses pembelajaran berjalan secara efektif.
Untuk memudahkan bina suasana bisa menggunakan game pilihan sesuai
kondisi. Sebagai contoh game berhitung kelipatan 5, yaitu:
1) Peserta bersama membentuk lingkaran besar, dan berjalan berbaris
dalam lingkaran tsb.
2) Fasilitator/widyaiswara menghentikan perjalan lingkaran dan memulai
menunjuk awal dari peserta untuk berhitung 1-akhir yakni saat peserta
yang mendapatkan urutan kelipatan lima ( 5, 10,15, dst) tidak
menyebutkan angkanya tapi disepakati menyebutkan istilah yang
berhubungan dengan pelatihan pengolahan limbah cair domestik
fasyankes.
3) Apabila peserta tersebut dari kelipatan lima tidak mampu menyebutkan,
maka diberi sanksi untuk mengenalkan diri sendiri dan rekan peserta
pelatihan yang berada disamping kanan dan kiri.
4) Kegiatan di ulang s.d suasana mencair (15 menit)

340
341
Materi Pokok 2: Kekhawatiran Peserta dan Harapan Peserta

A. Pendahuluan
Sesi ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada peserta pelatihan
untuk membahas kekhawatiran dan harapan mereka selama mengikuti
pelatihan. Kekhawatiran peserta biasanya berupa kekhawatiran akan proses
yang kurang disukai, waktu yang tidak mencukupi dsb, sedangkan untuk
harapan peserta biasanya berupa tambahan pengetahuan, peningkatan
kualitas diri, mendapatkan pembelajaran atau pengalaman dalam
pengelolaan limbah di Fasyankes dari daerah lain dsb.
Sesi ini penting dilakukan sebagai bahan masukan bagi tim
fasilitator/narasumber untuk bisa menindaklanjuti kekhawatiran dan harapan
apa yang dapat dan tidak dapat diakomodir oleh tim fasilitator/narasumber.
Informasi ini juga berguna sebagai indicator untuk evaluasi pelatihan setelah
selesai dilaksanakan dengan melihat kembali kekhawatiran dan harapan
peserta, apa yang bisa dicapai dan yang tidak.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi pokok ini, peserta mampu merumuskan
kekhawatiran dan menetapkan harapan.

C. Sub Materi Pokok


Sub materi pokok berikut ini adalah sub materi pokok 2:
a. Menidentifikasi kekhawatiran peserta
b. Menetapkan harapan peserta

342
D. Uraian Materi

Kegiatan pelatihan yang terbatas oleh waktu, tentunya setiap peserta


memiliki harapan yang akan dicapai selama proses pembelajaran sekaligus
kekhawatiran untuk mencapai harapannya. Dalam sesi mengidentifikasi
kekhawatiran dan harapan peserta digali untuk menjadi koridor dalam
pembelajaran yang akan berlangsung. Dalam menentukan harapan harus
realistis dan rasional sehingga kemungkinan untuk mencapainya besar dan
bisa menghilangkan kekhawatiran. Harapan jangan terlalu tinggi dan jangan
terlalu rendah. Harapan juga harus menimbulkan tantangan atau dorongan
untuk mencapainya, dan bukan sesuatu yang diucapkan secara asal-
asalan. Dengan demikian dinamika pembelajaran akan terus terpelihara
sampai akhir proses pelatihan pengelolaan limbah Fasyankes.
Fasilitator/narasumber membagi peserta dalam kelompok kecil @ 5 – 6
orang, kemudian menjelaskan tugas kelompok tersebut. Masing-masing
kelompok akan menentukan harapan terhadap pelatihan ini serta
kekhawatiran dalam mencapai harapan tersebut. Juga didiskusikan
bagaimana solusi (pemecahan masalah) untuk mencapai harapan tersebut
serta menghilangkan kekhawatiran yang akan terjadi selama pelatihan.
Mula-mula secara individu, kemudian hasil setiap individu dibahas dan
dilakukan kesepakatan sehingga menjadi harapan kelompok.

343
Setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Dan
peserta dari kelompok lainnya diminta untuk memberikan tanggapan dan
masukan bila ada. Fasilitator memandu peserta untuk membahas harapan
dan kekhawatiran dari setiap kelompok tersebut sehingga menjadi harapan
kelas yang disepakati bersama. Berdasarkan hasil pemaparan diskusi
seluruh kelompok maka disepakati bersama fasilitator untuk menentukan
ketua kelas dan sekretaris yang akan memandu peserta secara bersama-
sama untuk merumuskan norma-norma kelas yang akan disepakati
bersama. Peserta difasilitasi sedemikian rupa agar semua berperan aktif
dan memberikan komitmennya untuk menaati norma kelas tersebut.

344
Materi Pokok 3: Pembentukan Pengurus Kelas dan Penetapan
Komitmen Kelas

A. Pendahuluan
Pengurus kelas merupakan komponen pendukung yang penting selama
proses pelatihan untuk lebih memudahkan mengorganisasi kelas baik dalam
hal pelaksaan proses belajar di kelas maupun kegiatan praktek atau silmulasi
di luar kelas. Pemilihan pengurus kelas dipilih dan ditetapkan oleh seluruh
peserta pelatihan dengan difasilitasi oleh fasilitator/narasumber.
Komitmen kelas merupakan hal yang sangat penting untuk membantu
memperlancar proses belajar di kelas. Komitmen kelas ini merupakan
kesepakatan peraturan yang dibangun antara peserta dan sifatnya mengikat
seluruh komponen yang terlibat dalam proses pelatihan.
Hal-hal yang biasa dibahas dalam komitmen kelas ini adalah kesepakatan
aturan waktu selama pelatihan, etika dalam menyampaikan pendapat, serta
aturan-aturan main lain yang akan diterapkan di dalam kelas selama
pelatihan berlangsung.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti materi pokok ini, peserta mampu menetapkan pengurus
kelas dan komitmen kelas

C. Sub Materi Pokok


Sub materi pokok berikut ini adalah sub materi pokok 3:
a. Membentuk pengurus kelas
b. Menetapkan komitmen kelas

345
D. Uraian Materi

Pembentukan Organisasi Kelas


Untuk memperlancar proses pembelajaran diperlukan organisasi pengurus
kelas yang akan menjadi penghubung antara peserta dengan panitia
penyelenggara, maupun fasilitator. Pembentukan pengurus kelas dapat
melalui penunjukan formatur ataupun musaywarah mufakat ataupun pada
akhir sesi, fasilitator dapat menugaskan salah seorang peserta yang
dianggap mempunyai kompetensi berdasarkan hasil pengamatan dalam
pelaksanaan simulasi/kegiatan pembelajar untuk memimpin pembentukan
pengurus kelas.
Terbentuknya pengorganisasian diantara peserta pelatihan untuk
memperlancar proses pembelajaran selama pelatihan berlangsung. Seluruh
peserta bermusyawarah untuk menunjuk ketua kelas/lurah, sekretaris dan
bendahara disesuaikan dengan kebutuhan pelatihan.

Komitmen Kelas
Komitmen merupakan keterikatan, keterpanggilan seseorang terhadap apa
yang dijanjikan atau yang menjadi tujuan dirinya atau kelompoknya yang
telah disepakati dan terdorong berupaya sekuat tenaga untuk
mengaktualisasinya dengan berbagai macam cara yang baik, efektif dan
efisien. Komitmen belajar/pembelajaran, adalah keterpanggilan seseorang/
346
kelompok/ kelas (peserta pelatihan) untuk berupaya dengan penuh
kesungguhan mengaktualisasikan apa yang menjadi tujuan
pelatihan/pembelajaran. Keadaan ini sangat menguntungkan dalam
mencapai keberhasilan individu/ kelompok/ kelas, karena dalam diri setiap
orang yang memiliki komitmen tersebut akan terjadi niat baik dan tulus untuk
memberikan yang terbaik kepada individu lain, kelompok dan kelas secara
keseluruhan.
Komitmen merupakan kesepakatan bersama tentang memelihara agar
kesepakatan terhadap norma kelas ditaati. Biasanya ditentukan dalam
bentuk sanksi apa yang harus diberlakukan apabila norma tidak ditaati atau
dilanggar. Kegiatan ini dipandu oleh Fasilitator ataupun pengurus organisasi
kelas. Perumusan melalui brainstorming bersama di kelas dituliskan dalam
flipchart, antara lain tentang komitmen waktu, penggunaan mobile phone dan
hal lain yang disepakati dalam norma tersebut. Hasil dari Flipchart ditempel
di dinding untuk bisa dilihat bersama.

347
MPP 2 Anti Korupsi

348
349
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan
sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua
aspek kehidupan masyarakat. Efektivitas dan keberhasilan pembangunan
terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni
(orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan sampai pada
pelaksanaan) dan pembiayaan. Setelah Indonesia merdeka, pembangunan
diberbagai sektor terus dilakukan. Namun, perkembangan pembangunan
Nasional dirasakan tidak sepesat beberapa negara lain di Asia Tenggara.
Salah satu penyebab lambatnya pembangunan di Indonesia adalah
rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektual
tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadian. Rapuhnya moral dan
rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara maupun
aparatur sipil negara menyebabkan membengkaknya kasus korupsi. Korupsi
di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi sosial (penyakit sosial)
yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan
kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya
membudaya tetapi sudah membudidaya. Korupsi di negeri ini sekarang
sedang merajalela bahkan telah menjadi suatu “kebiasaan”. Berbagai upaya
telah dilakukan pemerintah dalam menangani korupsi dan hukum yang
sangat tegas. Namun, kasus pidana korupsi tidak juga berkurang di negeri
ini. Salah satu hal yang melatarbelakangi tindak pidana korupsi yaitu karena
kurangnya kesadaran pribadi tentang bahaya korupsi. Oleh karena itu, salah
satu upaya jangka panjang yang terbaik untuk mengatasi korupsi adalah
350
dengan memberikan pendidikan anti korupsi dini kepada para penyelenggara
dan aparatur sipil negara. Dengan melakukan Pendidikan anti korupsi,
diharapkan semua pihak dapat menghindari bahaya serta kasus tindak
pidana korupsi.

351
1) Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami Anti Korupsi

2) Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu menjelaskan:


1. Konsep korupsi
2. Konsep anti korupsi
3. Upaya pencegahan korupsi dan pemberantasan korupsi
4. Tata cara pelaporan dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi
5. Gratifikasi

352
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan
sebagai berikut:

1. Pokok Bahasan 1: Konsep Korupsi


a. Definisi korupsi
b. Ciri-ciri korupsi
c. Bentuk/jenis korupsi
d. Tingkatan korupsi
e. Faktor penyebab korupsi
f. Dasar hukum tentang korupsi

2. Pokok Bahasan 2: Konsep Anti Korupsi


a. Definisi anti korupsi
b. Nilai-nilai anti korupsi
c. Prinsip-prinsip anti korupsi

3. Pokok Bahasan 3 : Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi


a. Upaya pencegahan korupsi
b. Upaya pemberantasan korupsi
c. Strategi komunikasi Pemberatasan Korupsi (PK)

4. Pokok Bahasan 4 : Tata cara pelaporan dugaan pelanggaran Tindak


Pidana Korupsi (TPK)
a. Laporan
b. Penyelesaian hasil penanganan pengaduan masyarakat
c. Pengaduan
d. Tata cara penyampaian pengaduan
e. Tim penanganan pengaduan masyarakat terpadu di lingkungan
Kemenkes
f. Pencatatan pengaduan
353
5. Pokok Bahasan 5 : Gratifikasi
a. Pengertian gratifikasi
b. Aspek hukum
c. Gratifikasi dikatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi (TPK)
d. Sanksi gratifikasi

354
Metode yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Curah pendapat
2. Ceramah tanya jawab
3. Latihan kasus

355
Media dan alat yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Modul Pembelajaran
2. Bahan Tayang Materi
3. Komputer
4. Flip chart
5. Spidol

356
Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini adalah sebanyak 2 jam
pelajaran (T=2 jp, P=0 jp, PL=0 jp) @45 menit. Untuk memudahkan proses
pembelajaran, dilakukan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
a. Langkah 1: Pengkondisian (15 menit)
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila
belum pernah menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan
perkenalan. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap,
instansi tempat bekerja, materi yang akan disampaikan.
2. Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan
yang akan disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan
tayang.
b. Langkah 2: Penyampaian Materi (30 menit)
1. Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan
pokok bahasan dan sub pokok bahasan dengan menggunakan
bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi dengan metode
curah pendapat, ceramah dan tanya jawab
c. Langkah 3: Latihan Kasus (40 menit)
1. Fasilitator menyampaikan paparan kasus korupsi yang sering
terjadi
2. Fasilitator membagi peserta menjadi beberapa kelompok tiap
kelompok terdiri dari 5 atau 6 orang peserta, untuk kasus yang
sama dikerjakan oleh 2 atau 3 kelompok
3. Peserta berdiskusi didalam tiap kelompok
4. Fasilitator meminta wakil dari setiap kelompok untuk
menyampaikan hasil diskusi kelompoknya (hanya satu kelompok
untuk satu kasus) dan kelompok lainnya dengan kasus yang sama
dapat memberikan komentar atau sebagai penyanggah.
357
5. Fasilitator mengulas hasil diskusi yang terjadi di dalam tiap
penyajian hasil untuk tiap jenis kasus
d. Langkah 4: Rangkuman dan Kesimpulan (5 menit)
1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan
peserta terhadap materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan
pembelajaran.
2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang
disampaikan.
3. Fasilitator membuat kesimpulan.

358
359
Materi Pokok 1: Konsep Korupsi

A. Definisi Korupsi
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dikategorikan sebagai
tindakan setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

B. Ciri-ciri Korupsi
Syed Hussein Alatas, seorang sosiolog asal Malaysia, mengemukakan ciri-
ciri korupsi sebagai berikut.
1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.
2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, atau masyarakat
umumnya.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan
khusus.
4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang
yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau
yang lain.
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan
yang pasti dan mereka yang dapat memengaruhinya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk
pengesahan hukum.

360
C. Bentuk/Jenis Korupsi
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Pidana Korupsi yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 menetapkan 7 (tujuh) jenis Tindak Pidana Korupsi yaitu:
a) Korupsi terkait kerugian keuangan negara
b) Suap-menyuap
c) Penggelapan dalam jabatan
d) Pemerasan
e) Perbuatan curang
f) Benturan kepentingan dalam pengadaan
g) Gratifikasi

D. Tingkatan Korupsi
1. Materi Benefit
Penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik
bagi dirinya sendiri maupun orang kain. Korupsi pada level ini merupakan
tingkat paling membahayakan karena melibatkan kekuasaan dan
keuntungan material. Ini merupakan bentuk korupsi yang paling banyak
terjadi di Indonesia
2. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
Abuse of power merupakan korupsi tingkat menengah Merupakan segala
bentuk penyimpangan yang dilakukan melalui struktur kekuasaan, baik
pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya
termasuk lembaga pendidikan tanpa mendapatkan keuntungan materi.
3. Pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust)
● Pengkhianatan merupakan korupsi paling sederhana
● Orang yang berkhianat atau mengkhianati kepercayaan atau amanat
yang diterimanya adalah koruptor.
● Amanat dapat berupa apapun, baik materi maupun non materi.

361
E. Faktor Penyebab Korupsi
Agar dapat dilakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi maka perlu
diketahui faktor penyebab korupsi. Secara umum ada dua penyebab korupsi
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Berikut adalah faktor-faktor penyebab korupsi:
1. Penegakan hukum tidak konsisten: penegakan hukum hanya sebagai
make-up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti
pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang, takut dianggap bodoh kalau
tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan Modul antikorupsi
hanya dilakukan sebatas formalitas.
4. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang
diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara,
mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi
karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa, dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi:
saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya.
8. Budaya permisif/ serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa
bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal
kepentingannya sendiri terlindungi.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia
mengidentifikasi beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: aspek individu
pelaku korupsi, aspek organisasi, aspek masyarakat tempat individu, dan
korupsi yang disebabkan oleh sistem yang buruk.
362
F. Aspek Individu Pelaku Korupsi
Korupsi yang disebabkan oleh individu, yaitu sifat tamak, moral kurang kuat
menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi untuk kebutuhan yang
wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak
mau bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara
benar. Aspek-aspek individu tersebut perlu mendapatkan perhatian bersama.
Sangatlah ironis, bangsa kita yang mengakui dan memberikan ruang yang
leluasa untuk menjalankan ibadat menurut agamanya masing-masing,
ternyata tidak banyak membawa implikasi positif terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Demikian pula dengan hidup konsumtif dan sikap malas. Perilaku konsumtif
tidak saja mendorong untuk melakukan tindakan kurupsi, tetapi
menggambarkan rendahnya sikap solidaritas sosial, karena terdapat
pemandangan yang kontradiktif antara gaya hidup mewah di satu sisi dan
kondisi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi masyarakat miskin
pada sisi lainnya.

G. Aspek Organisasi
Pada aspek organisasi, korupsi terjadi karena kurang adanya keteladanan
dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas
di pemerintah kurang memadai, kelemahan sistem pengendalian
manajemen, serta manajemen yang lebih mengutamakan hirarki kekuasaan
dan jabatan cenderung akan menutupi korupsi yang terjadi di dalam
organisasi.
Hal tersebut ditandai dengan adanya resistensi atau penolakan secara
kelembagaan terhadap setiap upaya pemberantasan korupsi. Manajemen
yang demikian, menutup rapat bagi siapa pun untuk membuka praktik
korkupsi kepada publik.

363
H. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada
Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada juga turut
menentukan, yaitu nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat yang kondusif
untuk melakukan korupsi.
Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa akibat tindakannya atau
kebiasaan dalam organisasinya secara langsung maupun tidak langsung
telah menanamkan dan menumbuhkan perilaku koruptif pada dirinya,
organisasi bahkan orang lain.
Secara sistematis lambat laun perilaku sosial yang koruptif akan berkembang
menjadi budaya korupsi sehingga masyarakat terbiasa hidup dalam kondisi
ketidaknyamanan dan kurang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

I. Korupsi yang Disebabkan oleh Sistem yang Buruk


Sebab-sebab terjadinya korupsi menggambarkan bahwa perbuatan korupsi
tidak saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu
atau perilaku pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang
koruptif, yang kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan
korupsi.
Sedangkan perilaku korupsi, sebagaimana yang umum telah diketahui
adalah korupsi banyak dilakukan oleh pegawai negeri dalam bentuk
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau
kedudukan. Tetapi korupsi dalam artian memberi suap, juga banyak
dilakukan oleh pengusaha dan kaum profesional bahkan termasuk Advokat.
Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi
baik ilegal maupun yang ”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh
penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus
dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah
menurunkan kualitas kehidkupan bangsa dan bernegara, tetapi juga telah
banyak memakan korban jiwa dan bahkan ancaman akan terjadinya lost
generation bagi Indonesia.

364
Dalam kaitannya dengan korupsi oleh lembaga birokrasi pemerintah,
beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah menyangkut
manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggajian pegawai yang
ditandai dengan kurangnya penghasilan, sistem penilaian prestasi kerja yang
tidak dievaluasi, serta tidak terkaitnya antara prestasi kerja dengan
penghasilan.
Korupsi yang disebabkan oleh sistem yang koruptif inilah yang pada akhirnya
akan menghambat tercapainya clean and good governance. Jika kita ingin
mencapai pada tujuan clean and good governance, maka perlu dilakukan
reformasi birokrasi yang terkait dengan pembenahan sistem birokrasi
tersebut.

J. Dasar Hukum Tentang Korupsi


1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);
2. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Pidana Suap
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih, Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana
Korupsi yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
8. Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1999 tentang Tata cara Pemantauan
dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa
9. Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

365
10. Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2001 tentang pelaporan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
11. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi
12. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2014
13. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/05/M. PAN/4/2009, Tentang Modul Umum Penanganan Pengaduan
Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah
14. Peraturan Menteri Kesehatan No. 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System) Dugaan
Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan kementerian Kesehatan RI.

366
Materi Pokok 2: Konsep Anti Korupsi

A. Definisi Anti Korupsi


Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan
peluang bagi berkembangnya korupsi. Anti korupsi adalah pencegahan.
Pencegahan yang dimaksud adalah bagaimana meningkatkan kesadaran
individu untuk tidak melakukan korupsi dan bagaimana menyelamatkan uang
dan aset negara. Peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan
dengan melakukan perbaikan sistem (sistem hukum, sistem kelembagaan)
dan perbaikan manusianya (moral dan kesejahteraan).
B. Nilai-nilai Anti Korupsi
1. Kejujuran: Lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang
2. Kepedulian: Mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan
3. Kemandirian: Proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak bergantung
pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya
4. Kedisiplinan: Ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan
5. Pertanggungjawaban: keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan dan diperkarakan)
6. Kerja keras
7. Kesederhanaan
8. Keberanian
9. Keadilan: Sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak
C. Prinsip-prinsip Anti Korupsi
1. Akuntabilitas: Kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja
2. Transparansi: Keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi
kepercayaan (trust)
3. Kewajaran
4. Kebijakan
5. Kontrol kebijakan: Upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif
dan mengeliminasi semua bentuk korupsi

367
Materi Pokok 3: Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi

A. Upaya Pencegahan Korupsi


Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk
memberantas korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang
dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk
United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC: 2004):
1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat
4. Pengembangan dan Pembuatan berbagai Instrumen Hukum yang
mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
5. Monitoring dan Evaluasi
6. Kerjasama Internasional

B. Upaya Pemberantasan Korupsi


Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa
korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang
menyatakan bahwa korupsi ibarat penyakit ‘kanker ganas’ yang sifatnya tidak
hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara
secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek
bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas. Perlu
dipahami bahwa dimanapun dan sampai pada tingkatan tertentu, korupsi
memang akan selalu ada dalam suatu negara atau masyarakat. Dalam
pemberantasan korupsi sangat penting untuk menghubungkan strategi atau
upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai
pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi.
Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau
organisasi.
“Upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan
memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi.
Dengan demikian bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap
368
sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Benarkah
demikian?”
Untuk memberantas korupsi tidak dapat hanya mengandalkan hukum
(pidana) saja dalam memberantas korupsi.
Padahal beberapa kalangan mengatakan bahwa cara untuk memberantas
korupsi yang paling ampuh adalah dengan memberikan hukuman yang
seberatberatnya kepada pelaku korupsi. Kepada pelaku yang terbukti telah
melakukan korupsi memang tetap harus dihukum (diberi pidana), namun
berbagai upaya lain harus tetap terus dikembangkan baik untuk mencegah
korupsi maupun untuk menghukum pelakunya.
Adakah gunanya berbagai macam peraturan perundangundangan, lembaga
serta sistem yang dibangun untuk menghukum pelaku korupsi bila hasilnya
tidak ada?. Jawabannya adalah: jangan hanya mengandalkan satu cara, satu
sarana atau satu strategi saja yakni dengan menggunakan sarana penal,
karena ia tidak akan mempan dan tidak dapat bekerja secara efektif. Belum
lagi kalau kita lihat bahwa ternyata lembaga serta aparat yang seharusnya
memberantas korupsi justru ikut bermain dan menjadi aktor yang ikut
menumbuhsuburkan praktik korupsi.

C. Strategi Komunikasi Pemberatasan Korupsi (PK)


Adanya Regulasi
KEPMENKES No: 232 Menkes/Sk/Vi/2013, Tentang Strategi Komunikasi
Pemberantasan Budaya Anti Korupsi Kementerian Kesehatan Tahun 2013.
● Penyusunan dan sosialisasai Buku panduan Penggunaan fasilitas kantor
● Penyusunan dan sosialisasi Buku Panduan Memahami Gratifikasi
● Workshop/ pertemuan peningkatan pemahaman tentang antikorupsi
dengan topik tentang gaya hidup PNS, kesederhanaan, perencanaan
keuangan keluarga sesuai dengan kemampuan lokus
● Penyebarluasan nilai-nilai anti korupsi (disiplin dan tanggung jawab)
berkaitan dengan kebutuhan pribadi dan persepsi gratifikasi

369
● Penyebarluasan informasi tentang peran penting dann manfaat whistle
blower dan justice collaborator

Perbaikan Sistem
● Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku, untuk
mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau
pasal-pasal karet yang sering digunakan koruptor melepaskan diri dari
jerat hukum.
● Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi simpel dan
efisien. Menciptakan lingkungan kerja yang anti korupsi. Reformasi
birokrasi.
● Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi,
memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan fasilitas negara
untuk kepentingan umum dan penggunaannya untuk kepentingan
pribadi.
● Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian
sanksi secara tegas.
● Penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
● Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi, memperkecil terjadinya human
error.

Perbaikan manusianya
KPK terus berusaha melakukan pencegahan korupsi sejak dini. Berdasarkan
studi yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ada peran penting keluarga
dalam menanamkan nilai anti korupsi. Berdasarkan kajian yang telah
dilakukan, ditemukan bahwa ada peran penting keluarga dalam proses
pencegahan korupsi. Keluarga batih menjadi pihak pertama yang bisa
menanamkan nilai anti korupsi saat anak dalam proses pertumbuhan.
"Keluarga batih itu adalah pihak pertama yang bisa menanamkan nilai anti
korupsi ke anak. Seiring anak tumbuh, nilai anti korupsi itu semakin mantap.

370
KPK menekankan pencegahan korupsi sejak dini. Sebabnya, ketika
seseorang sudah beranjak dewasa dan memiliki pemahaman sendiri,
penanaman nilai anti korupsi akan susah ditanamkan. Ketika orang sudah
dewasa, apalagi dia adalah orang yang pandai dan cerdas, sangat susah
menanamkan nilai anti korupsi karena mereka sudah punya pemahaman
sendiri. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman.
Mengoptimalkan peran agama dalam memberantas korupsi. Artinya pemuka
agama berusaha mempererat ikatan emosional antara agama dengan
umatnya dan menyatakan dengan tegas bahwa korupsi adalah perbuatan
tercela, mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari segala bentuk
korupsi, mendewasakan iman dan menumbuhkan keberanian masyarakat
untuk melawan korupsi.

371
Materi Pokok 4: Tata cara pelaporan dugaan pelanggaran Tindak

A. Pidana Korupsi (TPK)


Laporan
Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan
kepada pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga
akan terjadinya sebuah peristiwa pidana/ kejahatan. Artinya, peristiwa yang
dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah
tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk
menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. Kita
sebagai orang yang melihat suatu tidak kejahatan memiliki kewajiban untuk
melaporkan tindakan tersebut.
Selanjutnya, di mana kita melapor? Dalam hal jika Anda ingin melaporkan
suatu tindak pidana korupsi yang terjadi di lingkungan kementerian
Kesehatan, saat ini kementerian Kesehatan melalui Inspektorat jenderal
sudah mempunyai mekanisme pengaduan tindak pidana korupsi.
Mekanisme Pelaporan
1. Tim Dumasdu pada unit Eselon 1 setiap bulan menyampaikan laporan
penanganan pengaduan masyarakat dalam bentuk surat kepada
Sekretariat Tim Dumasdu. Laporan tersebut minimal memuat informasi
tentang nomor dan tanggal pengaduan, isi ringkas pengaduan, posisi
penanganan dan hasilnya penanganan.
2. Sekretariat Tim Dumasdu menyusun laporan triwulanan dan semesteran
untuk disampaikan kepada Menteri Kesehatan dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan pihak-
pihak terkait lainnya.
3. Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan
(http://www.itjen.kemkes.go.id)

Penyelesaian Hasil Penanganan Pengaduan Masyarakat


Sekretariat Tim Dumasdu secara periodik melakukan monitoring dan
evaluasi (money) terhadap hasil ADTT/Investigasi, berkoordinasi dengan
372
Bagian Analisis Pelaporan dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (APTLHP).
Pelaksanaan money dan penyusunan laporan hasil money dilakukan sesuai
dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku pada Inspektorat
Jenderal.
Penyelesaian hasil penanganan dumas agar ditindaklanjuti sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berupa:
1. Tindakan administratif
2. Tuntutan perbendaharaan dan ganti rugi
3. Tindakan perbuatan pidana
4. Tindakan pidana
5. Perbaikan manajemen

Pengaduan
Pengaduan yang dapat bersumber dari berbagai pihak dengan berbagai jenis
pengaduan, perlu diproses ke dalam suatu sistem yang memungkinkan
adanya penanganan dan solusi terbaik dan dapat memuaskan keinginan
publik terhadap akuntabilitas pemerintahan.Ruang lingkup materi dalam
pengaduan adalah adanya kepastian telah terjadi sebuah tindak pidana yang
termasuk dalam delik aduan, dimana tindakan seorang pengadu yang
mengadukan permasalahan pidana delik aduan harus segera ditindak lanjuti
dengan sebuah tindakan hukum berupa serangkaian tindakan penyidikan
berdasarkan peraturan perundangundangan. Artinya dalam proses
penerimaan pengaduan dari masyarakat, seorang pejabat yang berwenang
dalam hal ini internal di Kementerian Kesehatan khususnya Inspektorat
Jenderal, harus bisa menentukan apakah sebuah peristiwa yang dilaporkan
oleh seorang pengadu merupakan sebuah tindak pidana delik aduan ataukah
bukan.

Tata Cara Penyampaian Pengaduan


Prosedur Penerimaan Laporan kepada Kemenkes adalah Berdasarkan
Permenkes Nomor 49 tahun 2012 tentang Pengaduan kasus korupsi,
373
beberapa hal penting yang perlu diketahui antaranya. Pengaduan
masyarakat di Lingkungan Kementerian Kesehatan dikelompokkan dalam:
1. Pengaduan masyarakat berkadar pengawasan; dan
2. Pengaduan masyarakat tidak berkadar pengawasan. Pengaduan
masyarakat berkadar pengawasan adalah: mengandung informasi atau
adanya indikasi terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh aparatur Kementerian Kesehatan
sehingga mengakibatkan kerugian masyarakat atau negara.
Pengaduan masyarakat tidak berkadar pengawasan merupakan pengaduan
masyarakat yang isinya mengandung informasi berupa sumbang saran, kritik
yang konstruktif, dan lain sebagainya, sehingga bermanfaat bagi perbaikan
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
Masyarakat terdiri atas orang perorangan, organisasi masyarakat, partai
politik, institusi, kementerian/lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pengaduan masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan dapat
disampaikan secara langsung melalui tatap muka, atau secara tertulis/surat,
media elektronik, dan media cetak kepada pimpinan atau pejabat
Kerrienterian Kesehatan.
Pengaduan masyarakat berkadar pengawasan dapat disampaikan secara
langsung oleh masyarakat kepada Sekretariat Inspektorat Jenderal
Kementerian Kesehatan. Pengaduan masyarakat tidak berkadar
pengawasan dapat disampaikan secara langsung oleh masyarakat kepada
sekretariat unit utama dilingkungan Kementerian Kesehatan. Pengaduan
masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan harus ditanggapi dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak pengaduan diterima

Tim penanganan pengaduan masyarakat terpadu di lingkungan Kemenkes


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/ Per/ VIII/
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Inspektorat
Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan
Kementerian Kesehatan, sehingga dalam rangka melaksanakan fungsi
374
tersebut perlu suatu Modul penanganan pengaduan masyarakat yang juga
merupakan bentuk pengawasan. Selain itu untuk penanganan pengaduan
masyarakat secara terkoordinasi di lingkungan Kementerian Kesehatan telah
dibentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 134/ Menkes/ SK/ III/ 2012
tentang Tim Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di Lingkungan
Kementerian Kesehatan (Tim Dumasdu) yang anggotanya para Kepala
bagian Hukormas yang ada pada masing-masing Unit Eselon I di
Kementerian Kesehatan.
Pengaduan masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan ditangani
oleh Tim Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di Lingkungan
Kementerian Kesehatan yang dibentuk oleh Menteri
berdasarkan kewenangan masing-masing.
Penanganan pengaduan masyarakat terpadu di lingkungan Kementerian
Kesehatan harus dilakukan secara cepat, tepat, dan dapat
dipertanggungjawabkan Penanganan pengaduan masyarakat meliputi
pencatatan, penelaahan, penanganan lebih lanjut, pelaporan, dan
pengarsipan.
Penanganan lebih lanjut berupa tanggapan secara langsung melalui
klarifikasi atau memberi jawaban, dan penyaluran/ penerusan kepada unit
terkait yang berwenang menangani.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan pengaduan masyarakat
tercantum dalam Modul Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di
Lingkungan Kementerian Kesehatan.

Pencatatan Pengaduan
Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis. Walaupun peraturan
yang ada menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara lisan,
tetapi untuk lebih meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu perkara,
maka pengaduan yang diterima masyarakat hanya berupa pengaduan
tertulis. Pencatatan pengaduan masyarakat oleh Tim Dumasdu dilakukan
sebagai berikut:
375
1. Pengaduan masyarakat (dumas) yang diterima oleh Tim Dumasdu pada
Unit Eselon I berasal dari organisasi masyarakat, partai politik,
perorangan atau penerusan pengaduan oleh Kementerian/ Lembaga/
Komisi Negara dalam bentuk surat, fax, atau email, dicatat dalam
agenda surat masuk secara manual atau menggunakan aplikasi sesuai
dengan prosedur pengadministrasian/ tata persuratan yang berlaku.
Pengaduan yang disampaikan secara lisan agar dituangkan ke dalam
formulir yang disediakan.
2. Pencatatan dumas tersebut sekurang-kurangnya memuat informasi
tentang nomor dan tanggal surat pengaduan, tanggal diterima, identitas
pengadu, identitas terlapor, dan inti pengaduan.
3. Pengaduan yang alamatnya jelas, segera dijawab secara tertulis dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak surat pengaduan
diterima, dengan tembusan disampaikan kepada Sekretariat Tim
Dumasdu pada Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

376
Materi Pokok 5: Gratifikasi

A. Pengertian Gratifikasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,1998) Gratifikasi diartikan
pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.
Menurut UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal 12 b ayat (1),
Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya.
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik. Pengecualian Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal
12 C ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1)
tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Aspek Hukum
Aspek hukum gratifikasi meliputi tiga unsur yaitu: (1) dasar hukum, (2) subyek
hukum, (3) Obyek Hukum. Ada dua Dasar Hukum dalam gratifikasi yaitu: (1)
Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 dan (2) Undang2-undang No 20
Tahun 2001. Menurut undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 16: “Setiap PNS atau
Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada
KPK”.

377
Undang-undang nomor 20 tahun 2001, menurut UU No 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak korupsi pasal 12 C Ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Ayat 2
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
Subyek hukum terdiri dari: (1) penyelenggara negara, dan (2) pegawai
negeri. Penyelenggara negara meliputi: pejabat negara pada lembaga
tertinggi negara, pejabata negara pada lembaga tinggi negara, menteri,
gubernur, hakim, pejabat lain yang memiliki fungsi startegis dalam kaitannya
dalam penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku.
Pegawai Negeri Sipil meliputi pegawai negeri sipil sebagaimana yang
dimaksud dalam undang-undang kepegawaian, pegawai negeri sipil
sebagaimana yang dimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana,
orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah,
orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau
upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas negara
atau rakyat. Obyek Hukum gratifikasi meliputi: (1) uang (2) barang dan (3)
fasilitas.

C. Gratifikasi dikatakan sebagai Tindak Pidana Korupsi (TPK)


Gratifikasi dikatakan sebagai pemberian suap jika berhubungan dengan
jabatannnya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
Suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang
perbuatan pidana suap khususnya pada seorang penyelenggara negara atau
pegawai negeri adalah pada saat penyelenggara negara atau pegawai negeri
tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian

378
hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan
berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.
Bentuknya: Pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan
oleh petugas, dalam bentuk barang, uang, fasilitas.

D. Contoh Gratifikasi
Berikut beberapa contoh yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, yaitu:
1. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah
dibantu;
2. Hadiah/sumbangan rekanan yang diterima pejabat pada saat
perkawinan anaknya;
3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau
keluarganya untuk keperluan pribadi secara Cuma-Cuma;
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk
pembelian barang atau jasa dari rekanan;
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji rekanan kepada pejabat/pegawai
negeri;
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya
dari rekanan;
7. Pemberian hadiah/souvenir pada pejabat/pegawai negeri saat
kunjungan kerja;
8. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat
hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;
9. Pemberian bea siswa pada anak pejabat terntentu.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka pemberian yang dapat
dikategorikan sebagai gratifikasi adalah pemberian atau janji yang
mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atau semata-
mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai
negeri dengan si pemberi.

379
E. Sanksi Gratifikasi
Sanksi pidana yang menerima gratifikasi dapat dijatuhkan bagi pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang:
1. Menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya;
2. Menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
3. Menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
4. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri;
5. Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
6. Pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

380
7. Pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
8. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya

381
MPP 3 Rencana Tindak Lanjut

382
383
Rencana tindak lanjut merupakan suatu dokumen tentang kegiatan
yang akan dilakukan setelah mengikuti pelatihan atau merupakan tindak
lanjut dari pelatihan tersebut. Rencana tindak lanjut merupakan dokumen
yang memuat kegiatan yang akan dilakukan setelah peserta kembali ke
tempatnya bekerja untuk menerapkan hasil pelatihan. Rencana tindak lanjut
disusun pada akhir pelatihan dimana semua peserta telah mendapatkan
seluruh mata pelatihan, sebagai pernyataan bahwa peserta telah menerima
kompetensi yang dilatihkan, dan komitmen diri bahwa peserta siap
menerapkan kompetensi yang didapat dari pelatihan pada saat bekerja.
Modul rencana tindak lanjut ini disusun untuk memberi bekal bagi para
peserta agar mampu memahami rincian kegiatan dan dapat menyusun
rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan di tempat kerjanya masing-
masing.

384
1) Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan
penyusunan rencana tindak lanjut.
2) Indikator Hasil Belajar
Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu:
a. Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup rencana tindak lanjut.
b. Melakukan tahap dan penyusunan rencana tindak lanjut.

385
Materi pokok pada mata pelatihan ini adalah:
a. Pengertian dan ruang lingkup rencana tindak lanjut.
b. Tahap dan penyusunan rencana tindak lanjut.

386
387
Materi Pokok 1: Pengertian dan Ruang Lingkup Rencana Tindak
Lanjut

A. Pendahuluan
Rencana tindak lanjut merupakan suatu dokumen tentang rencana yang
akan dilakukan setelah mengikuti suatu kegiatan atau merupakan tindak
lanjut dari kegiatan tersebut. Salah satu indikator kompetensi peserta
pelatihan adalah pelaksanaan rencana tindak lanjut, selain itu instansi
pengirim peserta pelatihan juga akan mendapatkan manfaat dari rencana
tindak lanjut yang dilaksanakan oleh petugas yang sudah terlatih.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu menjelaskan
pengertian dan ruang lingkup rencana tindak lanjut.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 1:
1. Pengertian rencana tindak lanjut
2. Ruang lingkup rencana tindak lanjut

D. Uraian Materi
“Sebelum mempelajari tentang rencana tindak lanjut, apakah Anda pernah
terlibat dalam penyusunan atau pelaksanaan rencana tindak lanjut, cobalah
mengingat dan ceritakan pengalaman Anda!”

Pengertian rencana tindak lanjut


Rencana tindak lanjut merupakan suatu dokumen yang menjelaskan tentang
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, setibanya peserta di wilayah kerja
masing-masing dengan memperhitungkan hal-hal yang telah ditetapkan
berdasarkan potensi dan sumber daya yang ada. Rencana tindak lanjut
merupakan sebuah rencana kerja yang dibuat secara individu oleh peserta

388
yang berisi tentang rencana kerja yang menjadi tugas dan wewenangnya.
Rencana ini dibuat setelah peserta mengikuti seluruh mata pelatihan.

Ruang lingkup rencana tindak lanjut


Rencana tindak lanjut dimaksudkan untuk mengaplikasikan teori yang telah
diberikan dalam pelatihan ini dengan pengalaman peserta latih. Perpaduan
antara teori dan pengalaman ini merupakan salah satu metode untuk lebih
meningkatkan pemahaman peserta diklat akan teori yang telah diberikan
selama pelatihan, sehingga kompetensi akan tercapai secara optimal.
Rencana tindak lanjut sangat diperlukan bagi peserta pelatihan karena
rencana tindak lanjut merupakan sebuah rencana yang dibuat oleh individu
yang berisi tentang rencana satuan kerja yang menjadi tugas dan wewenang
peserta.
Rencana tindak lanjut perlu mengacu pada struktur/sistematika seperti yang
telah disepakati dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu rencana tindak
lanjut yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Terarah dan terukur
Setiap kegiatan yang dicantumkan dalam rencana tindak lanjut
hendaknya terarah untuk mencapai tujuan dan dapat diukur hasilnya.
b. Jelas dan detail
Isi rencana mudah dimengerti termasuk detail kegiatan di dalamnya dan
pembagian tugasnya jelas antara orang-orang yang terlibat di dalam
masing-masing kegiatan.
c. Fleksibel dan mampu laksana
Mudah disesuaikan dengan perkembangan situasi sehingga mampu
dilaksanakan dengan baik, oleh karena itu rencana tindak lanjut
mempunyai kurun waktu relatif singkat.
Tujuan rencana tindak lanjut adalah agar peserta/institusi memiliki acuan
dalam menindaklanjuti pelatihan sehingga ruang lingkup rencana tindak
lanjut minimal terdiri dari:
a. Penetapan kegiatan yang akan dilakukan
389
b. Penetapan indikator kegiatan yang ingin dicapai
c. Penetapan target kegiatan
d. Penetapan metode yang akan digunakan untuk melaksanakan kegiatan
e. Penetapan waktu pelaksanaan kegiatan
f. Penetapan besaran biaya dan sumbernya
g. Penetapan pelaksana/penanggung jawab kegiatan

“Setelah Anda mengetahui pengertian dan ruang lingkup rencana tindak


lanjut maka Anda siap dan dapat diukur hasilnya untuk tahap penyusunan
rencana tindak lanjut materi berikutnya.”

390
Materi Pokok 2: Tahap Penyusunan Rencana Tindak Lanjut

A. Pendahuluan
Rencana tindak lanjut merupakan dokumen yang memuat kegiatan yang
akan dilakukan setelah peserta kembali ke tempatnya bekerja untuk
menerapkan hasil pelatihan. Penyusunan rencana tindak lanjut menjadi
dasar pelaksanaan kegiatan setelah pelatihan dan sebagai wadah untuk
implementasi kompetensi petugas yang telah mengikuti pelatihan. Rencana
tindak lanjut diharapkan dapat meningkatkan pelaksanaan kegiatan
pengelolaan limbah Fasyankes.

B. Indikator Hasil Belajar


Setelah mengikuti mata pelatihan ini, peserta mampu melakukan tahap dan
penyusunan rencana tindak lanjut.

C. Sub Materi Pokok


Berikut ini adalah sub materi pokok 2:
1. Penyusunan rencana tindak lanjut
2. Pembuatan time line berbentuk gantt chart

D. Uraian Materi
Sebelum mempelajari tentang rencana tindak lanjut, apakah Anda pernah
terlibat dalam melaksanakan rencana tindak lanjut dan berhasil, cobalah
mengingat dan ceritakan pengalaman Anda.

Penyusunan rencana tindak lanjut


Dalam menyusun rencana tindak lanjut harus mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Kegiatan atau rangkaian kegiatan adalah deskripsi hal yang akan
dilakukan, didapat melalui identifikasi masalah dan solusinya dalam

391
bentuk kegiatan yang diperlukan untuk mencapai target indikator yang
ditetapkan.
b. Indikator merupakan tolak ukur keberhasilan kegiatan dalam bentuk hal
apa yang ingin dicapai (kualitatif). Indikator yang ditentukan dan dibuat
dalam satu kalimat sederhana atau frasa sangat disarankan agar mudah
diingat dan menjadi motivasi untuk dicapai.
c. Target merupakan hal yang ingin dicapai dari kegiatan, target yang baik
dirumuskan secara konkret dan dapat diukur (kuantitatif). Biasanya
target berupa angka atau dalam bentuk persen sehingga dapat diukur
capaiannya.
d. Metode yaitu cara yang akan dilakukan untuk melakukan kegiatan agar
target yang telah ditentukan dapat tercapai. Beberapa metode dapat
digabungkan untuk melaksanakan satu kegiatan bila diperlukan.
e. Waktu menunjukkan kapan suatu kegiatan dimulai dan berakhir
termasuk waktu persiapan dan pelaksanaan.
f. Biaya adalah untuk satu kegiatan atau rangkaian kegiatan utuh, biaya
dapat menentukan sejauh mana kegiatan dapat dilaksanakan sehingga
biaya perlu direncanakan dengan realistis sesuai prioritas kegiatan.
Biaya nantinya akan dituangkan dalam anggaran yang berisi uraian
biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan mulai dari awal
hingga selesai. Efisiensi biaya dilakukan dengan menggabungkan
kegiatan yang mungkin bisa dilaksanakan dengan metode yang sama
sehingga dengan biaya minim dapat mencakup target yang luas.
g. Pelaksana/penanggung jawab adalah petugas/tim yang akan
melaksanakan kegiatan yang direncanakan. Hal ini penting karena
petugas/tim yang terlibat dalam kegiatan tersebut mengetahui dan
melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing.
Berdasarkan hasil analisis unsur-unsur tersebut kemudian dilanjutkan
penyusunan rencana tindak lanjut melalui tahap sebagai berikut:

392
a. Identifikasi kegiatan atau rangkaian kegiatan (what) yang menjadi
prioritas dalam pengelolaan limbah Fasyankes berdasarkan identifikasi
risiko dan permasalahan yang ada untuk ditangani.
b. Menentukan indikator (what) untuk menjadi tolak ukur keberhasilan
kegiatan dalam bentuk hal apa yang ingin dicapai (kualitatif).
c. Merumuskan target dalam bentuk angka/persen secara konkret dan
dapat diukur (kuantitatif).
d. Menentukan metode (how) yang akan dilakukan untuk melakukan
kegiatan agar target indikator yang telah ditentukan dapat tercapai.
e. Menetapkan waktu (when) persiapan dan pelaksanaan kegiatan dari
awal hingga kegiatan selesai termasuk evaluasinya.
f. Menentukan besaran biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kegiatan atau rangkaian kegiatan utuh.
g. Menunjuk (who) petugas/tim pelaksana/penanggung jawab pelaksanaan
kegiatan yang direncanakan serta peran masing-masing petugas atau
anggota tim.

Pembuatan time line berbentuk gantt chart


Tabel berikut dapat digunakan untuk penyusunan rencana tindak lanjut:

Tabel 36 Contoh rencana tindak lanjut

No Kegiatan Indikator Target Metode Waktu Biaya Pelaksana


1 2 3 4 5 6 7 8
Pengolahan Jumlah
1
1 limbah limbah 99,9% Insinerasi 1 tahun TSL
miliar
medis dikelola
Penyediaan Jumlah
500
2 wadah wadah 1.000 Pengadaan 1 tahun TSL
juta
limbah tersedia
Jumlah 1 tahun
Tutorial 120
3 partisipasi 20 Pertemuan tiap TSL
kelola limbah juta
petugas minggu

393
No Kegiatan Indikator Target Metode Waktu Biaya Pelaksana
dan
4
seterusnya

Penjelasan cara pengisian:


1. Kolom 1 diisi dengan nomor secara berurutan mulai dari nomor 1
kemudian 2, 3, 4, dan seterusnya sesuai dengan jumlah kegiatan yang
direncanakan sebagai rencana tindak lanjut.
2. Kolom 2 diisi dengan nama kegiatan atau rangkaian kegiatan
berdasarkan hasil identifikasi kegiatan.
3. Kolom 3 diisi dengan indikator yang sungkat dan jelas sehingga mudah
diingat dan dapat dicapai.
4. Kolom 4 diisi dengan angka atau persen target berdasarkan indikator
yang ingin dicapai sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada
serta waktu dan biaya yang tersedia untuk mencapai target yang
realistis.
5. Kolom 5 diisi dengan cara pelaksanaan kegiatan, beberapa metode
dapat dicantumkan pada kolom ini untuk satu kegiatan.
6. Kolom 6 diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun mulai dan selesainya
pelaksanaan kegiatan atau rangkaian kegiatan, mulai dari persiapan
sampai dengan evaluasi dan pelaporan.
7. Kolom 7 diisi dengan jumlah keseluruhan biaya yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan atau rangkaian kegiatan.
8. Kolom 8 diisi dengan penanggung jawab kegiatan sehingga setiap
kegiatan dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaan dan capaian target
indikatornya.

394
Tabel berikut dapat digunakan untuk penyusunan time line dalam bentuk
Gantt Chart:

Tabel 37 Perencanan tindak lanjut dalam bentuk Gantt Chart

Tanggal
No Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2 3
1 Pengolahan
limbah medis
2 Penyediaan
wadah limbah
3 Tutorial kelola
limban
4 dan seterusnya

Penjelasan cara pengisian


1. Kolom 1 diisi dengan nomor secara berurutan mulai dari nomor 1
kemudian 2, 3, 4, dan seterusnya sesuai dengan jumlah kegiatan yang
direncanakan sebagai rencana tindak lanjut.
2. Kolom 2 diisi dengan nama kegiatan atau rangkaian kegiatan
berdasarkan hasil identifikasi kegiatan.
3. Kolom 3 diisi dengan tanda/shading pada tanggal pelaksanaan kegiatan.

“Setelah anda mengetahui tahap dan penyusunan rencana tindak lanjut


maka anda siap untuk menyusun rencana tindak lanjut dengan detail untuk
pelaksanaan kegiatan pada saat anda bertugas”.

395
396

Anda mungkin juga menyukai